Secuplik kuliah pengantar mengenal filsafat yang diampu oleh Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1701 - 1793 M) kepada Immanuel Kant (1724 - 1804)
Kant: “Ya Mufti, filsafat itu apaan sih?”
Wahhāb: “Dari asal-usulnya, kata filsafat diambil dari kata ‘philosophia’, dan kata itu terbentuk dari 2 kata, yaitu ‘philo’ (mencintai atau mencari) dan ‘sophia’ (kebijaksanaan). Jadi filsafat itu berarti mencintai atau juga mencari kebijaksanaan; sedangkan ‘filosof’ berarti pencinta atau pencari kebijaksanaan.”
Kant: “Ya Mufti, pengertian itu masih sangat umum. Bagaimana caranya menetapkan definisi filsafat? Apakah filsafat, misalnya, adalah ‘apa yang dilakukan para filosof, yang terungkap dalam karya-karya tertulis mereka, seperti Platon, Aristoteles, Descartes dan lain sebagainya? Bukankah itu pun tidak menjelaskan apa-apa bagi mereka yang belum pernah membaca karya-karya para filosof tersebut?”
Wahhāb: “Yah, mungkin kita bisa sedikit mengerti dengan membandingkan definisi ‘ilmu’ dengan ‘filsafat’. Ilmu adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren mengenai BIDANG TERTENTU dari kenyataan. Sedangkan filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang SELURUH kenyataan. Pengertian barusan tentu saja masih sangat kabur karena mengatakan terlalu banyak, dan karena itu juga terlalu sedikit. Mungkin perkaranya akan lebih jelas dengan memahami objek kajian filsafat.
Perhatikan contoh berikut: Cabang ilmu sejarah memiliki asumsi tentang manusia sebagai makhluk temporalitas yang di antara gejalanya adalah reuni dengan bernostalgia akan masa lalu, masa kini dan bahkan masa depan. Sedangkan cabang ilmu hukum, misalnya, memiliki asumsi manusia yang lain lagi, yaitu manusia sebagai makhluk aturan atau hukum; misalnya saat ada lampu merah di perempatan maka kendaraan yang mereka naiki akan berhenti, sedangkan lampu hijau tanda berjalan.
Hal ini bisa diperluas lagi dengan melihat ciri terbatas objek ilmu, misalnya, ilmu politik memiliki asumsi manusia sebagai makhluk politik, sosiologi memiliki asumsi manusia sebagai makhluk sosial, antropologi memiliki asumsi manusia sebagai makhluk kultural, geografi memiliki asumsi manusia sebagai makhluk ruang, psikologi memiliki asumsi manusia sebagai makhluk berjiwa, ekonomi memiliki asumsi manusia sebagai makhluk ekonomi, biologi memiliki asumsi manusia sebagai makhluk biologis, dan demikian seterusnya.
Contoh perbedaan lainnya antara ilmu dengan filsafat adalah: jika ilmu pengetahuan tertentu dalam contoh di atas, misalnya biologi’ berusaha bertanya: “siapa dan apakah hidup manusia berdasarkan FUNGSI DAN KINERJA ORGAN-ORGAN BIOLOGISnya?”, maka filsafat berusaha bertanya: “siapa dan apakah hidup manusia? Apakah kinerja organ-organ biologisnya menyingkapkan keseluruhan realitas tentang siapa dan apakah hidup manusia?”
Itulah mengapa, berbeda dengan ilmu-ilmu, filsafat tidak bermaksud memperluas pengetahuan kita melalui penemuan data-data atau informasi baru tentang manusia, masyarakat dan alam semesta, karena tugas ini dilakukan oleh ilmu pengetahuan!
Filsafat ‘hanya’ memperdalam dan menjernihkan pemahaman kita dengan merefleksikan apa yang kita telah akrabi, namun biasanya lolos dari radar refleksi persis karena kita merasa akrab.
Misalnya: apa itu hidup, kematian, lapar, keadilan, kekuasaan, cinta, kekerasan, Tuhan, jiwa, tubuh, publik, privat, bagaimana berpikir; apa itu hukum, uang, politik, teknologi, kesadaran, waktu, ruang, apa itu baik, buruk, kebaikan, kejahatan dan seterusnya.”
Kant: “Adakah contoh lainnya, ya Mufti?”
Wahhāb: “Oke, kita bandingkan antara filsafat dengan teologi. Teologi mendasarkan penalaran dan argumen pada apa yang diyakini sebagai wahyu Ilahi. Itulah mengapa setiap agama punya teologinya sendirinya. Misalnya, dalam teologi Kristen terdapat adagium fides quaerens intellectum, yaitu iman yang mencari pendasaran nalar.
Sementara filsafat itu mendasarkan argumen dan refleksi melulu pada nalar manusia. Itulah mengapa lingkup filsafat tidak mengenal batas-batas agama.”
Kant: “Jadi, dengan demikian, ciri objek kajian filsafat itu adalah?”
Wahhāb: “Lingkupnya umum dan luas: filsafat bukan kajian spesifik, misalnya seperti riset neurologi—yang digeluti oleh istrinya Alfathri—yang meneliti bagian otak yang berfungsi menggerakkan ‘memory’, karena, misalnya, filsafat juga membahas ‘kesadaran’ yang melintasi batas-batas ilmu seperti neurologi, psikologi, elektronik, sejarah, seni, dan teologi sekaligus.
Sedangkan menyangkut prinsip mendasar: filsafat bukan terutama mengkaji, misalnya, apakah saya harus merawat teman yang sakit, atau membayar 1 juta hutang saya kepada si X, karena filsafat justru mengkaji soal ‘kewajiban’ dan ‘janji’.
Filsafat juga menuntut tingkat abstraksi yang tinggi karena filsafat tidak mengkaji, misalnya, berapa hakim dan jaksa yang telah disuap oleh seorang koruptor, tetapi ‘apa itu korupsi’ dan bagaimana korupsi bukan hanya menyangkut soal finansial, tetapi pembusukan karakter moral?”
Kant: “Terus, mengapa manusia berfilsafat, ya Mufti?”
Wahhāb: “Manusia berfilsafat karena keheranan yang memancing keingintahuan, karena seperti ditegaskan oleh Platon tercinta: ‘dengan penuh heran dan takjub kita menyaksikan bintang, matahari dan langit; rasa heran itu mendorong keingintahuan dan menyelidiki; dari situlah berasal filsafat.’
Kesangsian yang membuahkan keingintahuan juga memancing orang berfilsafat, juga bila kita menyangsikan segala sesuatu, maka kita bisa pasti pada diri kita yang menyangsikan. Karena itulah Descartes menegaskan cogito ergo sum (aku berpikir maka aku ada) atau Agustinus yang menyatakan si fallor sum (saya keliru maka saya ada).
Nah, kesadaran akan keterbatasan itu pulalah yang memancing manusia berfilsafat; bahwa semakin kita menyadari betapa terbatasnya manusia (termasuk pengetahuan kita), maka semakin terpukau heran dan semakin ingin kita menyelidiki segala segi eksistensi dan kehidupan kita.
Paham? Bagaimana? Dengan penjelasan saya barusan, Anda tertarik untuk menjadi Wahhābi juga?”
*Om Alf's Notes
Komentar
Posting Komentar