Relijius Debutan


Mengapa banyak warga Indonesia di negara-negara Barat dan lapisan mapan di perkotaan cenderung beragama secara kaku dan irrasional?

Beberapa bulan lalu berbusana ala gembel alias krisis tekstil dan sebagian tubuhnya didermakan kepada setiap yang berkenan memandang. Tiba-tiba berkerudung sebadan bahkan selalu bermasker. Berhijrah adalah jawabannya bila ditanya. Itu urusan mereka. Tapi, di balik busana itu, intoleransi dan penyesatan serta pengkafiran bersemayam.

Rata-rata anak-anak yang digarap secara intensif dan berjenjang sejak jadi peserta bimbel yang dijadikan perangkap hingga jadi sarjana cerdas dan berprestasi berasal dari keluarga abangan.

Orang-orang awam agama yang mendadak agamis secara ekstrem, fanatik dan kaku biasanya berasal salah satu dua latar belakang; pertama adalah hedonisme dan kedua saintisme dan positivisme. Dengan kata lain, penyuplai ekstremisme adalah westernisme kultural dan westernisme intelektual.

Mengapa banyak warga Indonesia di negara-negara Barat dan lapisan mapan di perkotaan cenderung beragama secara kaku dan irrasional?

Hedonisme

Sebagian besar orang yang jenuh setelah menjalani gaya hidup modern dan hedonis terdorong menjadi relijius radikal.

Tak hanya mengubah gaya hidupnya yang serba glamour, manusia modern yang sadar limit usia dalam kesendirian dan dihantui selaksa suram keterasingan, membuang nalar kritis yang dicurigainya sebagai fatamorgana yang telah membuatnya tertipu.

Para ustadz yang menjadi agen-agen intoleransi dengan semangat menampung mereka dan menginjeksikan teologi yang bugil logika. Maka jangan heran jika akhir-akhir ini bermunculan di tengah kita individu-individu kelas menengah ke atas yang mendadak relijius dengan sikap konservatif dan pandangan intoleran.

Meski tak mesti bergabung dengan kelompok-kelompok radikalis dengan memajang jargon hijrah dan semacamnya, escapisme ini menjalari lapisan profesional yang menjadi pemasok dana untuk beragam aktivitas keagamaan berciri “teriak”.

Dengan modal kutipan ceramah ustadz versi teriak-teriak dengan beberapa penggal teks terjemahan, mereka tak hanya jadi relijius dadakan namun jadi pendakwah ala mie instan di aneka sosmed menyebar hoax dan ujaran kebencian serta aktif full pede menulis dan memberikan comment agresif di medsos.

Bak cendawan di musim hujan generasi gamang ini tumbuh di semua area penting dalam masyarakat, mulai dari Kementerian, BUMN, korporasi asing hingga majelis taklim di komplek elite.

Fenomena mendadak relijiusitas lebih mencolok di kalangan emak-emak borju tapi anti kafir yang belakangan mulai ikutan ngevlog dengan celoteh-celoteh berbedak agama.

Dalam pemilu mereka menjadi marketer kebencian demi mendukung paslon yang telah dipilihnya dengan bekal post-truth.

Positivisme dan Saintisme

Positivisme yang menjadi induk peradaban modern dan fondasi pengetahuan serta paradigma pola pikir telah berhasil a) memisahkan logika dari agama atau yang lazim disebut iman (faith), b) membatasi logika pada pengetahuan empiris. Akibatnya, terbentuk mindset bahwa 1) logika hanya berlaku dalam sains dengan objek fisikal, 2) agama adalah keyakinan yang tidak tunduk kepada logika.

Inilah "doktrin positivisme" yang dicangkok dalam lapisan slot-slot memori manusia modern. Inilah yang membuat sains tampak ketat dengan benteng kualifikasi dan hierarki kompetensi sehingga tidak semua orang bisa memasuki zonanya yang elit dan berwibawa.

Ini pula yang membuat agama berada dalam ruang publik seolah "kotak saran" yang setiap orang -tanpa kompetensi dan lisensi formal- bisa urun rembuk, bertarung, berpolemik, memaksakan pendapat. Kini agama sebagai peradaban dengan ragam ilmu yg mendasarinya dan agama sebagai ajaran serta sistem nilai dilebur jadi adonan yang bisa diklaim oleh siapa saja. Tentu yang paling kuat, garang dan banyak supporternya adalah yang dominan.

Nah, orang-orang yang terdidik secara saintifik dan ditahbiskan sebagai sarjana dan ilmuwan dalam pabrik2 positivisme dan deisme itulah elemen-elemen penting dalam desakralisasi agama dan pelucutan epistema ajaran2nya dari logika. Merekalah yang menganggap agama sebagai candu dan pil penawar kegalauan akibat pengunaan logika induksi dan world view materialisme. Mereka merasa lelah dengan analisa, observasi, kalkulasi dan aksi-aksi ilmiah lalu mencari "zona bebas mikir".

Para new comers ini mencari agama bugil nalar, agama tanpa argumen dan agama etalase. Terlihat pandai dengan portofoio mentereng, tapi jumud dalam beragama bahkan intoleran dan mudah mengkafirkan siapa saja yang menggunakan logika dalam beragama dan memfilter info-info seputar agama.

Cinta agama, membela agama dan semua ekspresi iman takkan pernah buruk. Tapi bila cinta kepada agama sendiri ditafsirkan sebagai kebencian kepada agama orang lain, mazhab lain dan kelompok lain, ia pastilah bukan agama dari Tuhan, tapi agama yang lahir dari kehendak dominasi. Itulah teologi horor, ajaran teror dan doktrin eror.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي