Mahiyah (Kuiditas)?

 

Untuk memahami perbedaan antara dua pertanyaan itu dengan mudah, seseorang bisa memperhatikan secara seksama pernyataan Ibn Sina dalam al-Isyarat wa al-Tanbihat: “Barangkali Anda memahami makna segitiga, namun Anda ragu apakah segitiga itu disifati oleh eksistensi ataukah tidak.” Perkataannya ini juga menjadi pijakan para filsuf manakala mereka memisahkan dua konsep yang berbeda itu, kuiditas dan eksistensi.

Setelah Plato dan sebelum Ibn Sina, al-Farabi juga memisahkan dua konsep itu. Katanya, dalam Fushus al-Hikam, “Sesuatu yang ada di hadapan kita memiliki kuiditas dan huwiyyah.[1] Akan tetapi, kuiditas sesuatu bukanlah eksistensinya; kuiditas juga bukan bagian dari eksistensi. Apabila kuiditas manusia adalah eksistensinya, maka persepsi atas [kuiditas] manusia mestilah diiringi dengan persepsi atas eksistensinya. Sebab itu pula, setiap persepsi atas kuiditas akan sama dengan pengetahuan Anda atas eksistensinya (wujuduhu). Dengan begitu, setiap persepsi sama dengan asersi.”[2]

Apa pun yang berkaitan dengan “apakah sesuatu itu?” (maa huwa?) dan “apakah sesuatu itu ada?” (hal huwa?) menjelma menjadi suatu diskursus filsafat, khusunya dalam filsafat Islam. Istilah al-mahiyyah sendiri ingin menunjukkan “esensi” yang menjadi jawaban atas pertanyaan ‘apakah itu?’ Sedangkan, pembahasan “adakah sesuatu tersebut?” menjadi persoalan ontologis atau onto-teologis.[3]

Permasalahan kuiditas/mahiyyah dan eksistensi dalam tradisi ini menjadi sangat krusial. Tiga disiplin ilmu dalam Islam—falsafah, al-‘ilm al-kalam, dan tasawwuf—telah menjadi subjek yang selama sebelas abad mengkaji secara terus-menerus eksistensi dan kuiditas serta turut mengembangkannya.[4]

A. Kuiditas Bermakna Apa Saja?

Telah disinggung sedikit bahwa kuiditas pada satu sisi adalah bentuk pikiran (al-shurah al-dzihniyyah) yang mencerminkan realitas eksternal. Keterkaitan kuiditas dengan hal-hal lainnya yang akan ditulis di sini adalah kuiditas yang tergolong dalam “kuiditas makna khusus” (al-mahiyyah bi al-ma’na al-khas), yang memiliki tiga pengertian sebagai berikut:

1. Gambaran Mental atas Realitas Eksternal

Pengertian kuiditas jenis ini bisa berupa gambaran apa pun yang terdapat di pikiran mengenai sesuatu secara esensial. Keberadaan kuiditas ini tentu saja tidak disertai dengan sifat-sifatnya yang berlaku dalam ranah eksternal.[5] Kuiditas ini juga berkaitan dengan pengetahuan representatif (al-‘ilm al-husuli al-irtisamiy), yaitu kuiditas yang bersemayam dengan sejati di pikiran; ia tidak memiliki tempat di realitas in concreto. Kuiditas yang muncul di pikiran seseorang merupakan hasil persepsi atas realitas eksternal dan sifat realitas itu, yang modusnya sendiri juga terbatas.

Singkatnya, gambaran mental mengenai realitas eksternal adalah cerminan atas batasan-batasan eksistensi (had al-wujud). Implikasinya adalah jika tidak ada pikiran manusia, maka kuiditas dalam pengertian ini juga tidak ada, sebab ia adalah keberadaan yang selalu bergantung pada pikiran.

2. Batasan Eksistensi dan Kekhususannya

Kuiditas yang menjadi “batasan eksistensi” ini dapat dilihat dalam perkataan Mulla Sadra sendiri: “Eksistensi kontingen (mumkin) tidak berkaitan dengan apa pun kecuali dengan martabah (derajat) kekurangan dan martabah yang rendah (nuzul). Martabah rendah itu merupakan sumber kuiditas, dan diabstraksi pula darinya makna-makna kemungkinan.[6] Kemudian, arti dari “khusus” adalah apa yang menjadikan segala sesuatu berbeda-beda dengan sesuatu yang lainnya.[7]

Selain itu, kuiditas, menurut sebagian filsuf, adalah batasan ketiadaan bagi eksistensi (al-had al-‘adamiy lil wujud), yang darinya konsep mengenai kuiditas diperoleh oleh pikiran. Ini berarti batasan eksistensi eksternal adalah ketiadaan, dan dari batasan itu pula pikiran mengabstraksi (intiza’) konsep-konsep kuiditatif.[8]

3. Jawaban dari Pertanyaan “Apakah Itu?”

Pengertian kuiditas yang terakhir ini adalah pengertian yang seringkali digunakan oleh para filsuf ketika mereka tengah membicarakan dan menetapkan aspek fundamentalitas. Karena adanya aspek fundamentalitas itu, para filsuf meyakini bahwa ada pula yang disebut “aspek sekunder” atau aspek yang hanya menjadi sifat-sifat realitas dan, karenanya, hanya menjadi gambaran konseptual semata.

Satu hal lagi yang harus diingat adalah: apa yang mengada di  pikiran (al-mafahim al-hadhirah ‘inda al-dzihn) bukan hanya konsep kuiditas sesuatu, tapi juga konsep-konsep yang tergolong sebagai inteligibiltas sekunder (ma’qulat tsaniyat), yaitu konsep filsafat dan konsep logika. Sebab pembagian inilah, hubungan konsep kuiditas dan sejumlah konsep sekunder bersifat “umum wa khusus min wajhin”.

Sejauh ini, jika kita melihat tiga pengertian kuiditas itu maka sesungguhnya apa yang dimaksud oleh para filsuf memiliki makna yang hampir sama: yaitu jawaban yang mengandung hakikat atau esensi sesuatu, atau konsep yang mengada di pikiran subjek. Misalnya, gambaran mental atas benda bisa mengacu pada ‘batasan-batasannya’ yang membuat satu benda itu berbeda dengan benda lainnya berdasarkan tinjauan aspek-aspek kuiditatif.

Al-Hilli menjelaskan: bahwa “Kuiditas adalah kata (lafaz) yang diperoleh dari (pertanyaan) ‘apakah itu?’, dan kata itu adalah jawabannya”. Kemudian ia melanjutkan: “Jika Anda bertanya apakah (esensi) manusia, sebenarnya Anda sedang bertanya tentang hakikatnya dan kuiditasnya. Lalu jawabannya adalah hewan rasional; dan jawaban itulah kuiditas manusia, yang seringkali digunakan dalam perkara-perkara rasional (al-amr al-ma’qul)”.[9]

Dengan tinjauan di atas kuiditas tidak memiliki tempat di eksternal dan—berdasarkan teori fundamentalitas eksistensi—kuiditas bukanlah sumber efek eksternal (mansya’ al-atsar al-kharijiyyah). Dari sini pula realitas eksternal merupakan realitas hakiki (haqiqah) dan memiliki esensi (dzat) yang tak lain adalah sumber efek eksternal yang spesifik.

Kendati kuiditas tidak memiliki hakikat eksternal, ia tetap bisa dipandang sebagai sesuatu yang memiliki relasi dengan realitas in concreto—misalnya, sebagai batasan atas realitas (had li al-sya’i). Sehingga, jika ada eksistensi eksternal yang berupa, misalnya, “kuda” maka kuiditas kuda dapat kita persepsi, dan kuiditas itu pula yang menjadi prinsip signifikasi bahwa kuda bukan batu, bukan manusia, dan bukan lain sebagainya.

Bagi sesuatu yang tidak memiliki eksistensi maka ia tidak memiliki hakikat dan esensi (dzat) eksternal, tapi mungkin pula untuk tetap memiliki kuiditas. Hal ini biasanya dicontohkan dengan “‘anqa”[10]. ‘Anqa memiliki kuiditas, persepsi konseptual, tapi ia tidak memiliki hakikat eksistensi. Dengan begitu, kita dapat mengatakan kuiditas ‘anqa, kendatipun ‘anqa tidak disifati oleh hakikat maupun eksistensi. Dalam hal ini, relasi kuiditas dan hakikat serta dzat adalah umum wa khusus mutlaq, di mana kuiditas lebih luas dari hakikat dan dzat.[11]


B. Kuiditas Adalah Esensinya Sendiri (al-Mahiyyah Min Haitsu Hiya Laisat illa hiya)

Kuiditas, dengan tinjauan langsung pada esensinya, tidak tercampur dengan sifat-sifat tambahan, seperti eksistensi, ketiadaan, kesatuan (wahdah), pluralitas (katsrah), dan sifat-sifat lainnya. Dengan melihat kembali apa yang dikatakan oleh al-Hilli mengenai kuiditas, berarti kita sedang berbicara tentang hakikat[12] sebuah kuiditas.

Di awal tulisan ini pun tinjauan atas inti kuiditas telah sedikit disinggung, yakni mempersepsi kuiditas sesuatu hasilnya tidaklah sama dengan menegaskan eksistensinya. Begitu pula sebaliknya, kuiditas tidak mengandung konsep ketiadaan, sehingga predikasi eksistensi atas kuiditas tidaklah kontradiksi.[13]

Dalam konteks ini ternyata masih ada anggapan yang ingin memperlihatkan kontradiksi. Padahal telah terbuktikan bahwa: apa pun yang berasal dari luar kuiditas dan esensi-esensinya (dzatiyyat) dapat dinegasikan darinya.[14] Dengan kata lain: kuiditas bukan rumah bagi ada dan ketiadaan. Allamah Husain Thabathaba’i memberi penjelasan secara sederhana: kuiditas memiliki satu makna, sedangkan eksistensi memiliki satu makna lainnya; non-eksistensi pun memiliki maknanya sendiri; sehingga penegasian eksistensi dan non-eksistensi dari kuiditas bukanlah sesuatu yang tidak benar.[15]

Kemudian, ada sebuah keberatan di sini: Apabila eksistensi dan berbagai sifat lainnya dinegasikan dari kuiditas, maka implikasinya adalah irtifa’ al-naqhidain atau terangkatnya dua hal yang kontradiksi. Terhadap keberatan ini Thabathaba’i juga memberi jawaban yang singkat: “Kuiditas tak diperoleh dari kondisi realitas yang mengharuskan eksistensi ataupun ketiadaan,”[16] sehingga negasi semacam itu tidak menyebabkan kontradiksi.

Imam Fakh al-Razi mengatakan: “Pahamilah, bahwasanya hakikat segala sesuatu adalah dirinya qua dirinya, dan hakikat tersebut berbeda dari seluruh sifat-sifatnya yang terdapat dalam-dirinya (lazimah) maupun di luar-dirinya (mufariqah). Dengan begitu, ke-kuda-an dari segi esensinya sendiri adalah ke-kuda-an yang bukanlah apa pun kecuali ke-kuda-an itu sendiri. Oleh sebab itu pula, kuiditas kuda bukanlah ketunggalan, bukan pula pluralitas, bukanlah eksistensi, dan juga bukanlah non-eksistensi. Sebab, semua sifat itu tak terkandung dalam konsep kuiditas kuda tersebut. Sejauh ke-kuda-an tersebut dikonsiderasi pada esensinya sendiri, [maka hasilnya] tidak lain ke-kuda-an [qua dirinya sendiri].”[17]

Setelah penjelasan singkat di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa kuiditas berdasarkan esensinya sendiri bukanlah apa pun: kuiditas bukan eksistensi, bukan ketiadaan; dan dalam esensinya tidak mengandung sifat-sifat tambahan, seperti, ketunggalan, pluralitas, partikular, dan universal, kecuali esensi-esensi pembentuknya sendiri atau dzatiyyat.


C. Konsiderasi Kuiditas (I’tibarat al-Mahiyyah)

Satu pembahasan penting lainnya di bagian kuiditas adalah i’tibarat atau konsiderasi atau tinjauan pikiran atas kuiditas. Konsiderasi kuiditas sendiri memiliki tiga macam: yaitu, 1. Kuiditas bersyarat sesuatu (al-mahiyyah bisyarti al-sya’i); 2. Kuiditas bersyarat negatif (al-mahiyyah bisyarti la); 3. Kuiditas tanpa syarat sesuatu (al-mahiyyah al-la bisyarti al-sya’i).

Penjelasan masing-masing konsiderasi tersebut seperti berikut:

1. Kuiditas bersyarat sesuatu (al-mahiyyah bisyarthi sya’i) adalah kuiditas yang “tercampur” (makhluthah) dengan sifat-sifat dari luar esensinya. Misalnya, kuiditas manusia, yang tersusun dari hewan dan berpikir, dikonsiderasi sebagai eksisten (maujud) yang benar-benar riil di eksternal. Ini artinya, kuiditas bersyarat sesuatu telah tercampur dengan eksistensi eksternal (al-wujud al-khariji).

Meski begitu, kuiditas jenis ini juga bisa dikonsiderasi bersama dengan non-eksistensi, atau mendapatkan “predikat non-eksistensi”—jika pikiran tidak menemuinya sebagai kuiditas yang bercampur dengan eksistensi. Contoh mudahnya seperti “kuiditas ‘anqa non-eksisten” atau “hantu itu tidak ada”.

2. Kuiditas bersyarat negatif (al-mahiyyah bi syarthi laa) mirip seperti yang pertama.[18] Kemiripan yang dimaksud oleh penulis adalah: ia masih merupakan kuiditas yang “bersyarat” meski ditambah kata negatif (al-la); dan itu untuk menunjukan suatu kondisi tanpa sifat-sifat dari luar esensinya. Sederhananya, kuiditas manusia, misalnya, dikonsiderasi dengan syarat tanpa diiringi oleh sifat-sifat seperti eksistensi, ketiadaan, ketunggalan, dan lain sebagainya.

Mengenai konsiderasi ini, Kamal Haidari menjelaskan: “Kuiditas bersyarat negatif merupakan konsiderasi atas kuiditas yang disyaratkan dan terikat dengan “ketiadaan apa pun yang di luar esensinya.” Pikiran membatasi kuiditas tersebut sebagaimana dirinya (bima hiya hiya). Konsiderasi ini diistilahkan dengan kuiditas abstrak (al-mahiyyah al-mujarradah), sebab ia bebas dari apa pun yang di luar dari esensi.[19]

3. Jika kuiditas jenis pertama dan kedua masih memiliki syarat, maka kuiditas jenis ketiga tidak memiliki syarat apa pun; ia sungguh berbeda dari kuiditas yang bersyarat sesuatu dan dari kuiditas yang bersyarat bebas/abstrak (mujarrad). Kuiditas tak bersyarat (al-mahiyyah la bisyarth) ini bisa dilihat sebagai kuiditas absolut yang mungkin saja ada sesuatu yang bersamanya, atau mungkin pula tidak ada sesuatu yang bersamanya.

Kuiditas tak bersyarat ini diandaikan seperti sesuatu yang belum kita syaratkan eksistensinya dengan campuran sifat-sifat tambahan dari luar esensinya ataupun disyaratkan tanpa sifat-sifat tersebut. Selain itu, konsiderasi kuiditas tak bersyarat juga memungkinkan untuk berkorespondensi dengan kuiditas bersyarat negatif dan kuiditas bersyarat sesuatu.

Kendati konsiderasi terakhir ini menghasilkan kuiditas tak bersyarat, tapi ia tak bisa menjadi “partikel ketiga”, jika kita asumsikan ia sebagai realitas eksternal. Misalnya, kuiditas manusia yang bereksisten tersebut dipasangkan dengan sifat keberpengetahuan, lalu kita juga bisa asumsikan eksisten kuiditas tersebut tidak berpengetahuan. Pada saat yang sama, kita bisa melepaskan semua gambaran tersebut menjadi: kuiditas manusia yang bereksisten tidak tidak berpengetahuan sekaligus berpengetahuan.

Berdasarkan eksistensi kuiditas yang terwujud di realitas maka tidak mungkin ada “partikel ketiga” dari kuiditas tersebut, yaitu “tidak tidak berpengetahuan sekaligus berpengetahuan.” Apabila kita tetap mengasumsikan eksistensi bagi “partikel ketiga” itu, maka implikasinya adalah “terangkatnya dua hal yang kontradiksi” (‘irtifa’ al-naqidhain)[20], sementara realitas in concreto tak menerima kondisi demikian.[21]

Kasus “partikel ketiga” ini memberi sebuah indikasi bahwa kuiditas eksternal (al-mahiyyah al-kharijiyyah) selalu bersyarat dengan sesuatu. Sedangkan kuiditas mental (al-mahiyyah al-dzihniyyah) mensyaratkan terlepasnya sifat berpengetahuan dari manusia, dan syarat inilah yang menyebabkan ia disebut dengan bersyarat negatif atau syaratnya adalah “tanpa sifat apa pun”.[22] Sedangkan kuiditas tak bersyarat sesuatu melampui keduanya; ia pada dirinya sendiri bebas dari kedua kuiditas yang disebut sebelumnya.


D. Dua Jenis Predikasi (haml)

Telah kita lihat bahwa kuiditas pada esensinya sendiri tidak mengandung apa pun seperti ketunggalan, plural, universal, maupun partikular. Meski demikian, ada satu cara yang membuat berbagai sifat itu dapat bersanding dengan kuiditas.

Sementara itu, sesuatu yang diperoleh (ma’khudz) dari esensi kuiditas adalah jenus (jins) dan diferensia (fashl). Dua konsep ini juga disebut sebagai esensi penyusun (dzatiyyat), yang pada gilirannya menghasilkan kuiditas komprehensif (al-mahiyyah al-tammah) atau “spesies” (naw’).

Konsep jenus dan diferensia sendiri dapat dipahami, misalnya, ketika seseorang tengah menguraikan dan mendefinisikan suatu kuiditas. Misalnya, kuiditas manusia akan terdefinisikan menjadi hewan, sebagai jenusnya, dan rasional, sebagai diferensianya. Diferensia pada satu spesies berfungsi sebagai penegasan diferensi satu spesies dengan spesies lainnya, tapi diferensi berbagai spesies itu tetap dinaungi oleh jenus yang sama. Lalu, sifat-sifat lainnya yang berasosiasi pada spesies itu bukanlah sifat internal dari kuiditas komprehensif atau spesies.

Berdasarkan hal itu, hewan yang dijadikan predikat pada manusia adalah predikasi esensi pada esensi (haml al-dzat ‘ala al-dzat); begitu pula predikasi rasional pada manusia. Para filsuf, khususnya Sadrian, menyebut jenis predikasi ini sebagai predikasi primer esensial (haml awwali dzati), yang berarti sebuah predikat diambil dari bagian internal esensi kuiditas itu sendiri.

Terdapat kritik terhadap predikasi semacam itu: yaitu, adanya kesia-siaan mempredikatkan satu hal pada-dirinya-sendiri, dan tentu saja ini semacam tautologi. Namun, kritik itu dapat dibantah secara sederhana, misalnya, predikasi esensi pada esensi berguna dalam upaya mendefinisikan sesuatu (ta’rif), yang secara khusus menjadi batasan komprehensif (al-hadd al-tamm).

Predikasi lainnya bisa dilihat dari perbedaan kuiditas dengan apa pun yang datang dari luar dirinya, seperti ketidaan dan eksistensi sehingga dapat dikatakan kuiditas manusia eksis atau kuiditas manusia sebelum alam diciptakaan tiada.

Para filsuf memberikan nama predikasi jenis terakhir ini sebagai predikasi teknis umum (haml syayi shina’i). Hal yang penting dari predikasi ini adalah mencirikan perbedaan secara konseptual, tapi memiliki kesatuan dalam ekstensi (mishdaq). Dengan predikasi teknis umum, kuiditas dapat dipredikasikan dengan sifat-sifat dari luar dirinya.


E. Istilah Lain Syarat Negatif (bisyarthi la)

Di bagian ini penulis mengacu pada perkataan populer para filsuf, yaitu, “al-jins bi syarthi la huwa al-maddah bi ‘ainiha, wa al-shurah bisyarthi la huwa al-fashl”.[23]

Apa yang ingin diungkap oleh para filsuf adalah konsiderasi pada sebuah ‘substratum’ yang, pada satu sisi, dapat digabungkan dengan sifat-sifat eksternal dari esensinya. Dan, pada sisi yang lain, memiliki komprehensivitas sehingga tak lagi memungkinkan dirinya untuk berasosiasi dengan sesuatu yang lain. Tatkala suatu substratum diandaikan berasosiasi dengan yang lain, maka muncul sesuatu yang baru yang tidak menerima predikasi dari subtratum atau bahkan menjadi predikasi bagi substratum.

