ZAKIR NAIK DAN RUSAKNYA HUBUNGAN SOSIAL PARA MUALAF
Saya memiliki banyak teman mualaf, baik dari Kristen pindah ke Islam maupun sebaliknya. Kadang saya berdiskusi dengan mereka. Mengenai banyak hal sensitif, misalnya pandangan mereka kini tentang agama yang dianut sebelumnya.
Kebanyakan mereka berpindah agama karena mengukuti agama pasangannya.
Mereka pacaran dengan orang yang berbeda agama, lalu saat menikah
seorang diantara mereka memutuskan untuk ikut agama pasangannya.
Ada juga beberapa orang yang berpindah agama karena lingkungannya. Keluarga dekatnya lebih dulu pindah agama, lalu dia tertarik dengan agama yang dianut keluarga dekatnya tersebut. Artinya orang berpindah agama karena ada proses panjang, bukan ujug-ujug kemudian berpindah. Kebanyakan karena pengaruh orang dekatnya.
Sebagian besar mualaf masih memiliki keluarga menganut agama sebelumnya. Mereka tentu berkepentingan untuk hidup rukun dengan orang-orang yang berbeda agama. Sebab jika mereka membenci penganut agama lain, otomatis mereka juga harus membenci keluarganya sendiri.
Jarang ada orang setega Felix Siauw, yang secara terbuka menuding ibunya sendiri sebagai kafir.
Teman saya menceritakan, yang paling menekan perasaan saat dia memutuskan berpindah agama adalah dia seperti kehilangan kenangan masa lalunya. Seorang teman perempuan muslim yang kini mengikuti agama suaminya yang Katholik bercerita, kadang dia rindu saat-saat Ramadhan ketika kecil.
Dia rindu bermain petasan, bersama-sama temannya tarawih dan subuh berjamaah di masjid. Dia rindu memakai baju baru, lalu bersama keluarganya berjalan menuju lapangan untuk sholat ied. Tentu sebagai penganut Katholik sekarang dia tidak bisa lagi menjalani itu.
Kisah lain dari teman yang sebelumnya penganut Kristen kini beragama Islam. Dia mengikuti agama Istrinya. "Saya tidak bisa lagi merasakan gembiranya menghias pohon Natal. Saya tidak bisa lagi merasakan suasana malam Natal dengan perasaan yang sama seperti dulu," kisahnya.
Apakah kerinduan itu membuat dia mengkhianati keyakinannya yang sekarang? Saya tidak tahu. Tapi kerinduan terhadap masa lalu yang indah, biasanya saat dia kecil, adalah sesuatu yang manusiawi.
Saudara-saudara kita yang memilih berpindah agama adalah mereka yang paling berkepentingan dengan sikap toleransi. Bagi mereka yang sejak kecil dilahirkan dalam sebuah keluarga seagama, dididik dengan cara satu agama dan memiliki lingkungan seagama, barangkali tidak punya akibat langsung ketika dakwah yang menyebarkan kebencian terhadap agama lain disodorkan. Dia tidak harus membenci saudaranya sendiri.
Tapi bagaimana dakwah seperti ini dihadirkan kepada mereka yang keluarganya berbeda agama?
Makanya saya heran ketika banyak orang bertepuk tangan terhadap gaya berdakwah Zakir Naik. Zakir sering dengan serampangan mengutip Bible dan kitab suci lain, lalu membandingkan dengan Al Quran. Hasilnya, dia menuding kitab-kitab suci tersebut penuh kesalahan. Dengan kata lain, dia menuding kitab suci lain sesat.
Dalam perspektif personal, ketika kita meyakini Al Quran, tentu saja otomatis kita tidak berpedoman pada kitab-kitab suci lainnya. Hal yang sama juga dirasakan penganut agama lain. Makanya ketika kitab-kitab suci itu dibanding-bandingkan lalu dijembreng secara terbuka dan serampangan, bukan kebenaran yang hendak dicapai Zakir. Tapi luka yang ditorehkan kepada pengikut agama lain. Yang kitab sucinya dituding sesat. Yang ajarannya dituding menyimpang.
Ada orang yang bertepuk tangan ketika dalam satu acara Zakir ada yang menyatakan masuk Islam. Meskipun saya tidak percaya, orang begitu saja pindah agama hanya dengan mendengar ceramah beberapa menit. Jikapun dia akhirnya memutuskan jadi mualaf, saya rasa dia telah menjalani proses panjang dalam hidupnya. Saya meyakini variabel yang paling mempengaruhi dia dalam mengambil keputusan bukan ceramah Zakir.
