LAGI: RIBUT AT-RIBUT di MUSIM NATAL 2016
Atribut itu artinya lebih dari satu. Bisa ciri khas, watak khas, pembawaan khas, atau unsur atau elemen struktural atau elemen pelengkap, atau hal-hal tambahan yang boleh ada atau boleh tidak ada, hal-hal komplemen.
Watak khas si S misalnya murah senyum. Si C suka cemberut saat
mengerjakan apapun. Si oma N suka nangis dan ngomel barengan. Si dosen T
telaten sekali kalau sedang membimbing mahasiswa dalam mengerjakan
tugas-tugas akhir universitas. Atau si pemuda H suka ganti-ganti pacar
tanpa kemampuan untuk memahami dan merasakan kehancuran hati
mantan-mantan pacarnya. Dll. Ini atribut. Tidak esensial. Selalu relatif
dan tentatif, kerap dapat berubah sejalan dengan gerak waktu,
perpindahan tempat dan akumulasi pengalaman dan pengetahuan. Meskipun
tidak esensial dan serba tentatif, ada atribut yang bagus, karena itu
perlu dipertahankan dan diperkaya dan diperindah.
Atribut sebagai elemen-elemen pelengkap selalu ada dalam semua agama, mulai dari doktrin, kredo, ritual, simbol, hingga aturan hukum dan kaidah moral. Nah, sebagai elemen-elemen pelengkap tentu saja atribut tidak esensial.
Terkait musim Natal global, misalnya, ada sekian atribut Natal yang boleh ada atau boleh tidak ada.
Misalnya, Natal tidak harus diramaikan oleh Sinterklas (dan Piet Hitam) dengan semua unsur pelengkap lainnya, misalnya sebuah kereta kencana yang ditarik beberapa ekor kijang (Innova), sejumlah parsel yang dimuat dalam karung Sinterklas, topi merah bergaris putih kuncung dari bahan beludru atau bahan kain lain yang ujungnya lunglai nukik ke bawah.
Atau dengan pohon Natal hijau yang dipandang sebagai simbol keabadian dalam sangat banyak kebudayaan, dan kawasan bersalju. Juga madah Silent Night tidak mutlak dinyanyikan, apalagi diberhalakan, meskipun mungkin nyaris mustahil umat Kristen sedunia tidak lagi melantunkan madah ini, dan sekian madah Natal indah lainnya, di musim Natal, khususnya di setiap tanggal 24 Desember malam.
Jika atribut-atribut keagamaan banyak yang tidak esensial, berfungsi sebagai elemen-elemen pelengkap atau komplemen saja, ya kita sesunguhnya sedang membuang energi dan waktu dengan sia-sia jika meributkan atribut-atribut ini karena dinilai dengan keliru sebagai unsur-unsur esensial yang akan merusak keimanan orang-orang yang beragama lain. Tentu banyak orang mengernyitkan dahi lalu berkomentar dalam hati, "Kok iman bisa rusak hanya karena seorang yang beragama lain ikhlas ikut meramaikan acara kegembiraan Natal dengan ikut memakai sejumlah atribut Natal di berbagai aktivitas bisnis pesta kultural Natal?" Sangat banyak orang terpaksa bingung dengan pertanyaan ini. Bingung, yaaa yaaa betul bingung.
Lalu, sebuah pertanyaan penting lainnya juga perlu dijawab: Apakah antaragama-agama tidak boleh terjadi kegiatan pinjam-meminjam atribut keagamaan sebagai unsur pelengkap? Saya jawab pertanyaan ini dengan menampilkan foto di bawah ini.
Silakan duga atau pastikan, foto tersebut menampilkan ritual agama apa? Perayaan Natal atau bukan? Kalau ini ritual perayaan dan ibadah Natal, kok umat memakai atribut non-Kristen, yaitu hijab atau kerudung kepala atau jilbab? Tapi apa betul kerudung kepala atribut ritual non-Kristen, atau lebih jauh mundur ke era lebih tua, atribut ritual non-Yahudi? Baiklah saya beri keterangan pendek tentang foto terlampir. Foto ini memperlihatkan para perempuan Kristen berjilbab dari Gereja Ortodoks Rusia yang sudah mengenal tradisi memakai hijab sejak 2.000 tahun lalu.
Tugas anda selanjutnya ini: Coba telusuri lebih jauh, adakah tradisi memakai kerudung kepala untuk perempuan dalam agama Yahudi dulu dan kini. Juga di antara gereja-gereja di negara-negara Timur Tengah, atau di antara Gereja-gereja Ortodoks Timur, dulu dan kini. Gereja Roma Katolik sudah sangat lama mengenal tradisi kerudung putih para suster sejak pranata kebiarawatian atau kesusteran ditetapkan dan dijalankan gereja ini
Sekali lagi perlu ditegaskan, atribut atau elemen ritual agama apapun bukan esensi, tapi berfungsi sebagai elemen pelengkap, melanjutkan tradisi tua pinjam-meminjam unsur-unsur ritual antaragama-agama, sejak zaman kuno, bahkan sejak sebelum agama Yahudi formal dilahirkan. Istilah kerennya, kontekstualisasi selalu terjadi, cepat atau lambat, terencana atau otomatis, ketika suatu agama hadir di tempat lain dan di zaman lain dan bertemu dengan agama-agama lain dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Ini FAKTA sosiokultural religius global lintas zaman dan tempat, entah mau diakui atau pun mau disangkal. Orang yang hidup sehat adalah orang yang membuka diri pada fakta, tidak hidup "in denial of reality".
Jika atribut tidak esensial, sehingga bisa diabaikan atau diganti, atau tetap ditampilkan demi kesukaan dan kegembiraan, atau malah diperkaya dan dikawinsilangkan, lalu apa hal yang esensial, atau hal yang paling esensial, dalam kehidupan keagamaan kita?
Yang paling esensial dalam semua agama adalah tugas dan panggilan ilahi untuk semua orang yang beragama MENJADI SESAMA MANUSIA terhadap manusia-manusia lainnya, yakni dengan saling berbagi kehidupan, saling menyembuhkan, saling mencintai, saling menolong, saling bermurah dan berbaik hati, saling berbagi kebajikan, kearifan dan ilmu pengetahuan, saling memajukan dan membangun.
Kalau kita serius beragama apapun, nah ingatkanlah sesama kita, apapun agama mereka, ketika mereka mengabaikan atau melupakan atau berpura-pura tidak tahu bahwa tugas dan panggilan keagamaan yang paling esensial itu adalah menjadi sesama manusia terhadap siapapun. Karena kita semua, menurut ajaran agama kita, bukan Allah, bukan dewa-dewi, juga bukan setengah dewa setengah manusia, tetapi manusia kodrati, maka semua orang lain adalah sesama kita. Inilah ajaran semua agama dunia. Inilah hakikat eksistensi kita.
Jika kita menyangkal bahwa orang lain itu sesama kita manusia, atau kita dengan takabur memandang diri kita sendiri sebagai Tuhan Allah atau dewa-dewi atau sosok tiga perempat dewa dan seperempat manusia, yang serba boleh melakukan apapun karena kita yakin diri kita mahakuasa, mahaberkehendak dan mahaberbuat, maka kita bukan hanya menyangkal agama kita sendiri, tetapi juga hakikat eksistensi kita sendiri sampai ke akar-akarnya. Betapa malangnya kita jika itu kondisi diri kita. Beragama tapi membuat kita melanggar agama kita sendiri.
Jakarta, 24 Desember 2016
In the winter
with my heart being very warm
Atribut sebagai elemen-elemen pelengkap selalu ada dalam semua agama, mulai dari doktrin, kredo, ritual, simbol, hingga aturan hukum dan kaidah moral. Nah, sebagai elemen-elemen pelengkap tentu saja atribut tidak esensial.
Terkait musim Natal global, misalnya, ada sekian atribut Natal yang boleh ada atau boleh tidak ada.
Misalnya, Natal tidak harus diramaikan oleh Sinterklas (dan Piet Hitam) dengan semua unsur pelengkap lainnya, misalnya sebuah kereta kencana yang ditarik beberapa ekor kijang (Innova), sejumlah parsel yang dimuat dalam karung Sinterklas, topi merah bergaris putih kuncung dari bahan beludru atau bahan kain lain yang ujungnya lunglai nukik ke bawah.
Atau dengan pohon Natal hijau yang dipandang sebagai simbol keabadian dalam sangat banyak kebudayaan, dan kawasan bersalju. Juga madah Silent Night tidak mutlak dinyanyikan, apalagi diberhalakan, meskipun mungkin nyaris mustahil umat Kristen sedunia tidak lagi melantunkan madah ini, dan sekian madah Natal indah lainnya, di musim Natal, khususnya di setiap tanggal 24 Desember malam.
Jika atribut-atribut keagamaan banyak yang tidak esensial, berfungsi sebagai elemen-elemen pelengkap atau komplemen saja, ya kita sesunguhnya sedang membuang energi dan waktu dengan sia-sia jika meributkan atribut-atribut ini karena dinilai dengan keliru sebagai unsur-unsur esensial yang akan merusak keimanan orang-orang yang beragama lain. Tentu banyak orang mengernyitkan dahi lalu berkomentar dalam hati, "Kok iman bisa rusak hanya karena seorang yang beragama lain ikhlas ikut meramaikan acara kegembiraan Natal dengan ikut memakai sejumlah atribut Natal di berbagai aktivitas bisnis pesta kultural Natal?" Sangat banyak orang terpaksa bingung dengan pertanyaan ini. Bingung, yaaa yaaa betul bingung.
Lalu, sebuah pertanyaan penting lainnya juga perlu dijawab: Apakah antaragama-agama tidak boleh terjadi kegiatan pinjam-meminjam atribut keagamaan sebagai unsur pelengkap? Saya jawab pertanyaan ini dengan menampilkan foto di bawah ini.
Silakan duga atau pastikan, foto tersebut menampilkan ritual agama apa? Perayaan Natal atau bukan? Kalau ini ritual perayaan dan ibadah Natal, kok umat memakai atribut non-Kristen, yaitu hijab atau kerudung kepala atau jilbab? Tapi apa betul kerudung kepala atribut ritual non-Kristen, atau lebih jauh mundur ke era lebih tua, atribut ritual non-Yahudi? Baiklah saya beri keterangan pendek tentang foto terlampir. Foto ini memperlihatkan para perempuan Kristen berjilbab dari Gereja Ortodoks Rusia yang sudah mengenal tradisi memakai hijab sejak 2.000 tahun lalu.
Tugas anda selanjutnya ini: Coba telusuri lebih jauh, adakah tradisi memakai kerudung kepala untuk perempuan dalam agama Yahudi dulu dan kini. Juga di antara gereja-gereja di negara-negara Timur Tengah, atau di antara Gereja-gereja Ortodoks Timur, dulu dan kini. Gereja Roma Katolik sudah sangat lama mengenal tradisi kerudung putih para suster sejak pranata kebiarawatian atau kesusteran ditetapkan dan dijalankan gereja ini
Sekali lagi perlu ditegaskan, atribut atau elemen ritual agama apapun bukan esensi, tapi berfungsi sebagai elemen pelengkap, melanjutkan tradisi tua pinjam-meminjam unsur-unsur ritual antaragama-agama, sejak zaman kuno, bahkan sejak sebelum agama Yahudi formal dilahirkan. Istilah kerennya, kontekstualisasi selalu terjadi, cepat atau lambat, terencana atau otomatis, ketika suatu agama hadir di tempat lain dan di zaman lain dan bertemu dengan agama-agama lain dan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda. Ini FAKTA sosiokultural religius global lintas zaman dan tempat, entah mau diakui atau pun mau disangkal. Orang yang hidup sehat adalah orang yang membuka diri pada fakta, tidak hidup "in denial of reality".
Jika atribut tidak esensial, sehingga bisa diabaikan atau diganti, atau tetap ditampilkan demi kesukaan dan kegembiraan, atau malah diperkaya dan dikawinsilangkan, lalu apa hal yang esensial, atau hal yang paling esensial, dalam kehidupan keagamaan kita?
Yang paling esensial dalam semua agama adalah tugas dan panggilan ilahi untuk semua orang yang beragama MENJADI SESAMA MANUSIA terhadap manusia-manusia lainnya, yakni dengan saling berbagi kehidupan, saling menyembuhkan, saling mencintai, saling menolong, saling bermurah dan berbaik hati, saling berbagi kebajikan, kearifan dan ilmu pengetahuan, saling memajukan dan membangun.
Kalau kita serius beragama apapun, nah ingatkanlah sesama kita, apapun agama mereka, ketika mereka mengabaikan atau melupakan atau berpura-pura tidak tahu bahwa tugas dan panggilan keagamaan yang paling esensial itu adalah menjadi sesama manusia terhadap siapapun. Karena kita semua, menurut ajaran agama kita, bukan Allah, bukan dewa-dewi, juga bukan setengah dewa setengah manusia, tetapi manusia kodrati, maka semua orang lain adalah sesama kita. Inilah ajaran semua agama dunia. Inilah hakikat eksistensi kita.
Jika kita menyangkal bahwa orang lain itu sesama kita manusia, atau kita dengan takabur memandang diri kita sendiri sebagai Tuhan Allah atau dewa-dewi atau sosok tiga perempat dewa dan seperempat manusia, yang serba boleh melakukan apapun karena kita yakin diri kita mahakuasa, mahaberkehendak dan mahaberbuat, maka kita bukan hanya menyangkal agama kita sendiri, tetapi juga hakikat eksistensi kita sendiri sampai ke akar-akarnya. Betapa malangnya kita jika itu kondisi diri kita. Beragama tapi membuat kita melanggar agama kita sendiri.
Jakarta, 24 Desember 2016
In the winter
with my heart being very warm
Komentar
Posting Komentar