Pada sisi lainnya, terdapat pengandaian mengenai satu tubuh (jism) yang eksistensinya tersusun dari materi dan forma, dan pikiran dapat meninjaunya sebagai satu esensi spesies yang tersusun sebagaimana satu tubuh tadi. Bedanya adalah, jika tubuh di realitas in concreto tersusun dari materi dan forma, maka esensi spesies di pikiran tersusun dari jenus dan differensia.

Di samping itu, penjelasan mudah tentang makna lain dari bersyarat negatif adalah pembedaan jenus-differensia dan materi-forma, di mana yang pertama bisa dipredikatkan pada yang lainnya, sedangkan yang terakhir disebut, karena ia bersyarat negatif, tidak bisa dijadikan predikat untuk selainnya.[24] Lantaran hal inilah para filsuf meyakini bahwa kuiditas jenus yang bersyarat negatif adalah materi, sedangkan materi tak bersyarat adalah jenus.

Kemudian, ada tiga cara pandang untuk memahami bagaimana keterkaitan jenus dengan materi, dan forma dengan diferensia:

Pertama, kita tilik terlebih dahulu materi yang disamakan dengan jenus yang bersyarat negatif: misalnya, hewan qua hewan yang mencakup manusia, kambing, kuda, dan lainnya; dan terdapat pula differensia (fashl) yang merupakan suatu tambahan dari luar “esensi hewan”, sehingga kuiditas hewan terentifikasi menjadi kuiditas komprehensif (al-mahiyyah al-tammah) atau spesies (naw’). Sebelum ada tambahan diferensia, kuiditas hewan qua hewan, tepatnya, berada dalam kemurniaan dan bebas dari asosiasi dengan diferensia itu.

Kuiditas komprehensif juga dapat dipandang sebagai kuiditas yang pada dirinya sendiri bukanlah apa pun melainkan esensi dirinya sendiri yang berbeda dari esensi-esensi differensia sebagaimana al-mahiyyah min haitsu hiya laisat illa hiya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa jenus merupakan materi bersyarat negatif, sedangkan differensianya merupakan forma (shurah) bersyarat negatif.

Di sini kita bisa lihat, misalnya, hewan yang dikonsiderasi tanpa syarat pun bersamanya, dan juga adanya keberpikiran (al-nathiqiyyah) yang berasosiasi dengannya, sehingga jadilah sebuah unit komposit (al-majmu’ al-murakkab). Hasilnya, kita tidak bisa mempredikatkan jenus hewan padanya (kuiditas hewan), sebagaimana mepredikatkan materi (pada jism). Tepatnya, kuiditas jenus bersyarat negatif adalah sesuatu yang tidak memiliki “bagian lainnya” dan “keseluruhan” yang dapat dipredikatkan padanya; dan tidak pula ia dipredikatan pada “bagian lainnya” dan pada “keseluruhan” itu.

Kedua, jika kita lihat relasi materi dan forma maka relasinya adalah lokus (mahal) dan berlokus (hal). Artinya, materi adalah lokus bagi forma yang pada gilirannya akan ada kemunculan sesuatu yang baru, yakni tubuh (jism). Kendati demikian, relasi ini bukanlah relasi yang menghasilkan subjek-predikat dalam satu proposisi positif, misalnya, materi menjadi subjek; sedangkan forma menjadi predikat.

Secara sederhana, bersyarat negatif bagi kuiditas adalah sesuatu yang menjadi lokus dan subjek (maudhu’) bagi yang berlokus dan tidak bisa dipredikatkan oleh yang lain sekaligus tidak menjadi predikat atas yang lain. Materi mental di sini adalah jenus bersyarat negatif. Sedangkan materi mental yang tak bersyarat dibahas pada bagian ketiga.

Di bagian ini, materi tidak lain hanyalah lokus bagi forma, dan forma tidak dapat dipredikatkan pada materi. Dan pada tahap ini materi atau kuiditas bersyarat negatif hanyalah lokus dan subjek bagi apa pun yang berasosiasi dengannya, dan ia menjadi sesuatu yang tersusun sekaligus tak bisa dipredikatkan oleh yang lainnya.

