Kekerasan Agama
Ada tiga argumen yang umumnya kerap dikemukakan kelompok sekuler di Barat tentang mengapa agama cenderung mendorong terjadinya kekerasan: absolutis, intoleran, dan tak rasional. Namun, argumen tersebut belakangan banyak dibantah, karena tiga hal tersebut tak hanya ada dalam agama, tapi juga ada dalam sekulerisme, nasionalisme, komunisme, dan ideologi-ideologi lainnya.
Christoper Hitchens dalam karyanya "God is not Great" mengutuk agama sebagai sumber segala kejahatan, tapi ketika dikonfrontasikan dengan kekerasan yang dilakukan rezim atheis dan sekuler seperti Stalin, Kim Jong il, ataupun Soeharto, dia tak bisa mengelak bahwa rezim sekuler adalah juga agama, karena totalitarianisme adalah esensi dari dorongan agama. Bahkan, belakangan sekuler pun dianggap sebagai bentuk maju dari agama, ada pula istilah "nasionalisme sekuler adalah sebuah agama".
Pandangan Hitchens tersebut memang pantas diperdebatkan, karena definisi agama menjadi kabur. Tak mau terjebak simplifikasi semacam itu, Richard Wentz dalam bukunya " Why People Do Bad Things in the Name of Religion" mencoba memperlonggar kategori dengan memasukan beragam isme, termasuk konsumerisme, humanisme sekuler, kepercayaan terhadap teknologi, fanatisme sepakbola, dan ideologi-ideologi lain yang dalam praktiknya sekuler. Wentz menyimpulkan, agama adalah apapun yang membuat orang menjadi terlampau serius, yang mendorong orang tersebut melakukan kekerasan untuk keyakinan yang dianutnya.
Simpelnya, sumber kekerasan bukan hanya agama yang kita kenal, seperti Islam, Kristen, dan lain sebagainya, tetapi konsumerisme, komunisme, kapitalisme, fanatisme sepakbola, bahkan humanisme, pun jika berlebihan meyakininya juga dpt mendorong kekerasan.
Namun, para ahli tersebut juga bersepakat, bahwa agama bukan aktor. Dia adalah sekumpulan nilai-nilai ideologis yang dipercayai begitu kuat. Nilai-nilai itu bergerak karena interpretasi penganutnya. Karena itu, untuk mencegah kekerasan agama, maka otoritas negara harus mendatangi dan berdialog dengan para penganutnya, yang umumnya terrepresentasikan oleh lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, kelompok aliran, atau perkumpulan agama tertentu.
Mengedepankan pendekatan kultural. Karena, aktor yang sesungguhnya orang beragama atau kelompok agama, bukan agama itu sendiri. Jika orang atau organisasi agama itu melanggar hukum, ditindak sesuai hukum yang berlaku. Jangan melarang agama, aliran, ataupun kelompok agama. Bukan hanya karena melarang ideologi adalah nyaris tidak mungkin, tetapi kita harus belajar dari fakta empiris bahwa konflik ataupun kekerasan agama jauh lebih banyak meledak di wilayah-wilayah di mana ada pelarangan-pelarangan.
Di masa lalu, Jerman pernah mengalami trauma dalam oleh karena dua ideologi, nazi dan komunisme. Namun, tak ada larangan atas dua ideologi tersebut di masa kini. Kerukunan umat beragama dan antar-ideologi di negara tersebut kini relatif jauh lebih baik dibanding negara-negara multikultur lain di Eropa, seperti Perancis dan Inggris. Peristiwa di Tolikara dan Singkil dapat menjadi pelajaran kepada kita, pelarangan menjalankan ritual agama ataupun ekspresi keagamaan hanya akan memperburuk konflik kekerasan agama.
Tahun 1960-an, Pemerintah AS melarang organisasi Klux Klux Klan, yang berideologi supremasi kulit putih dan kristen, seiring sejumlah aksi kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh organisasi tersebut, khususnya terhadap warga kulit hitam. Kenyataannya, KKK tak pernah mati. Bahkan, pada awal 2016 lalu kembali menegaskan aktif secara publik kembali, mengklaim ribuan anggota baru, dan berdiri di garis depan mendukung Trump.
Mengatasi gerakan berbasis fanatisme keagamaan harus berangkat dari sebuah syarat yang mutlak dipenuhi terlebih dahulu, yakni negara dan aparatusnya wajib benar dahulu. Mampu berdiri di atas semua golongan, mengedepankan kepentingan rakyat, memiliki perangkat hukum yang baik, dan aparat yang jujur dan adil. Jika tidak, bukan hanya konflik atau kekerasan agama yang akan terus berulang, kekerasan struktural, konflik lahan, dan konflik etnis pun bakal terus pecah.
Memperhadapkan agama dengan ideologi lain, misalnya nasionalisme, juga bukan cara yang tepat melumpuhkan kekerasan agama. Sebaliknya, justru hanya akan membumbungkan antagonisme. Dua kelompok akan berlaku dan bertindak sama, yaitu kebenaran versi masing-masing. Hasilnya adalah kebencian yang kian menyala.
Karena, sesungguhnya semua hal bisa menjadi ideologis dan bisa menjadi agama, ketika berada dalam ketidakadilan, permusuhan, kontestasi kekuasaan, dan keterasingan manusia. Menjadi sangat buruk jika ternyata negara justru bagian dari persoalan, mengadu-domba, atau memanfaatkannya. []
Komentar
Posting Komentar