Hasrat di Balik Sains: Melacak Hasrat dalam Diskursus Sains dengan Psikoanalisis
Setiap orang tabiatnya berhasrat untuk mengetahui. —Aristoteles, Metaphysica.
Apa motif sebenarnya di balik ikhtiar kita berpengetahuan? Dari motif praktis-instrumental hingga motif religius-eksistensial, kita dapat menyusun berbagai rationale untuk menjustifikasi aktivitas ilmiah kita. Namun di balik segala motif itu—jika kita paksa semua rationale itu jujur mengaku—kita dapati “sekadar” hasrat (desire). Sebab hanya hasrat, tidak ada satu rationale pun selain hasrat, yang punya kekuatan cukup besar untuk menggugah ikhtiar sebegitu passionate seperti sains: menghabiskan bertahun-tahun masa studi yang berat, berkutat mengkaji persoalan yang rumit, tenggelam menyusun eksperimen dan observasi yang melelahkan, bahkan mendedikasikan segenap tubuh dan pikiran kita. Dalam hal ini, meski berbeda dalam banyak aspek penting, pada dasarnya sains tidak berbeda dari seni (malah juga dari berbagai aktivitas sehari-hari lainnya). Bedanya, dalam seni, hasrat diekspresikan secara langsung—sementara dalam sains, hasrat diartikulasikan melalui rationale tertentu. Yang radikal di sini, hasrat menjadi bukan sekadar tenaga pendorong, tapi justru rationale itu sendiri adalah hasrat yang diartikulasikan. Sehingga kita jumpai ironi: ikhtiar kita yang paling rasional (sains) ternyata merupakan artikulasi dari dorongan yang paling irasional (hasrat).
Di satu sisi, setiap orang sudah tahu apa artinya hasrat. Dalam tips pengelolaan keuangan misalnya, sudah biasa dibedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (wish). Kebutuhan berpijak pada requirement yang kongkret dan spesifik (misal, biologis), sementara keinginan berpacu dalam hasrat yang tanpa bentuk; kebutuhan terpenuhi, tak menjamin hasrat terpuaskan. Di sisi lain, banyak persoalan mendasar yang masih gelap tentang hasrat: apakah hasrat adalah semacam “perasaan,” yang terkait dengan kepuasan; jika begitu, apakah hasrat dapat dipuaskan; jika tidak, kenapa dan dari mana hasrat berasal; apakah hasrat itu disadari, atau ada di luar kesadaran dan malah menguasai kesadaran kita; apakah hasrat itu positif/konstruktif atau negatif/destruktif; dapatkah hasrat dikuasai dan dikendalikan oleh rasio; namun bukankah kehendak rasio untuk menguasai dan mengendalikan hasrat justru adalah hasrat juga?
Bagi sains, hasrat agaknya tak lebih dari sekadar kemunculan pola aktivitas otak dalam orbitofrontal cortex yang menstimulasi struktur bagian dalam otak untuk melepaskan dopamine, yang lantas menstimulasi lagi sejumlah struktur termasuk ventral pallidum, yang selanjutnya menstimulasi perigenual anterior cingulate cortex dalam domain afektif otak, yang kemudian menimbulkan sensasi kepuasan. Dengan perincian seperti ini—dikerangkeng dan berjarak dari si pengamat—hasrat memang tampak lebih jinak. Sains juga tidak risau akan kontaminasi hasrat dalam ikhtiar ilmiahnya. Dengan metode ilmiahnya yang mekanistik dan eksplisit, kinerja rasio telah terpagari, kedap intrusi hasrat. Implisit di balik pemagaran ini adalah kepercayaan taken-for-granted—yang diwarisi dari tradisi agama dan filsafat sejak ribuan tahun yang lalu—bahwa demi meraih kebenaran sejati, hasrat memang mesti disingkirkan dari setiap ikhtiar berpengetahuan.
Barangkali benar, metode saintifik itu murni rasio, disadari penuh, netral polusi hasrat; menjamin akumulasi pengetahuan yang bebas nilai dan objektif, fungsional dan reliable. Sulit menyangsikan ini. Tapi, obsesi kita untuk merasa aman dan nyaman dengan bersandar pada pijakan epistemologis yang mantap itu pastinya merupakan sebentuk hasrat juga. Hasrat esensial yang jelas melampaui kebutuhan untuk sekadar bertahan hidup: hasrat untuk memahami (baca: menguasai) alam, membunuh kegamangan eksistensial di tengah semesta yang besar dan asing ini. Maka, klaim tentang hasrat sebagai aktivitas kimia-syaraf berbasis dopamine tadi—yang empiris dan taat metode ilmiah—sebenarnya justru terbangun oleh hasrat itu sendiri. Catat, koherensi dan konsistensi kebenaran klaim itu dalam konteks terbatas scientific enterprise adalah satu hal—yang tidak hendak dibantah di sini. Namun, dalam konteks sebagai pembacaan yang lebih luas (baca: penafsiran) atas suatu gejala empiris, itu adalah lain hal. Dengan kata lain, pendekatan sains dalam rangka memahami hasrat—dengan mengobjektivikasi hasrat dan mengasumsikan kesucian metode ilmiahnya dari distorsi hasrat—niscaya selalu gagal. Dalam sains, selalu ada reduksi—yang signifikan, kalau bukan fatal—dalam melihat hasrat, dan juga kelalaian yang terus-menerus untuk menyadari sedalam apa hasrat terlibat dalam reduksi itu. Sains mengidap ignorance yang akut soal hasratnya sendiri.
Sebetulnya kebuntuan sains ini lebih mendasar lagi, bukan sekadar soal hasrat tapi soal tinjauan seutuhnya atas fenomena ke-manusia-an. Dan atas kebuntuan ini kita tak bisa salahkan sains. Bayangkan, betapa problematisnya—yang biasanya menyelidiki objek selain dirinya, kini dipaksa menyelidiki dirinya sendiri sebagai subjek! Jadi kita bisa maklum, subjek terpaksa diobjektivikasi, dieksternalisasi—lebih jauh lagi, dimaterialisasi—dan dipagari dari metode ilmiah yang dibangunnya: subjek dianggap objek, metode ilmiah dianggap given dari langit. Dengan begini, sains bisa mengusulkan (seringkali artinya: memastikan) satu atau beberapa teori tunggal (seringkali juga berpretensi komprehensif) yang relatif fungsional, reliable, dan established. Dengan tidak begini—memainkan subjek, melonggarkan “kreativitas” metode—namanya bukan-sains, mungkin filsafat namanya, dan tidak tersedia lagi privilege ala sains itu. Namun, di hadapan kebuntuan sains soal hasrat, agaknya bukan-sains itu punya tawaran yang lebih menarik. Setidaknya, bisa melihat dengan tajam dan kritis apa yang persis diabaikan oleh sains. Selain itu, ia juga mampu membuat ground-breaking breakthrough, mirip inovasi dalam sains atau teknologi, tentu dalam tataran berbeda. Di sini tawarannya bukan terkait akumulasi progresif pengetahuan, tapi lebih pada daya subversifnya menantang established ignorance. Copernicus, Galileo, atau Newton misalnya, adalah tokoh subversif. Di taraf filosofis, ada tokoh subversif Kant atau Nietzsche misalnya, yang membalikkan gravitasi pemikiran konvensional.