Penjelasan lainnya bisa ditinjau atas badan yang tersusun dari materi dan forma, di mana keduanya merupakan dua hal yang berada di luar [badan tersebut]. Masing-masing dari keduanya memiliki aspeknya sendiri dalam eksistensi: jika materi merupakan aspek penerima, maka forma merupakan aspek pengaktual, dan, dengan demikian, tidak mungkin forma dipredikatkan pada materi atau sebaliknya.[25]

Ketiga, jika kita mengkonsepsi kuiditas per se, misalnya kuiditas hewan, yang diperbandingkan dengan berbagai macam spesies, maka kita akan mendapati [kuiditas] hewan yang “mencakup” manusia, kambing, kerbau, dan lainnya. Namun, kuiditas hewan qua hewan itu berupa kuiditas non-komprehensif (al-mahiyyah al-naqishah), yang sesungguhnya belum menjadi apa pun sampai sebuah differensia berasosiasi dengannya dan membuatnya menjadi sesuatu yang baru, yaitu spesies komprehensif (al-naw’ al-tamm).

Kuiditas hewan itu dinamakan sebagai kuiditas/materi tak bersyarat yang namanya jenus. Kuiditas hewan di sini layaknya kuiditas yang belum menentu: esensinya memiliki berbagai kemungkinan untuk menerima berbagai determinasi dan asosiasi untuk menjadi lebih spesifik dan menentu. Sedangkan, esensi dari differensia di sini adalah yang menghasilkan spesies dan juga sebagai “pembagi” jenus.[26]

Satu hal yang dapat kita lihat dari bagian ketiga ini berupa kemungkinan asosiasi satu kuiditas dengan berbagai kuiditas spesifik yang mengasilkan predikasi satu kuiditas jenus pada berbagai macam spesies, sejauh spesiesnya mengandung jenus tersebut. Pada saat yang sama, kita juga menjadikan jenus tak bersyarat ini sebagai subjek yang dipredikatkan oleh, misalnya, rasional.

Bagian ketiga ini pula yang menjadikan materi tak bersyarat dan forma tak bersyarat adalah jenus dan differensia, di mana satu hal bisa dipredikatkan pada hal lainnya, seperti manusia adalah hewan atau hewan rasional adalah manusia.


Referensi:

[1] Mengenai huwiyyah, Toshihiko Izutsu mengartikannya sebagai “eksistensi.” Lihat The Concept and Reality of Existence.

[2] Abu Nashr al-Farabi, Fushus al-Hikam (Intisarat al-Bidari, Qum), hal 47.

[3] Sebagai tambahan: Penulis pernah mendapati beberapa pihak yang terkecoh mengenai kuiditas mantiqi dan kuiditas falsafi dan membedakan keduanya. Padahal, dua kuiditas itu sama saja: yakni suatu upaya pembedahan substansi sesuatu (jauhar al-sya’i). Lihat Mehdi Ha’iri Yazdi, Hiram al-Wujud, (Dar al-Raudhah lil-Thaba’ah wa al-Nasyr al-tawzi’; Beirut, 1990 M), hal 210.

[4] William Chittick (ed), The Essential of Seyyed Hossein Nasr (World Wisdom, Bloomington; 2007), hal 119.

[5] Hasan Zadeh Amuli dalam Syarh wa Ta’liq ‘ala Kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-‘Itiqad (Muassasah al-Nasyr al-Islami al-Tabi’ah Lijama’ah; Qum, 1433 HQ) hal 125.

[6] Al-Rabbani, Idhah al-Hikmah fi Syarh Bidayah al-Hikmah Jilid II, hal 11.

[7] Dalam Tulisan yang lain saya telah menjelaskan tentang perbedaan yang mengacu pada dua hal yang berbeda. Misalnya, perbedaan eksistensi mengacu pada perbedaan modus dan gradasinya, sedangkan perbedaan kuiditatif mengacu pada batasan-batasan eksistensi meski batasan itu adalah ‘efek’ dari modus eksistensi (anha al-wujud).

[8] Lihat Fayyadhi dalam Musa’ilat al-Wujud ‘ala Dho’u al-Waqi’iyyah al-Shadra’iyyah (Beirut; Dar al-Ma’arif al-Hikmiyyah, 2015 M) hal 163.

[9] Al-Allamah al-Hilli, Kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-‘Itiqad (Muassasah al-Nasyr al-Islami; Qum, 1433 HQ), hal 125.

