Dua Kekuatan Perusak : Nafsu Kuasa Dan Kecintaan Terhadap Harta.


Banyak orang mengatakan bahwa kekuasaan dan harta itu penting di dalam menjalani kehidupan ini.  Dengan kekuasaan maka seseorang akan mendapatkan kehormatan, fasilitas, dan keistimewaan lainnya. Dengan kekuasaan  orang lain akan mengikuti kehendaknya. Dengan kekuasaan orang  lain akan bisa dipaksa untuk melakukan sesuatu, hukum bisa diberlakukan dan bahkan dianggapnya agama bisa dipaksakan kepada seseorang. Dengan begitu kekuasaan  menjadi sangat penting untuk diraih.

Demikian pula pentingnya harta. Orang yang memiliki harta melimpah, maka akan mendapatkan apresiasi, penghargaan, dan bahkan apa saja bisa dimiliki, termasuk kekuasaan sekalipun. Orang yang berharta akan bisa menikmati apa saja. Segala keinginannya bisa dipenuhi, bisa bergaul dengan siapapun, dan bahkan dengan hartanya itu orang lain bisa disuruh apa saja.  Akhirnya harta dan kekuasaan, oleh sementara orang  dikejar dan dicintai.

Namun sebaliknya, kekuasaan dan harta ternyata juga memiliki daya perusak, tidak terkecuali merusak  pemiliknya sendiri. Tidak sedikit dalam sejarah kemanusiaan, orang yang berkuasa justru  celaka hanya oleh karena kekuasaannya itu. Akibat tidak benar di dalam menjalankan kekuasaan, maka  seseorang  dicaci maki, dihujad, didemo, disumpah serapah, dan bahkan dihukum secara berlebih-lebihan. Kita sering mendengar seorang penguasa dibunuh, dihukum gantung, dan lain-lain.

Begitu pula, kekayaan bisa mengantarkan pemiliknya menjadi sengsara atau celaka. Dengan kekayaannya itu, maka  sehari-hari, mereka memikirkan kekayaannya, khawatir   berkurang atau hilang. Bekerja sehari-hari bukan untuk dirinya melainkan untuk kekayaannya. Kekayaan justru menjadi beban dan tempat pengabdiannya. Belum lagi,  dengan kekayaannya, ternyata menjadikan orang lain menjauh dan memusuhi, dan bahkan  merampok dan membunuhnya. Kekuasaan dan kekayaan memiliki potensi mensengsarakan, mengancam,  dan bahkan benar-benar membinasakan pemiliknya.

Kekuasaan juga bisa membahayakan orang lain. Kekuasaan yang berlebih-lebihan melahirkan anggapan bahwa orang lain yang sedang dikuasai bisa diberlakukan sesuai dengan kehendaknya, ditindas,  diperlakukan semena-mena, dan juga digunakan untuk  melampiaskan nafsu dengki, hasut, dan dendam. Orang lain yang berada di bawah kekuasaannya menjadi  tertekan, sengsara, dan bahkan mati. Betapa banyak, sebagai akibat kekuasaan,  menjadikan orang lain ditindas, dihukum tanpa salah, dan bahkan mati atau terjadi pertumpahan darah.         

Sebagai contoh kongkrit,  apa yang terjadi sekarang ini, yakni pada saat kampanye  pemilihan presiden dan wakil presiden, --------sekalipun sudah bersama-sama bertekad menjaga kedamaian, ternyata sindir menyindir yang menyakitkan, olok-olok, saling membuka kekurangan dan bahkan aib kompetitornya, terjadi di mana-mana. Tatkala membuka media sosial, semacam facebook, twitter, dan lain-lain, segera akan ditemukan hujat menghujat, ungkapan tentang kekurangan, kelemahan, bahkan berbagai cacat lawannya, hingga sebanyak dan  seluas-luasnya. Saling membuka aib orang lain, bahkan calon pemimpinnya sendiri dianggap  hal biasa.

Demikian pula keserakahan terhadap harta juga berakibat kesengsaraan terhadap banyak orang. Banyak orang miskin, sengsara,  dan bahkan semakin tidak berdaya, bukan karena mereka malas bekerja, tetapi oleh karena akibat perbuatan orang-orang yang serakah.  Secara mudah dan sederhana kita bisa melihat akibat keserakahan itu di berbagai bidang kehidupan, baik di bidang pertanian, perdagangan, peternakan, perikanan, keuangan,  dan lain-lain. Di bidang pertanian misalnya, pemilik modal  membeli tanah rakyat untuk perkebunan. Setelah itu, tanah pertaniannya dikuasai termasuk petaninya sekalian. Maka petani menjadi sekedar sebagai buruh, dan bahkan bagaikan budak. Petani yang demikian itu tidak akan mungkin lagi meningkatkan penghasilannya, oleh karena statusnya hanya sebagai buruh.

Di bidang perdagangan, para pedagang kecil harus bersaing dengan pemilik modal besar. Kita lihat di kota-kota besar dan bahkan kota kecil, pemilik modal mendirikan pertokohan modern.  Akibatnya,  pedagang kecil gulung tikar atau harus hijrah ke tempat lain hanya sekedar mencari  sesuatu untuk menyambung hidup. Akibat nafsu tamak itu, maka semakin banyak orang kehilangan pekerjaan, hingga akhirnya nekat menjadi babu di negeri orang atau  menjadi gelandangan, penjaja seks bebas, dan sejenisnya. Mereka itu sebenarnya merupakan korban dari keserakahan sementara orang. Jiwa serakah bukan saja membahayakan diri yang bersangkutan, melainkan lebih-lebih terhadap orang lain yang sedemikian banyak.  

Kekuasaan dan harta dalam kehidupan memang diperlukan. Yang tidak dibolehkan adalah adanya kecintaan terhadap kekuasaan dan harta secara berlebih-lebihan. Kekuasaan  seharusnya tidak diperebutkan. Kekuasaan adalah amanah, sehingga harus diberikan kepada seseorang yang memiliki kemampuan untuk mengembannya. Amanah tidak selayaknya direbut, tetapi tatkala diberi juga tidak boleh ditolak. Berbeda dengan kekuasaan, harta harus dicari.  Tetapi harta  harus dibelanjakan secara benar. Sebagiannya harus diberikan kepada mereka yang berhak. Harta tidak boleh menjauhkan pemiliknya dari orang lain,  apalagi dengan orang miskin, anak yatim, orang yang sedang berkesusahan,  masyarakat, dan lain-lain. Manakala kekuasaan dan harta diperoleh dan dimanfaatkan dengan cara yang benar, maka di sanalah akan lahir keutamaan yang sebenarnya. Dan sebaliknya, manakala disikapi secara tidak benar akan menjadi kekuatan perusak yang dahsyad. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي