Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2016

Desain, Teknologi, Gaya Hidup: Perangkat Elektronik Sebagai Simbol Status Sosial

“Saya mungkin satu-satunya tukang sabit rumput yang membawa telepon genggam (handphone),” ujar Kang Ibing dalam sebuah wawancara. 1 Pernyataan tersebut terlontar sehubungan dengan pertanyaan wartawan mengenai hobinya yang unik, yaitu menyabit rumput untuk memberi makan domba-domba yang dipeliharanya. Domba—yang juga m enyabit rumput—merupakan nostalgia akan daerah kelahiran—yang tentu saja bukan kota—dan memberinya kenikmatan lain, yaitu dapat berbincang-bincang dengan tukang rumput sungguhan lainnya. Namun demikian, dengan sepintas saja orang akan segera melihat perbedaan kelas sosial yang menyolok antara diri Kang Ibing dengan para penyabit rumput sungguhan. Yaitu telepon genggam yang senantiasa terselip di pinggangnya. 2 Ilustrasi di atas memperlihatkan fenomena menarik dari seorang entertainer yang sekaligus hidup dalam dua dunia yang sangat berbeda (bahkan seringkali bertentangan), yaitu dunia tradisional dan modern. Pada masa awal kemunculannya, telepon genggam masih dipandang...

Hasrat di Balik Sains: Melacak Hasrat dalam Diskursus Sains dengan Psikoanalisis

Setiap orang tabiatnya berhasrat untuk mengetahui. —Aristoteles, Metaphysica. Apa motif sebenarnya di balik ikhtiar kita berpengetahuan? Dari motif praktis-instrumental hingga motif religius-eksistensial, kita dapat menyusun berbagai rationale untuk menjustifikasi aktivitas ilmiah kita. Namun di balik segala motif itu—jika kita paksa semua rationale itu jujur mengaku—kita dapati “sekadar” hasrat (desire). Sebab hanya hasrat, tidak ada satu rationale pun selain hasrat, yang punya kekuatan cukup besar untuk menggugah ikhtiar sebegitu passionate seperti sains: menghabiskan bertahun-tahun masa studi yang berat, berkutat mengkaji persoalan yang rumit, tenggelam menyusun eksperimen dan observasi yang melelahkan, bahkan mendedikasikan segenap tubuh dan pikiran kita. Dalam hal ini, meski berbeda dalam banyak aspek penting, pada dasarnya sains tidak berbeda dari seni (malah juga dari berbagai aktivitas sehari-hari lainnya). Bedanya, dalam seni, hasrat diekspresikan secara langsung—sementa...

Tulisan, Persona, Identitas

Bayangkan, Anda membaca sebuah karya sastra yang indah lagi menyentuh tentang segala hal yang baik lagi puitis ihwal perempuan. Namun, penulisnya ternyata penindas perempuan. Kemudian, Anda pun sering membaca tulisan yang memikat berisi ketakziman dan keyakinan terhadap nilai-nilai kemanusiaan secara filosofis. Namun, dalam kesehariannya sang penulis ternyata sangat tidak peduli terhadap manusia. Selain itu, Anda pun gemar membaca buku agama karya seorang teolog. Namun, dalam realitasnya, ternyata sang teolog sama sekali tidak mengamalkan apa-apa yang dituangkan dalam bukunya. Menghadapi fakta-fakta tersebut, kira-kira bagaimana reaksi Anda? Masih berhargakah karya mereka? Tulisan dan Persona Apakah tulisan niscaya mereprentasikan kepribadian, jalan dan pandangan hidup sang penulis? Sebelum Derrida tampil dengan pemikirannya tentang tulisan dan tawaran dekonstruksi, para pemikir sebelumnya—mulai dari Plato hingga Saussure—telah mencurigai tulisan sebagai medium yang berpotensi mence...

GAM ZEH YA'AVOR ... Ini Juga Akan Berlalu

Suatu pagi, Sulaiman kecil melihat pandai emas yang bekerja untuk Istana Raja Daud as berjalan keluar dari istana dengan wajah yang terlihat sangat putus asa dan sedih. Dengan penasaran Sulaiman bertanya kepada pandai emas tersebut: “Paman, apa gerangan yang telah membuat Paman merasa begitu sedih dan putus asa?” Pandai emas itu menjawab: “Aku harus memberikan solusi bagi Raja dalam waktu tujuh hari. Jika tidak, maka aku akan dipecat dari pekerjaanku. Aku benar-benar bingung karena tidak ada solusi untuk apa yang telah diminta oleh Raja. “Solusi apakah gerangan yang sedang dicari Raja?” tanya Sulaiman penasaran.Sang pandai emas menceritakan kepada Sulaiman apa permintaan sang Raja: “Saya harus membuat cincin emas untuk sang raja dengan sebuah tulisan di atasnya yang harus membantu sang Raja untuk tidak menjadi terlalu bahagia sehingga melupakan kebenaran Ilahi pada saat-saat bahagia tersebut. Pada saat yang sama, tulisan itu harus membantunya untuk tidak terlalu berduka ketika ia mengh...

Apakah Cinta itu? Dahaga yang Sempurna

“Sebagaimana sama-sama kita maklumi, sejak semula, Islam menetapkan sebuah tatanan sosial, yang bertolak belakang, misalnya, dengan Kristen. Ajaran-ajaran sosial Islam begitu mendasar bagi agama sehingga sampai dewasa ini, banyak orang—termasuk kaum Muslim—benar-benar tidak menyadari dimensi-dimensi spiritual Is lam. Tatanan sosial menuntut undang-undang dan aturan-aturan, rasa takut pada sang raja, hormat kepada polisi, dan mengakui otoritas atau wewenang. Tatanan itu harus dibangun atas dasar keagungan dan kekerasan Allah. Tatanan ini terutama memperhatikan wilayah eksternal, wilayah raga dan berbagai hasrat hawa nafsu, wilayah di mana Allah jauh dari dunia.”1 Paparan dari Sachiko Murata tersebut secara jitu menjelaskan bagaimana kini wajah Islam seringkali hanya tampil dalam representasi yang timpang dan termutilasi, Islam yang kehilangan dimensi spiritual sebagai salah satu pilar utamanya, Islam yang hanya menunjukkan wajah Jalal yang maskulin dan keras serta melupakan waj...