Matematika India; Ketika Pythagoras dan Aristoteles menolak Angka Nol, al-Khwarizmi menemukan Angka Nol di India.



Penggalian arkeologis di Mahenjo Daro memberikan bukti tentang sebuah peradaban tua dan berbudaya tinggi di India selama zaman pembangunan piramida Mesir, tapi tidak ditemukannya dokumen-dokumen matematika India dari zaman setelah negara itu dikuasai oleh bangsa Arya, yaitu bangsa yag memperkenalkan sistem kasta dan mengembangkan sastra Sanskrit. Seorang guru besar, Buddha, yang hidup sezaman dengan Pythagoras, mengatakan bahwa Pythagoras pernah berkunjung ke India dan menemukan teorinya dari Hindu. Ditemukan juga, bahwa teori tersebut telah 1000 tahun lebih dulu familiar di Babilonia.

Kejatuhan kekaisaran Romawi Barat terjadi pada tahun 476 M, tahun seorang penulis teks-teks matematika India, Aryabhata lahir. Bagaimanapun, cukup banyak aktivitas matematika di India sebelum masa-masa ini – bahkan sebelum ditemukannya wacana mistis di Roma pada tahun 753 SM. India, seperti halnya Mesir, memiliki “tali peregang”; dan dongeng geometrik primitif menghasilkan hubungan antara pembangunan kuil-kuil dan pengukuran dan pembangunan altar-altar yang mengambil banyak dari sebuah tubuh pengetahuan yang dikenal sebagai Sulvasutras, atau “aturan-aturan tali menali.” Sulva (atau sulba) merujuk pada tali temali yang dgunakan untuk pengukuran-pengukuran, dan suutra bermakna sebuah buku aturan-aturan atau aforism-aforism terkait sebuah ritual atau ilmu. Peregangan tali, sangat mengingatkan pada asal muasal geometri Mesir, dan terkait dengan fungsi-fungsi kuil sebagai asal muasal dari jalan pemecahan yang ada di dalam matematika. Bagaimanapun, kesulitan penanggalan aturan-aturan juga dipasangkan dengan pengaruh para matematikawan Hindu nantinya. Bahkan lebih daripada itu, kasus yang terjadi di Cina, sangat kurang memiliki ketersambungan dengan tradisi matematika India.


Sulvasuutras


Ada tiga versi,  kajian yang menunjukkan Sulvasuutras yang dikembangkan, yang terbaik dikenal dengan nama Apastamba. Dalam data primitif ini, penanggalan yang barangkali sama dengan ketika adanya Pythagoras, ditemukan aturan-aturan pembangunan segitiga siku-siku dalam arti panjang  tali temali dalam bentuk triad Pythagoras seperti 3, 4, 5 atau 5, 12, a3, atau 8, 15, 17, atau 12, 35, 37. Bagaimanapun, semua triad itu berasal dari aturan Babilonia kuno; meskipun, pengaruh Mesopotamia dalam Sulvasuutras tidak disukai. Apastamba mengetahui, bahwa empat persegi pada diagonal sebuah persegi panjang sama dengan jumlah empat persegi pada dua sisi berdekatan, tapi bentuk dari teorema Pythagorean ini barangkali juga berasal dari Mesopotamia. Sedikit penjelasan dari Apastamba – tentang aljabar geometri dalam Buku II Euclid’s Elements.

Masih bersifat dugaan tentang sumber dan masa kemunculan Sulvasuutras, apakah berasal dari Mesir awal ataukah Yunani. Beraneka macam sumber yang menyatakan penanggalannya, berjarak hingga ribuan tahun dari abad kedelapan SM hingga dua M. Kronologi dalam budaya-budaya kuno Timur Jauh sangat reliable, ketika tradisi Hindu ortodoks mempublish kajian astronomi penting lebih daripada 2 juta tahun lalu dan ketika kalkulasi-kalkulasi memimpin milyaran hari sejak kehidupan Brahman pada tahun 400 M. Serangkaian sumber-sumber aritmetika dan geometrika dalam literatur Vedic pada tahun 2000 SM, barangkali reliable, tapi tidak terdapat data-data dari India untuk membuktikannya.



Siddhaantas


Masa Sulvasuutras, sekitar abad kedua masehi, lalu masa Siddhaantas, atau sistem-sistem astronomi. Kemunculan dinasti Raja Gupta (290 M) menandai awal kebangkitan kebudayaan Sanskrit, dan Siddhaantas memiliki lima versi, yaitu Paulisha Siddhaanta, Suurya Siddhaanta, Vasisishta Siddhaanta, Paitamaha Siddhaanta, dan Romanka Siddhaanta. Suurya Siddhanta (Sistem Matahari) ditulis pada tahun 400 M, satu-satunya versi yang paling lengkap dikembangkan. Berdasarkan teks tersebut, ditulis dalam syair kepahlawanan stanzas, tentang tindakan Suurya, Matahari Tuhan. Doktrin astronomi utama, terbukti dari Yunani, tapi dengan bait-bait cerita rakyat Hindu. Paulisha Siddhaanta, ditulis pada tahun 380 M, sebuah ringkasan yang ditulis oleh seorang mtematikawan Hindu Varahamihira (505 M) dan sangat sering dijadikan rujukan oleh seorang intelektual Arab al-Biruni, yang juga sering merujuk kepada sumber asli Yunani. Para penulis lain nantinya melaporkan, bahwa pernyataan substansial dalam Siddhaantas hanya dalam aneka ragam phraseology (penyusunan kata-kata); karenanya, kita bisa mengasumsikan bahwa yang lain, seperti Suurya Siddhaanta, kumpulan dari perbandingan aturan-aturan tak jelas astronomi dalam bahasa Sanskrit, hanya dapat memberikan penjelasan yang minim dan tanpa bukti.

Secara umum, disepakati bahwa Siddhaantas dikaji dari akhir abad keempat atau awal abad kelima, tapi ada ketidaksepakatan tajam, tentang keaslian pengetahuan di dalamnya. Para intelektual Hindu merasa konsep Siddhantas original,  sementara para penulis Barat melihat tanda-tanda pasti dari pengaruh Yunani. Tidak seperti, sebagai contoh, bahwa Paulisha Siddhanta berasal dari pengukuran yang dilakukan oleh seorang astrolog bernama Paul yang tinggal di Aleksandria tak jauh sebelum tanggal penyusunan Siddhaantas. Kenyataannya, secara eksplisit al-Biruni menghubungkan Siddhaanta dengan Paul dari Aleksandria. Terdapat kemiripan antara Siddhaantas dengan trigonometri dan astronomi Ptolemy. Contohnya, Paulisha Siddhaanta menggunakan nilai 3 177/ 1250 untuk phi, sedang Ptolemaic sexagesimal bernilai 3; 8,30.

Bahkan jika orang-orang Hindu menghasilkan pengetahuan trigonometri mereka dari kosmopolitan Hellenism di Aleksandria, tapi material di tangan mereka benar-benar dalam sebuah bentuk baru. Sementara trigonometri Ptolemy memiliki dasar dari hubungan fungsional antara (chrods) tali-tali atau penghubung dua titik lingkaran dan sudut-sudut pusat. Lalu muncul di India, penghulu dari trigonometri modern yang dikenal sebagai sinus dari sebuah sudut; dan pengantar fungsi sinus yang menggambarkan sumbungan besar Siddhantas terhadap sejarah matematika. Meskipun secara umum diasumsikan bahwa perubahan bentuk dari keseluruhan panjang tali kepada setengah panjang tali berasal dari India, dikatakan oleh Paul Tannery, seorang yang memimpin bidang sejarah ilmu pada abad ke 20, bahwa transformasi trigonometri tersebut barangkali terjadi di Aleksandria selama masa post-Ptolemaic. Apakah informasi itu memiliki manfaat atau tidak, pastinya tidak ada keraguan bahwa Siddhantas berasal dari Hindu, bukan Yunani, bahwa telah muncul penggunaan setengah panjang tali; dan kata “sinus” berasal dari jiva, bahasa Hindu. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي