Temukan Nalar Lokalnya Dulu






Belakangan memang banyak ustadz yang membicarakan tidak hanya tema terkait keahliannya dalam ilmu agama, melainkan juga hal-hal lain seperti sejarah, budaya, bahkan isu-isu politik internasional. Saya menonton beberapa video ceramah ustadz-ustadz yang membicarakan hal-hal di luar wilayah keilmuannya itu. Ada sisi baiknya. Tapi sejauh ini saya, tentu juga dengan keterbatasan, melihatnya lebih banyak sisi belum baiknya. Malah cenderung hanya membangkitkan gairah kebencian dan klaim superioritas golongan.

Sederhana saja kita memahaminya. Bagaimana mungkin seorang ustadz tiba-tiba membincangkan sejarah nusantara hanya berbekal membaca buku sejarah saja, yang itupun ia sesuaikan dengan minat ideologinya? Ada pula ustadz yang belakangan ini berceramah tentang asal-usul nama-nama daerah di nusantara, namun, sangat jauh dari asas-asas ilmu penelusuran asal-usul kata, yang biasanya masuk ke dalam bahasan antropologi linguistik. Tentu saja tidak hanya antropologi linguistik yang dibutuhkan untuk melacak sejarah toponimi setiap wilayah. Ia juga harus ditunjang dengan ilmu lain seperti sastra, filologi, arkeologi, sejarah, dan sejenisnya.

Ada pula ustadz-ustadz di youtube yang belakangan membincangkan banyak hal. Mulai dari budaya, sejarah, sejarah islam terutama, sampai hal-hal yang bersifat mistik-legenda. Khusus dalam uraian mereka tentang kebudayaan jawa, apa yang kita temukan dari sana ternyata relatif baik dan bermanfaat. Hanya saja, ada sisi yang fatal dan vital di sana, yang dibuang begitu saja. Kebaikan dan kemanfaatannya menjadi hilang seketika. Terutama bagi para hamba buku, penelitian mendalam, dan penekun jalan hidup lokal.

Contoh. Ada ustadz yang mejelaskan sejarah islam di nusantara, namun, kita tidak tahu ia mengambil mata kuliah sejarah itu dulu dari mana atau dari siapa dan apa referensinya. Tapi itu kita enyahkan dulu. Ilmu sekarang sangat gampang dijumput dari mana saja. Sepengematan dangkal saya, nanti biasanya tema yang ia bicarakan, akan dikaitkan dengan ayat tertentu atau hadis tertentu. Jadi semacam ayatisasi atau pencocokan sesuatu dengan dalil yang ia rasa cocok untuk dicocokkan.

Di satu sisi itu ada benarnya. Kita tidak bisa mengingkari bahwa nafas Islam ada dalam khazanah kebudayaan kita. Apalagi kebudayaan Jawa. Hanya saja, tentu saja penyimpulan bahwa "ada Islam" di sana tidak secepat itu. Itupun juga harus ditegaskan bahwa sekalipun "ada Islam" di sana, ia tidak tidak se-islam itu, maksud saya, islamnya bukan Islam seperti yang ia maksudkan itu. Bener ning ora pener, kata orang Jawa. Mengapa? Ya jelas. Wajah kita hari ini saja bukan wajah kita 20 tahun yang lalu.

Maksud saya begini. Iya betul bahwa "ketan, kolak, apem" dan mustaka mesjid berbentuk daun "kluwih" itu digunakan oleh para wali dulu untuk menyimbolkan ajaran Islam yang bersumber dari ayat atau hadis tertentu. Cuma, seperti halnya matematika, untuk menemukan ayat-hadisnya, harus ada jalannya. Mengapa "ketan, kolak, apem" itu dijadikan sebagai media untuk mengungkapkan salah dan permohonan maaf (khothoan qola afwan) yang memang itu merupakan anjuran ayat dan hadis kanjeng Nabi? Mengapa kok "daun kluwih" diletakkan di bagian atas mustaka masjid kuno, lalu oleh seorang ustadz, ia disebut merupakan perwujudan dari ayat: dzalika fadhlullah yuktihi man yasya?

Pasti ada nalarnya di balik itu. Tidak serta-merta daun kluwih itu digunakan tanpa nalar lokal-tempatan khas islam Jawa. Begitu juga ketan, kolak, apem. Begitu pula keris dalam coraknya yang khas, aneka kuliner, dan lain-lain semisalnya. Sekali lagi, sangat bisa itu semua dikatakan sebagai simbol yang difungsikan sebagai perwujudan dari ajaran Islam. Tapi nalar yang bekerja di balik simbolisasi itu bagaimana? Mengapa kok daun kluwih dipakai? Kenapa bukan yang lain?

Di situlah, epistemologi lokalnya seharusnya ditemukan dan dibahas dulu. Jika epistemologi lokalnya tidak ditemukan atau tidak diketahui, maka mustahil pula menemukan ayat atau hadis yang berada di balik pekerjaan simbolisasi itu. Karena nalar lokalnya belum ketemu, kok bisa ayat dan hadisnya langsung disebutkan? Jika rasionalitas di balik pengambilan simbol yang nanti dihubungkan dengan ayat atau hadis tidak diketahui, lalu bagaimana mungkin ayat atau hadis tersebut terpakai untuk menjelaskan? Nah, di situlah saya melihat ustadz-ustadz pembahas budaya lokal itu sebagai pelaku cocoklogi. Lhawong nalarnya belum ketemu, kok langsung dibuatkan ayat-hadisnya?

Mengapa para ustadz-ustadz yang membincangkan tema-tema di atas langsung menuju ke ayat atau dalil tertentu? Mengapa mereka tidak melewati penelusuran nalar atau epistemologi lokalnya terlebih dahulu? Satu hal yang saya tangkap dari mereka. Bahwa rata-rata mereka berasal dari golongan islam bercorak purfikasi. Jadi, mereka sebenarnya anti dengan kebudayaan lokal yang dibangun di atas fondasi tasawuf. Itupun tasawufnya tasawuf lokal pula. Tasawuf, bagi mereka bid'ah. Apalagi tasawuf lokal. Padahal, nalar dari setiap simbolisasi kebudayaan, terutama di Jawa, berdiri di atas fondasi tasawuf Jawa. Sulit memahami kebudayaan Jawa dalam penuh-seluruhnya tanpa memahami betul tasawuf Jawa dan bahkan menjadi pelakunya.

Karena itu, ceramah mereka, terutama tentang sejarah islam di nusantara, boleh dicek, tidak ada satupun kata "tasawuf" apalagi kata: "tasawuf jawa" yang meluncur di sana. Lebih banyak cocokloginya. Bahkan kata-kata semacam "jihad" justru ada berulang-ulang. Pertanyaannya, sebenarnya mereka sedang melandaskan diri pada gairah klaim historis-politis atau kejujuran ilmiah?

Aku berlindung kepada Allah dari pikiran yang zalim. Wallahu a'lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي