JURU KAMPANYE PERDAMAIAN
Pernah terbayang ada kiai-kiai sepuh, dengan aura wajah penuh
keteduhan, keliling kesana kemari menyerukan perdamaian? Ternyata orang
semacam itu ada banyak. Mungkin tiga sosok ini bisa menjadi contoh yang
sangat representatif dalam hal ini. Dan satu dari sekian banyak hal yang
mempersatukan sosok-sosok ini adalah latar spiritualitasnya, yakni
tasawuf.
Pertama, Syaikh Abdullah bin Bayyah (lahir 1935). Ulama sepuh asal Mauritania, satu daerah di Afrika Barat, dimana para santrinya masih mempertahankan tradisi hapalan dengan papan kayu. Di negeri asalnya ini, beliau menjadi ketua majelis ulama se-Mauritania. Beliau juga menjadi delegasi tetap OKI dalam ranah kepakaran ilmu fikih. Di Saudi, beliau mengajar di Universitas King Abdul Aziz dan dikenal sebagai pakar ilmu Ushul Fiqh. Beliau meneliti dan menulis satu tema khusus dalam fikih kekinian, yakni fikih minoritas.
Tahun 2013, Syaikh Abdullah bin Bayyah mendirikan Majlis Hukama al-Muslimin, satu organisasi internasional yang berikhtiar mempromosikan pesan-pesan perdamaian lintas umat. Tiap tahun, forum ini menggelar pertemuan antarulama dan tokoh muslim dari seluruh penjuru dunia dalam wadah ‘Forum for Promoting Peace in Muslim Societies’. Misinya sederhana namun serius; mendakwahkan bahwa Islam adalah betul-betul agama kedamaian dan keadilan. Beliau sangat menyayangkan realita bahwa kita lebih banyak membaca tentang perang dalam sejarah peradaban umat Islam, namun sedikit sekali membaca tentang upaya-upaya perdamaian lintas etnis dan agama. Marrekesh Declaration, yang memuat fatwa hukum penting tentang hak-hak minoritas di negeri mayoritas muslim, adalah salah satu inisiasinya bersama 250 ulama dan 50 tokoh agama lain.
Kedua, Maulana Wahiduddin Khan (lahir 1925). Sosok sepuh kelahiran India ini sudah lebih dari setengah abad menggemakan perdamaian. Beliau mendalami ilmu-ilmu agama melalui pesantren-pesantren tradisional sekaligus mempelajari ilmu-ilmu umum. Dari pengalaman belajarnya ini, beliau bertekad untuk menyampaikan hakekat Islam dengan bahasa kekinian, bahasa sains dan humaniora modern. Salah satu upayanya dalam hal ini adalah menerjemahkan dan menafsirkan Al-Quran dalam bahasa Urdu, Inggris, dan Hindi, dengan pendekatan saintifik.
Sejak 1967, Maulana Wahiduddin Khan sudah aktif berkeliling menyampaikan ceramah, menghadiri forum-forum, dan menulis dalam tema kerukunan dan perdamaian. Baik dalam lingkup sesama muslim maupun lintas iman. Kita tahu bahwa India mengalami banyak sekali konflik horizontal yang parah. Pada 1992 terjadi insiden masjid Babri, yakni ketika 150.000 umat Hindu ekstrim menghancurkan masjid bersejarah umat Islam dengan suka cita. Tentu saja insiden ini kemudian menimbulkan ketegangan antaragama di seluruh India. Sebagai tokoh agama Islam, Maulana Wahiduddin tidak mengajak angkat senjata untuk balas dendam, beliau justru menyelenggarakan pawai perdamaian besar-besaran selama 15 hari berturut-turut melewati 35 tempat berbeda. Dan ketegangan pun mereda. Mulai ’90-an inilah peran beliau mulai nampak sebagai duta spiritualitas dan perdamaian.
Untuk menyebarkan pesan-pesan kedamaian Islam universal ini, Maulana Wahiduddin Khan mendirikan Center for Peace and Spirituality, satu yayasan yang mendakwahkan kedamaian dan spiritualitas, tasawuf. Ia kerap berkunjung ke berbagai wilayah dan bertemu berbagai tokoh lintas iman untuk berdialog, bukan berdebat. Pada 2015 lalu, di Abu Dhabi, beliau mendapat penghargaan dari Majlis Hukama al-Muslimin pimpinan Syaikh Abdullah bin Bayyah atas kerja kerasnya mengkampanyekan perdamaian sepanjang hidupnya.
Ketiga, Habib Luthfi bin Yahya (lahir 1947). Seorang habib yang sangat kental dengan jargon nasionalisme. Sosok mursyid yang mengetuai puluhan aliran tarekat muktabar se-Indonesia dalam JATMAN (Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah). Sejak muda, beliau mengaji tidak hanya kepada kalangan ahlulbait, tetapi juga kepada kalangan kiai-kiai lokal dengan tak kalah khidmat. Setiap bulan, pada Jumat Kliwon, majlisnya dipenuhi ribuan kaum muslimin untuk mengaji tasawuf di gedung yang disebut sebagai Kanzus Shalawat.
Wawasan keilmuan Habib Luthfi mencakup berbagai bidang. Ranah syariat tentu saja, ranah tarekat dan hakekat memang bidangnya. Sains dan humaniora, beliau juga sangat melek, hal ini bisa dibuktikan dengan pengajian-pengajian beliau selama Ramadhan yang banyak membahas satu kitab dengan kacamata multidimensi. Hal ini juga makin dibuktikan dengan inisiatif beliau membentuk organisasi sayap tarekat MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah), sehingga wacana-wacana segar dan progresif kaum tarekat bisa terimplementasikan.
Beberapa tahun terakhir, Habib Luthfi nampak sangat gencar mengampanyekan semangat cinta tanah air dan persatuan kebangsaan (wathaniyyah). Beliau berceramah dari majlis ke majlis, besar maupun kecil, mendakwahkan semangat persatuan dan memahamkan bahwa nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Beliau merangkul pemerintah bersama-sama rakyat untuk berupaya keras mencegah perpecahan. Bahkan di tahun ini, melalui wadah JATMAN beliau menggelar konferensi internasional yang dihadiri para ulama tarekat dari berbagai negara yang sepakat dan menegaskan bahwa nasionalisme adalah bagian dari spirit Islam. Para ulama yang sebagian besar berasal dari negara-negara konflik dan bekas konflik ini sangat berharap agar Indonesia bisa menjadi ‘sesepuh’ dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang masih bertikai dan saling menumpahkan darah.
Sosok-sosok sepuh ini seperti tak punya lelah. Kesana-kemari berkeliling dari satu daerah ke daerah lain bukan untuk mengembangkan bisnis, bukan untuk memperbanyak pengikut, bukan untuk keperluan profan materi, melainkan untuk merajut kedamaian. Mereka menjahit luka-luka yang menganga, menjaganya agar tak tercabik lagi, merawat luka-luka perpecahan agar sembu dan jangan diungkit-ungkit lagi.
Mereka mencerminkan satu ayat di dalam Al-Quran yang tak begitu populer. Satu ayat Al-Quran yang sangat asing di dunia kita saat ini. Satu ayat Al-Quran yang menjadi prinsip filantropi umat Islam, yakni;
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak kami memberinya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
Pemakaian istilah ‘naas’ dalam ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian yang dimaksud adalah untuk seluruh umat manusia. Bukan untuk umat Islam saja, bukan untuk kaum Sunni saja, bukan untuk sesama mazhab saja. Anjuran perdamaian ini tentu bukan tanpa sebab. Konflik dan perpecahan, perang dan permusuhan, semua itu memang sudah menjadi fitrah kemanusiaan.
Sejak Qabil menumpahkan darah Habil di muka bumi ini, kisah perang saudara seakan menjadi kutukan bagi kemanusiaan sejak dahulu hingga akhir zaman. Namun semua itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk membiarkannya, apalagi menjadi bagian penyulut api konflik di dalamnya. Lalu bagaimana dengan bahaya neokolonialisme? Bagaimana dengan invasi Barat dan konspirasi zionis?
Sosok-sosok seperti Syaikh Abdullah bin Bayyah, Maulana Wahiduddin Khan, dan Habib Luthfi bin Yahya, bukanlah orang-orang polos yang tidak tahu menahu tentang adanya musuh. Mereka bukan anak kecil yang tak paham strategi konspiratif. Mereka bukan bocah kemarin sore yang tak mengerti adanya perangkap dan jerat kapitalisme di luar sana. Mereka betul-betul paham bahwa penjajahan modern yang mencengkeram umat Islam saat ini tidak seperti penjajahn di masa lalu.
Umat Islam diadu, dipecah belah, dihantamkan dan dipertarungkan. Lebih luas lagi, konflik antaragama disulut, padahal yang dituju adalah penguasaan politik maupun pencaplokan sumber daya alam. Langkah jitu yang para tokoh ini ambil adalah dengan menebarkan pesan perdamaian. Tentu saja langkah seperti ini tidak akan pernah populer karena kecenderungan manusia adalah berkonflik. Namun harus ada orang-orang yang terus menyuarakan dan mengkampanyekannya, terutama kepada generasi muda. Plus, sosok-sosok pengamal tasawuf semacam beliau bertiga sangat mendorong umat Islam untuk berdaya dalam sains dan pengembangan energi.
Mungkin Anda bertanya, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang? Ya, benar. Beliau berperang bersama para sahabat dalam rangka mempertahankan diri, defensif. Lagipula, kita lebih banyak diceritai kisah-kisah peperangan daripada upaya rekonsiliasi yang diupayakan oleh Rasulullah. padahal. Kita juga lebih kerap diceramahi kisah perseteruan para sahabat dan para ulama penerus setelahnya, mulai dari perang antartokoh hingga perdebatan remeh temeh. Kita lebih familiar dengan kisah pembantaian Imam Al-Hussain daripada kisah rekonsiliasi oleh Imam Al-Hassan.
Padahal kalau kita telaah, ada banyak sekali aksi rekonsiliasi yang telah Rasulullah teladankan. Mulai dari merukunkan antarindividu, merukunkan antarpasangan dalam rumah tangga, merukunkan antara orang yang berselisih sebab harta benda, hingga merukunkan antarsuku yang berseteru dan saling bantai. Tema rekonsiliasi Rasulullah ini tentu akan sangat panjang bila kita bahas, mungkin bisa kita telaah di lain tulisan.
Begitulah. Catatan sejarah yang kita baca lebih dominan diisi kisah-kisah konflik. Sangat sedikit ruang yang menceritakan rekonsiliasi dan ide-ide konstruktif. Bagaimana Rasulullah membimbing masyarakat Madinah bertani, berniaga, dan beternak. Bagaimana penguasa di Abad Pertengahan membangun masyarakat dan apa saja yang dilakukan. Kita asing dengan informasi-informasi semacam itu.
Apalagi di era medsos saat ini, ketika informasi sangat mudah menyebar. Kabar burung bisa sampai dari jarak ribuan kilometer hanya dalam hitungan detik di layar ponsel kita masing-masing. Padahal suatu informasi, suatu kejadian sejarah, membutuhkan analisa yang tepat. Namun di era ini, semua orang bebas mengomentari apapun tanpa perlu kualifikasi ilmu yang memadai. Sehingga yang terjadi adalah justru memperkeruh suasana dan memperpanas suhu pertikaian. Kemudian berujung pada meluasnya konflik. Sehingga yang terjadi bukan hanya globalisasi mode dan gaya hidup, tetapi juga globalisasi konflik.
Tentu kita tak mau upaya sosok-sosok sepuh di atas, yang bertahun-tahun membangun kerukunan, kita runtuhkan tanpa kesadaran jangka panjang tentang apa yang akan menimpa kita dan anak cucu kita. Karena perdamaian bukan sesuatu yang bisa terwujud seketika. Butuh sewindu untuk merajut perdamaian, namun cukup sekejap untuk mencabik-cabiknya. Semoga kita termasuk dalam shaf para perajut perdamaian, bukan pencabik dan penyulut sumbu perpecahan.
_________
Krapyak, Sabtu Legi 17 Mulud 1438, Kado Ultah.
Oleh: Mas Zia Ul Haq (santrijagad.org)
Pertama, Syaikh Abdullah bin Bayyah (lahir 1935). Ulama sepuh asal Mauritania, satu daerah di Afrika Barat, dimana para santrinya masih mempertahankan tradisi hapalan dengan papan kayu. Di negeri asalnya ini, beliau menjadi ketua majelis ulama se-Mauritania. Beliau juga menjadi delegasi tetap OKI dalam ranah kepakaran ilmu fikih. Di Saudi, beliau mengajar di Universitas King Abdul Aziz dan dikenal sebagai pakar ilmu Ushul Fiqh. Beliau meneliti dan menulis satu tema khusus dalam fikih kekinian, yakni fikih minoritas.
Tahun 2013, Syaikh Abdullah bin Bayyah mendirikan Majlis Hukama al-Muslimin, satu organisasi internasional yang berikhtiar mempromosikan pesan-pesan perdamaian lintas umat. Tiap tahun, forum ini menggelar pertemuan antarulama dan tokoh muslim dari seluruh penjuru dunia dalam wadah ‘Forum for Promoting Peace in Muslim Societies’. Misinya sederhana namun serius; mendakwahkan bahwa Islam adalah betul-betul agama kedamaian dan keadilan. Beliau sangat menyayangkan realita bahwa kita lebih banyak membaca tentang perang dalam sejarah peradaban umat Islam, namun sedikit sekali membaca tentang upaya-upaya perdamaian lintas etnis dan agama. Marrekesh Declaration, yang memuat fatwa hukum penting tentang hak-hak minoritas di negeri mayoritas muslim, adalah salah satu inisiasinya bersama 250 ulama dan 50 tokoh agama lain.
Kedua, Maulana Wahiduddin Khan (lahir 1925). Sosok sepuh kelahiran India ini sudah lebih dari setengah abad menggemakan perdamaian. Beliau mendalami ilmu-ilmu agama melalui pesantren-pesantren tradisional sekaligus mempelajari ilmu-ilmu umum. Dari pengalaman belajarnya ini, beliau bertekad untuk menyampaikan hakekat Islam dengan bahasa kekinian, bahasa sains dan humaniora modern. Salah satu upayanya dalam hal ini adalah menerjemahkan dan menafsirkan Al-Quran dalam bahasa Urdu, Inggris, dan Hindi, dengan pendekatan saintifik.
Sejak 1967, Maulana Wahiduddin Khan sudah aktif berkeliling menyampaikan ceramah, menghadiri forum-forum, dan menulis dalam tema kerukunan dan perdamaian. Baik dalam lingkup sesama muslim maupun lintas iman. Kita tahu bahwa India mengalami banyak sekali konflik horizontal yang parah. Pada 1992 terjadi insiden masjid Babri, yakni ketika 150.000 umat Hindu ekstrim menghancurkan masjid bersejarah umat Islam dengan suka cita. Tentu saja insiden ini kemudian menimbulkan ketegangan antaragama di seluruh India. Sebagai tokoh agama Islam, Maulana Wahiduddin tidak mengajak angkat senjata untuk balas dendam, beliau justru menyelenggarakan pawai perdamaian besar-besaran selama 15 hari berturut-turut melewati 35 tempat berbeda. Dan ketegangan pun mereda. Mulai ’90-an inilah peran beliau mulai nampak sebagai duta spiritualitas dan perdamaian.
Untuk menyebarkan pesan-pesan kedamaian Islam universal ini, Maulana Wahiduddin Khan mendirikan Center for Peace and Spirituality, satu yayasan yang mendakwahkan kedamaian dan spiritualitas, tasawuf. Ia kerap berkunjung ke berbagai wilayah dan bertemu berbagai tokoh lintas iman untuk berdialog, bukan berdebat. Pada 2015 lalu, di Abu Dhabi, beliau mendapat penghargaan dari Majlis Hukama al-Muslimin pimpinan Syaikh Abdullah bin Bayyah atas kerja kerasnya mengkampanyekan perdamaian sepanjang hidupnya.
Ketiga, Habib Luthfi bin Yahya (lahir 1947). Seorang habib yang sangat kental dengan jargon nasionalisme. Sosok mursyid yang mengetuai puluhan aliran tarekat muktabar se-Indonesia dalam JATMAN (Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah). Sejak muda, beliau mengaji tidak hanya kepada kalangan ahlulbait, tetapi juga kepada kalangan kiai-kiai lokal dengan tak kalah khidmat. Setiap bulan, pada Jumat Kliwon, majlisnya dipenuhi ribuan kaum muslimin untuk mengaji tasawuf di gedung yang disebut sebagai Kanzus Shalawat.
Wawasan keilmuan Habib Luthfi mencakup berbagai bidang. Ranah syariat tentu saja, ranah tarekat dan hakekat memang bidangnya. Sains dan humaniora, beliau juga sangat melek, hal ini bisa dibuktikan dengan pengajian-pengajian beliau selama Ramadhan yang banyak membahas satu kitab dengan kacamata multidimensi. Hal ini juga makin dibuktikan dengan inisiatif beliau membentuk organisasi sayap tarekat MATAN (Mahasiswa Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah), sehingga wacana-wacana segar dan progresif kaum tarekat bisa terimplementasikan.
Beberapa tahun terakhir, Habib Luthfi nampak sangat gencar mengampanyekan semangat cinta tanah air dan persatuan kebangsaan (wathaniyyah). Beliau berceramah dari majlis ke majlis, besar maupun kecil, mendakwahkan semangat persatuan dan memahamkan bahwa nasionalisme sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Beliau merangkul pemerintah bersama-sama rakyat untuk berupaya keras mencegah perpecahan. Bahkan di tahun ini, melalui wadah JATMAN beliau menggelar konferensi internasional yang dihadiri para ulama tarekat dari berbagai negara yang sepakat dan menegaskan bahwa nasionalisme adalah bagian dari spirit Islam. Para ulama yang sebagian besar berasal dari negara-negara konflik dan bekas konflik ini sangat berharap agar Indonesia bisa menjadi ‘sesepuh’ dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang masih bertikai dan saling menumpahkan darah.
Sosok-sosok sepuh ini seperti tak punya lelah. Kesana-kemari berkeliling dari satu daerah ke daerah lain bukan untuk mengembangkan bisnis, bukan untuk memperbanyak pengikut, bukan untuk keperluan profan materi, melainkan untuk merajut kedamaian. Mereka menjahit luka-luka yang menganga, menjaganya agar tak tercabik lagi, merawat luka-luka perpecahan agar sembu dan jangan diungkit-ungkit lagi.
Mereka mencerminkan satu ayat di dalam Al-Quran yang tak begitu populer. Satu ayat Al-Quran yang sangat asing di dunia kita saat ini. Satu ayat Al-Quran yang menjadi prinsip filantropi umat Islam, yakni;
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh bersedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan Barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, Maka kelak kami memberinya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
Pemakaian istilah ‘naas’ dalam ayat ini menunjukkan bahwa perdamaian yang dimaksud adalah untuk seluruh umat manusia. Bukan untuk umat Islam saja, bukan untuk kaum Sunni saja, bukan untuk sesama mazhab saja. Anjuran perdamaian ini tentu bukan tanpa sebab. Konflik dan perpecahan, perang dan permusuhan, semua itu memang sudah menjadi fitrah kemanusiaan.
Sejak Qabil menumpahkan darah Habil di muka bumi ini, kisah perang saudara seakan menjadi kutukan bagi kemanusiaan sejak dahulu hingga akhir zaman. Namun semua itu tidak menjadi alasan bagi kita untuk membiarkannya, apalagi menjadi bagian penyulut api konflik di dalamnya. Lalu bagaimana dengan bahaya neokolonialisme? Bagaimana dengan invasi Barat dan konspirasi zionis?
Sosok-sosok seperti Syaikh Abdullah bin Bayyah, Maulana Wahiduddin Khan, dan Habib Luthfi bin Yahya, bukanlah orang-orang polos yang tidak tahu menahu tentang adanya musuh. Mereka bukan anak kecil yang tak paham strategi konspiratif. Mereka bukan bocah kemarin sore yang tak mengerti adanya perangkap dan jerat kapitalisme di luar sana. Mereka betul-betul paham bahwa penjajahan modern yang mencengkeram umat Islam saat ini tidak seperti penjajahn di masa lalu.
Umat Islam diadu, dipecah belah, dihantamkan dan dipertarungkan. Lebih luas lagi, konflik antaragama disulut, padahal yang dituju adalah penguasaan politik maupun pencaplokan sumber daya alam. Langkah jitu yang para tokoh ini ambil adalah dengan menebarkan pesan perdamaian. Tentu saja langkah seperti ini tidak akan pernah populer karena kecenderungan manusia adalah berkonflik. Namun harus ada orang-orang yang terus menyuarakan dan mengkampanyekannya, terutama kepada generasi muda. Plus, sosok-sosok pengamal tasawuf semacam beliau bertiga sangat mendorong umat Islam untuk berdaya dalam sains dan pengembangan energi.
Mungkin Anda bertanya, bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berperang? Ya, benar. Beliau berperang bersama para sahabat dalam rangka mempertahankan diri, defensif. Lagipula, kita lebih banyak diceritai kisah-kisah peperangan daripada upaya rekonsiliasi yang diupayakan oleh Rasulullah. padahal. Kita juga lebih kerap diceramahi kisah perseteruan para sahabat dan para ulama penerus setelahnya, mulai dari perang antartokoh hingga perdebatan remeh temeh. Kita lebih familiar dengan kisah pembantaian Imam Al-Hussain daripada kisah rekonsiliasi oleh Imam Al-Hassan.
Padahal kalau kita telaah, ada banyak sekali aksi rekonsiliasi yang telah Rasulullah teladankan. Mulai dari merukunkan antarindividu, merukunkan antarpasangan dalam rumah tangga, merukunkan antara orang yang berselisih sebab harta benda, hingga merukunkan antarsuku yang berseteru dan saling bantai. Tema rekonsiliasi Rasulullah ini tentu akan sangat panjang bila kita bahas, mungkin bisa kita telaah di lain tulisan.
Begitulah. Catatan sejarah yang kita baca lebih dominan diisi kisah-kisah konflik. Sangat sedikit ruang yang menceritakan rekonsiliasi dan ide-ide konstruktif. Bagaimana Rasulullah membimbing masyarakat Madinah bertani, berniaga, dan beternak. Bagaimana penguasa di Abad Pertengahan membangun masyarakat dan apa saja yang dilakukan. Kita asing dengan informasi-informasi semacam itu.
Apalagi di era medsos saat ini, ketika informasi sangat mudah menyebar. Kabar burung bisa sampai dari jarak ribuan kilometer hanya dalam hitungan detik di layar ponsel kita masing-masing. Padahal suatu informasi, suatu kejadian sejarah, membutuhkan analisa yang tepat. Namun di era ini, semua orang bebas mengomentari apapun tanpa perlu kualifikasi ilmu yang memadai. Sehingga yang terjadi adalah justru memperkeruh suasana dan memperpanas suhu pertikaian. Kemudian berujung pada meluasnya konflik. Sehingga yang terjadi bukan hanya globalisasi mode dan gaya hidup, tetapi juga globalisasi konflik.
Tentu kita tak mau upaya sosok-sosok sepuh di atas, yang bertahun-tahun membangun kerukunan, kita runtuhkan tanpa kesadaran jangka panjang tentang apa yang akan menimpa kita dan anak cucu kita. Karena perdamaian bukan sesuatu yang bisa terwujud seketika. Butuh sewindu untuk merajut perdamaian, namun cukup sekejap untuk mencabik-cabiknya. Semoga kita termasuk dalam shaf para perajut perdamaian, bukan pencabik dan penyulut sumbu perpecahan.
_________
Krapyak, Sabtu Legi 17 Mulud 1438, Kado Ultah.
Oleh: Mas Zia Ul Haq (santrijagad.org)
Komentar
Posting Komentar