Bakat, Apa Itu?


Minggu lalu saya bertemu dengan seorang ibu. Ia bercerita tentang anaknya. Ketika lulus SMA, anaknya menyatakan ingin kuliah di bidang sinematografi? Apa? Jurusan apa itu? Nanti mau kerja apa? Apa bisa makan dengan profesi itu.
Normalnya orang tua akan khawatir soal ini. Orang-orang berumur 40-50 tahun seperti saya dan ibu tadi adalah orang-orang yang tumbuh dan hidup dengan melihat profesi-profesi klasik seperti dokter, insisyur, akuntan, polisi, dan lain-lain sebagai sandaran hidup. Sinematografi? Bikin film? Itu profesi yang ada sejak dulu. Tapi bukan profesi orang-orang di sekitar kita.
Meski semua menentang, ibu tadi mau membuka diri, mendengar keinginan anaknya. Beberapa tahun kemudian, anaknya mengundang dia untuk hadir pada festival film pendek. Di situ ia terbelalak. Anaknya menyabet penghargaan untuk film terbaik, sekaligus sutradara terbaik. "Saya menangis lama saat itu," katanya.
Ibu tadi tak pernah mengira bahwa anaknya punya bakat jadi sutradara. Siapa yang bisa mengira bakat anaknya? Kita hanya bisa mendeteksi kalau anak kita sudah terpapar pada suatu jenis kegiatan. Coba bayangkan, bisakah kita tahu apakah anak kita berbakat jadi pemain ski? Tidak. Sampai ia mencoba berlatih ski.
Makanya saya sedikit muskil dengan konsep bakat itu. Tidak ada orang di keluarga saya dulu yang menganggap saya berbakat jadi penulis. Saya juga tidak merasakannya. Orang-orang hanya tahu bahwa saya pintar, karena nilai rapor saya bagus. Saya dulu mengira bahwa saya akan jadi ilmuwan. Meski pernah menekuni jalan itu, saya akhirnya merasa bahwa saya tidak akan maksimal di jalan itu.
Kemampuan menulis baru saya sadari saat di usia 40. Kini "profesi" itu mulai saya tekuni secara serius.
Di Jepang saya temukan bahwa guru TK semuanya bisa main piano. Mungkin ini kesimpulan yang tidak tepat. Tapi di TK anak saya dulu semua guru bisa main piano. Piano tersedia di setiap kelas, dan menjadi alat ajar wajib. Lalu, bagaimana dengan orang yang tidak berbakat musik? Tidak bisa jadi guru TK? Ternyata tidak begitu. Kelak saya berkenalan dengan guru piano. Kata dia, semua orang bisa main piano, asal tekun berlatih.
Konsep bakat bagi saya agak kabur. Apa ciri orang berbakat musik? Ia bisa mengenali nada dengan cepat. Ia bisa memainkan alat musik berdasar naluri. Tapi apa ciri seseorang yang berbakat jadi petinju, atau jadi penerjun payung? Bagaimana kita mendeteksinya?
Bakat, kalaupun terdeteksi, hanyalah yang menyangkut profesi yang sudah kita kenal. Padahal profesi itu ada ratusan jumlahnya. Lagipula, seseorang bisa jadi punya banyak bakat.
Ketimbang mendeteksi bakat, mungkin lebih baik bila kita mendeteksi kemampuan spesifik yang dimiliki seseorang, khususnya anak kita. Anak-anak yang berani, misalnya, mungkin berbakat jadi pembalap, atau pendaki tebing. Yang mahir dengan angka-angka, mungkin bisa jadi matematikawan, atau akuntan.
Peliknya, di masa depan akan lahir berbagai profesi yang sekarang belum ada. Kini, misalnya, ada orang yang berprofesi sebagai gamer, pemain game. Lima atau sepuluh tahun lalu profesi ini belum ada. Bahkan kini pun banyak orang tua yang ketar ketir khawatir kalau anaknya menyatakan akan memilih profesi ini. Kenyataannya, profesi ini ternyata bisa menghidupi.
Hal yang sama sebenarnya terus terjadi. Di tahun 30-an, apa ada orang yang membayangkan jadi olah ragawan seperti pemain sepak bola, tenis, golf, sebagai profesi? Tidak. Kini para pemain itu menjalaninya sebagai profesi. Maka sekali lagi, di masa depan akan banyak profesi yang kini tak kita bayangkan wujudnya.
Nah, bagaimana memantau dan mengembangkan bakat anak-anak kita? Paparkan mereka pada berbagai hal. Saya mengajak anak saya nonton konser musik atau mendengarkan musik bersama, juga berkemah, bermain di alam terbuka. Saya ajak juga mereka untuk bereksperimen dan meneliti. Ajak mereka melakukan banyak hal, dan perhatikan pada bagian mana mereka menunjukkan minat, serta cepat menguasai. Itulah bakat mereka.
Nah, setelah tahu apa bakatnya, ikhlaskan ketika kita temukan bahwa bakat dan minat anak kita itu berbeda dari harapan kita. Biarkan mereka memilih dan menjalaninya. Jangan paksakan mimpi kita menjadi mimpi mereka.
Kenalkan anak-anak kita dengan berbagai jenis profesi, melalui bacaan atau dengan bergaul bersama orang-orang yang menjalani profesi itu. Saya suka memperkenalkan anak-anak saya dengan kawan-kawan, dengan menyebutkan apa profesi mereka. Saya jelaskan seluk beluknya, serta jalan menuju profesi itu.
Pada akhirnya, yang penting adalah mengajarkan ketekunan. Orang tekun akan jadi sesuatu. Ia bahkan bisa memulai proses menjadi sesuatu itu ketika ia sudah tak muda lagi. Itu bukan masalah. Maka, boleh jadi anak kita akan menemukan passion dan bakatnya kelak, saat ia sudah berumur. Tapi sementara itu ia bisa hidup dengan bakat lain yang telah lebih dulu ia tekuni. Bahkan, ia bisa menjalani beberapa profesi sekaligus, karena ia punya banyak bakat.
Soal tekun dan disiplin ini penting. Tidak sedikit anak yang tertipu soal profesi. Ia melihat suatu profesi yang sepertinya enak. Melakukan sesuatu suka-suka, tapi dapat uang. Misalnya, jadi pemusik. Kelihatannya santai dan asyik. Ingatkan bahwa jangan memilih profesi dengan alasan enak dan gampang. Tidak ada profesi yang gampang. Tidak ada orang sukses dengan jalan gampang. Musisi sukses, misalnya, menghabiskan banyak waktu untuk berlatih, juga memasarkan diri. Demikian pula halnya dengan profesi lain.
Ajari anak kita untuk bertanggung jawab dengan (calon) profesi yang (akan) ia tekuni. Arahkan mereka untuk menekuninya dengan segenap kemampuan.

Oleh: Hasanuddin Abdurrakhman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي