Desain, Teknologi, Gaya Hidup: Perangkat Elektronik Sebagai Simbol Status Sosial



“Saya mungkin satu-satunya tukang sabit rumput yang membawa telepon genggam (handphone),” ujar Kang Ibing dalam sebuah wawancara.1 Pernyataan tersebut terlontar sehubungan dengan pertanyaan wartawan mengenai hobinya yang unik, yaitu menyabit rumput untuk memberi makan domba-domba yang dipeliharanya. Domba—yang juga menyabit rumput—merupakan nostalgia akan daerah kelahiran—yang tentu saja bukan kota—dan memberinya kenikmatan lain, yaitu dapat berbincang-bincang dengan tukang rumput sungguhan lainnya. Namun demikian, dengan sepintas saja orang akan segera melihat perbedaan kelas sosial yang menyolok antara diri Kang Ibing dengan para penyabit rumput sungguhan. Yaitu telepon genggam yang senantiasa terselip di pinggangnya.2

Ilustrasi di atas memperlihatkan fenomena menarik dari seorang entertainer yang sekaligus hidup dalam dua dunia yang sangat berbeda (bahkan seringkali bertentangan), yaitu dunia tradisional dan modern. Pada masa awal kemunculannya, telepon genggam masih dipandang oleh sebagian besar orang sebagai simbol status sosial dari masyarakat kelas atas. Suatu kelas sosial yang secara stereotip biasa memperbaharui hidupnya melalui “artefak” produksi industri (yang dalam tulisan ini pembahasan khusus pada desain produk perangkat elektronik). Oleh karena itu, walaupun Kang Ibing sangat menikmati hobinya sebagai seorang penyabit rumput dan latar belakangnya yang berasal dari desa, dengan sebuah telepon genggam yang terselip di pinggangnya merepresentasikan simbol status sosial sebagai seorang yang cukup berada, dan dirinya bukan lagi seperti kebanyakan orang desa yang lain.

Di sini terlihat bagaimana sebuah teknologi baru yang didesain sedemikian rupa dapat menjadi simbol status sosial bagi penggunanya. Sejauh ini produk-produk yang menggunakan teknologi canggih seringkali memiliki korelasi yang kuat dengan derajat kemampuan ekonomi penggunanya yang terbilang cukup mapan. Oleh karena itu, untuk melihat inti dari fenomena tersebut secara lebih mendasar, perlu kiranya ditelaah arah dari perkembangan teknologi saat ini, terlebih lagi mengenai bagaimana sebuah penemuan teknologi baru—yang juga ikut mendorong perkembangan desain produk—setelah dilemparkan ke pasar pada akhirnya dapat berubah menjadi sebuah tawaran gaya hidup.

Sebagaimana kita ketahui, teknologi adalah suatu kreasi yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari manusia sebagai makhluk yang mampu melepaskan diri dari ketergantungan terhadap insting atau dorongan dasar (basic drive). Berbeda dari binatang yang menyandarkan hidupnya pada insting, manusia menggunakan otak dan nalarnya dalam mencapai tujuan, sehingga teknologi yang berkembang dalam peradaban manusia pun merupakan hasil pembelajaran serta kemampuannya dalam membuat sistematika yang pada akhirnya menjadi salah satu unsur dari kebudayaan dan peradaban universal.3

Ada pun pencapaian teknologi sebagaimana yang ada saat ini sebenarnya telah menjalani suatu proses evolusi yang sangat panjang. Teknologi merupakan akumulasi dari pembelajaran manusia pada masa sebelumnya yang terus dicoba untuk disempurnakan. Perkembangan percepatan teknologi tersebut secara umum dibagi ke dalam beberapa fase yaitu, fase penggunaan otot (± 1000000 tahun yang lalu, serta menghasilkan alat bantu berupa batu, palu, tombak, busur dan lain-lain); fase penggunaan binatang, budak, air, angin (± 3000 SM hingga 1700 M, serta menghasilkan alat pembajak, gerobak, kincir, perahu layar, huruf dan percetakan); fase penggunaan uap, pembakaran, listrik atau Revolusi Industri (± 1700 M hingga 1940 M, serta menghasilkan listrik, mesin uap atau bakar, pesawat terbang, foto dan film); fase penggunaan nuklir, elektronik, matahari (± 1940-an M hingga 2000 M, serta menghasilkan pesawat ruang angkasa, televisi, nuklir, komputer); fase teknologi informasi yang diperkirakan akan semakin berkembang pada abad ke-21 (misalnya tampak pada gejala cyberspace yang dengan sangat cepat mengimbas kepada berbagai aspek kehidupan manusia lainnya).

Kemajuan atau progres, khususnya dalam bidang teknologi, tampaknya memang selalu menjadi impian kolektif. Baudrillard, misalnya, pernah menyatakan bahwa “perkembangan teknologi sinonim dengan evolusi struktural objektif.”4 Dalam metode manufaktur pada Revolusi Industri, banyak hal yang di dalamnya terdapat gabungan seluruh metode dan mesin yang jumlahnya jauh lebih besar daripada jumlah bagian-bagiannya. Gilbert Simondon, misalnya, mencatat

Pada mesin-mesin masa kini, tiap bagian penting terkait erat dengan bagian lainnya melalui pertukaran energi satu sama lain sehingga bagian itu tidak bisa mengalami variasi esensial apa pun … Bentuk ujung silinder, logam material penyusunnya, bekerja dalam kombinasi dengan seluruh unsur lain dalam siklus itu untuk menghasilkan temperatur tertentu dalam elektroda busi; temperatur ini selanjutnya mempengaruhi karakteristik pengapian dan siklus tersebut secara keseluruhan.