Sains gagal melihat refleksi hasrat yang bersemayam dalam kecemerlangan rumusan juklak/juknis epistemologisnya; jangankan untuk menemukan keterlibatan hasrat menunggangi rasio. Sains bisa sepakat pada pembuktian Kant akan keterbatasan rasio. Namun rasio tetap otonom dan independen, pijakan paling terpercaya bagi setiap ikhtiar berpengetahuan, dan tak perlu dipertanyakan lagi. Apalagi dalam rumusan metode ilmiahnya yang eksplisit, tidak ada sedikitpun peluang untuk ditunggangi. Namun Nietzsche justru begitu curiga pada kepolosan dan kesebegituan rasionalitas ini. Baginya, gambaran tentang seorang pertapa nan bijak yang menyucikan dirinya, tak ubahnya seperti seorang pengumbar nafsu yang ditunggangi hasrat untuk berkuasa—menguasai dirinya sendiri, menguasai alam semesta, menguasai pengetahuan, menguasai kebenaran. Barangkali tuduhan ini terlalu “spekulatif,” karena filsafat memang tidak berjangkar pada data dan fakta empiris. Di sini “spekulatif” bisa diterima, karena persoalannya memang bukan mau melestarikan skema benar/salah yang justru perlu dipertanyakan itu, tapi lebih pada apakah cukup kritis, radikal, tajam, dalam, dan punya kekuatan subversif yang signifikan. Selain itu, mengumpulkan banyak data juga mungkin tidak bakal terlalu membantu, sebab di sini bukan seperti “saya” menyelidiki “ini/itu,” melainkan “saya” menyelidiki “saya.” Semakin lengkap data tentang “ini/itu” memang semakin bagus. Tapi semakin banyak data tentang “saya,” semakin kompleks urusan “saya.” Hasilnya tampak spekulatif lagi.
Psikoanalisis misalnya. Psikoanalisis bukan filsafat, juga bukan sains (bukan psikologi). Di satu sisi, penggemar sains akan menyukai psikoanalisis karena sangat berbasis pada data, fakta, bukti, pengalaman empiris dan klinis. Latar belakang tokoh psikoanalisis seperti Freud atau Lacan bukan filsuf pemikir kursi-goyang, tetapi conventional scientist, neurologist, dan kedokteran/psikiatri. Namun penggemar sains juga akan geram membaca kesimpulannya yang tampak sangat “filosofis,” “spekulatif,” dan “mengada-ada.” Di sisi lain, penggemar filsafat justru akan menyukai hal itu, selain juga karena kekuatan subversif psikoanalisis yang begitu kritis menantang gagasan kokoh yang sudah sangat established tentang hakikat manusia. Namun, mereka juga begitu kuatir dengan pendekatan “ilmiah” psikoanalisis yang cukup kental (Freud dan Lacan ingin membuat psikoanalisis dianggap sains), sehingga berisiko jatuh menjadi positivistik dan kehilangan daya kritis dan subversinya. Dari “teori” psikoanalisis yang bukan sains dan bukan filsafat inilah kita akan melacak hasrat dalam diskursus sains.
Tentu agak sukar untuk melihat aspek hasrat dalam sains melalui content saintifiknya yang spesifik. Namun cara bagaimana hasrat beroperasi dalam sains dapat sedikit terungkap jika kita menganalisis cara penanganan formal dari content saintifik itu. ‘Data’ berubah menjadi pengetahuan ilmiah melalui suatu mekanisme transformatif, mulai dari proses pembentukan aturan intersubjektif, hingga serangkaian konvensi naratif dan linguistik. Dengan kata lain, cara penanganan formal ini adalah persoalan artikulasi, persoalan ‘bahasa’. Maka untuk memahami hasrat di balik sains, kita dapat menganalisis cara artikulasi sains, atau karakteristik dari “diskursus” sains, yakni cara berbahasa sains.
Cara bagaimana kita membahasakan suatu persoalan sangat mempengaruhi penampilan dari persoalan itu. Jika kita dengan sengaja ataupun tidak, mengubah cara kita berbicara, maka persoalan yang tampil melalui pembicaraan kita akan mengungkapkan sisi yang sebelumnya tersembunyi.
Persoalan bahasa dapat dikatakan merupakan salah satu aspek terpenting dalam teori psikoanalisis, bahkan sejak teori psikoanalisis disusun pertama kalinya oleh Sigmund Freud. Melalui psikoanalisis kita tahu bahwa bukan saja persoalan yang dibahasakan itu bergantung pada cara artikulasinya, namun juga cara artikulasi itu sendiri bergantung pada struktur kolektif bahasa. Bahasa telah menyusun komponen-komponen kebenaran dari suatu persoalan. Dalam pandangan psikoanalisis, konstruk yang kita persepsi sebagai “realitas” adalah suatu sistem yang secara fundamental terbangun dari bahasa, yakni keragaman tindak pengucapan yang muncul dari berbagai kepentingan spesifik yang berbeda, dengan berbagai konotasi sosial, kultural dan politisnya.
Dalam analisis dari diskursusnya, ciri khas sains kontemporer dapat memperlihatkan dirinya. Asumsi yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa “sains”—metode dan asumsinya—dapat dianalisis sebagai “kepribadian kognitif” peradaban masyarakat manusia modern. Sains merepresentasikan concept-imagery dari kehidupan sehari-hari manusia, dan sama seperti dunia simbolik personal dari seorang individu terungkap melalui analisis bahasa subjektifnya melalui psikoanalisis, analisis semacam itu terhadap bahasa sains akan mengantar pada berbagai wawasan yang penting untuk mengatasi berbagai persoalan di depan.
Dengan berbagai asumsi tersebut di atas, pertanyaannya bukanlah “apa itu sains”, namun “bagaimana bahasa sains bisa dikarakterisasi”. Untuk membahas persoalan ini, perlu dibahas sejumlah temuan psikoanalisis kontemporer tentang bahasa dan pengucapannya, yang terumuskan dalam model diskursus yang dikembangkan oleh Lacan.
Menurut Lacan, diskursus adalah: (1) strategi dasar argumentasi, dan (2) sistem formal artikulasi. Diskursus (Lat. discurrere: berlari berputar-putar; dari dis: dari segala arah, currere: berlari), “berlari berputar-putar” karena mencari sesuatu yang dirasakannya kurang (lack). Diskursus mendefinisikan dirinya dalam relasinya dengan apa yang dirasakannya kurang itu, dan dalam sikapnya terhadap sistem simbolik bahasa yang melaluinya diskursus itu disampaikan.
Dalam menganalisis mekanisme suatu diskursus, hal yang paling mendasar dalam perspektif psikoanalisis Lacan adalah menyadari bahwa setiap diskursus didefinisikan dan diciptakan oleh tiga komponen penyusun yang saling mengunci (Borromean ring), yang dalam terminologi Lacan disebut register: Yang Real (the Real), yang Imajiner (the Imaginary), dan yang Simbolik (the Symbolic).
(Tiga “register” dari setiap diskursus: Yang Real (R), yang Imajiner (I), dan yang Simbolik (S), diilustrasikan dalam topologi Borromean ring.)
Tiga register ini, menurut psikoanalisis Lacan, bukan sekadar merupakan struktur sistemik sifat manusia, namun juga merupakan elemen konstruktif dari setiap formalisasi linguistik pengetahuan dan pengalamannya. Tiga register ini amat berbeda dari tiga elemen Freudian id, ego, dan superego, namun bisa disebandingkan dengan elemen Freudian itu dalam perannya sebagai elemen antropologis dasar dari setiap tindak kognitif. Interaksi di antara ketiga register ini memunculkan segala sesuatu yang kemudian tumbuh sebagai kesadaran individu.
Pada hakikatnya, ketiga register ini merupakan suatu ekspresi dari hasrat: satu kekuatan utama tersembunyi yang terkait secara tak terpisahkan dengan eksistensi seorang individu dan memicu setiap tindak pengucapan yang membangun realitas.
Apa dan bagaimana ketiga register ini berinteraksi untuk membentuk pengetahuan dan subjektivitas, dan lebih jauh lagi, kaitannya dengan bangunan sains?
Yang Real barangkali merupakan konsep yang paling menarik sekaligus paling sukar di dalam terminologi psikoanalisis Lacan. Justru berbeda 180° dari makna konvensional tentang realitas atau kenyataan, yang Real menurut Lacan adalah semacam pengalaman yang merasakan sesuatu selalu masih tetap terbuka ketika sesuatu disimpulkan. Dengan kata lain, “ruang” yang dimiliki oleh subjek sebagai “Aku” selalu dilingkupi oleh yang Real, yang merepresentasikan pasangan komplementer dari “Aku”. Yang Real ini adalah yang tak dikenal, atau dalam istilah Lacan, yang non-identik. Yang Real menunjukkan suatu “ruang” di luar “Aku” subjek, yang tak akan pernah bisa termasuki. Hasrat manusia pada akhirnya ingin memperoleh kesadaran dan kekuasaan atas ruang ini untuk mengatasi keterbatasan eksistensial subjektivitas, untuk menemukan kelengkapan diri, kepuasan penuh, dan memperoleh “solusi akhir”; namun demikian, ia tak akan pernah mencapai sepenuhnya, dan tak akan terpuaskan untuk waktu yang lama. Jadi, subjek terpaksa terus bergerak. Dari sudut pandang ini, yang Real dapat dilihat sebagai “kehampaan produktif” dalam psikis manusia. Yang Real selalu mengingatkan subjek akan ketaklengkapan dirinya yang amat mendasar, yang memperlihatkan dirinya dalam kemenyatuan imajinernya. Karena itu, yang Real berperan membentuk subjek sebagai makhluk yang senantiasa berproses, yang tak pernah bisa berakhir, dan yang harus selalu mendefinisikan kembali dirinya secara permanen dan terus-menerus melalui objek-objek dari tindakannya, dan pencapaian-pencapaian dari pengetahuannya.
Memikirkan yang Real berarti berhadapan dengan misteri eksistensi itu sendiri. Hal ini mengancam subjek, karena yang Real tak tersentuh dan tak terbayangkan, sesuatu yang tak bisa dikendalikan oleh subjek. Untuk melucutinya dari sifatnya yang mengancam dan menakutkan, pertama yang Real harus dijebak dalam citraan dan gambaran, dibuat familiar, lantas kemudian dibuat konkret dalam objek-objek yang memiliki kekuasaan untuk mengintegrasikannya, dan dengan demikian “diobjektivikasi”. Dengan kata lain, subjek berharap punya peluang untuk mengendalikan yang Real jika subjek: (1) mentransformasikan pengalaman yang Real menjadi makna melalui kekuatan yang menghidupkan dari yang Imajiner, dan (2) memproyeksikan makna itu ke dalam objek-objek simbolik (yakni, segala sesuatu dalam pengertian luas yang bisa dipandang sebagai elemen “bahasa” tempat kreativitas manusia mengekspresikan kerinduannya akan sesuatu yang lebih baik dalam bentuk konkret dan material).
Secara singkat dapat dikatakan, aktivitas dasar kehidupan manusia adalah secara sadar dan tidak sadar “mengisi” objek-objek realitas material secara “imajiner” dengan semacam “sense” misterius akan yang Real. Jadi, di satu sisi, yang Real adalah luka sang subjek. Namun di sisi lain, yang Real juga meski absen namun justru menjamin kehidupan positif subjek. Yang Real menjaga tetap hidupnya mekanisme yang menjaga keutuhan subjek, menjaga subjek supaya tetap ada kerjaan. Pada saat yang sama yang Real sebagai sesuatu yang secara ultimat tak terpahami juga tetap menjaga eksistensi manusia tetap terbuka dengan secara permanen mengkounter fungsi imajiner “Aku” yang—sebagai otomatisme narsistik—senantiasa dibawa pada kecenderungan yang utuh, tertutup dan cepat puas.
Satu hal yang penting dalam mekanisme interaksi di antara ketiga register ini adalah bahwa keseluruhan sistem hanya akan beroperasi dengan sesuai, jika ketiga register ini berpartisipasi secara sama dan seimbang.
Menurut Lacan, mekanisme sistem saintifik (sains) mengikuti hukum yang sama seperti mekanisme psikis subjek. Dengan kata lain, konflik produktif di antara ketiga register itu tidak hanya membentuk psikis subjek, namun juga membentuk penataan struktural sains; yang berlaku pada subjek, juga berlaku pada sains.
Secara singkat, ikhtiar saintifik disebabkan dan terdorong maju oleh yang Real. Yang Imajiner membentuk objek-objek yang diminati dan mendefinisikan tujuan-tujuan yang mungkin. Yang Simbolik menyediakan berbagai instrumen untuk bekerja dan berkomunikasi—media dan sistem penataan tempat pengalaman kognitif dapat dimaterialisasi dan disebarkan.
Jika ketiga register ini memiliki peran yang sama, maka segala sesuatunya akan berjalan seimbang. Namun jika salah satu register memiliki peran berlebih, muncul ketakseimbangan. Misalnya, jika ikhtiar saintifik hanya berkonsentrasi pada konstruksi teori, maka ada risiko pembentukan ilusi dalam keliaran yang Imajiner. Jika, register simbolik terlalu ditekankan berlebihan, maka sains akan menjadi sekadar teknologi, berkorelasi dengan alienasi subjek dan dehumanisasi sains secara umum.
Selain itu, ada diagnosis kedua dari psikoanalisis yang cukup penting dalam menyelidiki sains. Pengalaman mendasar subjek persis di tengah ketiga register ini memperlihatkan ketiadaan pengetahuan netral, “objektif”, yang bisa eksis secara independen dari proses subjektif. Suatu bentuk pengetahuan yang memiliki klaim validitas atau klaim kebenaran terkait secara tak terpisahkan dengan eksistensi subjek, karena pengalaman akan “kebenaran” bergantung pada relasi kesadaran dan ketaksadaran subjek terhadap ketiga register itu. Misalnya, jika subjek lebih memilih yang Imajiner ketimbang yang Real dan yang Simbolik, kebenarannya tak akan sama dengan subjek yang memilih yang Simbolik dan menolak yang Imajiner dan yang Real. Dan subjek yang berkonsentrasi penuh pada pengalaman mistiknya akan yang Real akan menganggap aspek lain sebagai kebenaran ketimbang seorang subjek yang sepenuhnya berorientasi keamanan dan kenyamanan material dari yang Simbolik.
Menurut Lacan, hal ini mengindikasikan bahwa kebenaran tanpa subjektivitas adalah sesuatu yang tak masuk akal; kebenaran selalu harus melalui subjektivitas. Hal ini juga merupakan alasan kenapa seorang subjek tak bisa sekadar menganut pengetahuan subjek lain pada bidang simbolik, jika ia menginginkan kebenaran. Pada bidang simbolik, yang ada hanya mediasi, namun bukan kebenaran. Karena itu, seluruh draft pengetahuan harus diinterpretasikan secara terusm-menerus dan diperbaharui secara subjektif.
Lacan menyatakan bahwa dalam setiap diskursus ketiga register ini beroperasi dalam mekanisme yang kompleks, meski tak selalu berada pada tingkat kesadaran. Pada akhirnya, sains adalah salah satu cabang pengalaman manusia tentang dunia seperti pengalaman lainnya. Dalam sistem saintifik maka tak mungkin ada produksi dan posisi pengetahuan independen dari subjek tunggal yang merealisasikan sains, dan ketaksadarannya. Bangunan sains disusun dari gabungan sejumlah besar pengalaman kognitif subjektif dalam pencarian “kebenaran” tentang yang Real, yang saling berinterelasi di dalam suatu bingkai kolektif-historis.
Lacan mengamati diskursus kontemporer tentang sains senantiasa mengabaikan temuan mendasar psikoanalisis tentang interelasi konstruktif di antara ketiga register dan antara kognisi, kebenaran, dan subjektivitas. Dan karena itu, menurut Lacan, diskursus sains dicirikan oleh dua bentuk khusus neurosis.
Pertama, tampak jelas diskursus sains lebih menekankan register simbolik karena berfokus pada aspek abstraksi formal, objektivitas, dan performativitas pengetahuan. Pergeseran register simbolik ini berlangsung dengan mengabaikan yang Imajiner dan yang Real. Dalam kerangka acuan logis sains modern, kedua register ini senantiasa dikecualikan dari bidang cakupan “kognisi” dan “pengetahuan”. Dari sudut pandang modernitas, sains dapat konsisten sebagai sains hanya jika kognisi dijamin tanpa sisa-sisa subjektivitas, ketaksadaran, dan imajinasi. Hal ini adalah pandangan dominan kini.
Dari sudut pandang psikoanalisis, terkait dengan fakta dominasi Simbolik dan postulat objektivitas, maka harus disimpulkan bahwa subjek sains tak bisa mencapai dimensi pengalaman kebenaran. Bahkan, dalam sains modern, kebenaran telah digantikan oleh rightness, yang berorientasi pada otoritas teknis. Neurosis sains pertama adalah kerinduan satu-sisi untuk menguasai alam dan manusia secara definitif, yang mencirikan karakteristik patologis.
Kedua, konsep sains sejak abad ke-19 secara sistematis telah berupaya menyingkirkan momen subjektif sebagai bagian integral dari pengetahuan. Sains modern menjustifikasi klaim ini dengan menunjukkan kebutuhan sosial akan pengetahuan yang terkondisikan, intersubjektif, normatif, untuk memampuan pragmatis dalam bertindak.
Seperti telah kita lihat, “konsepsi-diri” sains tidak mempertimbangkan logika dasar dari ketiga register itu. Karena itu, sains dicirikan oleh dua macam neurosis: represi yang Imajiner dan yang Real, serta represi subjek. Kedua represi ini seringkali memunculkan gerakan reaktif yang “berorientasi-individual” dan seringkali egoistik.
Dalam situasi ini, sains harus mengintegrasikan kembali yang Imajiner dan yang Real dalam diskursusnya serta mencerminkan pentingnya subjektivitas dalam tindak kognisi dalam rangka mengimbangi penekanan pada salah satu sisi yang berbahaya dan mencemaskan masyarakat. Dengan kata lain, sains harus mencerminkan secara lebih akurat efek-efek ketaksadaran dari yang Imajiner dan yang Real pada tindakan praktisnya. []
Daftar Pustaka:
Bracher, M. (1993): Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytical Cultural Criticism. Cornell University Press, Cornell.
Lacan, J. (1982): Ecrits. W.W. Norton Company, New York.
Apa motif sebenarnya di balik ikhtiar kita berpengetahuan? Dari motif praktis-instrumental hingga motif religius-eksistensial, kita dapat menyusun berbagai rationale untuk menjustifikasi aktivitas ilmiah kita. Namun di balik segala motif itu—jika kita paksa semua rationale itu jujur mengaku—kita dapati “sekadar” hasrat (desire). Sebab hanya hasrat, tidak ada satu rationale pun selain hasrat, yang punya kekuatan cukup besar untuk menggugah ikhtiar sebegitu passionate seperti sains: menghabiskan bertahun-tahun masa studi yang berat, berkutat mengkaji persoalan yang rumit, tenggelam menyusun eksperimen dan observasi yang melelahkan, bahkan mendedikasikan segenap tubuh dan pikiran kita. Dalam hal ini, meski berbeda dalam banyak aspek penting, pada dasarnya sains tidak berbeda dari seni (malah juga dari berbagai aktivitas sehari-hari lainnya). Bedanya, dalam seni, hasrat diekspresikan secara langsung—sementara dalam sains, hasrat diartikulasikan melalui rationale tertentu. Yang radikal di sini, hasrat menjadi bukan sekadar tenaga pendorong, tapi justru rationale itu sendiri adalah hasrat yang diartikulasikan. Sehingga kita jumpai ironi: ikhtiar kita yang paling rasional (sains) ternyata merupakan artikulasi dari dorongan yang paling irasional (hasrat).
Di satu sisi, setiap orang sudah tahu apa artinya hasrat. Dalam tips pengelolaan keuangan misalnya, sudah biasa dibedakan antara kebutuhan (need) dan keinginan (wish). Kebutuhan berpijak pada requirement yang kongkret dan spesifik (misal, biologis), sementara keinginan berpacu dalam hasrat yang tanpa bentuk; kebutuhan terpenuhi, tak menjamin hasrat terpuaskan. Di sisi lain, banyak persoalan mendasar yang masih gelap tentang hasrat: apakah hasrat adalah semacam “perasaan,” yang terkait dengan kepuasan; jika begitu, apakah hasrat dapat dipuaskan; jika tidak, kenapa dan dari mana hasrat berasal; apakah hasrat itu disadari, atau ada di luar kesadaran dan malah menguasai kesadaran kita; apakah hasrat itu positif/konstruktif atau negatif/destruktif; dapatkah hasrat dikuasai dan dikendalikan oleh rasio; namun bukankah kehendak rasio untuk menguasai dan mengendalikan hasrat justru adalah hasrat juga?
Bagi sains, hasrat agaknya tak lebih dari sekadar kemunculan pola aktivitas otak dalam orbitofrontal cortex yang menstimulasi struktur bagian dalam otak untuk melepaskan dopamine, yang lantas menstimulasi lagi sejumlah struktur termasuk ventral pallidum, yang selanjutnya menstimulasi perigenual anterior cingulate cortex dalam domain afektif otak, yang kemudian menimbulkan sensasi kepuasan. Dengan perincian seperti ini—dikerangkeng dan berjarak dari si pengamat—hasrat memang tampak lebih jinak. Sains juga tidak risau akan kontaminasi hasrat dalam ikhtiar ilmiahnya. Dengan metode ilmiahnya yang mekanistik dan eksplisit, kinerja rasio telah terpagari, kedap intrusi hasrat. Implisit di balik pemagaran ini adalah kepercayaan taken-for-granted—yang diwarisi dari tradisi agama dan filsafat sejak ribuan tahun yang lalu—bahwa demi meraih kebenaran sejati, hasrat memang mesti disingkirkan dari setiap ikhtiar berpengetahuan.
Barangkali benar, metode saintifik itu murni rasio, disadari penuh, netral polusi hasrat; menjamin akumulasi pengetahuan yang bebas nilai dan objektif, fungsional dan reliable. Sulit menyangsikan ini. Tapi, obsesi kita untuk merasa aman dan nyaman dengan bersandar pada pijakan epistemologis yang mantap itu pastinya merupakan sebentuk hasrat juga. Hasrat esensial yang jelas melampaui kebutuhan untuk sekadar bertahan hidup: hasrat untuk memahami (baca: menguasai) alam, membunuh kegamangan eksistensial di tengah semesta yang besar dan asing ini. Maka, klaim tentang hasrat sebagai aktivitas kimia-syaraf berbasis dopamine tadi—yang empiris dan taat metode ilmiah—sebenarnya justru terbangun oleh hasrat itu sendiri. Catat, koherensi dan konsistensi kebenaran klaim itu dalam konteks terbatas scientific enterprise adalah satu hal—yang tidak hendak dibantah di sini. Namun, dalam konteks sebagai pembacaan yang lebih luas (baca: penafsiran) atas suatu gejala empiris, itu adalah lain hal. Dengan kata lain, pendekatan sains dalam rangka memahami hasrat—dengan mengobjektivikasi hasrat dan mengasumsikan kesucian metode ilmiahnya dari distorsi hasrat—niscaya selalu gagal. Dalam sains, selalu ada reduksi—yang signifikan, kalau bukan fatal—dalam melihat hasrat, dan juga kelalaian yang terus-menerus untuk menyadari sedalam apa hasrat terlibat dalam reduksi itu. Sains mengidap ignorance yang akut soal hasratnya sendiri.
Sebetulnya kebuntuan sains ini lebih mendasar lagi, bukan sekadar soal hasrat tapi soal tinjauan seutuhnya atas fenomena ke-manusia-an. Dan atas kebuntuan ini kita tak bisa salahkan sains. Bayangkan, betapa problematisnya—yang biasanya menyelidiki objek selain dirinya, kini dipaksa menyelidiki dirinya sendiri sebagai subjek! Jadi kita bisa maklum, subjek terpaksa diobjektivikasi, dieksternalisasi—lebih jauh lagi, dimaterialisasi—dan dipagari dari metode ilmiah yang dibangunnya: subjek dianggap objek, metode ilmiah dianggap given dari langit. Dengan begini, sains bisa mengusulkan (seringkali artinya: memastikan) satu atau beberapa teori tunggal (seringkali juga berpretensi komprehensif) yang relatif fungsional, reliable, dan established. Dengan tidak begini—memainkan subjek, melonggarkan “kreativitas” metode—namanya bukan-sains, mungkin filsafat namanya, dan tidak tersedia lagi privilege ala sains itu. Namun, di hadapan kebuntuan sains soal hasrat, agaknya bukan-sains itu punya tawaran yang lebih menarik. Setidaknya, bisa melihat dengan tajam dan kritis apa yang persis diabaikan oleh sains. Selain itu, ia juga mampu membuat ground-breaking breakthrough, mirip inovasi dalam sains atau teknologi, tentu dalam tataran berbeda. Di sini tawarannya bukan terkait akumulasi progresif pengetahuan, tapi lebih pada daya subversifnya menantang established ignorance. Copernicus, Galileo, atau Newton misalnya, adalah tokoh subversif. Di taraf filosofis, ada tokoh subversif Kant atau Nietzsche misalnya, yang membalikkan gravitasi pemikiran konvensional.
Sains gagal melihat refleksi hasrat yang bersemayam dalam kecemerlangan rumusan juklak/juknis epistemologisnya; jangankan untuk menemukan keterlibatan hasrat menunggangi rasio. Sains bisa sepakat pada pembuktian Kant akan keterbatasan rasio. Namun rasio tetap otonom dan independen, pijakan paling terpercaya bagi setiap ikhtiar berpengetahuan, dan tak perlu dipertanyakan lagi. Apalagi dalam rumusan metode ilmiahnya yang eksplisit, tidak ada sedikitpun peluang untuk ditunggangi. Namun Nietzsche justru begitu curiga pada kepolosan dan kesebegituan rasionalitas ini. Baginya, gambaran tentang seorang pertapa nan bijak yang menyucikan dirinya, tak ubahnya seperti seorang pengumbar nafsu yang ditunggangi hasrat untuk berkuasa—menguasai dirinya sendiri, menguasai alam semesta, menguasai pengetahuan, menguasai kebenaran. Barangkali tuduhan ini terlalu “spekulatif,” karena filsafat memang tidak berjangkar pada data dan fakta empiris. Di sini “spekulatif” bisa diterima, karena persoalannya memang bukan mau melestarikan skema benar/salah yang justru perlu dipertanyakan itu, tapi lebih pada apakah cukup kritis, radikal, tajam, dalam, dan punya kekuatan subversif yang signifikan. Selain itu, mengumpulkan banyak data juga mungkin tidak bakal terlalu membantu, sebab di sini bukan seperti “saya” menyelidiki “ini/itu,” melainkan “saya” menyelidiki “saya.” Semakin lengkap data tentang “ini/itu” memang semakin bagus. Tapi semakin banyak data tentang “saya,” semakin kompleks urusan “saya.” Hasilnya tampak spekulatif lagi.
Psikoanalisis misalnya. Psikoanalisis bukan filsafat, juga bukan sains (bukan psikologi). Di satu sisi, penggemar sains akan menyukai psikoanalisis karena sangat berbasis pada data, fakta, bukti, pengalaman empiris dan klinis. Latar belakang tokoh psikoanalisis seperti Freud atau Lacan bukan filsuf pemikir kursi-goyang, tetapi conventional scientist, neurologist, dan kedokteran/psikiatri. Namun penggemar sains juga akan geram membaca kesimpulannya yang tampak sangat “filosofis,” “spekulatif,” dan “mengada-ada.” Di sisi lain, penggemar filsafat justru akan menyukai hal itu, selain juga karena kekuatan subversif psikoanalisis yang begitu kritis menantang gagasan kokoh yang sudah sangat established tentang hakikat manusia. Namun, mereka juga begitu kuatir dengan pendekatan “ilmiah” psikoanalisis yang cukup kental (Freud dan Lacan ingin membuat psikoanalisis dianggap sains), sehingga berisiko jatuh menjadi positivistik dan kehilangan daya kritis dan subversinya. Dari “teori” psikoanalisis yang bukan sains dan bukan filsafat inilah kita akan melacak hasrat dalam diskursus sains.
Tentu agak sukar untuk melihat aspek hasrat dalam sains melalui content saintifiknya yang spesifik. Namun cara bagaimana hasrat beroperasi dalam sains dapat sedikit terungkap jika kita menganalisis cara penanganan formal dari content saintifik itu. ‘Data’ berubah menjadi pengetahuan ilmiah melalui suatu mekanisme transformatif, mulai dari proses pembentukan aturan intersubjektif, hingga serangkaian konvensi naratif dan linguistik. Dengan kata lain, cara penanganan formal ini adalah persoalan artikulasi, persoalan ‘bahasa’. Maka untuk memahami hasrat di balik sains, kita dapat menganalisis cara artikulasi sains, atau karakteristik dari “diskursus” sains, yakni cara berbahasa sains.
Cara bagaimana kita membahasakan suatu persoalan sangat mempengaruhi penampilan dari persoalan itu. Jika kita dengan sengaja ataupun tidak, mengubah cara kita berbicara, maka persoalan yang tampil melalui pembicaraan kita akan mengungkapkan sisi yang sebelumnya tersembunyi.
Persoalan bahasa dapat dikatakan merupakan salah satu aspek terpenting dalam teori psikoanalisis, bahkan sejak teori psikoanalisis disusun pertama kalinya oleh Sigmund Freud. Melalui psikoanalisis kita tahu bahwa bukan saja persoalan yang dibahasakan itu bergantung pada cara artikulasinya, namun juga cara artikulasi itu sendiri bergantung pada struktur kolektif bahasa. Bahasa telah menyusun komponen-komponen kebenaran dari suatu persoalan. Dalam pandangan psikoanalisis, konstruk yang kita persepsi sebagai “realitas” adalah suatu sistem yang secara fundamental terbangun dari bahasa, yakni keragaman tindak pengucapan yang muncul dari berbagai kepentingan spesifik yang berbeda, dengan berbagai konotasi sosial, kultural dan politisnya.
Dalam analisis dari diskursusnya, ciri khas sains kontemporer dapat memperlihatkan dirinya. Asumsi yang digunakan dalam hal ini adalah bahwa “sains”—metode dan asumsinya—dapat dianalisis sebagai “kepribadian kognitif” peradaban masyarakat manusia modern. Sains merepresentasikan concept-imagery dari kehidupan sehari-hari manusia, dan sama seperti dunia simbolik personal dari seorang individu terungkap melalui analisis bahasa subjektifnya melalui psikoanalisis, analisis semacam itu terhadap bahasa sains akan mengantar pada berbagai wawasan yang penting untuk mengatasi berbagai persoalan di depan.
Dengan berbagai asumsi tersebut di atas, pertanyaannya bukanlah “apa itu sains”, namun “bagaimana bahasa sains bisa dikarakterisasi”. Untuk membahas persoalan ini, perlu dibahas sejumlah temuan psikoanalisis kontemporer tentang bahasa dan pengucapannya, yang terumuskan dalam model diskursus yang dikembangkan oleh Lacan.
Menurut Lacan, diskursus adalah: (1) strategi dasar argumentasi, dan (2) sistem formal artikulasi. Diskursus (Lat. discurrere: berlari berputar-putar; dari dis: dari segala arah, currere: berlari), “berlari berputar-putar” karena mencari sesuatu yang dirasakannya kurang (lack). Diskursus mendefinisikan dirinya dalam relasinya dengan apa yang dirasakannya kurang itu, dan dalam sikapnya terhadap sistem simbolik bahasa yang melaluinya diskursus itu disampaikan.
Dalam menganalisis mekanisme suatu diskursus, hal yang paling mendasar dalam perspektif psikoanalisis Lacan adalah menyadari bahwa setiap diskursus didefinisikan dan diciptakan oleh tiga komponen penyusun yang saling mengunci (Borromean ring), yang dalam terminologi Lacan disebut register: Yang Real (the Real), yang Imajiner (the Imaginary), dan yang Simbolik (the Symbolic).
(Tiga “register” dari setiap diskursus: Yang Real (R), yang Imajiner (I), dan yang Simbolik (S), diilustrasikan dalam topologi Borromean ring.)
Tiga register ini, menurut psikoanalisis Lacan, bukan sekadar merupakan struktur sistemik sifat manusia, namun juga merupakan elemen konstruktif dari setiap formalisasi linguistik pengetahuan dan pengalamannya. Tiga register ini amat berbeda dari tiga elemen Freudian id, ego, dan superego, namun bisa disebandingkan dengan elemen Freudian itu dalam perannya sebagai elemen antropologis dasar dari setiap tindak kognitif. Interaksi di antara ketiga register ini memunculkan segala sesuatu yang kemudian tumbuh sebagai kesadaran individu.
Pada hakikatnya, ketiga register ini merupakan suatu ekspresi dari hasrat: satu kekuatan utama tersembunyi yang terkait secara tak terpisahkan dengan eksistensi seorang individu dan memicu setiap tindak pengucapan yang membangun realitas.
Apa dan bagaimana ketiga register ini berinteraksi untuk membentuk pengetahuan dan subjektivitas, dan lebih jauh lagi, kaitannya dengan bangunan sains?
Yang Real barangkali merupakan konsep yang paling menarik sekaligus paling sukar di dalam terminologi psikoanalisis Lacan. Justru berbeda 180° dari makna konvensional tentang realitas atau kenyataan, yang Real menurut Lacan adalah semacam pengalaman yang merasakan sesuatu selalu masih tetap terbuka ketika sesuatu disimpulkan. Dengan kata lain, “ruang” yang dimiliki oleh subjek sebagai “Aku” selalu dilingkupi oleh yang Real, yang merepresentasikan pasangan komplementer dari “Aku”. Yang Real ini adalah yang tak dikenal, atau dalam istilah Lacan, yang non-identik. Yang Real menunjukkan suatu “ruang” di luar “Aku” subjek, yang tak akan pernah bisa termasuki. Hasrat manusia pada akhirnya ingin memperoleh kesadaran dan kekuasaan atas ruang ini untuk mengatasi keterbatasan eksistensial subjektivitas, untuk menemukan kelengkapan diri, kepuasan penuh, dan memperoleh “solusi akhir”; namun demikian, ia tak akan pernah mencapai sepenuhnya, dan tak akan terpuaskan untuk waktu yang lama. Jadi, subjek terpaksa terus bergerak. Dari sudut pandang ini, yang Real dapat dilihat sebagai “kehampaan produktif” dalam psikis manusia. Yang Real selalu mengingatkan subjek akan ketaklengkapan dirinya yang amat mendasar, yang memperlihatkan dirinya dalam kemenyatuan imajinernya. Karena itu, yang Real berperan membentuk subjek sebagai makhluk yang senantiasa berproses, yang tak pernah bisa berakhir, dan yang harus selalu mendefinisikan kembali dirinya secara permanen dan terus-menerus melalui objek-objek dari tindakannya, dan pencapaian-pencapaian dari pengetahuannya.
Memikirkan yang Real berarti berhadapan dengan misteri eksistensi itu sendiri. Hal ini mengancam subjek, karena yang Real tak tersentuh dan tak terbayangkan, sesuatu yang tak bisa dikendalikan oleh subjek. Untuk melucutinya dari sifatnya yang mengancam dan menakutkan, pertama yang Real harus dijebak dalam citraan dan gambaran, dibuat familiar, lantas kemudian dibuat konkret dalam objek-objek yang memiliki kekuasaan untuk mengintegrasikannya, dan dengan demikian “diobjektivikasi”. Dengan kata lain, subjek berharap punya peluang untuk mengendalikan yang Real jika subjek: (1) mentransformasikan pengalaman yang Real menjadi makna melalui kekuatan yang menghidupkan dari yang Imajiner, dan (2) memproyeksikan makna itu ke dalam objek-objek simbolik (yakni, segala sesuatu dalam pengertian luas yang bisa dipandang sebagai elemen “bahasa” tempat kreativitas manusia mengekspresikan kerinduannya akan sesuatu yang lebih baik dalam bentuk konkret dan material).
Secara singkat dapat dikatakan, aktivitas dasar kehidupan manusia adalah secara sadar dan tidak sadar “mengisi” objek-objek realitas material secara “imajiner” dengan semacam “sense” misterius akan yang Real. Jadi, di satu sisi, yang Real adalah luka sang subjek. Namun di sisi lain, yang Real juga meski absen namun justru menjamin kehidupan positif subjek. Yang Real menjaga tetap hidupnya mekanisme yang menjaga keutuhan subjek, menjaga subjek supaya tetap ada kerjaan. Pada saat yang sama yang Real sebagai sesuatu yang secara ultimat tak terpahami juga tetap menjaga eksistensi manusia tetap terbuka dengan secara permanen mengkounter fungsi imajiner “Aku” yang—sebagai otomatisme narsistik—senantiasa dibawa pada kecenderungan yang utuh, tertutup dan cepat puas.
Satu hal yang penting dalam mekanisme interaksi di antara ketiga register ini adalah bahwa keseluruhan sistem hanya akan beroperasi dengan sesuai, jika ketiga register ini berpartisipasi secara sama dan seimbang.
Menurut Lacan, mekanisme sistem saintifik (sains) mengikuti hukum yang sama seperti mekanisme psikis subjek. Dengan kata lain, konflik produktif di antara ketiga register itu tidak hanya membentuk psikis subjek, namun juga membentuk penataan struktural sains; yang berlaku pada subjek, juga berlaku pada sains.
Secara singkat, ikhtiar saintifik disebabkan dan terdorong maju oleh yang Real. Yang Imajiner membentuk objek-objek yang diminati dan mendefinisikan tujuan-tujuan yang mungkin. Yang Simbolik menyediakan berbagai instrumen untuk bekerja dan berkomunikasi—media dan sistem penataan tempat pengalaman kognitif dapat dimaterialisasi dan disebarkan.
Jika ketiga register ini memiliki peran yang sama, maka segala sesuatunya akan berjalan seimbang. Namun jika salah satu register memiliki peran berlebih, muncul ketakseimbangan. Misalnya, jika ikhtiar saintifik hanya berkonsentrasi pada konstruksi teori, maka ada risiko pembentukan ilusi dalam keliaran yang Imajiner. Jika, register simbolik terlalu ditekankan berlebihan, maka sains akan menjadi sekadar teknologi, berkorelasi dengan alienasi subjek dan dehumanisasi sains secara umum.
Selain itu, ada diagnosis kedua dari psikoanalisis yang cukup penting dalam menyelidiki sains. Pengalaman mendasar subjek persis di tengah ketiga register ini memperlihatkan ketiadaan pengetahuan netral, “objektif”, yang bisa eksis secara independen dari proses subjektif. Suatu bentuk pengetahuan yang memiliki klaim validitas atau klaim kebenaran terkait secara tak terpisahkan dengan eksistensi subjek, karena pengalaman akan “kebenaran” bergantung pada relasi kesadaran dan ketaksadaran subjek terhadap ketiga register itu. Misalnya, jika subjek lebih memilih yang Imajiner ketimbang yang Real dan yang Simbolik, kebenarannya tak akan sama dengan subjek yang memilih yang Simbolik dan menolak yang Imajiner dan yang Real. Dan subjek yang berkonsentrasi penuh pada pengalaman mistiknya akan yang Real akan menganggap aspek lain sebagai kebenaran ketimbang seorang subjek yang sepenuhnya berorientasi keamanan dan kenyamanan material dari yang Simbolik.
Menurut Lacan, hal ini mengindikasikan bahwa kebenaran tanpa subjektivitas adalah sesuatu yang tak masuk akal; kebenaran selalu harus melalui subjektivitas. Hal ini juga merupakan alasan kenapa seorang subjek tak bisa sekadar menganut pengetahuan subjek lain pada bidang simbolik, jika ia menginginkan kebenaran. Pada bidang simbolik, yang ada hanya mediasi, namun bukan kebenaran. Karena itu, seluruh draft pengetahuan harus diinterpretasikan secara terusm-menerus dan diperbaharui secara subjektif.
Lacan menyatakan bahwa dalam setiap diskursus ketiga register ini beroperasi dalam mekanisme yang kompleks, meski tak selalu berada pada tingkat kesadaran. Pada akhirnya, sains adalah salah satu cabang pengalaman manusia tentang dunia seperti pengalaman lainnya. Dalam sistem saintifik maka tak mungkin ada produksi dan posisi pengetahuan independen dari subjek tunggal yang merealisasikan sains, dan ketaksadarannya. Bangunan sains disusun dari gabungan sejumlah besar pengalaman kognitif subjektif dalam pencarian “kebenaran” tentang yang Real, yang saling berinterelasi di dalam suatu bingkai kolektif-historis.
Lacan mengamati diskursus kontemporer tentang sains senantiasa mengabaikan temuan mendasar psikoanalisis tentang interelasi konstruktif di antara ketiga register dan antara kognisi, kebenaran, dan subjektivitas. Dan karena itu, menurut Lacan, diskursus sains dicirikan oleh dua bentuk khusus neurosis.
Pertama, tampak jelas diskursus sains lebih menekankan register simbolik karena berfokus pada aspek abstraksi formal, objektivitas, dan performativitas pengetahuan. Pergeseran register simbolik ini berlangsung dengan mengabaikan yang Imajiner dan yang Real. Dalam kerangka acuan logis sains modern, kedua register ini senantiasa dikecualikan dari bidang cakupan “kognisi” dan “pengetahuan”. Dari sudut pandang modernitas, sains dapat konsisten sebagai sains hanya jika kognisi dijamin tanpa sisa-sisa subjektivitas, ketaksadaran, dan imajinasi. Hal ini adalah pandangan dominan kini.
Dari sudut pandang psikoanalisis, terkait dengan fakta dominasi Simbolik dan postulat objektivitas, maka harus disimpulkan bahwa subjek sains tak bisa mencapai dimensi pengalaman kebenaran. Bahkan, dalam sains modern, kebenaran telah digantikan oleh rightness, yang berorientasi pada otoritas teknis. Neurosis sains pertama adalah kerinduan satu-sisi untuk menguasai alam dan manusia secara definitif, yang mencirikan karakteristik patologis.
Kedua, konsep sains sejak abad ke-19 secara sistematis telah berupaya menyingkirkan momen subjektif sebagai bagian integral dari pengetahuan. Sains modern menjustifikasi klaim ini dengan menunjukkan kebutuhan sosial akan pengetahuan yang terkondisikan, intersubjektif, normatif, untuk memampuan pragmatis dalam bertindak.
Seperti telah kita lihat, “konsepsi-diri” sains tidak mempertimbangkan logika dasar dari ketiga register itu. Karena itu, sains dicirikan oleh dua macam neurosis: represi yang Imajiner dan yang Real, serta represi subjek. Kedua represi ini seringkali memunculkan gerakan reaktif yang “berorientasi-individual” dan seringkali egoistik.
Dalam situasi ini, sains harus mengintegrasikan kembali yang Imajiner dan yang Real dalam diskursusnya serta mencerminkan pentingnya subjektivitas dalam tindak kognisi dalam rangka mengimbangi penekanan pada salah satu sisi yang berbahaya dan mencemaskan masyarakat. Dengan kata lain, sains harus mencerminkan secara lebih akurat efek-efek ketaksadaran dari yang Imajiner dan yang Real pada tindakan praktisnya. []
Daftar Pustaka:
Bracher, M. (1993): Lacan, Discourse, and Social Change: A Psychoanalytical Cultural Criticism. Cornell University Press, Cornell.
Lacan, J. (1982): Ecrits. W.W. Norton Company, New York.
Komentar
Posting Komentar