[10] ‘Anqa merupakan burung imajinal yang tidak memiliki realitas keberadaan di luar pikiran.

[11] Lihat Muhammad Taqi al-Amuli, Durar al-Fawa’id (Mu’asssasah Dar al-Tafsir, Qum; 1374 HS), hal 293.

[12] Hakikat di sini tidak bisa diartikan sebagai sesuatu yang terealisasi di eksternal melainkan dzatiyat atau bagian-bagian esensial dalam kuiditas.

[13] Kontradiksi dalam konteks ini adalah “ijtima’ al-naqidhain.”

[14] Lihat Kamal Haidari, Syarh Nihayah al-Hikmah (Muassasah al-Imam al-Jawad Lilfikr wa al-Tsaqafah; Baghdad, 2015 M),  hal 312.

[15] Muhammad Husain Thabathaba’i, Bidayah al-Hikmah.

[16] Muhammad Husain Thabathaba’i, Bidayah al-Hikmah.

[17] Dikutip dari Ghulam Husain Dinani, al-Qawaid al-Falsafiyyah al-‘Ammah, (Dar al-Hadi; Beirut, 2007 M), hal 345.

[18] Bagi para filsuf, kuiditas bersyarat negatif merupakan kuiditas yang pada dirinya bukanlah apa pun melainkan dirinya sendiri (al-mahiyyah min haitsu hiya hiya la maujudah wa la ma’dumah wa la ‘awaridh kharijah ‘an dzatiha wa dzatiyatiha).

[19] Kamal Haidari, Syarh Nihayah al-Hikmah, hal 338 & Mehdi Ha’iri Yazdi, Hiram al-Wujud, hal 217-218.

[20] Lihat catatan kaki no 16.

[21] Untuk melihat kasus ini, lihat Kamal Haidari, Syarh Nihayah al-Hikmah, hal 339.

[22] Al-Hilli menjelaskan: Seandainya kuiditas hewan dikonsepsi dengan terlepasnya ia dari apa pun sebagaimana terdapat sesuatu yang menjadi kesatuan unit dengannya, maka sesuatu itu merupakan ‘tambahan’ bagi kuiditas. Lalu kuiditas tersebut tidaklah berkoresponden dengan apa pun. Inilah yang dinamakan dengan kuiditas bersyarat negatif yang tidak eksis kecuali dalam pikiran belaka. Kuiditas itu tak bisa eksis sebagai realitas eksternal, sebab seluruh eksistensi di realitas eksternal adalah individual (musyakhis). Lihat al-‘Allamah al-Hilli, Kasyf al-Murad fi Syarh Tajrid al-I’tiqad, hal 126.

Barangkali ada satu hal yang memberatkan dalam kalimat al-Hilli mengenai kuiditas bersyarat negatif yang eksis hanya di pikiran. Keberatan itu bisa jadi dimulai dari anggapan ‘eksistensi mental’ yang secara mendasar juga eksistensi, dan eksistensi yang dimaksud dapat membatalkan kuiditas bersyarat negatif tersebut sebagai konsiderasi yang bebas dari eksistensi. Namun, penulis meyakini kalau al-Hilli beranggapan bahwa kuiditas bersyarat negatif yang eksis di pikiran hanya dimaksudkan sebagai satu-satunya tempat di mana kuiditas abstrak ini dapat dikonsiderasi.

[23] Artinya: Jenus bersyarat negatif merupakan materi secara esensial, dan differensia bersyarat negatif merupakan forma.


[24] Lihat Misbah Yazdi, al-Manhaj al-Jadid fi al-Ta’lim al-Falsafiyyah, al-Juz al-Tsani, (Beirut, 1990 M), hal 308.


[25] Lihat Muhammad Thahir Khaqani, al-Mutsul al-Nurriyyah fi al-Fan al-Hikmah, (Anwar al-Huda; 1415 H.Q), hal 156.


[26] Bunyi teks asli; “Kullu fashl fa innahu bi’l qiyas il al-naw’ huwa fashluhu muqawwim, wa bi’l qiyas ila jins dzalika al-naw muqassim.” Abu Ali Sina ma’a Syarh Nasiruddi al-Thusi wa Quthb al-Din al-Syirazi, Juz I, Kitab al-Mantiq (Matbu’ah Dini; Qum, 1386), Hal 179.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي