Apakah Cinta itu? Dahaga yang Sempurna


“Sebagaimana sama-sama kita maklumi, sejak semula, Islam menetapkan sebuah tatanan sosial, yang bertolak belakang, misalnya, dengan Kristen. Ajaran-ajaran sosial Islam begitu mendasar bagi agama sehingga sampai dewasa ini, banyak orang—termasuk kaum Muslim—benar-benar tidak menyadari dimensi-dimensi spiritual Islam. Tatanan sosial menuntut undang-undang dan aturan-aturan, rasa takut pada sang raja, hormat kepada polisi, dan mengakui otoritas atau wewenang. Tatanan itu harus dibangun atas dasar keagungan dan kekerasan Allah. Tatanan ini terutama memperhatikan wilayah eksternal, wilayah raga dan berbagai hasrat hawa nafsu, wilayah di mana Allah jauh dari dunia.”1 Paparan dari Sachiko Murata tersebut secara jitu menjelaskan bagaimana kini wajah Islam seringkali hanya tampil dalam representasi yang timpang dan termutilasi, Islam yang kehilangan dimensi spiritual sebagai salah satu pilar utamanya, Islam yang hanya menunjukkan wajah Jalal yang maskulin dan keras serta melupakan wajah Jamal yang feminin dan lembut dari-Nya.

Dalam kesempatan lain, Romo Franz Magnis Suseno juga menjelaskan bahwa “Umat kaum Muslim menyadari diri diutus menciptakan komunitas politis yang adil dan ditata menurut hukum Allah. Komunitas itu dicita-citakan seluruhnya dibentuk berdasarkan hukum Allah yang sekaligus merupakan bimbingan-Nya, dalam semua dimensi kehidupan bersama, baik ke dalam mau pun ke luar.” Namun, justru akibat penekanan terlalu berlebihan pada aspek tatanan sosial tersebut beserta tafsir khas masing-masing golongan, maka tak mengherankan apabila kemudian muncul citra dan pandangan bahwa ‘obsesi politik pan-Islamisme merupakan jantung dari spiritualitas Islam dan solusi bagi segala masalah umat’. Obsesi ini, terutama yang berkecambah di abad dua puluh hingga sekarang, lahir dari romantisme akan kejayaan Islam di masa lalu serta luka sejarah atas ‘bubarnya’ kekhalifahan terakhir, Dinasti Turki Utsmani, super power yang akhirnya digelari ‘the sick man of Europe’ di penghujung kehancurannya.

Romantisme sejarah dan obsesi politik tersebut bisa dijejaki juga melalui riwayat jatuh bangunnya peradaban besar sebagaimana tertuang dalam Alkitab dan tafsir atas hadits Rasulullah saw. Dalam Alkitab, Kitab Daniel 2 yang berjudul “Mimpi Nebukadnezar” tertulis sebagai berikut:


(1) Pada tahun yang kedua pemerintahan Nebukadnezar bermimpilah Nebukadnezar; karena itu hatinya gelisah dan ia tidak dapat tidur.

(2) Lalu raja menyuruh memanggil orang-orang berilmu, ahli jampi, ahli sihir dan para Kasdim, untuk menerangkan kepadanya tentang mimpinya itu; maka datanglah mereka dan berdiri di hadapan raja.

(3) Kata raja kepada mereka: “Aku bermimpi, dan hatiku gelisah, karena ingin mengetahui mimpi itu.”

(4) Lalu berkatalah para Kasdim itu kepada raja (dalam bahasa Aram): “Ya raja, kekallah hidupmu! Ceriterakanlah kepada hamba-hambamu mimpi itu, maka kami akan memberitahukan maknanya.”

(5) Tetapi raja menjawab para Kasdim itu: “Aku telah mengambil keputusan, yakni jika kamu tidak memberitahukan kepadaku mimpi itu dengan maknanya, maka kamu akan dipenggal-penggal dan rumah-rumahmu akan dirobohkan menjadi timbunan puing;

(6) tetapi jika kamu dapat memberitahukan mimpi itu dengan maknanya, maka kamu akan menerima hadiah, pemberian-pemberian dan kehormatan yang besar dari padaku. Oleh sebab itu beritahukanlah kepadaku mimpi itu dengan maknanya!”

(7) Mereka menjawab pula: “Silakan tuanku raja menceriterakan mimpi itu kepada hamba-hambanya ini, maka kami akan memberitahukan maknanya.”

