Postingan

Nasehat Bagi Seorang Alim Agar Tidak Tinggal di Kampung Terpencil

Di antara nasehat panjang Imam Malik kepada Imam Syafi'i sebelum mereka berpisah, «لَا تَسْكُنْ الرِّيفَ يَذْهَبْ عِلْمُك، وَاكْتَسِبْ الدِّرْهَمَ لَا تَكُنْ عَالَةً عَلَى النَّاسِ...» [شرح مختصر خليل للخرشي (1/35)] "Jangan tinggal di kampung nanti ilmumu hilang (tidak berkembang)..." Imam Malik tahu bahwa Imam Syafi'i punya potensi besar jadi ulama hebat, sehingga jangan sampai keluasan ilmunya nanti hilang begitu saja. Dan benar, beliau kemudian "tinggal" di kota-kota besar seperti Bagdhad, Hijaz, dan Mesir. Dan ilmu beliau tersebar dan terjaga sampai sekarang. Tentu ini tidak mutlak berlaku untuk semua kampung, illah-nya adalah jika di kampung tersebut antusias belajar penduduknya sangat-sangat minim sehingga berpotensi meredupkan keilmuan si alim tersebut. Dalam Ihya, Imam Ghazali menceritakan bahwa suatu kali Imam Sufyan Al-Tsauri datang ke Asqolan dan tinggal beberapa hari di sana, biasanya jika beliau singgah di suatu tempat, nama beliau yg masyhur me...

Puisi Unik, Masa Ottoman dan Mamluk

Gambar
  Pertama kali melihat gambar lingkaran di atas, saya kira adalah jimat sejenis rajah. Saya perhatikan huruf perhuruf, kata dan kalimat, ternyata bukan. Ia adalah bait-bait indah puisi Arab masa lalu.  Ia contoh seni sastra dalam bentuk شعر الدائرة (syi'r al-dairah) atau puisi lingkaran, yang populer pada masa Dinasti Mamluk dan Ottoman (ustmaniyah). Aha, ini penting untuk dicari contoh lainnya.  Bentuk puisi ini adalah bagian dari inovasi sastra (ibda' al-adab al-araby) di era tersebut, namun seiring waktu mulai ditinggalkan. Sayangnya, puisi-puisi seperti di atas, sering menghilang dan bahkan lenyap, bila tidak ada generasi setelahnya yang melanjutkan, baik puisi tentang politik, sosial, dan lainnya, dan juga kurangnya naqit yang peduli tentang karya seperti di atas. Setelah dilacak di beberapa referensi saya menemukan keterangan cukup asyik. Bahwa puisi ini dimulai dari pusat lingkaran dengan huruf 'ع' dan berbunyi عشقتكَ نورا من مقامك يسطع * وعيني غدت من فرط عشقك تد...

Mahiyah (Kuiditas)?

  Untuk memahami perbedaan antara dua pertanyaan itu dengan mudah, seseorang bisa memperhatikan secara seksama pernyataan Ibn Sina dalam al-Isyarat wa al-Tanbihat: “Barangkali Anda memahami makna segitiga, namun Anda ragu apakah segitiga itu disifati oleh eksistensi ataukah tidak.” Perkataannya ini juga menjadi pijakan para filsuf manakala mereka memisahkan dua konsep yang berbeda itu, kuiditas dan eksistensi. Setelah Plato dan sebelum Ibn Sina, al-Farabi juga memisahkan dua konsep itu. Katanya, dalam Fushus al-Hikam, “Sesuatu yang ada di hadapan kita memiliki kuiditas dan huwiyyah.[1] Akan tetapi, kuiditas sesuatu bukanlah eksistensinya; kuiditas juga bukan bagian dari eksistensi. Apabila kuiditas manusia adalah eksistensinya, maka persepsi atas [kuiditas] manusia mestilah diiringi dengan persepsi atas eksistensinya. Sebab itu pula, setiap persepsi atas kuiditas akan sama dengan pengetahuan Anda atas eksistensinya (wujuduhu). Dengan begitu, setiap persepsi sama dengan asersi.”[2] ...