Mesin-mesin modern itu konkrit, sementara mesin-mesin yang ada sebelumnya abstrak. Pada mesin yang lebih tua itu, tiap komponen terlibat pada tahap spesifik tertentu dalam siklus sehingga diasumsikan tak memiliki pengaruh lebih jauh pada yang lain; bagian-bagian motor agak mirip buruh, masing-masing melakukan kerjanya tanpa bersentuhan dengan sesamanya … Objek teknis karena itu boleh dikatakan memiliki bentuk primitif, bentuk abstrak, ketika masing-masing unit teoretis dan materialnya diperlakukan sebagai sesuatu yang mutlak harus dipasang sebagai sistem tertutup agar bekerja dengan baik. Situasi semacam itu memunculkan sekumpulan persoalan integrasi yang harus diselesaikan … Di sinilah letaknya struktur-struktur spesifik muncul yang, relatif terhadap masing-masing komponen, boleh disebut mekanisme pertahanan: misalnya, ujung silinder dari mesin- bakar internal mulai berhadapan dengan sirip kipas pendingin. Pada awalnya sirip-sirip pendingin ini sekadar unsur eksternal, yang dipasang pada silinder dan ujungnya hanya untuk keperluan pendinginan. Namun, pada mesin-mesin yang lebih baru, sirip-sirip ini mulai memainkan peranan mekanik pula dengan memberi bingkai (rusuk) yang berfungsi mencegah distorsi ujung silinder akibat tekanan gas … Kini kedua fungsi tersebut tak bisa dibedakan lagi; satu struktur unik mulai terbentuk, bukan karena kompromi tetapi karena seiring, konvergen. Silinder berusuk tadi kini bisa dibuat lebih tipis, yang memungkinkan pendinginan lebih cepat. Struktur bivalen sirip/rusuk ini karenanya memenuhi dua fungsi yang sebelumnya terpisah melalui suatu sintesis—dan hasilnya jauh lebih memuaskan dalam kedua kasus tersebut: struktur ini mengintegrasikan kedua fungsi tersebut sekaligus melampauinya … Maka bisa kita katakan bahwa struktur yang baru ini lebih konkrit ketimbang yang lama dan merepresentasikan kemajuan orisinil bagi objek teknis, karena persoalan teknologi yang sejati adalah tuntutan kompromi antara kebutuhan-kebutuhan yang bertentangan. Pada akhirnya, kemajuan dari abstrak ke konkrit ini berarti bahwa objek teknis akan berkecenderungan menuju kondisi sistem yang sepenuhnya konsisten secara internal dan sepenuhnya integral.5

Dalam perjalanan sejarah teknologi, sedikitnya, bisa ditandai beberapa revolusi yang pernah terjadi mulai dari Revolusi Industri yang secara total mengubah pola manufaktur dan teknologi transportasi, sehingga menimbulkan ledakan urbanisasi serta memicu sebuah kemelut dalam sejarah kapitalisme, yaitu kemelut sejarah yang melahirkan pemikir bernama Karl Marx. Kemudian, Revolusi Energi secara radikal mengubah pola manufaktur dengan ditemukannya listrik dan elektromagnetisme. Dan terakhir adalah Revolusi Informasi yang akhir-akhir ini terasa mempunyai pengaruh yang semakin kuat dengan munculnya fenomena cyberspace dan internet yang memicu pertumbuhan bisnis berbasis information technology.

Teknologi dan Kapitalisme

Penemuan-penemuan baru di bidang sains sebenarnya sudah mulai dirintis sejak lama. Namun pada era Masa Kegelapan di Eropa, ada suatu larangan untuk mempelajari ilmu pengetahuan, karena—menurut tafsir Gereja—Adam terusir dari surga akibat memakan buah pengetahuan. Sejak tahun 1071 Paus dapat dikatakan sangat menguasai dunia, bahkan hingga tahun 1600-an masih dilakukan inkuisisi terhadap para ilmuwan yang dianggap bidah, namun kemaksuman Paus ini nantinya akan ditentang oleh Luther pada tahun 1519. Setelah Renaissance, atmosfer yang dikembangkan cukup mendorong semangat bagi pengembangan sains serta berbagai penemuan barunya hingga, sedikitnya, membuahkan tiga revolusi sebagaimana telah disebutkan di atas. Gelombang Renaissance tersebut memicu antusiasme manusia terhadap nalarnya, kepercayaannya yang tinggi terhadap sains sebagai penentu perubahan dunia, bahkan menyatakan bahwa dirinya telah keluar dari era kekanak-kanakannya ke arah era kedewasaannya—sebuah pernyataan yang pernah dilontarkan oleh Immanuel Kant. Namun, sebagaimana umumnya terjadi, antusiasme tersebut selalu berujung pada ekstremitas berupa ateisme para ilmuwan dan pemikir, serta pandangan tunggal terhadap segenap fenomena dan masalah yang ada di sekitar manusia.

Ketika James Watt menemukan mesin uap yang disusul oleh gelombang lainnya (yaitu gelombang Revolusi Industri), dampak negatifnya mampu membangkitkan kesadaran Karl Marx untuk menulis sebuah buku yang cukup provokatif, berjudul Das Kapital. Namun, kritikan dari Marx, pada saatnya nanti, hanya akan digunakan oleh kapitalisme untuk semakin mendewasakan dirinya. Hal ini berdampak pula terhadap perkembangan sains dan teknologi di mana tidak lagi terjadi penyatuan antara keduanya, adanya penggunaan ruang-waktu, serta adanya proses kapitalisme dalam mengeksploitasi sumber daya alam yang selalu mengukur segalanya dengan profit dan interest rate.

…Kapitalisme Barat dengan model segi tiga waktu-ruang-uang pada saat ini telah berubah menjadi kekuatan sosial. Lagi pula tampaknya kapitalisme tak bisa dilepaskan dari semangat penaklukan rintangan-rintangan ruang untuk tujuan ekspansi, yang seterusnya berkembang menjadi usaha terus menerus memperpendek waktu turn-over, meningkatkan efisiensi, mempercepat proses sosial (konsumsi) dan mengurangi waktu untuk pengambilan keputusan penting.6

Di sinilah kapitalisme dengan jelinya memanfaatkan peran penting kemajuan teknologi. Sekalipun jauh sebelum itu, ternyata banyak ilmuwan yang masih bekerja dalam semangat saintis yang murni, independen, dan bahkan hingga harus menjalani kehidupan dalam garis subsisten. Kemudian secara mengejutkan fungsi sains pun berubah dengan cepat, dengan munculnya suatu jenis pemilik pengetahuan yang sama sekali baru, yang disinyalir oleh J.F. Lyotard lebih menyerupai hubungan produser dan konsumen komoditi, di mana pengetahuan diproduksi agar dapat dijual, agar dapat dihargai dalam sebuah produksi baru, sehingga pengetahuan pun kehilangan nilai guna-nya.

Perusahaan-perusahaan besar maupun menengah umumnya memiliki divisi Research and Development (R&D) yang bertugas untuk mencari terobosan-terobosan baru dalam sains untuk meningkatkan daya saing produknya. Di situlah kebanyakan ilmuwan dipekerjakan. Mereka kini memiliki induk semang yang memberinya segala fasilitas penelitian serta jaminan kehidupan yang cukup nyaman, tempat segenap kemampuan serta semangat saintisnya dialihkan pada proyek komersialisasi—walaupun, pada saat yang sama, masih ada juga ilmuwan yang bekerja di laboratorium-laboratorium universitas untuk kepentingan keilmuan dan pendidikan.

Walaupun temuan baru yang dihasilkan di laboratorium-laboratorium tersebut nantinya pun akan berhadapan dengan persoalan HAKI (Hak Atas Kekayaan Intelektual) yang seringkali berujung pada isu komersialisasi dan penjajahan model baru terhadap negara-negara Dunia Ketiga yang relatif memiliki ketergantungan teknologi pada negara-negara maju. Namun, bukan berarti ketergantungan ini tidak mendapat perlawanan. Maraknya pembajakan dan peniruan teknologi perangkat elektronik dengan mutu yang lebih rendah dan harga yang lebih murah di berbagai negara Dunia Ketiga, yang cukup membuat banyak negara maju kebakaran jenggot, misalnya adalah salah satu contoh menarik.

Selain itu, tuntutan untuk diadakannya kebaruan secara terus-menerus telah menggiring modernisme dalam bentuk ekstremnya. Bahkan para ilmuwan pun berpacu untuk menemukan pengetahuan dan teknologi baru yang pada akhirnya menjadi bagian dari tujuan komersial, dan para produser pun berlomba-lomba dalam memperoleh akses terhadap informasi tentang pengetahuan, strategi atau “rahasia teknologis” untuk menciptakan produk yang unggul. Bill Nichols—dengan menggunakan argumen dari Walter Benjamin—mencoba untuk memperkenalkan suatu tabel yang mengaitkan beberapa karakter perkembangan budaya elektronik yang diasosiasikan dengan kapitalisme entrepreneurial atau awal, dan kapitalisme monopoli, hingga kapitalisme multinasional atau posindustrial,7 seperti tampak berikut:

(Maaf, tabelnya gak bisa ikut nampang….)

Desain dan Desainer

Istilah desain sendiri berasal dari kata designo dari bahasa Italia. Dalam Kamus Merriam-Webster istilah design dalam bahasa Inggris adalah garis bentuk (outline), indikasi atau maksud. Kata itu juga diambil dari bahasa Perancis designer yang berarti menandakan (to designate), atau juga dari bahasa Latin designare yang berarti menandai (to mark out), yang terdiri dari unsur de dan signare, sehingga artinya lebih kepada tanda (sign).

Awalnya, makna istilah design dalam bahasa Inggris senada dengan istilah craft (kriya atau kerajinan tangan). Baru pada pertengahan abad ke-19 istilah design ini dimaknai sebagai integrasi antara art dan craft oleh John Ruskin dan William Morris. Setelah masa Revolusi Industri, kegiatan desain menjadi lebih dikenal dengan istilah Industrial Art, Commercial Art, Applied Art, Machine Art, Decorative Art, dan seterusnya. Tampaknya memang berkembang suatu pemahaman yang menyiratkan bahwa desain itu adalah kegiatan “penempelan” unsur estetis dalam berbagai produk manufaktur. Berkaitan dengan hal ini, Moody memberikan penjelasan tentang kemunculan desain produk industri (industrial design) sebagai suatu aktivitas yang terpisah dari desain rekayasa (engineering design), bahwa:

Desain industrial berupaya meluruskan kelalaian proses rekayasa, suatu upaya sadar membawa keteraturan (atau tatanan) bentuk dan visual pada piranti keras rekayasa, ketika teknologi tak dengan sendirinya menyediakan aspek ini. Ada beberapa contoh ketika teknologi punya keluwesan intrinsik: rotor turbin-arus mempunyai simetri rumit yang ditiru dari mekanika fluida; bagian luar badan pesawat terbang modern memiliki bentuk organik kontinu yang diturunkan dari tujuan aerodinamisnya, jembatan suspensi modern merupakan perwujudan esensi kesederhanaan struktural …

Desain industrial berupaya merelasikan piranti keras dengan ukuran (dimensi), respon instingtif, dan kebutuhan emosional pengguna, ketika hal-hal ini merupakan tuntutan yang relevan. Melalui kendali sadar atas bentuk, konfigurasi, penampilan keseluruhan, dan perincian, desain industrial mampu membawakan berbagai karakteristik abstrak dari suatu produk ke hadapan pengguna, misalnya, kestabilan, ketelitian … Desain industrial dapat menata kendali atas kenyamanan, keindahan, serta kemudahan pengoperasian. Selain itu, juga mampu memberi suatu produk dengan ambiens, gaya, serta ketinggian kualitas yang berbeda, yang menyetarai selera personal pengguna.8

Dalam tulisan ini, pemahaman desain yang digunakan adalah sebagai suatu materialisasi nilai-nilai melalui unsur-unsur visual yang bisa berbasiskan metode ilmiah, intuisi atau keterampilan semata, dan bisa berupa dua maupun tiga dimensi. Adapun nilai-nilai yang digunakan diambil dari suatu budaya dan kebiasaan sehari-hari (habit). Seringkali penerapan nilai-nilai seperti ini luput diperhatikan oleh sebagian besar desainer Indonesia, sehingga ketika mereka mencoba mengangkat desain berbasis budaya Indonesia, bukanlah nilai yang diangkat untuk dimaterialisasikan menjadi sebuah karya desain, melainkan hanya unsur-unsur visualnya saja yang dipakai (misalnya motif, bentuk atau ukirannya saja).

Menarik bahwa beberapa antropolog budaya bahkan menyatakan bahwa artefak—atau dalam tulisan ini adalah desain dalam pengertian antropologis—yang manusia ciptakan adalah media, tempat identitas budaya dilestarikan dan dikomunikasikan pada generasi berikutnya. Beberapa antropolog lainnya bahkan melangkah lebih jauh lagi dengan menyamakan antara kultur dan artefak yang dipakai oleh suatu masyarakat. Johan Rheinfrank, misalnya, memandang bahwa mendesain produk berarti mendesain bahasa, sehingga tiap produk mempunyai bahasa visualnya sendiri. Bahkan bentuk suatu objek mesti memperlihatkan tujuannya. Makna yang dimaksudkan di sini bukanlah bagaimana sesuatu itu dipakai ataupun bagaimana seseorang bisa memandang sesuatu itu bekerja. Akan tetapi, lebih dari itu, makna selalu menjadi sebuah interpretasi atas objek dalam konteks sosio-kulturalnya. Bahkan pada tingkatan tertentu, penampilan hasil akhir suatu produk akan mencerminkan sikap pribadi desainer akan kebudayaan.

Desain Sebagai Ujung Tombak Inovasi


Dalam suatu seminar di Australia tahun 1992, Kenichi Ohmae memaparkan tuntutan inovasi bagi setiap perusahaan atau industri jika tidak ingin kalah oleh pesaing dengan menyebutkan tiga skala tingkatan inovasi. Tingkat pertama, inovasi yang bersifat fundamental berupa berbagai penemuan baru dalam prinsip sains dan teknologi serta sangat signifikan dalam membuat perubahan, misalnya penemuan IC (Integrated Circuit) yang menggantikan transistor pada era 70-an. Tingkat kedua adalah inovasi melalui desain produk yang mengaplikasikan berbagai penemuan prinsip dasar sains dan teknologi, yang frekuensi inovasinya terjadi relatif lebih tinggi daripada frekuensi inovasi tingkat pertama. Misalnya, dengan ditemukannya IC, maka perubahan yang terjadi pun berlangsung dengan cepat, mulai dari kalkulator, televisi, radio, dan sebagainya yang mengalami perubahan desain. Sedangkan pada tingkat ketiga adalah inovasi dalam skala harga yang frekuensi perubahannya jauh lebih cepat daripada inovasi dalam desain produk dikarenakan sangat tergantung pada banyak faktor, mulai dari faktor konsumen sampai dengan proses produksi.9

(Maaf, gambarnya gak bisa ikutan nampang juga..)

Dari gambar di atas, tampak bahwa desain dapat melakukan frekuensi inovasi dalam tingkat yang tinggi hanya dalam satu kali lompatan inovasi rekayasa. Sedangkan harga dapat dilihat sebagai variabel yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk salah satunya oleh desain itu sendiri. Dengan demikian, desain produk dapat memberikan kemampuan diferensiasi bagi industri sebagai salah satu keunggulan bersaing, karena dapat memberikan preferensi bagi konsumen melalui keberagaman desain (fungsi dan atribut produk). Inilah salah satu kata kunci dalam wacana kapitalisme mutakhir dalam membangun identitas gaya hidup.

Adapun dalam setiap penemuan baru yang kemudian diterapkan dalam desain produk, umumnya harga yang ditetapkan produsen adalah sekian kali lipat biaya produksi, termasuk di dalamnya adalah biaya riset. Sehingga hampir pada setiap produk baru—khususnya produk perangkat elektronik—harga yang ditetapkan umumnya terbilang cukup mahal. Harga itu sendiri mengisyaratkan dan menyeleksi secara alami konsumennya yang notabene adalah kalangan yang cukup berada saja, karena akhirnya hanya mereka sajalah yang sanggup memiliki produk tersebut. Namun, setelah beberapa waktu dan dengan ditemukannya bentuk inovasi yang lain dan baru lagi, entah itu berupa teknologi ataukah desain—harga produk tersebut pun akan turun. Maka dilakukanlah diferensiasi produk secara massal. Pada gilirannya masyarakat luas pun mulai bisa mengkonsumsinya dengan harga yang cukup terjangkau.

Di sinilah tercipta fenomena “aliran ke bawah” di mana masyarakat kelas bawah selalu menginginkan pula produk-produk yang digunakan oleh masyarakat kelas atas agar mereka—seolah-olah—bisa terangkat status sosialnya melalui berbagai citraan yang ada dalam produk tersebut. Untuk tujuan itu, mereka biasanya tidak segan-segan membeli produk tiruan yang menyerupai produk asli, walaupun mutunya sangat jauh berbeda. Pertimbangan mutu dalam pemilihan produk pun kemudian memegang peranan kedua setelah citra atau simbol sosial yang termuat dalam produk tersebut.

Sekarang ini dapat dilihat bagaimana produk perangkat elektronik yang berkaitan dengan komunikasi, pada umumnya cukup diminati serta memiliki varian harga yang cukup luas disesuaikan dengan kualitas dan desain bagi kelas sosial yang menjadi sasaran pemasarannya. Misalnya, pager yang pada awal kemunculannya dijual dengan harga mencapai ratusan ribu, sehingga hanya masyarakat dari kelas sosial tertentu saja yang dapat memilikinya.

Namun setelah beberapa waktu, mulailah harga jualnya menurun—bahkan cukup dengan membayar iurannya saja—hingga masyarakat luas pun dapat memilikinya dengan harga yang terjangkau. Dengan cepat pula kemudian pager pun tergusur oleh telepon genggam (handphone), walau pada awal kemunculannya telepon genggam tersebut hanya dapat dimiliki oleh kalangan atas saja. Demikianlah, kalangan industri tetap mencoba melakukan inovasi-inovasi melalui desain, harga dan—kalau bisa—inovasi teknologi yang akan membuat modalnya terus berputar. Sekecil apapun hasil inovasi tersebut, dengan cepat akan diproduksi menjadi sebuah produk “baru”, walaupun masih belum sempurna.

Sedangkan inovasi tingkat kedua—yaitu desain—biasanya tetap dipertahankan untuk peremajaan produk bagi masyarakat kelas atas yang memang memiliki kemampuan untuk membeli, karena citra kuno atau ketinggalan zaman menjadi suatu kondisi yang dihindari, bahkan menakutkan, bagi kapitalisme. Sebut saja strategi peremajaan tersebut sebagai “kanibalisasi produk” di mana produk dari satu perusahaan yang mulai mencapai titik jenuhnya “dimakan” oleh “adik kandung” dari produk itu sendiri yang bisa jadi lahir dari perusahaan yang sama. Yasraf Amir Piliang, misalnya, mengungkapkan bahwa Swatch AG, sebuah perusahaan elektronik multinasional, menggunakan strategi memampatkan waktu turn-over dengan mengadakan “pembersihan” window display setiap 6 bulan sekali, dan mengganti produknya dengan tak kurang dari 60 desain baru. Di samping itu, produk mereka pun dijadikan sebagai bagian dari dunia fashion yang disesuaikan dengan pergantian musim dan perubahan trend; kemudian mengiklankannya dengan cara mengajak konsumennya menjadi “kolektor” pribadi Swatch. Sebuah strategi yang kini telah menjadi panutan banyak industri barang konsumer lainnya hampir di seluruh dunia.10

Apabila pendidikan desain di dunia akademis para mahasiswa diajari untuk membuat sejumlah alternatif desain, mengoreksinya dan menggabung-gabungkannya hingga didapatlah suatu bentuk desain akhir yang akan dijadikan proyek studionya. Sebaliknya, di dunia industri, bisa dikatakan setiap coretan sang desainer, bagaimanapun jadinya, memiliki peluang yang sama besarnya untuk diproduksi secara massal. Inilah yang kemudian dijadikan sebagai varian produk.

Komoditi Elektronik Pembentuk Hasrat dan Simbol Sosial

Di Kantor Regional IOCU (International Organisation of Consumers’ Unions) untuk Amerika Latin dan Karibia—yang bertugas untuk menginformasikan pada konsumen mengenai hak-hak mereka—terpampang sebuah hiasan dinding atau quilted berbunyi “Todos somos consumidores y tenemos derechos” (Kita semua adalah konsumen dan kita mempunyai hak). Namun di balik usaha penyadaran lembaga-lembaga tadi terhadap konsumen, proses produksi-konsumsi masih terus berjalan karena adanya dorongan dari dalam diri konsumer sendiri untuk mengkonsumsi secara berlebihan.11

Dalam permasalahan ini dapat dilihat bahwa desain produk sebagai disiplin ilmu memiliki dua peran, yaitu sebagai sarana pengikut selera konsumen dan sarana pembentuk selera konsumen. Dalam melihat hal ini, pihak industri memanfaatkan desain dengan cara: pertama; melalui desain pihak industri memancing masyarakat untuk semakin konsumtif dan mengakibatkan terjadinya ledakan kebutuhan (exploding demand), berupa hasrat yang berlebihan untuk memiliki berbagai barang yang sebenarnya tidak esensial. Kedua; melalui desain pula pihak industri semakin meradikalkan individualisme para konsumen dengan menyelipkan hasrat-hasrat pribadi ke dalam barang-barang yang diproduksi, seperti prestise, hasrat ekslusifitas, bonafiditas konsumen. Ketiga; melalui desain sehingga iklim kompetisi dunia industri semakin keras; bahwa untuk dapat mempertahankan diri industri harus sanggup mengalahkan saingannya dengan kreasi-kreasi baru di mana peranan desain menjadi penting.12

Fenomena seperti ini dipandang oleh Adorno dan Horkheimer tak lebih dari suatu bentuk fasisme. Ironisnya lagi, di Indonesia yang terjadi malah bagaimana gaya dan selera konsumer direkayasa oleh para produser lokal yang mereka sendiri pun telah direkayasa atau didikte oleh para narasumber product planner, trend analyst, stylist atau desainer dari Barat. Bahkan, pendiktean ini merambah hingga aspek-aspek sosial dan budaya yang seolah-olah Barat. Tampaknya memang terdapat juga semacam globalisasi hasrat, bahwa anak muda hampir di seluruh penjuru dunia sangat terpesona dengan budaya pop, dengan segala yang berbau Barat; misalnya kenapa banyak orang di Indonesia yang saranya sangat ingin menjadi bergaya “Amerika” secara sadar atau pun tidak. Sehingga tidak heran bahwa globalisasi, sedikit banyak, juga merepresentasikan globalisasi hasrat juga, bahwa tampaknya kebanyakan orang memang menginginkan sesuatu yang kurang lebih sama.