Jika ada yang mengatakan bahwa Zakir telah menyelamatkan beberapa orang hingga mereka menjadi mualaf, saya justru melihat sebaliknya. Dengan gaya ceramah yang seringkali menuding kitab suci lain sesat, Zakir sedang menempatkan teman-teman mualaf dalam posisi yang lebih sulit.
Sebab kebanyakan mualaf masih memiliki keluarga pemeluk agama lain. Jika dia ikut-ikutan Zakir Naik menuding secara terbuka kitab suci saudaranya itu sesat, apa yang akan dia hadapi? Permusuhan dan kebencian. Dengan kata lain, gaya ceramah Zakir dapat menjadi pemicu keretakan sosial. Jadi pemicu saling tuding antar agama.
Bukan hanya itu, Zakir dalam beberapa kesempatan ditenggarai mendukung gerakan radikal seperti ISIS.
Zakir membuat beberapa orang masuk Islam, tapi dia justru menciptakan jutaan orang lainnya menjauh dari Islam. Sebab di tangan Zakir Naik, Islam tampil ceriwis, egois dan mau menang sendiri. Di tangan Zakir, Islam kehilangan makna rahmatan lil alamin-nya.
Makanya banyak negara yang melarang kehadiran pembiacara asal India ini. Bahkan di negaranya, India ceramah Zakir ditenggarai memecah belah masyarakat. Dia menjadi buron pemerintah India. Dia ditolak masuk Kanada dan banyak negara lain. Zakir juga menghadapi tuntutan hukum di Malaysia.
Tapi di Indonesia, dia mendapat sambutan sebagai super hero. Orang bangga karena ceramahnya telah menjadikan beberapa orang sebagai mualaf. Padahal, pada saat yang sama, dia sedang merusak kehidupan mualaf lain dengan lingkungan sosialnya.
Yang paling menyedihkan ada orang Indonesia yang bangga, seorang asing seperti Zakir ikut mengomentari kondisi politik tanah air. Bahkan ikut beropini tentang Pemilu.
Sebagai tamu, Zakir adalah tamu yang tidak beretika.
Nah, yang terakhir ini, di mata saya, Zakir cuma juru kampanye untuk kepentingan politik tertentu. Tidak lebih.
Ada juga beberapa orang yang berpindah agama karena lingkungannya. Keluarga dekatnya lebih dulu pindah agama, lalu dia tertarik dengan agama yang dianut keluarga dekatnya tersebut. Artinya orang berpindah agama karena ada proses panjang, bukan ujug-ujug kemudian berpindah. Kebanyakan karena pengaruh orang dekatnya.
Sebagian besar mualaf masih memiliki keluarga menganut agama sebelumnya. Mereka tentu berkepentingan untuk hidup rukun dengan orang-orang yang berbeda agama. Sebab jika mereka membenci penganut agama lain, otomatis mereka juga harus membenci keluarganya sendiri.
Jarang ada orang setega Felix Siauw, yang secara terbuka menuding ibunya sendiri sebagai kafir.
Teman saya menceritakan, yang paling menekan perasaan saat dia memutuskan berpindah agama adalah dia seperti kehilangan kenangan masa lalunya. Seorang teman perempuan muslim yang kini mengikuti agama suaminya yang Katholik bercerita, kadang dia rindu saat-saat Ramadhan ketika kecil.
Dia rindu bermain petasan, bersama-sama temannya tarawih dan subuh berjamaah di masjid. Dia rindu memakai baju baru, lalu bersama keluarganya berjalan menuju lapangan untuk sholat ied. Tentu sebagai penganut Katholik sekarang dia tidak bisa lagi menjalani itu.
Kisah lain dari teman yang sebelumnya penganut Kristen kini beragama Islam. Dia mengikuti agama Istrinya. "Saya tidak bisa lagi merasakan gembiranya menghias pohon Natal. Saya tidak bisa lagi merasakan suasana malam Natal dengan perasaan yang sama seperti dulu," kisahnya.
Apakah kerinduan itu membuat dia mengkhianati keyakinannya yang sekarang? Saya tidak tahu. Tapi kerinduan terhadap masa lalu yang indah, biasanya saat dia kecil, adalah sesuatu yang manusiawi.
Saudara-saudara kita yang memilih berpindah agama adalah mereka yang paling berkepentingan dengan sikap toleransi. Bagi mereka yang sejak kecil dilahirkan dalam sebuah keluarga seagama, dididik dengan cara satu agama dan memiliki lingkungan seagama, barangkali tidak punya akibat langsung ketika dakwah yang menyebarkan kebencian terhadap agama lain disodorkan. Dia tidak harus membenci saudaranya sendiri.
Tapi bagaimana dakwah seperti ini dihadirkan kepada mereka yang keluarganya berbeda agama?
Makanya saya heran ketika banyak orang bertepuk tangan terhadap gaya berdakwah Zakir Naik. Zakir sering dengan serampangan mengutip Bible dan kitab suci lain, lalu membandingkan dengan Al Quran. Hasilnya, dia menuding kitab-kitab suci tersebut penuh kesalahan. Dengan kata lain, dia menuding kitab suci lain sesat.
Dalam perspektif personal, ketika kita meyakini Al Quran, tentu saja otomatis kita tidak berpedoman pada kitab-kitab suci lainnya. Hal yang sama juga dirasakan penganut agama lain. Makanya ketika kitab-kitab suci itu dibanding-bandingkan lalu dijembreng secara terbuka dan serampangan, bukan kebenaran yang hendak dicapai Zakir. Tapi luka yang ditorehkan kepada pengikut agama lain. Yang kitab sucinya dituding sesat. Yang ajarannya dituding menyimpang.
Ada orang yang bertepuk tangan ketika dalam satu acara Zakir ada yang menyatakan masuk Islam. Meskipun saya tidak percaya, orang begitu saja pindah agama hanya dengan mendengar ceramah beberapa menit. Jikapun dia akhirnya memutuskan jadi mualaf, saya rasa dia telah menjalani proses panjang dalam hidupnya. Saya meyakini variabel yang paling mempengaruhi dia dalam mengambil keputusan bukan ceramah Zakir.
Jika ada yang mengatakan bahwa Zakir telah menyelamatkan beberapa orang hingga mereka menjadi mualaf, saya justru melihat sebaliknya. Dengan gaya ceramah yang seringkali menuding kitab suci lain sesat, Zakir sedang menempatkan teman-teman mualaf dalam posisi yang lebih sulit.
Sebab kebanyakan mualaf masih memiliki keluarga pemeluk agama lain. Jika dia ikut-ikutan Zakir Naik menuding secara terbuka kitab suci saudaranya itu sesat, apa yang akan dia hadapi? Permusuhan dan kebencian. Dengan kata lain, gaya ceramah Zakir dapat menjadi pemicu keretakan sosial. Jadi pemicu saling tuding antar agama.
Bukan hanya itu, Zakir dalam beberapa kesempatan ditenggarai mendukung gerakan radikal seperti ISIS.
Zakir membuat beberapa orang masuk Islam, tapi dia justru menciptakan jutaan orang lainnya menjauh dari Islam. Sebab di tangan Zakir Naik, Islam tampil ceriwis, egois dan mau menang sendiri. Di tangan Zakir, Islam kehilangan makna rahmatan lil alamin-nya.
Makanya banyak negara yang melarang kehadiran pembiacara asal India ini. Bahkan di negaranya, India ceramah Zakir ditenggarai memecah belah masyarakat. Dia menjadi buron pemerintah India. Dia ditolak masuk Kanada dan banyak negara lain. Zakir juga menghadapi tuntutan hukum di Malaysia.
Tapi di Indonesia, dia mendapat sambutan sebagai super hero. Orang bangga karena ceramahnya telah menjadikan beberapa orang sebagai mualaf. Padahal, pada saat yang sama, dia sedang merusak kehidupan mualaf lain dengan lingkungan sosialnya.
Yang paling menyedihkan ada orang Indonesia yang bangga, seorang asing seperti Zakir ikut mengomentari kondisi politik tanah air. Bahkan ikut beropini tentang Pemilu.
Sebagai tamu, Zakir adalah tamu yang tidak beretika.
Nah, yang terakhir ini, di mata saya, Zakir cuma juru kampanye untuk kepentingan politik tertentu. Tidak lebih.
Sumber: www.ekokuntadhi.com
Komentar
Posting Komentar