(8) Jawab raja: “Aku tahu benar-benar, bahwa kamu mencoba mengulur-ulur waktu, karena kamu melihat, bahwa aku telah mengambil keputusan,

(9) yakni jika kamu tidak dapat memberitahukan kepadaku mimpi itu, maka kamu akan kena hukuman yang sama; dan aku tahu bahwa kamu telah bermufakat untuk mengatakan kepadaku hal-hal yang bohong dan busuk, sampai keadaan berubah. Oleh sebab itu ceriterakanlah kepadaku mimpi itu, supaya aku tahu, bahwa kamu dapat memberitahukan maknanya juga kepadaku.”

(10) Para Kasdim itu menjawab raja: “Tidak ada seorangpun di muka bumi yang dapat memberitahukan apa yang diminta tuanku raja! Dan tidak pernah seorang raja, bagaimanapun agungnya dan besar kuasanya, telah meminta hal sedemikian dari seorang berilmu atau seorang ahli jampi atau seorang Kasdim.

(11) Apa yang diminta tuanku raja adalah terlalu berat, dan tidak ada seorangpun yang dapat memberitahukannya kepada tuanku raja, selain dari dewa-dewa yang tidak berdiam di antara manusia.”

(12) Maka raja menjadi sangat geram dan murka karena hal itu, lalu dititahkannyalah untuk melenyapkan semua orang bijaksana di Babel.

(13) Ketika titah dikeluarkan supaya orang-orang bijaksana dibunuh, maka Daniel dan teman-temannyapun terancam akan dibunuh.

(14) Lalu berkatalah Daniel dengan cerdik dan bijaksana kepada Ariokh, pemimpin pengawal raja yang telah pergi untuk membunuh orang-orang bijaksana di Babel itu,

(15) katanya kepada Ariokh, pembesar raja itu: “Mengapa titah yang begitu keras ini dikeluarkan oleh raja?” Lalu Ariokh memberitahukan hal itu kepada Daniel.

(16) Maka Daniel menghadap raja dan meminta kepadanya, supaya ia diberi waktu untuk memberitahukan makna itu kepada raja.

(17) Kemudian pulanglah Daniel dan memberitahukan hal itu kepada Hananya, Misael dan Azarya, teman-temannya,

(18) dengan maksud supaya mereka memohon kasih sayang kepada Allah semesta langit mengenai rahasia itu, supaya Daniel dan teman-temannya jangan dilenyapkan bersama-sama orang-orang bijaksana yang lain di Babel.

(19) Maka rahasia itu disingkapkan kepada Daniel dalam suatu penglihatan malam. Lalu Daniel memuji Allah semesta langit.

(20) Berkatalah Daniel: “Terpujilah nama Allah dari selama-lamanya sampai selama-lamanya, sebab dari pada Dialah hikmat dan kekuatan!

(21) Dia mengubah saat dan waktu, Dia memecat raja dan mengangkat raja, Dia memberi hikmat kepada orang bijaksana dan pengetahuan kepada orang yang berpengertian;

(22) Dialah yang menyingkapkan hal-hal yang tidak terduga dan yang tersembunyi, Dia tahu apa yang ada di dalam gelap, dan terang ada pada-Nya.

(23) Ya Allah nenek moyangku, kupuji dan kumuliakan Engkau, sebab Engkau mengaruniakan kepadaku hikmat dan kekuatan, dan telah memberitahukan kepadaku sekarang apa yang kami mohon kepada-Mu: Engkau telah memberitahukan kepada kami hal yang dipersoalkan raja.”

(24) Sebab itu pergilah Daniel kepada Ariokh yang telah ditugaskan raja untuk melenyapkan orang-orang bijaksana di Babel; maka pergilah ia serta berkata kepadanya, demikian: “Orang-orang bijaksana di Babel itu jangan kaulenyapkan! Bawalah aku menghadap raja, maka aku akan memberitahukan kepada raja makna itu!”

(25) Ariokh segera membawa Daniel menghadap raja serta berkata kepada raja demikian: “Aku telah mendapat seorang dari antara orang-orang buangan dari Yehuda, yang dapat memberitahukan makna itu kepada raja.”

(26) Bertanyalah raja kepada Daniel yang namanya Beltsazar: “Sanggupkah engkau memberitahukan kepadaku mimpi yang telah kulihat itu dengan maknanya juga?”

(27) Daniel menjawab, katanya kepada raja: “Rahasia, yang ditanyakan tuanku raja, tidaklah dapat diberitahukan kepada raja oleh orang bijaksana, ahli jampi, orang berilmu atau ahli nujum.

(28) Tetapi di sorga ada Allah yang menyingkapkan rahasia-rahasia; Ia telah memberitahukan kepada tuanku raja Nebukadnezar apa yang akan terjadi pada hari-hari yang akan datang. Mimpi dan penglihatan-penglihatan yang tuanku lihat di tempat tidur ialah ini:

(29) Sedang tuanku ada di tempat tidur, ya tuanku raja, timbul pada tuanku pikiran-pikiran tentang apa yang akan terjadi di kemudian hari, dan Dia yang menyingkapkan rahasia-rahasia telah memberitahukan kepada tuanku apa yang akan terjadi.

(30) Adapun aku, kepadaku telah disingkapkan rahasia itu, bukan karena hikmat yang mungkin ada padaku melebihi hikmat semua orang yang hidup, tetapi supaya maknanya diberitahukan kepada tuanku raja, dan supaya tuanku mengenal pikiran-pikiran tuanku.

(31) Ya raja, tuanku melihat suatu penglihatan, yakni sebuah patung yang amat besar! Patung ini tinggi, berkilau-kilauan luar biasa, tegak di hadapan tuanku, dan tampak mendahsyatkan.

(32) Adapun patung itu, kepalanya dari emas tua, dada dan lengannya dari perak, perut dan pinggangnya dari tembaga,

(33) sedang pahanya dari besi dengan kakinya sebagian dari besi dan sebagian lagi dari tanah liat.

(34) Sementara tuanku melihatnya, terungkit lepas sebuah batu tanpa perbuatan tangan manusia, lalu menimpa patung itu, tepat pada kakinya yang dari besi dan tanah liat itu, sehingga remuk.

(35) Maka dengan sekaligus diremukkannyalah juga besi, tanah liat, tembaga, perak dan emas itu, dan semuanya menjadi seperti sekam di tempat pengirikan pada musim panas, lalu angin menghembuskannya, sehingga tidak ada bekas-bekasnya yang ditemukan. Tetapi batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi.

(36) Itulah mimpi tuanku, dan sekarang maknanya akan kami katakan kepada tuanku raja:

(37) Ya tuanku raja, raja segala raja, yang kepadanya oleh Allah semesta langit telah diberikan kerajaan, kekuasaan, kekuatan dan kemuliaan,

(38) dan yang ke dalam tangannya telah diserahkan-Nya anak-anak manusia, di manapun mereka berada, binatang-binatang di padang dan burung-burung di udara, dan yang dibuat-Nya menjadi kuasa atas semuanya itu--tuankulah kepala yang dari emas itu.

(39) Tetapi sesudah tuanku akan muncul suatu kerajaan lain, yang kurang besar dari kerajaan tuanku; kemudian suatu kerajaan lagi, yakni yang ketiga, dari tembaga, yang akan berkuasa atas seluruh bumi.

(40) Sesudah itu akan ada suatu kerajaan yang keempat, yang keras seperti besi, tepat seperti besi yang meremukkan dan menghancurkan segala sesuatu; dan seperti besi yang menghancurluluhkan, maka kerajaan ini akan meremukkan dan menghancurluluhkan semuanya.

(41) Dan seperti tuanku lihat kaki dan jari-jarinya sebagian dari tanah liat tukang periuk dan sebagian lagi dari besi, itu berarti, bahwa kerajaan itu terbagi; memang kerajaan itu juga keras seperti besi, sesuai dengan yang tuanku lihat besi itu bercampur dengan tanah liat.

(42) Tetapi sebagaimana jari-jari kaki itu sebagian dari besi dan sebagian lagi dari tanah liat, demikianlah kerajaan itu akan menjadi keras sebagian dan rapuh sebagian.

(43) Seperti tuanku lihat besi bercampur dengan tanah liat, itu berarti: mereka akan bercampur oleh perkawinan, tetapi tidak akan merupakan satu kesatuan, seperti besi tidak dapat bercampur dengan tanah liat.

(44) Tetapi pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya,

(45) tepat seperti yang tuanku lihat, bahwa tanpa perbuatan tangan manusia sebuah batu terungkit lepas dari gunung dan meremukkan besi, tembaga, tanah liat, perak dan emas itu. Allah yang maha besar telah memberitahukan kepada tuanku raja apa yang akan terjadi di kemudian hari; mimpi itu adalah benar dan maknanya dapat dipercayai.”

(46) Lalu sujudlah raja Nebukadnezar serta menyembah Daniel; juga dititahkannya mempersembahkan korban dan bau-bauan kepadanya.

(47) Berkatalah raja kepada Daniel: “Sesungguhnyalah, Allahmu itu Allah yang mengatasi segala allah dan Yang berkuasa atas segala raja, dan Yang menyingkapkan rahasia-rahasia, sebab engkau telah dapat menyingkapkan rahasia itu.”

(48) Lalu raja memuliakan Daniel: dianugerahinyalah dengan banyak pemberian yang besar, dan dibuatnya dia menjadi penguasa atas seluruh wilayah Babel dan menjadi kepala semua orang bijaksana di Babel.

(49) Atas permintaan Daniel, raja menyerahkan pemerintahan wilayah Babel itu kepada Sadrakh, Mesakh dan Abednego, sedang Daniel sendiri tinggal di istana raja.2


Dalam sejarah, apa yang ditakwilkan oleh Nabi Daniel as itu bisa ditafsir sebagai rentetan peristiwa sejarah runtuh dan bangkitnya suatu peradaban. Sebagaimana diungkapkan Nabi Daniel as, kepala emas patung itu adalah Kerajaan Babilon. (Tidak mengherankan bahwa untuk suatu peradaban yang besar dan maju, seringkali diidentikkan dengan Babilon, karena itu ada film serial Babylon V yang menggambarkan peradaban besar dan maju tapi ekstra-terestrial.) Namun, Babilon pun runtuh dan turun ke bagian dada dan dua lengan patung yang terbuat dari perak. Dua lengan dari perak itu adalah dua kerajaan super power pasca Babilon, yaitu Midia dan Persia. Kemudian, Midia dan Persia pun runtuh, maka turun ke bagian perut dan pinggang patung yang terbuat dari tembaga, yaitu Kerajaan Macedonia (Yunani) yang dipimpin oleh Alexander Agung serta kekuasaannya hampir mencapai separo bumi. Ketika Macedonia runtuh, maka turunlah ke bagian kaki dan paha patung yang terbuat dari besi, yang tak lain adalah Kerajaan Romawi. Namun ketika semakin turun, patung itu menjadi terbagi dua kaki. Itu menunjukkan Kerajaan Romawi yang terbagi dua. Romawi Barat dengan ibukota Roma, dan Romawi Timur dengan ibukota Konstantinopel. Selain itu, di bagian kaki dan jari, ternyata bahannya adalah besi bercampur tanah liat, dua material yang tidak mungkin menyatu. Itu adalah gambaran kekerasan yang semakin bertambah, sebagaimana kerasnya Kerajaan Romawi terhadap semua negeri jajahannya sehingga selalu memicu pemberontakan; pergolakan yang digambarkan dengan “mustahilnya menyatu besi dengan tanah liat”. Tapi kemudian, di ujung mimpi Nebukadnezar itu, ada “terungkit lepas sebuah batu tanpa perbuatan tangan manusia, lalu menimpa patung itu, tepat pada kakinya yang dari besi dan tanah liat itu, sehingga remuk.” Apakah batu besar itu?

Rasulullah saw berulang kali mengungkapkan nubuwah tentang kejatuhan Romawi seperti tertuang dalam hadits berikut: “Kerajaan Persia akan hancur, dan takkan ada lagi Raja Persia setelahnya. Kekaisaran Romawi juga akan hancur, dan tak ada lagi Kaisar Romawi setelahnya. Kalian akan membagi harta simpanan mereka di jalan Allah. Karena itu, perang adalah tipu daya.” (HR Bukhari dan Muslim). Bahkan dalam hadits lainnya disebutkan sebagai berikut: Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, ‘Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?’ Beliau saw menjawab, ‘Kota Herakliuslah yang akan terkalahkan lebih dulu.’ Maksudnya adalah Konstantinopel.” (HR Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim) Dalam hadits lainnya, Rasulullah saw bahkan memuji-muji raja dan prajurit yang akan menjatuhkan Konstantinopel dalam hadits sebagai berikut: “Konstantinopel akan ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang berhasil menaklukkannya, dan sebaik-baik bala tentara adalah bala tentara yang menaklukkannya” (HR Ahmad). Maka, seperti tercatat dalam sejarah, sekian banyak sultan di peradaban Islam selalu berupaya menjatuhkan Konstaninopel, tapi semua gagal kecuali Muhammad Al-Fatih—murid seorang wali quthub, Aaq Syamsuddin. Muhammad Al-Fatih adalah seorang sultan yang, apabila Alexander Agung selalu membawa-bawa buku Illiad karya Homer ke mana-mana, maka beliau ini selalu membawa-bawa kitab Fushush Al-Hikam karya Ibn ‘Arabi.

