Membaca Ulang Kawasan dari Perspektif Geopolitik
Memahami “kawasan” dari sudut pandang geopolitik, niscaya akan ditemui beberapa tafsir dan defenisi. Ada semacam ketidakkonsistenan arti dan maksud, akibat kepentingan yang meremot perilaku geopolitik di muka bumi. Sebagai bahan pembanding misalnya, membaca istilah benua, negara, atau samudera, dll --- mungkin sama gambarannya serta jelas definisi, posisi, luas, potensi sumberdaya, dan lain-lain, sementara menyebut ‘kawasan’ masih relatif abstrak --- dengan perkataan lain, pemaknaan terminologi ini akan tergantung negara mana mengartikan, siapa berpendapat, atau kemungkinan juga tergantung ideologi dan terutama kebijakan (politik) luar negeri daripada negara dimaksud. Nah, catatan dibawah ini mencoba mengurai arti, maksud dan makna kawasan dari beberapa sudut pandang, entah itu teori-teori, paradigma, kondisi statis, ataupun via perspektif hegemoni sebuah negara. Inilah uraiannya secara sederhana.
Kawasan Menurut Mackinder
Sir Halford Mackider (1861-1946), pakar geopolitik Inggris abad ke-19 mengklasifikasikan dunia atau membaginya dalam “Empat Kawasan”, antara lain:
Kawasaan pertama dinamai Heartland atau World Island, atau populer disebut “Jantung Dunia.” Ia meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah. Dalam pandangan Mackinder, inilah kawasan paling berlimpah sumberdaya alam (SDA) tertutama minyak dan gas bumi sehingga ia menyebut sebagai ‘jantung’-nya dunia;
Kawasan kedua disebut Marginal Lands, terdiri atas Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina;
Kawasan ketiga adalah Desert (Padang Pasir) dalam hal ini ialah Afrika Utara; dan
Kawasan keempat diistilahkan Island atau Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Inti tesis Mackinder mengurai empat kawasan dimaksud, bahwa siapa menguasai Heartland atau “Jantung Dunia” dimana kandungan SDA-nya berlimpah ruah, maka akan mengontrol dunia dan niscaya menuju “Global Imperium”. Ini salah satu cuplikan ajaran Mackinder di buku The Geographical Pivot of History yang masih dijadikan rujukan dunia:
“Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the World Islands, command the World”
Penjelasan singkat teori dimaksud, bahwa Heartland itu meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah yang kaya akan minyak, gas dan mineral lainnya, sedangkan maksud World Island ialah Eurasia yang terdiri atas Asia --- dimana ada Heartland di dalamnya--- lalu Afrika, dan Eropa.
Substansi ajaran Mackinder lebih menyorot pada ‘kawasan inti’ baik Heartland maupun World Island yang direkomendasi memiliki potensi berlimpah baik SDA-nya, faktor geo-(strategi)-grafi juga merupakan pasar nan besar. Perspektif ajaran ini berbasis pada minyak selaku power atau komoditas unggulan dibanding aspek lainnya semacam budaya misalnya, atau aspek ideologi, emas, dan lain-lain, kendati dalam praktik hal-hal tersebut juga ---selama ini--- menjadi sasaran kolonialisme di muka bumi.
Sekali lagi, minyak, minyak dan minyak. Itulah the power of oil, doktrin kekuasaan yang dibenamkan pada benak siapapun Presiden di Amerika (AS). Dan agaknya paradigma tadi selaras dengan ajaran Guilford yang terkenal di kalangan global review serta kaum penggiat geopolitik, “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”. Dan tidak boleh dipungkiri memang, itulah (mungkin) Kepentingan Nasional negara apapun, kapanpun dan dimanapun. Kecuali Indonesia?
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun Kawasan Padang Pasir (Desert) atau Afrika Utara dan Marginal Lands --- sebagian Asia Tenggara dan/atau Indonesia?--- dahulu belum dinilai semacam Heartland oleh Mackinder, tetapi sekarang terbukti bahwa kawasan Marginal Lands dan Desert memiliki potensi SDA berlimpah bukan hanya minyak semata, namun juga emas, gas bumi, nikel, dan mineral-mineral lain, termasuk pasar nan potensial.
Barangkali, inilah salah satu kekurangan teori Mackinder dalam perspektif kekinian. Dengan kata lain, bila kebijakan (luar negeri) para elit dan pengambil keputusan di AS tetap merujuk pada asumsi Mackinder ---minyak--- maka titik fokusnya tidak hanya menyorot pada Asia Tengah dan Timur Tengah semata, namun jelas akan melirik pula Afrika Utara dan sebagian Asia Tenggara (Indonesia), kenapa? Sebab ruh kebijakan (luar negeri) Paman Sam adalah the power oil. Inilah yang sekarang kental berproses. Secara kawasan, teori Mackinder hanya mengambil filosofi (the power of oil)-nya saja, sedangkan mapping kawasan kemungkinan telah berubah meski tidak signifikan.
Tatkala bicara kawasan kemudian dikaitkan geopolitical shift (pergeseran geopolitik) abad ke 21 yang bergerak dari Atlantik ke Asia Pasifik, maka dimana sesungguhnya kawasan yang akan dijadikan target atau titik tujuan para adidaya? Hal ini sudah saya uraiakan dalam tulisan ‘Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera’ hingga ke epicentrum pergeserannya.
Kawasan Versi Cartalucci
Lain Mackinder, lain pula Toni Cartalucci, peneliti dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, pimpinan Prof Michel Cussodovsky. Ya, dalam teori Toni hanya dua kawasan di dunia ini yakni Timur Tengah dan Cina-Rusia. Ini tercetus daripada substansi asumsi geopolitiknya, “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda menguasai dunia” Betapa simpel dan lugas. Pertanyaannya menggelitik muncul, “Kenapa Toni tidak memandang Afrika, Eropa serta Amerika sebagai kawasan?” Ia memang tidak menjelaskan detail asumsinya, namun dugaan penulis ---merujuk teori Mackinder--- Timur Tengah memang inti dari ‘jantung’-nya (Heartland) dunia.
Artinya apa, bahwa menguasainya (Timur Tengah) niscaya bakal ‘mematikan’ kepentingan-kepentingan Cina dan Rusia di Kawasan Heartland. Dengan demikian, “teori kawasan”-nya Toni sebenarnya lebih direkomendasikan kepada subyek kolonialisme dalam hal ini adalah Barat cq AS dan sekutu dimana beberapa dekade lalu dan bahkan hingga kini masih berseteru versus Cina-Rusia. Asumsinya tidak diperuntukkan kepada pihak atau poros lain (obyek kolonialisme). Mungkin inilah jawaban (sementara) atas pertanyaan di atas, mengapa Toni Cartalucci tidak memandang secara lazim bahwa Eropa, Amerika dan Afrika sebagai kawasan sebagaimana adanya.
Kawasan dalam Hegemoni Amerika
Kawasan pada perspektif hegemoni AS berbeda lagi, bahwa dunia dibagi dalam enam area dimana di tiap-tiap kawasan dibentuk komando pengendali dengan didirikan pangkalan dan jejaring militer (armada). Dalam praktik justru ada tujuh Armada Amerika sebagai pelaksana (eksekutor) ---bukan enam sebagaimana jumlah kawasan--- beserta pangkalan-pangalan militer yang tersebar di berbagai penjuru bumi. Dan sudah barang tentu, niscaya ada prioritas dalam opersional serta penggunaan pangkalan militer maupun armada-armadanya. Tak lain dan tak bukan, bahwa keberadaannya (armada dan pangkalan militer) ialah dalam rangka mem-back up keenam US-Command dalam hal penggunaan kekuatan namun dengan skala prioritas.
Komando Pasifik Amerika Serikat (USPACOM) misalnya, seperti halnya lima komando tempur lainnya adalah komando gabungan antara Angkatan Darat (AD), Marinir, Armada Angkatan Darat (AL), dan Angkatan Udara (AU) di Kawasan Pasifik dipimpin oleh Panglima Besar Komando Pasifik, Jenderal Lloyd J. Austin. Ia bermarkas di Honolulu, tepatnya di pulau O’ahu. USPACOM adalah komando pertahanan TERTUA dan TERBESAR dari semua komando tempur gabungan Paman Sam punya. Memiliki anggota sekitar 300.000-an personel, atau sekitar 20% dari seluruh kekuatan militer aktif dimana kekuatannya terbagi dalam tiga kategori: (1) pasukan depan (kira-kira 100,000), pangkalan aju (forward based), dan sisanya berada di pangkalan daratan AS, dan lainnya.
Untuk USCENTCOM (Komando Sentral Amerika) mengendalikan 20 negara terdiri atas Afghanistan, Bahrain, Mesir, Iran, Irak, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Kyrgyzstan, Oman, Lebanon, Pakistan, Qatar, SaudiArabia, Suriah, Tajikistan, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, dan Yaman. Itulah yang disebut oleh Mackinder sebagai Heartland, atau Jantung Dunia karena potensi dan produksi minyak serta gasnya sangat berlimpah-ruah. Demikian seterusnya hingga USNORTHCOM di Amerika, USAFRICOM di Afrika, dan USEUCOM di Eropa.
Hal lain yang mutlak dicermati dengan adanya “Kekhaisaran Militer”-nya AS punya, dalam penempatan serta pengerahan armadanya, selain ia berpijak pada anatomi persoalan, potensi ancaman, mapping sasaran di tiap-tiap kawasan, juga tak boleh diabaikan adalah the power of oil sebagai nafas kolonialisme. Maka prioritas mobilisir Armada Amerika sudah tentu tidak sama dalam hal jumlah dan peralatan. USCENTCOM misalnya, ia didukung oleh Armada-5 Amerika dimana fokus kendalinya adalah hilir mudik tanker-tanker minyak sejumlah 17 juta barel/hari di Selat Hormuz. Kemudian Armada-7 memantau Selat Malaka dengan aliran 15-an juta barel/hari. Sedangkan Armada-6 mencakup Terusan Suez (4,5 juta barel/hari), Selat Turkey: 2,4 juta barel/hari, dan mengawasi BTC pipeline yang melingkar antara Baku-Tbilisi-Ceyhan: 1 juta barel/hari, dan lain-lain. (Lihat gambar: Selat Malaka). Inilah makna kawasan dalam perspektif superpower.
Kawasan dalam Perspektif Jalur Sutera
Sedangkan Jalur Sutera sebagai kondisi statis atau keadaan, hanya terbagi dalam dua kawasan besar yakni Kawasan Barat dan Kawasan Timur. Keuniqan jalur melegenda tersebut, selain dinilai sebagai jalur ekonomi, budaya, dan jalur militer dunia semenjak dulu --- juga perannya seperti garis pemisah antara Dunia Barat dan Dunia Timur.
Bung Karno menyebut Jalur Sutera sebagai Garis Hidup Imperialisme (1955), diawali dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan (Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan sebelah-menyebelah pada garis hidup yang panjang itu sebagian besar ialah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.
Dan masa jauh sebelum BK menyatakan hal tersebut di Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandng dulu, agaknya jalur legenda tersebut telah menjadi incaran kaum kolonialisme. Betapa geliat dimaksud tersirat pada statement Perdana Menteri (PM) Inggris, Henry Bannerman (1906) tempo doeloe:
“Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada ‘persilangan jalur perdagangan dunia’. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika) ....” (JW Lotz, 2010).
Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, pointers atas maksud kalimat: “... persilangan jalur perdaganan dunia ...” sebagaimana isyarat PM Bannerman di atas, tidak lain dan tak bukan adalah Jalur Sutera itu sendiri, atau The Silk Road.
Kawasan Versi Kapling 3-M
Di Journal GFI ke 6 bertajuk “Menuju Ketahanan Nasional bidang Pertahanan, Pangan dan Energi” (hal 76 – 82), saya jelaskan sekilas tentang beberapa kawasan dan kapling geopolitik sebagaimana telaah GFI selama ini mencermati pasang surut hegemoni global. Sekurang-kurangnya, ada tiga kapling serta kawasan besar yang perlu disimak, antara lain adalah:
Pertama: Kapling M pertama dari 3-M artinya adalah Kawasan MINYAK (oil). Inilah Heartldand sebagaimana sinyal Mackinder yang meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah dan mempunyai kandungan minyak serta gas berlimpah. Maka siapapun negara menguasai kawasan ini akan melaju ke tahkta “Global Imperium” sesuai rekomendasi Mackinder.
Kelompok negeri di kawasan ini rata-rata makmur akibat faktor alam dan lingkungan. Berbagai kemudahan dalam dinamika global dipetik karena faktor sejarah, tempat lahirnya agama-agama. Sesuatu yang luar biasa dianggap selalu dari Tuhannya. Tidak salah memang, namun bila hal tersebut terus dilestarikan cenderung merebak kemalasan bahkan lupa kewajiban manusia harus menggunakan logika. Maka dampak kharakter tadi adalah, bahwa kebutuhan teknologi senjata dan security assistance mereka tergantung kepada Barat.
Inilah tanah aneka bangsa tetapi satu ras, budaya bahkan agama. Seringkali tanpa etika dan tata krama justru menjebak pada keserakahan dunia. Penyakit iri, dengki dan sakit hati mudah menjalar, sehingga perang antarsesama bermodus aliran dalam agama, mempertahankan adat dan budaya --- dianggapnya biasa, bahkan hampir-hampir melembaga. Pada gilirannya, justru kondisi semacam itu dirajut oleh pihak asing agar mereka tidak pernah bersatu via adu domba dan pecah belah bermodus konflik sektarian, demokrasi, HAM, dan lain-lain. Tatkala muncul Iran sebagai “sosok pembangkang” di mata Barat, ini merupakan fenomena bersama kemampuan teknologi dan keberaniannya. Negeri para Mullah mencengangkan dunia. Publik global menyebut sebagai “kebangkitan Islam”. Matahari mulai terbit kembali dari Timur.
Kedua: Kapling M kedua dari 3-M artinya “Machine Gun” (senjata). Inilah kelompok negeri di (kawasan) Barat. Dalam sastranya kerapkali disebut negeri-negeri teknologi. Ia pusatnya kebendaan dan logika, dimana mayoritas bangsa suka membuat "tuhan-tuhan” baru selain Dia, Tuhan Yang Maha Esa. Berbagai ragam cara dibuatnya. Ada kelompok pendewa uang. Ada kelompok yang mempertuhankan ilmu dan kekuasaan dengan kecanggihan teknologi sebagai andalan. Segelintir elit menjadikan akal dan okol seperti nabi, dan sering membuat porak-poranda negeri lain demi sedikit kepentingan. Sudah tentu sasarannya ialah kelompok negeri di Kawasan MINYAK ataupun negeri “Money,” itu tergantung faktor ancaman dan mapping peluang.
Terdapat pula golongan yang mentuhankan cipta rasa dengan berbagai ekspresi atas nama seni dan budaya, sehingga dalam keseharian cenderung "menggendong" bukan memangku atau mengendalikan nafsu. Di negeri seperti ini, apapun boleh dikerjakan atas nama HAM, demokrasi, kebebasan, dll. Kecuali satu yang pantang dilanggar: “NEGARA ADALAH NEGARA, AGAMA TETAPLAH AGAMA.” Itulah sekularisme. Jangan disatukan keduanya, biarkan antara agama dan negara berjalan di rel masing-masing.
Sisi lain Kawasan “Machine Gun,” bahwa masalah susila adalah privacy. Duduknya di hak azasi atau sering dikemas jargon kebebasan berekspresi. Pornografi dan pornoaksi dianggap seni sehingga free sex merupakan budaya bahkan melegalkan ganja dan perkawinan sejenis. Hukum berjalan seolah-olah ketat tetapi sebenarnya longgar dalam tataran hakiki. Berpihak pada penguasa serta orang berduit belaka. Kebebasan, HAM, serta demokrasi merupakan senjata paling sakti, modern lagi canggih di kawasan negeri ini.
Ketiga: M terakhir dari 3-M artinya “Money” (uang). Kawasan ini memang tidak plek seperti teori Mackinder. Yang tidak jauh berbeda hanya M pertama atau Kawasan “Minyak,” karena identik dengan Heartland. Dan M ketiga ini juga bukan Marginal Lands, Desert ataupun Outer Continents sebagaimana pemetaan Mackinder. Penulis coba olah sendiri berbekal keterbatasan baik referensi dan sempitnya wawasan. Maksud M ini ialah kelompok negara, selain memiliki cadangan devisi besar seperti halnya Cina, India, dsb juga berpotensi menjadi “pasar” guna mencetak uang karena faktor kependudukan dan budaya komsumtif. Misalnya India, atau Indonesia, Afrika, dan lain-lainnya. Kendati yang layak mewakili negeri “Money” saat ini hanya Cina, mengingat tingginya daya tawar dalam perpolitikan baik daya ekonomi maupun tawar kekuatan militernya.
Negeri “money” ini sebenarnya mampu memproduksi sendiri teknologi dan bahkan senjata seperti halnya Indonesia tetapi dengan keterbatasan-keterbatasan, baik sifatnya keterbatasan disengaja atau tidak disengaja. Yang sengaja contohnya, kendati negara tersebut mampu memproduksi teknologi (senjata) secara penuh dan mandiri, akan tetapi dibatasi melalui perjanjian dan tekanan politik, kenapa? Sebab bila dilepas, dikhawatirkan menjadi kompetitor daripada kelompok negara produsen di Kawasan “Machine Gun”. Sedangkan penjelasan faktor ketidaksengajaan, lebih disebabkan karena kemampuan teknologi, artinya negara dimaksud belum mumpuni dan tidak memadai untuk membuat persenjataan secara penuh.
Betapa kawasan-kawasan ini terlihat dinamis. Hampir negeri-negeri di kawasan M kedua (Machine Gun) dan M ketiga (Money) mencari pasarnya pada negeri M pertama (minyak). Atau beberapa negeri kawasan Money sendiri yang merasa unggul mengintervensi sesama kelompok negeri Money, atau kawasan Minyak menggunakan senjata “oil weapon”-nya untuk menaikkan posisi tawarnya ke negeri Machne Gun, dan sebagainya. Dari dinamika tersebut,gilirannya memang muncul perang-perang jenis baru yang hakikinya rebutan SDA dan kontrol ekonomi di negara target. Misal yang kini populer adalah asymmetric warfare, atau proxy war, hybrid war, perang geopolitik, currency wars, dan lain-lain.
Inilah paparan sekilas perihal “kawasan” dari beberapa sudut pandang terkait dinamika politik terutama dalam rangka menyikapi pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Tak ada niatan menggurui siapapun, khususnya para pakar serta pihak-pihak yang berkompeten melainkan sharing pemahaman semata. Jikalau ada perbedaan baik arti, maksud dan makna, dapat didiskusikan secara lebih mendalam tanpa perlu syak-wasangka, kecurigaian, dsb. Kritik dan saran terbuka lebar guna memperbaiki tulisan sederhana ini.
Demikianlah adanya, demikan sebaiknya. []
Kawasan Menurut Mackinder
Sir Halford Mackider (1861-1946), pakar geopolitik Inggris abad ke-19 mengklasifikasikan dunia atau membaginya dalam “Empat Kawasan”, antara lain:
Kawasaan pertama dinamai Heartland atau World Island, atau populer disebut “Jantung Dunia.” Ia meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah. Dalam pandangan Mackinder, inilah kawasan paling berlimpah sumberdaya alam (SDA) tertutama minyak dan gas bumi sehingga ia menyebut sebagai ‘jantung’-nya dunia;
Kawasan kedua disebut Marginal Lands, terdiri atas Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina;
Kawasan ketiga adalah Desert (Padang Pasir) dalam hal ini ialah Afrika Utara; dan
Kawasan keempat diistilahkan Island atau Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Inti tesis Mackinder mengurai empat kawasan dimaksud, bahwa siapa menguasai Heartland atau “Jantung Dunia” dimana kandungan SDA-nya berlimpah ruah, maka akan mengontrol dunia dan niscaya menuju “Global Imperium”. Ini salah satu cuplikan ajaran Mackinder di buku The Geographical Pivot of History yang masih dijadikan rujukan dunia:
“Who rules East Europe, command the Heartland; Who rules the Heartland, command the World Islands; Who rules the World Islands, command the World”
Penjelasan singkat teori dimaksud, bahwa Heartland itu meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah yang kaya akan minyak, gas dan mineral lainnya, sedangkan maksud World Island ialah Eurasia yang terdiri atas Asia --- dimana ada Heartland di dalamnya--- lalu Afrika, dan Eropa.
Substansi ajaran Mackinder lebih menyorot pada ‘kawasan inti’ baik Heartland maupun World Island yang direkomendasi memiliki potensi berlimpah baik SDA-nya, faktor geo-(strategi)-grafi juga merupakan pasar nan besar. Perspektif ajaran ini berbasis pada minyak selaku power atau komoditas unggulan dibanding aspek lainnya semacam budaya misalnya, atau aspek ideologi, emas, dan lain-lain, kendati dalam praktik hal-hal tersebut juga ---selama ini--- menjadi sasaran kolonialisme di muka bumi.
Sekali lagi, minyak, minyak dan minyak. Itulah the power of oil, doktrin kekuasaan yang dibenamkan pada benak siapapun Presiden di Amerika (AS). Dan agaknya paradigma tadi selaras dengan ajaran Guilford yang terkenal di kalangan global review serta kaum penggiat geopolitik, “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”. Dan tidak boleh dipungkiri memang, itulah (mungkin) Kepentingan Nasional negara apapun, kapanpun dan dimanapun. Kecuali Indonesia?
Dalam perkembangan selanjutnya, meskipun Kawasan Padang Pasir (Desert) atau Afrika Utara dan Marginal Lands --- sebagian Asia Tenggara dan/atau Indonesia?--- dahulu belum dinilai semacam Heartland oleh Mackinder, tetapi sekarang terbukti bahwa kawasan Marginal Lands dan Desert memiliki potensi SDA berlimpah bukan hanya minyak semata, namun juga emas, gas bumi, nikel, dan mineral-mineral lain, termasuk pasar nan potensial.
Barangkali, inilah salah satu kekurangan teori Mackinder dalam perspektif kekinian. Dengan kata lain, bila kebijakan (luar negeri) para elit dan pengambil keputusan di AS tetap merujuk pada asumsi Mackinder ---minyak--- maka titik fokusnya tidak hanya menyorot pada Asia Tengah dan Timur Tengah semata, namun jelas akan melirik pula Afrika Utara dan sebagian Asia Tenggara (Indonesia), kenapa? Sebab ruh kebijakan (luar negeri) Paman Sam adalah the power oil. Inilah yang sekarang kental berproses. Secara kawasan, teori Mackinder hanya mengambil filosofi (the power of oil)-nya saja, sedangkan mapping kawasan kemungkinan telah berubah meski tidak signifikan.
Tatkala bicara kawasan kemudian dikaitkan geopolitical shift (pergeseran geopolitik) abad ke 21 yang bergerak dari Atlantik ke Asia Pasifik, maka dimana sesungguhnya kawasan yang akan dijadikan target atau titik tujuan para adidaya? Hal ini sudah saya uraiakan dalam tulisan ‘Membaca Perilaku Geopolitik di Jalur Sutera’ hingga ke epicentrum pergeserannya.
Kawasan Versi Cartalucci
Lain Mackinder, lain pula Toni Cartalucci, peneliti dari Central for Research on Globalization (CRG), Kanada, pimpinan Prof Michel Cussodovsky. Ya, dalam teori Toni hanya dua kawasan di dunia ini yakni Timur Tengah dan Cina-Rusia. Ini tercetus daripada substansi asumsi geopolitiknya, “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda menguasai dunia” Betapa simpel dan lugas. Pertanyaannya menggelitik muncul, “Kenapa Toni tidak memandang Afrika, Eropa serta Amerika sebagai kawasan?” Ia memang tidak menjelaskan detail asumsinya, namun dugaan penulis ---merujuk teori Mackinder--- Timur Tengah memang inti dari ‘jantung’-nya (Heartland) dunia.
Artinya apa, bahwa menguasainya (Timur Tengah) niscaya bakal ‘mematikan’ kepentingan-kepentingan Cina dan Rusia di Kawasan Heartland. Dengan demikian, “teori kawasan”-nya Toni sebenarnya lebih direkomendasikan kepada subyek kolonialisme dalam hal ini adalah Barat cq AS dan sekutu dimana beberapa dekade lalu dan bahkan hingga kini masih berseteru versus Cina-Rusia. Asumsinya tidak diperuntukkan kepada pihak atau poros lain (obyek kolonialisme). Mungkin inilah jawaban (sementara) atas pertanyaan di atas, mengapa Toni Cartalucci tidak memandang secara lazim bahwa Eropa, Amerika dan Afrika sebagai kawasan sebagaimana adanya.
Kawasan dalam Hegemoni Amerika
Kawasan pada perspektif hegemoni AS berbeda lagi, bahwa dunia dibagi dalam enam area dimana di tiap-tiap kawasan dibentuk komando pengendali dengan didirikan pangkalan dan jejaring militer (armada). Dalam praktik justru ada tujuh Armada Amerika sebagai pelaksana (eksekutor) ---bukan enam sebagaimana jumlah kawasan--- beserta pangkalan-pangalan militer yang tersebar di berbagai penjuru bumi. Dan sudah barang tentu, niscaya ada prioritas dalam opersional serta penggunaan pangkalan militer maupun armada-armadanya. Tak lain dan tak bukan, bahwa keberadaannya (armada dan pangkalan militer) ialah dalam rangka mem-back up keenam US-Command dalam hal penggunaan kekuatan namun dengan skala prioritas.
Komando Pasifik Amerika Serikat (USPACOM) misalnya, seperti halnya lima komando tempur lainnya adalah komando gabungan antara Angkatan Darat (AD), Marinir, Armada Angkatan Darat (AL), dan Angkatan Udara (AU) di Kawasan Pasifik dipimpin oleh Panglima Besar Komando Pasifik, Jenderal Lloyd J. Austin. Ia bermarkas di Honolulu, tepatnya di pulau O’ahu. USPACOM adalah komando pertahanan TERTUA dan TERBESAR dari semua komando tempur gabungan Paman Sam punya. Memiliki anggota sekitar 300.000-an personel, atau sekitar 20% dari seluruh kekuatan militer aktif dimana kekuatannya terbagi dalam tiga kategori: (1) pasukan depan (kira-kira 100,000), pangkalan aju (forward based), dan sisanya berada di pangkalan daratan AS, dan lainnya.
Untuk USCENTCOM (Komando Sentral Amerika) mengendalikan 20 negara terdiri atas Afghanistan, Bahrain, Mesir, Iran, Irak, Yordania, Kazakhstan, Kuwait, Kyrgyzstan, Oman, Lebanon, Pakistan, Qatar, SaudiArabia, Suriah, Tajikistan, Turkmenistan, Uni Emirat Arab, Uzbekistan, dan Yaman. Itulah yang disebut oleh Mackinder sebagai Heartland, atau Jantung Dunia karena potensi dan produksi minyak serta gasnya sangat berlimpah-ruah. Demikian seterusnya hingga USNORTHCOM di Amerika, USAFRICOM di Afrika, dan USEUCOM di Eropa.
Hal lain yang mutlak dicermati dengan adanya “Kekhaisaran Militer”-nya AS punya, dalam penempatan serta pengerahan armadanya, selain ia berpijak pada anatomi persoalan, potensi ancaman, mapping sasaran di tiap-tiap kawasan, juga tak boleh diabaikan adalah the power of oil sebagai nafas kolonialisme. Maka prioritas mobilisir Armada Amerika sudah tentu tidak sama dalam hal jumlah dan peralatan. USCENTCOM misalnya, ia didukung oleh Armada-5 Amerika dimana fokus kendalinya adalah hilir mudik tanker-tanker minyak sejumlah 17 juta barel/hari di Selat Hormuz. Kemudian Armada-7 memantau Selat Malaka dengan aliran 15-an juta barel/hari. Sedangkan Armada-6 mencakup Terusan Suez (4,5 juta barel/hari), Selat Turkey: 2,4 juta barel/hari, dan mengawasi BTC pipeline yang melingkar antara Baku-Tbilisi-Ceyhan: 1 juta barel/hari, dan lain-lain. (Lihat gambar: Selat Malaka). Inilah makna kawasan dalam perspektif superpower.
Kawasan dalam Perspektif Jalur Sutera
Sedangkan Jalur Sutera sebagai kondisi statis atau keadaan, hanya terbagi dalam dua kawasan besar yakni Kawasan Barat dan Kawasan Timur. Keuniqan jalur melegenda tersebut, selain dinilai sebagai jalur ekonomi, budaya, dan jalur militer dunia semenjak dulu --- juga perannya seperti garis pemisah antara Dunia Barat dan Dunia Timur.
Bung Karno menyebut Jalur Sutera sebagai Garis Hidup Imperialisme (1955), diawali dari Selat Gibraltar, melalui Lautan Tengah, Terusan Suez, Lautan Merah, Lautan Hindia, Lautan Tiongkok Selatan (Sekarang Laut Cina Selatan) sampai ke Lautan Jepang. Daratan sebelah-menyebelah pada garis hidup yang panjang itu sebagian besar ialah tanah jajahan. Rakyatnya tidak merdeka. Hari depannya terabaikan kepada sistem asing. Sepanjang garis hidup itu, sepanjang urat nadi imperialisme itu, dipompakan darah kehidupan kolonialisme.
Dan masa jauh sebelum BK menyatakan hal tersebut di Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandng dulu, agaknya jalur legenda tersebut telah menjadi incaran kaum kolonialisme. Betapa geliat dimaksud tersirat pada statement Perdana Menteri (PM) Inggris, Henry Bannerman (1906) tempo doeloe:
“Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada ‘persilangan jalur perdagangan dunia’. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika) ....” (JW Lotz, 2010).
Dalam diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta, pimpinan Hendrajit, pointers atas maksud kalimat: “... persilangan jalur perdaganan dunia ...” sebagaimana isyarat PM Bannerman di atas, tidak lain dan tak bukan adalah Jalur Sutera itu sendiri, atau The Silk Road.
Kawasan Versi Kapling 3-M
Di Journal GFI ke 6 bertajuk “Menuju Ketahanan Nasional bidang Pertahanan, Pangan dan Energi” (hal 76 – 82), saya jelaskan sekilas tentang beberapa kawasan dan kapling geopolitik sebagaimana telaah GFI selama ini mencermati pasang surut hegemoni global. Sekurang-kurangnya, ada tiga kapling serta kawasan besar yang perlu disimak, antara lain adalah:
Pertama: Kapling M pertama dari 3-M artinya adalah Kawasan MINYAK (oil). Inilah Heartldand sebagaimana sinyal Mackinder yang meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah dan mempunyai kandungan minyak serta gas berlimpah. Maka siapapun negara menguasai kawasan ini akan melaju ke tahkta “Global Imperium” sesuai rekomendasi Mackinder.
Kelompok negeri di kawasan ini rata-rata makmur akibat faktor alam dan lingkungan. Berbagai kemudahan dalam dinamika global dipetik karena faktor sejarah, tempat lahirnya agama-agama. Sesuatu yang luar biasa dianggap selalu dari Tuhannya. Tidak salah memang, namun bila hal tersebut terus dilestarikan cenderung merebak kemalasan bahkan lupa kewajiban manusia harus menggunakan logika. Maka dampak kharakter tadi adalah, bahwa kebutuhan teknologi senjata dan security assistance mereka tergantung kepada Barat.
Inilah tanah aneka bangsa tetapi satu ras, budaya bahkan agama. Seringkali tanpa etika dan tata krama justru menjebak pada keserakahan dunia. Penyakit iri, dengki dan sakit hati mudah menjalar, sehingga perang antarsesama bermodus aliran dalam agama, mempertahankan adat dan budaya --- dianggapnya biasa, bahkan hampir-hampir melembaga. Pada gilirannya, justru kondisi semacam itu dirajut oleh pihak asing agar mereka tidak pernah bersatu via adu domba dan pecah belah bermodus konflik sektarian, demokrasi, HAM, dan lain-lain. Tatkala muncul Iran sebagai “sosok pembangkang” di mata Barat, ini merupakan fenomena bersama kemampuan teknologi dan keberaniannya. Negeri para Mullah mencengangkan dunia. Publik global menyebut sebagai “kebangkitan Islam”. Matahari mulai terbit kembali dari Timur.
Kedua: Kapling M kedua dari 3-M artinya “Machine Gun” (senjata). Inilah kelompok negeri di (kawasan) Barat. Dalam sastranya kerapkali disebut negeri-negeri teknologi. Ia pusatnya kebendaan dan logika, dimana mayoritas bangsa suka membuat "tuhan-tuhan” baru selain Dia, Tuhan Yang Maha Esa. Berbagai ragam cara dibuatnya. Ada kelompok pendewa uang. Ada kelompok yang mempertuhankan ilmu dan kekuasaan dengan kecanggihan teknologi sebagai andalan. Segelintir elit menjadikan akal dan okol seperti nabi, dan sering membuat porak-poranda negeri lain demi sedikit kepentingan. Sudah tentu sasarannya ialah kelompok negeri di Kawasan MINYAK ataupun negeri “Money,” itu tergantung faktor ancaman dan mapping peluang.
Terdapat pula golongan yang mentuhankan cipta rasa dengan berbagai ekspresi atas nama seni dan budaya, sehingga dalam keseharian cenderung "menggendong" bukan memangku atau mengendalikan nafsu. Di negeri seperti ini, apapun boleh dikerjakan atas nama HAM, demokrasi, kebebasan, dll. Kecuali satu yang pantang dilanggar: “NEGARA ADALAH NEGARA, AGAMA TETAPLAH AGAMA.” Itulah sekularisme. Jangan disatukan keduanya, biarkan antara agama dan negara berjalan di rel masing-masing.
Sisi lain Kawasan “Machine Gun,” bahwa masalah susila adalah privacy. Duduknya di hak azasi atau sering dikemas jargon kebebasan berekspresi. Pornografi dan pornoaksi dianggap seni sehingga free sex merupakan budaya bahkan melegalkan ganja dan perkawinan sejenis. Hukum berjalan seolah-olah ketat tetapi sebenarnya longgar dalam tataran hakiki. Berpihak pada penguasa serta orang berduit belaka. Kebebasan, HAM, serta demokrasi merupakan senjata paling sakti, modern lagi canggih di kawasan negeri ini.
Ketiga: M terakhir dari 3-M artinya “Money” (uang). Kawasan ini memang tidak plek seperti teori Mackinder. Yang tidak jauh berbeda hanya M pertama atau Kawasan “Minyak,” karena identik dengan Heartland. Dan M ketiga ini juga bukan Marginal Lands, Desert ataupun Outer Continents sebagaimana pemetaan Mackinder. Penulis coba olah sendiri berbekal keterbatasan baik referensi dan sempitnya wawasan. Maksud M ini ialah kelompok negara, selain memiliki cadangan devisi besar seperti halnya Cina, India, dsb juga berpotensi menjadi “pasar” guna mencetak uang karena faktor kependudukan dan budaya komsumtif. Misalnya India, atau Indonesia, Afrika, dan lain-lainnya. Kendati yang layak mewakili negeri “Money” saat ini hanya Cina, mengingat tingginya daya tawar dalam perpolitikan baik daya ekonomi maupun tawar kekuatan militernya.
Negeri “money” ini sebenarnya mampu memproduksi sendiri teknologi dan bahkan senjata seperti halnya Indonesia tetapi dengan keterbatasan-keterbatasan, baik sifatnya keterbatasan disengaja atau tidak disengaja. Yang sengaja contohnya, kendati negara tersebut mampu memproduksi teknologi (senjata) secara penuh dan mandiri, akan tetapi dibatasi melalui perjanjian dan tekanan politik, kenapa? Sebab bila dilepas, dikhawatirkan menjadi kompetitor daripada kelompok negara produsen di Kawasan “Machine Gun”. Sedangkan penjelasan faktor ketidaksengajaan, lebih disebabkan karena kemampuan teknologi, artinya negara dimaksud belum mumpuni dan tidak memadai untuk membuat persenjataan secara penuh.
Betapa kawasan-kawasan ini terlihat dinamis. Hampir negeri-negeri di kawasan M kedua (Machine Gun) dan M ketiga (Money) mencari pasarnya pada negeri M pertama (minyak). Atau beberapa negeri kawasan Money sendiri yang merasa unggul mengintervensi sesama kelompok negeri Money, atau kawasan Minyak menggunakan senjata “oil weapon”-nya untuk menaikkan posisi tawarnya ke negeri Machne Gun, dan sebagainya. Dari dinamika tersebut,gilirannya memang muncul perang-perang jenis baru yang hakikinya rebutan SDA dan kontrol ekonomi di negara target. Misal yang kini populer adalah asymmetric warfare, atau proxy war, hybrid war, perang geopolitik, currency wars, dan lain-lain.
Inilah paparan sekilas perihal “kawasan” dari beberapa sudut pandang terkait dinamika politik terutama dalam rangka menyikapi pergeseran geopolitik dari Atlantik ke Asia Pasifik. Tak ada niatan menggurui siapapun, khususnya para pakar serta pihak-pihak yang berkompeten melainkan sharing pemahaman semata. Jikalau ada perbedaan baik arti, maksud dan makna, dapat didiskusikan secara lebih mendalam tanpa perlu syak-wasangka, kecurigaian, dsb. Kritik dan saran terbuka lebar guna memperbaiki tulisan sederhana ini.
Demikianlah adanya, demikan sebaiknya. []
Komentar
Posting Komentar