Hasrat memang terbentuk dari rasa kurang (lack), namun hasrat terbentuk dari dua bentuk dorongan dasar yang membuat manusia jadi menginginkan sesuatu, yaitu karnal (carnal) dan libidinal. Karnal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya material, seperti lawan jenis, harta benda, atau makanan, dan segala hal material lainnya. Pembentukan karnal ini sangat bergantung kepada sifat dasar (nature) dari objek karnal itu sendiri (yaitu objek-objek material) yang “bersentuhan” dengan tubuhnya. Misalnya, apabila seseorang terbiasa dengan makanan yang sangat sederhana, maka karnalnya terhadap makanan tidak tumbuh menjadi semakin sophisticated. Namun, sekalinya dia mencicipi makanan yang jauh lebih mewah dan enak daripada yang biasa dia makan, maka karnalnya pun mulai memiliki referensi lebih dan akan mulai meng-upgrade karnal tersebut untuk menciptakan keinginan yang lebih dan rasa kekurangan.

Libido, secara umum, sering dikonotasikan dengan dorongan seksual, padahal di karya-karya terakhirnya Freud pun tidak lagi menggunakan libido dalam pengertian semata hasrat seksual, tetapi lebih kepada energi hidup secara lebih luas. Istilah libidinal tidak kami gunakan dalam definisi dan konteks psikoanalisis pada umumnya, selain juga untuk membedakan dan menghindar dari pengertian umum istilah libido tersebut. Libidinal adalah hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya imaterial, seperti citra, harga diri, kekaguman orang lain, kepandaian, dan segala hal imaterial lainnya. Dalam pembentukannya, libidinal ini lebih terarah kepada dirinya sendiri, kepada dorongan dan kepentingannya akan pemuasan sang ego—yaitu, aspek “otak” dari libidinal. Di sini, imajinasi sangat berperan penting dalam pembentukan libidinal ini, karena kepuasan libidinal sifatnya lebih imaterial, dan dalam pertumbuhannya, libidinal sangat memerlukan kehadiran yang lain sebagai apresiatornya.

Gabungan karnal dan libidinal akan membentuk hasrat, karena ketika dimanifestasikan, dalam hasrat selalu terdapat unsur karnal dan libidinal. Misalnya, hasrat untuk memiliki HP terbaru dan tercanggih (karnal) dapat membuat seseorang merasa percaya diri dan bergengsi di hadapan orang lain (libidinal), hasrat untuk memiliki laptop tipis dan model akhir (karnal) dapat membuat seseorang merasa begitu bangga ketika berjalan menentengnya di hadapan khalayak (libidinal), dan masih banyak lagi yang lainnya.

Menarik bahwa John Walker, misalnya, membedakan dua kelompok konsumen yang umumnya dikenal dalam masyarakat kapitalis Barat, yaitu user, yang membeli dan memakai suatu produk dengan melihat fungsi guna sebagai yang terpenting, di mana konsumen hanya mengkonsumsi untuk aspek kegunaannya saja, dan consumer, yang membeli dan memakai suatu produk dengan sangat memperhatikan maknanya, konsumen di sini mau membeli apapun demi mode dan selalu mengikuti trend yang terus berubah-ubah.13

Pada kelompok konsumen terakhir inilah produk—yang dalam tulisan ini dikhususkan pada produk perangkat elektronik—berubah menjadi memiliki makna simbol status sosial, seperti bagaimana para eksekutif trendi menyatakan dirinya dengan memakai handphone model terbaru, jam tangan Rolex dan senantiasa membawa notebook dari jenis terbaru, atau seorang ABG menyatakan dirinya dengan handphone yang berwarna-warni dan berbagai fasilitas tambahan yang nyaris mubazir untuk mereka, atau sebuah keluarga berada yang menyatakan dirinya dengan produk dari teknologi audio visual tercanggih seperti Home Theatre, DVD dan lain sebagainya, atau para mahasiswa yang menggemari musik mencoba menyatakan dirinya dengan CD player yang berkapasitas 7 disc sekali main dilengkapi dengan perangkat audio lainnya, dan seterusnya.

Produk-produk tersebut—yang juga disebut dengan komoditi—memang disisipi dengan kode-kode status sosial. Namun, di negara-negara Asia, orang bahkan bisa bergaya dengan produk aspal (asli tapi palsu) dikarenakan harga dari produk aslinya sangat mahal. Tidak sedikit produsen yang bahkan membuat merek-merek yang lebih menyerupai parodi—atau juga mimikri—dari produk-produk aslinya. Bahkan dikatakan bahwa sekitar 20% ekonomi wilayah Asia Tenggara dihasilkan oleh industri aspal ini.

Pembajakan adalah suatu fenomena yang sangat marak di negara-negara Asia, dan hal itu bisa dilihat sebagai suatu resistensi terhadap pemberlakuan undang-undang hak cipta dari negara-negara Barat—atau negara makmur lainnya—yang dalam kenyataannya lebih menyerupai penjajahan model baru terhadap negara Dunia Ketiga. Toh, pada awalnya Barat pun melakukan pembajakan dan pencurian dari peradaban Timur, namun kini mereka malah memberlakukan undang-undang hak cipta—yang komersial—setelah berhasil mengembangkan “hasil curian peradabannya” tersebut. Di akhir abad ke-19, Amerika pun pernah melakukan pembajakan buku-buku dari Inggris, dan begitu pula Jepang pasca kekalahan perang. Hal tersebut baru dilakukan oleh Indonesia pada saat ini, walau pun terlambat, dan fenomena tersebut masih terus berkembang menjadi perdebatan yang belum menunjukkan titik temunya.

Kapitalisme dan Gaya Hidup

Gaya visual bisa menyatu dengan gaya hidup, karena dalam hidupnya manusia tidak bisa lepas dari bahasa rupa dua dimensi maupun tiga dimensi. Gaya merupakan suatu sistem bentuk dengan kualitas dan ekspresi bermakna yang menampakkan kepribadian seniman atau pandangan umum suatu kelompok. Bahkan ia pun merupakan satu faktor dalam produksi artistik. Gaya juga merupakan wahana ekspresi dalam kelompok yang mencampurkan nilai-nilai tertentu dari agama, sosial dan kehidupan moral melalui bentuk-bentuk yang mencerminkan perasaan. Semua manusia adalah subjek gaya sehingga kecenderungan satu masyarakat dapat dianalisis melalui spektrum gaya.

Kata “gaya” dalam bahasa Indonesia merupakan padanan dari kata “style” dalam bahasa Inggris yang berasal dari bahasa Yunani “stilus” yang artinya adalah alat tulis atau tulisan tangan. Meyer Schapiro mendefinisikan gaya sebagai “bentuk yang konstan dan kadangkala unsur-unsur, kualitas-kualitas dan ekspresi yang konstan dari perseorangan maupun kelompok.” Definisi ini mencakup juga gaya hidup dan gaya peradaban. Tetapi definisi yang cukup jelas adalah sebagaimana dikemukakan oleh Alvin Toffler, yaitu “alat yang dipakai oleh individu untuk menunjukkan identifikasi mereka dengan subkultur-subkultur tertentu. Setiap gaya hidup disusun dari mosaik beberapa item, yaitu super-product yang menyediakan cara mengorganisir produk dan idea.”

Gaya dapat dipelajari karena ia bersifat artifisial dan sadar diri. Gaya pun mengenal masa hidup (lahir, muda, dewasa, mati) dan gaya yang telah usang biasanya disebut dekaden. Sedangkan, ketika ciri-ciri gaya dengan sengaja dilebih-lebihkan, hal itu mulai memasuki pembicaraan tentang penggayaan atau styling. Pengertian penggayaan di sini adalah memberikan bentuk tertentu sesuai dengan gaya yang pernah ada di masa sebelumnya. Pandangan ini lahir karena menurut Harley Earl, masyarakat sangat rapuh terhadap perubahan gaya yang ekstrem sehingga perubahan gaya dilakukan secara evolusi.

Dalam zaman tradisional masyarakat terbagi sangat jelas, baik melalui perhiasan ataupun pakaian. Dalam tradisi masyarakat tradisional tersebut gaya visual relatif tidak banyak berubah. Pengertian tradisi di sini adalah sesuatu yang diberikan atau diteruskan dari masa lalu ke masa kini. Peter York menyatakan bahwa dibandingkan dengan saat ini, orang zaman dulu hidup dalam penjara gaya. Sedang dalam masyarakat modern, walaupun gaya berkembang pesat, ia juga mencirikan suatu ketiadaan acuan akan nilai tertinggi dan melahirkan sekularisasi atau perkembangan ke arah keduniawian.

Pada saat ini sistem globalisasi telah menghilangkan batas-batas budaya lokal, nasional maupun regional, sehingga arus gelombang gaya hidup global dengan mudahnya berpindah-pindah tempat dengan perantara media massa. Akan tetapi, gaya hidup yang berkembang saat ini lebih beragam, mengambang dan tidak hanya dimiliki oleh satu masyarakat khusus, bahkan para konsumer pun dapat memilih dan membeli gaya hidupnya sendiri. Bahkan menurut Alvin Toffler saat ini terjadi kekacauan nilai yang diakibatkan oleh runtuhnya sistem nilai tradisional yang mapan sehingga yang ada hanyalah nilai-nilai terbatas seperti kotak-kotak nilai. Gaya hidup memang menawarkan rasa identitas dan sekaligus alat untuk menghindari kebingungan karena begitu banyak pilihan.

Adanya penilaian terhadap suatu produk ditentukan oleh pola pikir dan nilai-nilai yang berkembang dan berlaku dalam masyarakat, di mana hal ini dapat menular dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya melalui media komunikasi. Hal ini termasuk salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan gaya hidup, dan pengertian desain dalam konteks ini lebih merupakan sikap, yaitu keberpihakan terhadap nilai yang berlaku. Untuk itu, kini para desainer secara sadar maupun tidak telah menyebarkan citra-citra sebagai refleksi dari ‘diri sendiri’ dan cermin-cermin komoditi yang sangat dipengaruhi oleh ideologi kapitalisme. Ideologi kapitalisme mutakhir telah mendistribusikan komoditi dan menarik keuntungan dari nilai tukar-nya, yang menuntut arus produksi dan konsumsi yang konstan dan juga kecepatan perubahan yang bersaing.

Perubahan Simbol Status Sosial


Pada pembahasan mengenai inovasi desain di atas telah dilihat berbagai strategi yang dipakai oleh pihak industri dalam upaya inovasi produk dengan kanibalisasi dan kompresi life cycle yang kemudian ternyata berdampak terhadap eksklusifitas, perubahan dan pembaharuan gaya hidup konsumennya. Pada walkman, misalnya, kita bisa melihat bagaimana produk tersebut didesain dalam berbagai bentuk atau model, kemudian ditambahi dengan beberapa fasilitas pendukung, dan juga tak lupa diimbuhi pula dengan citraan-citraan tertentu yang diasumsikan dapat mencakup seluruh keinginan konsumen, serta didesain untuk berbagai gaya hidup konsumen.

Akan tetapi, sebenarnya ada satu hal yang tetap tak berubah dari produk tersebut akibat diferensiasinya secara massal, yaitu nilai individualisme dari walkman. Begitu pula halnya dengan handphone, jam tangan Swatch atau Rolex, juga pada produk-produk audio visual dan fasilitas elektronik lainnya. Setiap produk elektronik terbaru yang dilontarkan ke pasaran seakan menghentikan umur dari produk yang sebelumnya telah ada di pasaran. Produk tersebut pun merangsang masyarakat, bahkan juga mengajarinya, untuk memperbaharui citra dirinya karena itu merupakan salah satu cara untuk “bersosialisasi” pada saat ini. Kecepatan tanpa keletihan untuk selalu mengejar yang terbaru, secepat berlipat gandanya informasi dan software terbaru di dunia komputer, juga cyberspace.

Dari sini tampak bahwa desain bukan semata-mata proses produksi oleh industri, melainkan juga proses produksi budaya. Dalam era informasi seperti saat ini—yang kemudian sering diidentikkan dengan era globalisasi—fungsi perangkat elektronik yang berkaitan dengan komunikasi menjadi sangat penting. Setiap penemuan baru dalam bidang teknologi—terutama elektronika—pada awal peluncurannya ke masyarakat luas cenderung akan menjadi milik masyarakat kelas atas. Hal ini dikarenakan biaya riset dan pengembangannya selama ini telah dikeluarkan oleh industri menjadi tanggungan konsumen. Oleh karena itu, harga jual dari produk-produk canggih tersebut sangat mahal dan belum tentu terjangkau oleh masyarakat biasa. Dalam hal ini, desainer pun bekerja sama dengan pemegang modal dan pabrik untuk memasukkan idiom dari tanda-tanda sosial yang akan menguatkan eksklusivitas dari produk tersebut, sebuah tanda baru yang akan menciptakan sebuah gaya hidup yang baru pula.

Dalam memproduksi komoditi-komoditi elektronik tersebut, industri akan menghindari dua karakter produk. Yaitu, pertama, produk roti bakar. Ini merupakan analogi untuk produk yang mempunyai sifat mudah ditiru oleh produsen lain sehingga nilai eksklusivitasnya pun hilang (ingat, warung roti bakar hampir mudah ditemukan di setiap belokan jalan). Kedua, produk travo. Ini merupakan analogi dari sebuah produk yang mempunyai umur cukup panjang dan daya tahan yang cukup kuat, sehingga para konsumen hanya cukup sekali dalam seumur hidupnya membeli produk tersebut.

Selain itu, percepatan adalah salah satu solusi yang ditawarkan oleh kapitalisme untuk menjaga kelangsungan hidup sebuah produk. Di mana produk datang dan menghilang dengan cepat serta memacu masyarakat untuk selalu bosan dengan sesuatu yang mendadak menjadi “usang” pada saat sebuah produk baru diluncurkan ke pasaran. Semangat progres dari modernisme kini telah disekularisasikan menjadi penampakan melalui produk-produk yang selalu “diremajakan”, sebuah hasrat untuk memperbarui citra diri. Di sinilah terlihat bagaimana pada awalnya hi-tech membutuhkan high cost, sehingga produk tersebut hanya diperuntukkan bagi kalangan high class. Sedangkan sains pun telah menjadi pendukung terkuat akan obsesi dari progres tersebut, terutama pada produk perangkat elektronik tadi. Di sinilah produk tersebut berubah menjadi sebuah artefak budaya.

Melihat seluruh kecenderungan yang ada dalam memandang desain, maka desain secara umum terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu kubu yang memandang desain dengan sangat optimis karena dapat menjadi tambang penghasil uang yang banyak, dan kubu yang memandang bahwa desain telah membuat masyarakat menjadi “dekaden” dengan konsumerismenya yang telah mencapai titik ekstrem. Kedua kubu ini pada akhirnya mencapai titik ekstremitasnya sendiri-sendiri, asyik dengan postulatnya masing-masing. Memang ada kubu yang mencoba untuk menengahi kedua kubu ini, misalnya Victor Papanek. Sebenarnya kedua kubu ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Adalah penting untuk membangun keseimbangan di antara keduanya dengan saling melengkapi satu sama lain.[]

Catatan Kaki:
1. “Kang Ibing, Domba, dan Buku”, Kompas, 6 Desember 1997.
2. Perlu diingat bahwa wawancara tersebut dilakukan tahun 1997 ketika harga HP masih lumayan mahal, dan hanya bisa dibeli oleh golongan tertentu saja. Berbeda dengan akhir-akhir ini ketika harga HP sudah sangat turun, sehingga bisa dibeli oleh banyak golongan masyarakat, suatu fenomena yang nanti akan dijelaskan lebih lanjut dalam tulisan ini.
3. Dalam tulisan ini saya memandang bahwa kebudayaan merupakan aspek imaterial yang melandasi pembentukan peradaban, yang merupakan aspek materialnya. Kaitan kebudayaan dan peradaban itu lebih menyerupai hubungan jiwa dan tubuh, di mana tubuh menjadi representasi apa yang “berlangsung” dalam jiwa.
4. Jean Baudrillard, (1996), The System of Objects, alih bahasa oleh James Benedict, New York: Verso, hlm. 5.
5. Gilbert Simondon, (1958): Du Mode d’Existence des Objets Techniques, Paris: Aubier, hlm. 25-26, sebagaimana dikutip oleh Baudrillard (1996), ibid.
6. Yasraf Amir Piliang, Sebuah Dunia Yang Dilipat, dalam Yang Tak Terduga, No. 2, edisi Agustus 1993.
7. Bill Nichols, “The Work of Culture in the Age of Cybernetics System”, dalam Timothy Druckrey, (1996), Electronic Culture: Technology and Visual Representations, New York: Aperture, hlm. 126.
8. Roy, Robin, “Introduction: Meaning of Design and Innovation”, dalam Robin Roy & David Wield, (1992), Product Design and Technological Innovation, Philadelphia: Open University Press, hlm. 4.
9. Lihat Sulfikar Amir, (1994), Pengembangan Desain Produk Nasional Menghadapi Liberalisasi Perdagangan, Makalah, FSRD – ITB: Bandung.
10. Piliang, Sebuah Dunia yang…, op.cit.
11. Alfathri Adlin, (1997): Permasalahan Sosial Desain dan Gaya Hidup, Makalah kelompok mata kuliah Tinjauan Desain (DS 312), FSRD – ITB, hlm. 18.
12. Sabar P. Situmorang, (1994), Desain Dalam Fenomena Politik dan Pasar, Makalah pada mata kuliah Metodologi Desain, FSRD – ITB, hlm. 4.
13. Lihat John Walker, (1989), Design History and the History of Design, London: Pluto Press.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي