Miskin Kemauan, Miskin Ilmu, dan Miskin Harta.
Islam sebenarnya tidak menyukai kemiskinan. Begitu besar bahaya yang ditimbulkan oleh kemiskinan itu, hingga dikatakan dalam hadits Nabi bahwa, kemiskinan itu mendekatkan seseorang pada kekufuran. Selain itu, Ali bin abi Thalib juga pernah berkata bahwa, umpama kemiskinan itu berupa manusia, maka akan saya bunuh. Maka artinya bahwa, Islam memang mengajarkan agar seseorang tidak hidup berkekurangan atau tidak miskin. Sebab, dampak kemiskinan itu sangat berbahaya, hingga mendekatkan seseorang pada kekufuran.
Namun pada keyataannya, masih banyak kalangan umat Islam yang miskin, dan bahkan juga negara-negara Islam. Akibatnya, Islam terkesan belum berhasil menjadi kekuatan penggerak umatnya untuk maju, tidak terkecuali di dalam mengembangkan ekonominya. Hal demikian itu, juga dialami oleh bangsa Indonesia, sebuah negara yang mayoritas berpenduduk muslim, tetapi tingkat kemiskinannya masih sulit dikurangi. Bahkan, tidak sedikit rakyatnya yang terpaksa harus mencari pekerjaan ke luar negeri dengan jenis pekerjaan dan gaji seadanya.
Sementara orang menduga, bahwa kemiskinan itu diawali dari rendahnya semangat bekerja atau miskin kemauan. Akan tetapi, rasanya statemen itu tidak benar tatkala melihat sedemikian besar jumlah pencari kerja hingga ke luar negeri, sekalipun juga upahnya tidak selalu menarik. Bukankah fenomena itu menunjukkan bahwa bangsa ini sebenarnya adalah pekerja keras, ulet, dan tidak takut dengan tantangan apapun. Siapapun yang sering berkunjung ke luar negeri, akan melihat banyak pekerja berasal dari Indonesia. Fenomena itu membuktikan bahwa, bangsa ini sebenarnya tidak miskin kemauan. Mungkin saja, mereka masih miskin pada aspek yang lain.
Pada umumnya dikatakan bahwa, mereka yang bekerja di luar negeri tidak selalu berbekalkan pengetahuan dan ketrampilan yang cukup. Statemen ini juga perlu diuji, mengapa hal itu terjadi, sementara lembaga pendidikan di negeri ini sudah sedemikian bannyak. Angka buta aksara sudah berhasil ditekan. Sedemikian banyaknya lembaga pendidikan, hingga sekolah menengah atas saja sudah sampai di tingkat kecamatan. Bahkan juga perguruan tinggi, sekalipun berstatus swasta, telah sampai di tingkat kabupaten. Lalu, apalagi yang kurang ? Mungkin yang perlu dicermati adalah tentang isi pelajaran dan juga kualitasnya.
Isi pelajaran yang diberikan di lembaga pendidikan, rupanya memang terasa masih belum ada kesesuaian dengan tantangan yang dihadapi setelah mereka lulus. Para siswa diajari ilmu-ilmu dasar, seperti fisika, kimia, sosiologi, psikologi, ekonomi, bahasa Inggris, dan lain-lain. Namun ternyata pengetahuan yang diperolehnya itu belum berhasil dijadikan bekal dalam kehidupan nyata. Tidak sedikit lulusan SMA dan bahkan SMK harus menganggur. Secara jujur harus diakui, bahwa lulusan SMA yang tidak meneruskan ke perguruan tinggi, manakala mereka melamar pekerjaan, maka peluangnya hanya jenis pekerjaan tingkat rendah, seperti menjadi cleaning services, security, sopir, penjaga toko, dan bahkan pembantu rumah tangga. Jenis pekerjaan itu seharusnya tidak perlu tenaga lulusan SMA.
Dengan demikian, ilmu pengetahuan yang diperoleh hingga sampai di sekolah menengah atas, seolah-olah tidak nyambung atau tidak relevan dengan kenyataan hidup yang dihadapi. Buku-buku yang dipelajari sehari-hari seolah-olah hanya penting untuk menghadapi ujian, agar lulus, dan memperoleh ijazah. Namun setelah ijazah diperoleh, hanya dirasa penting bagi mereka yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Tetapi sebaliknya, bagi yang tidak meneruskan sekolah, maka ijazah itu hanya akan digunakan sebagai bahan dokumentasi atau riwayat hidup belaka.
Mungkin sementara orang beranggapan bahwa, setelah lulus SMA, mereka sudah menjadi semakin cerdas. Tetapi, bukankah seharusnya, ketika mereka disebut sudah cerdas, hidup di tengah-tengah negeri yang subur, kaya potensi alam seperti ini, pasti mampu menangkap peluang dan menciptakan sesuatu untuk menghidupi dirinya. Akan tetapi ternyata tidak begitu. Terbukti, jumlah pengangguran semakin bertambah banyak. Maka, tidak salah dikatakan bahwa, mereka telah mampu meraih ijazah, tetapi belum menjadi kaya ilmu. Rupanya antara pemegang ijazah dan penguasaan ilmu masih ada senjang. Padahal keduanya tidak boleh terpisah. Pemegang ijazah seharusnya sekaligus juga kaya ilmu.
Orang miskin harta biasanya juga miskin ilmu. Hal yang perlu dikhawatirkan dari fenomena banyaknya pengangguran terpelajar selama ini, adalah merupakan akibat dari kekeliruan lembaga pendidikan itu sendiri. Mereka gagal memilih isi pelajaran yang tepat dan belum mampu menyesuaikan kualitas hasilnya dengan tuntutan zaman. Lembaga pendidikan baru berhasil menjadikan para siswa lulus ujian, dan kemudian berhak menerima ijazah. Padahal, tuntutannya adalah mampu menjadikan para lulusannya benar-benar kaya ilmu, kaya kemauan, dan kemudian diberi ijazah. Namun sebaliknya, yang terjadi adalah antara pemegang ijazah, kaya ilmu, dan kaya kemauan, belum saling berkorelasi. Buktinya, pemegang ijazah masih banyak yang belum mampu mendapatkan pekerjaan, di antaranya karena masih miskin ilmu itu.
Sebagaimana dikemukakan di muka, jumlah lembaga pendidikan di negeri ini sudah banyak, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun kiranya masih ada yang perlu dilihat kembali, ialah terkait isi dan kualitasnya. Para siswa sudah mengikuti pendidikan dan lulus, bahkan juga lulus ujian nasional. Namun anehnya, setelah lulus mereka banyak menganggur. Orang kaya ilmu seharusnya mampu menangkap peluang untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Tetapi, tatkala lulusan sekolah nyatanya banyak menganggur. Maka artinya, lembaga pendidikan itu belum meraih keberhasilan yang sebenarnya. Sebagai jalan keluarnya, agar persoalan itu tidak terus menerus berkelanjutan, maka lembaga pendidikan perlu dilihat kembali dan dibenahi secara serius dalam berbagai aspeknya, sehingga ke depan benar-benar mampu melahirkan orang kaya kemauan, kaya ilmu, dan akhirnya juga kaya harta. Wallahu a’lam.
Komentar
Posting Komentar