Apabila melihat pada sejarah, maka bisa ditafsirkan bahwa batu yang menghancurkan kaki patung tersebut—sehingga hancur pula seluruh patung bagian atasnya—adalah peradaban Islam. Dan Nabi Daniel as pun mengatakan “Tetapi batu yang menimpa patung itu menjadi gunung besar yang memenuhi seluruh bumi.” Seperti itu pulalah yang terjadi dalam sejarah. Kesemua peradaban dari mulai Babilonia hingga Romawi kemudian digantikan oleh peradaban Islam yang lambat laun akan menjadi “gunung besar yang memenuhi seluruh bumi.” Dalam buku Kisah Para Nabi yang ditulis oleh Ibn Katsir, didapati kisah tentang ditemukannya makam Nabi Daniel as oleh para sahabat di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab ra, khalifah kedua setelah Rasulullah saw wafat. Jenazah Nabi Daniels as yang masih utuh itu pun diperintahkan oleh Umar bin Khaththab ra untuk dimakamkan di suatu tempat rahasia yang tidak boleh diketahui oleh siapa pun, yang penggalian makam rahasianya dilakukan oleh para tawanan perang yang kemudian dieksekusi setelah memakamkan jenazah Nabi Daniel as.

Permasalahannya, kalau melihat pada zaman Rasulullah saw, pembeda antara Muslim dan kaum kafir Quraisy sangatlah jelas, serta tekanan dan kekerasan fisik dari kaum kafir Quraisy akhirnya memicu beberapa kali peperangan. Namun, kini kondisinya jauh lebih kompleks, bukan hanya dalam tubuh umat muslim sendiri, tapi juga dalam interaksinya dengan umat dari agama lain serta kompleksitas hubungan negara-negara beserta ideologinya. Namun, bagi sebagian kalangan umat muslim, mereka masih memandang dengan sangat sederhana, hitam putih; bahwa siapa pun yang berada di luar kelompoknya adalah orang kafir, dan karena itu boleh atau harus dibunuh. Maka, tak mengherankan bahwa setelah Konstantinopel ditaklukkan dalam peperangan, maka incaran berikutnya adalah Roma. Bisa terbayangkan bahwa obsesi perang fisik semacam itu—demi tegaknya cita-cita Pan-Islamisme—bukan tak mungkin hanya akan memicu konflik internasional, bahkan bukan tidak mungkin berujung pada Perang Dunia Ketiga. Kini adalah era cyberspace, perang wacana dan ilmu pengetahuan sebenarnya lebih menjadi ciri zaman ini ketimbang perang fisik, walau bukan berarti kekerasan fisik atas nama agama tak akan terjadi lagi.

Terkait pan-Islamisme ini, tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada tanggal 12 November 1922 pernah menyampaikan sebuah pidato pada Kongres Komunis Internasional keempat yang memperlihatkan kekusutan problematikanya: “Tapi sekarang pertama-tama kita harus paham benar apa arti sesungguhnya dari kata Pan-Islamisme. Dulu, kata ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah kepemimpinan seorang Khalifah [Pemimpin dari Negara Islam – Ed.], dan Sang Khalifah haruslah keturunan Arab. Empat ratus tahun tahun setelah meninggalnya Muhammad, kaum muslim terpisah menjadi tiga Negara besar dan oleh karena itu Perang Suci ini telah kehilangan arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Hilang artinya bahwa, atas nama Tuhan, Khalifah dan agama Islam harus menaklukkan dunia, karena Khalifah Spanyol mengatakan, aku adalah benar-benar Khalifah sesungguhnya, aku harus membawa panji [Islam], dan Khalifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Khalifah Baghdad berkata, Aku adalah Khalifah yang sebenarnya, karena aku berasal dari suku Arab Quraisy.”3

Terkait obsesi politik ini pula, Bassam Tibi menegaskan “...[B]ahwasanya terdapat pembedaan antara iman Islam dan politik keagamaan Islamisme, yang menggunakan simbol agama untuk tujuan politik. Banyak yang akan menolak pembedaan ini, termasuk Islamis paling terkenal sekali pun. Sudah pasti bahwa banyak Islamis memegang keyakinan yang teguh bahwa Islamisme versi mereka merupakan Islam yang benar. Meski demikian, kenyataannya Islamisme diturunkan dari tafsir politis atas Islam: Islamisme tidaklah didasarkan pada iman religius Islam tetapi pada penerapan ideologis atas agama di dalam ranah politik. Oleh karena itu, Islamisme dan Islam adalah entitas yang berbeda, tidak boleh dibuat menjadi rancu satu sama lain, dan dalam buku ini saya bertujuan untuk menjelaskan perbedaan ini. Di ranah kajian Islam, perbedaan antara Islamisme dan Islam seringkali diabaikan atau bahkan dihilangkan. Namun demi alasan yang akan menjadi lebih jelas pada penjelasan berikutnya, pembedaan tersebut penting bagi kepercayaan bahwa umat Muslim bisa hidup damai dengan non-Muslim. Keimanan Islam bukanlah penghambat bagi perdamaian atau juga ancaman bagi non-Muslim lainnya. Di sisi lain, Islamisme menciptakan keretakan peradaban antara Muslim dan non-Muslim. Bukan hanya label ‘Yahudi dan tentara perang salib’ yang dianggap sebagai musuh, tapi juga menyasar non-Muslim lainnya: Hindu di Kashmir dan Malaysia, Buddhis dan Konfusian di Cina serta Asia Tenggara, orang-orang penganut agama animisme Afrika di Sudan. Islamisme mengklasifikasikan seluruh kalangan non-Muslim sebagai kuffar—orang-orang kafir—dan dengan demikian berarti merupakan ‘musuh Islam.’ Kalangan Muslim liberal pun tidak luput dari sasaran. Selain berkontribusi terhadap polarisasi antara Muslim dan non-Muslim lainnya, Islamisme juga memunculkan perseteruan internal yang kejam di dalam komunitas Islam. Untuk melindungi diri mereka sendiri dari kritik, kalangan Islamis telah menemukan formula ‘Islamofobia’ untuk mencela para pengkritiknya...Bukanlah suatu hal yang bertolak belakang antara membela Islam dari berbagai prasangka dengan mengkritik Islamisme.”4

Islamisme tidaklah sama dengan Islam, dan bahwasanya Ad-Dîn (atau agama) dalam hadits (berbagai perkataan yang diriwayatkan berasal dari Rasulullah saw) dinyatakan dibangun oleh tiga pilar, yaitu Al-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan (akan dijelaskan lebih jauh di bagian berikutnya). Dan salah satu pilar yang merupakan gudang khazanah spiritual Islam, yaitu ihsan dalam wujudnya sebagai tashawwuf, malah dilupakan dan bahkan dianggap bid‘ah serta sesat oleh banyak kalangan muslim sendiri. Padahal, dalam tashawwuf inilah bisa ditemui wajah Islam yang ramah, inklusif, dan bahwa seluk beluk Cinta (mahabbah) pun banyak disingkapkan di dalamnya. Ini fenomena yang sebenarnya agak unik dalam Islam, karena dalam agama lain, biasanya mistisisme bukanlah sesuatu yang dipermasalahkan sedemikian rupa hingga dibid’ahkan. Salah satunya adalah karena hal yang juga menjadi penyebab bagaimana Islam kurang diminati oleh para pengkaji agama-agama: bahwa dibandingkan agama lainnya, Islam seringkali tampil sebagai agama yang sangat legalistik dan seakan nyinyir mengatur hingga hal-hal yang terkecil sehingga terkesan sangat kaku sebagai sebuah agama.

Bambang Sugiharto pernah menegaskan sebagai berikut: “Sebetulnya setiap agama besar lahir dari pengalaman mistik yang sangat pribadi dari para tokoh pendirinya. Ajaran-ajaran mereka sebetulnya adalah sarana yang mendorong manusia mengalami intensitas kesadaran spiritual yang serupa. Sayangnya ajaran-ajaran itu lantas jatuh menjadi sekadar peta yang cukup ditelusuri saja dengan jari. Penjelajahan sesungguhnya secara pribadi justru dicurigai. Hal itu menyebabkan agama lantas menjadi urusan ‘luaran’, soal ketaatan pada otoritas eksternal, soal institusi dan identitas keanggotaan sosial belaka. Segala bentuk penjelajahan pribadi dan ‘ke dalam’ lantas cenderung dilihat sebagai bahaya bid‘ah, kesombongan, penghujatan, bahaya hilangnya dasar dan kebenaran, kebebasan yang kebablasan, kembali ke kekafiran, sinkretisme ngawur, agama ala supermarket, takhayul, dsb. Dari sisi lain, visi-visi mistik dianggap berbahaya seringkali bukan karena itu semua, melainkan karena de facto mereka sering mampu menyingkapkan borok-borok, kenaifan, kemunafikan, kedangkalan, kecenderungan status-quo, serta vested interest institusi agama. Sebagai institusi, agama lantas kerap cenderung over-defensif. Sayang sekali, sebab sesungguhnya bentuk-bentuk mistisisme (yang sehat) adalah peluang-peluang otokritik bagi institusi agar menyadari kembali hal-hal esensial dalam kehidupan religius, dan dengan cara itu sebetulnya institusi bisa menemukan revitalisasinya sendiri. Terutama dalam dunia yang makin heterodox macam saat ini, sikap defensif berlebihan akan melahirkan kekerasan ke dalam (keketatan dogmatis-legalistis) dan kecurigaan berlebihan keluar (dunia dianggap dekaden dan rusak). Dalam sejarah Barat, sikap Gereja yang overdefensif macam itu di abad pertengahan justru melahirkan dekristenisasi radikal di zaman modern hingga kekristenan tersingkirkan dan ateisme meriap subur. Tragis memang. Pada sisi ini sikap overdefensif lebih menunjukkan kelemahan, impotensi dan ketidakberdayaan institusi, alih-alih kesetiaan atau pun kearifan.”5

Namun, sebagaimana dikemukakan oleh Al-Hujwiri lebih dari 1000 tahun yang lalu, “Di zaman ini Tuhan telah mendindingi kebanyakan orang dari tashawwuf dan dari abdi-abdinya, dan telah menyembunyikan rahasia-rahasianya dari hati mereka. Karena itu, sementara orang membayangkan bahwa ia hanya berupa praktik ketakwaan lahiriah yang tidak disertai tafakur batin, dan yang lain menyangka bahwa ia merupakan suatu bentuk dan sebuah sistem yang tidak memiliki hakikat dan akar, sedemikian rupa sehingga mereka telah berpandangan seperti pandangan para pengejek (ahli hazl) dan para ahli ilmu kalam, yang hanya memandang segi lahirnya, dan sekaligus mengutuk tashawwuf, tanpa berusaha menemukan apa sesungguhnya tashawwuf itu. Orang pada umumnya, yang secara membabi buta menerima pendapat ini, telah menghapus dari hati mereka kedambaan dan pencarian akan kesucian batin dan telah mengesampingkan ajaran-ajaran Nabi-nabi terdahulu dan sahabat-sahabat Nabi saw. Sesungguhnya, kesucian adalah ciri khas orang Shiddiq, jika kau menginginkan atau mendambakan seorang Sufi sejati—karena kesucian (shafa) memiliki akar dan cabang: akarnya berupa keterpisahan hati dari “yang lain” (aghyar), dan cabangnya berupa kekosongan hati dari dunia yang memperdaya ini.”6

Dan, seribu tahun kemudian, keadaan tersebut nyaris tak berubah, bahkan kini wajah Islam pun malah menjadi sebentuk stereotip mengerikan dengan adanya berbagai kekerasan atas nama jihad bahkan hingga serangan bom bunuh diri serta permusuhan terhadap pemeluk agama lain. Inilah salah satu dampak langsung dari terlalu dominannya obsesi akan tatanan sosial politik Islam dan dilupakannya aspek spiritual Islam, akibat pemahaman Islam secara harfiah karena hilangnya pilar al-ihsan dalam agama Islam yang memperlihatkan kekayaan makna esoteris dari Islam.

Ada sebuah peristiwa menarik. Dalam suatu kesempatan, ketika sedang memberikan kuliah di Harvard University, Amerika Serikat, Annemarie Schimmel, merasa kaget dan heran ketika salah seorang mahasiswa peserta kuliah mengemukakan jawaban atas pertanyaan pembuka kuliah melalui sebuah pertanyaan, “agama Anda apa?”, dan mahasiswa tersebut berkata “Agama saya adalah agamanya Rumi” (maksudnya: Maulana Jalaluddin Rumi). Schimmel tersenyum karena memahami bahwa sang mahasiswa memang sangat tertarik kepada Rumi namun tidak menyadari sama sekali bahwa Rumi adalah seorang muslim taat yang memeluk agama Islam, sementara Islam—dalam kacamata masyarakat Barat dan juga masyarakat non-Muslim lainnya—malah seringkali dipandang sebagai agama yang penuh kekerasan dengan setumpuk obsesi politik dan kering dari nuansa spiritual.

Nah, apabila kini representasi wajah Islam telah menjadi demikian keras dan kehilangan dimensi spiritualnya—yang bahkan tak lagi dikenali oleh para pemeluk agama Islam selain agama legalistik yang hanya berisi perintah dan larangan—maka seperti apakah sebenarnya konsep Ad-Dîn yang utuh dalam Islam itu?



Catatan-catatan:

Sachiko Murata, The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, Mizan: Bandung, 1996, hlm. 115.

Dalam Kitab Daniel 3: 12-30, diceritakan tentang Sadrakh, Mesakh dan Abednego yang tidak mau menyembah dewanya Nebukadnezar dan patung emas yang telah didirikannya, lalu mereka dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. “Lalu diikatlah ketiga orang itu, dengan jubah, celana, topi dan pakaian-pakaian mereka yang lain, dan dicampakkan ke dalam perapian yang menyala-nyala. Karena titah raja itu keras, dipanaskanlah perapian itu dengan luar biasa, sehingga nyala api itu membakar mati orang-orang yang mengangkat Sadrakh, Mesakh dan Abednego itu ke atas. Tetapi ketiga orang itu, yakni Sadrakh, Mesakh dan Abednego, jatuh ke dalam perapian yang menyala-nyala itu dengan terikat. Kemudian terkejutlah raja Nebukadnezar lalu bangun dengan segera; berkatalah ia kepada para menterinya: “Bukankah tiga orang yang telah kita campakkan dengan terikat ke dalam api itu?” Jawab mereka kepada raja: Benar, ya raja!” Katanya: “Tetapi ada empat orang kulihat berjalan-jalan dengan bebas di tengah-tengah api itu; mereka tidak terluka, dan yang keempat itu rupanya seperti anak dewa!” Lalu Nebukadnezar mendekati pintu perapian yang bernyala-nyala itu; berkatalah ia: “Sadrakh, Mesakh dan Abednego, hamba-hamba Allah yang maha tinggi, keluarlah dan datanglah ke mari!” Lalu keluarlah Sadrakh, Mesakh dan Abednego dari api itu. (Daniel 3: 21-26) Menyaksikan itu, Nebukadnezar pun berkata “Terpujilah Allahnya Sadrakh, Mesakh dan Abednego! Ia telah mengutus malaikat-Nya dan melepaskan hamba-hamba-Nya, yang telah menaruh percaya kepada-Nya, dan melanggar titah raja, dan yang menyerahkan tubuh mereka, karena mereka tidak mau memuja dan menyembah allah manapun kecuali Allah mereka.” Setelah mereka dilepaskan, lalu diberikan kedudukan tinggi di wilayah Babel, namun menurut beberapa tafsir dari kalangan sufi, dalam Al-Quran dikatakan bahwa mereka kemudian pergi meninggalkan Babel dan masuk gua serta tertidur selama sekian ratus tahun, dan mereka kemudian dikenal sebagai Ashabul Kahfi sebagaimana tertuang dalam QS Al-Kahfi [18]: 9-22.

(http://www.marxists.org/indonesia/archive/malaka/1922-PanIslamisme.htm, diakses pada hari Minggu, 9 Februari 2014, jam 08.16)

Bassam Tibi, Islamism and Islam, Yale University Press: New Haven & London, 2012, hlm. vii-viii.

Bambang Sugiharto, “Mistisisme: Kekuatan dan Dilemanya”, makalah yang tidak dipublikasikan.

Abul-Hasan ‘Ali bin ‘Utsman bin ‘Ali Al-Ghaznawi Al-Jullabi Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua tentang Tasawuf, Mizan: Bandung, 1992, hlm. 40-41.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي