Konsumerisme
Oleh: Romo B. Herry-Priyono
DALAM satu dari puluhan wawancara dengan pelaku bisnis pertengahan tahun 1998, saya ajukan pertanyaan sampingan kepada seorang direktur perusahaan yang sudah 16 tahun menggeluti dunia iklan, "bolehkah saya tahu bagaimana pesan yang dicitrakan kebanyakan iklan menjadi stimuli yang menentukan pola konsumsi?"
Ia diam sejenak, lalu bicara. "Sebenarnya soal teknis bisa diserahkan
kepada orang desain, tetapi psikologi adalah kuncinya. Ada tiga insting
manusia yang menjadi sasaran utama strategi iklan dan itu luas
dilakukan. Satu, memainkan insting nafsu pemilikan. Dua, memainkan
insting privilese dan status. Tiga, memainkan daya tarik
romantisme-sensualitas...."
Bagi mereka yang meyakini bahwa "permintaan" (demand) konsumen bersifat alami, jawaban itu merisaukan. Bagi mereka yang punya "radar" untuk memahami berbagai soal konsumerisme, jawaban praktisi iklan itu seperti momen pewahyuan.
Psikologi megalomania
"Konsumerisme" perlu dibedakan dari "konsumsi". Dalam banyak hal bisa dikatakan, sejarah manusia adalah sejarah konsumsi (dan produksi). Sesudah dengan tangan telanjang kita memakai daun untuk makan, lalu memakai sendok-garpu sumpit guna mengonsumsi makanan. Konsumsi berkait pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomis-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan survival. Sedangkan konsumerisme adalah soal lain lagi.
Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Dan, bagi yang pernah membaca buku ekonomi dasar, ia sejenis spending yang menjadi indikator bagusnya demand economy. Bagi para kapten iklan, konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Tetapi, bagaimana kita mengartikan praktik konsumerisme? Jika dipadatkan, kira-kira begini: konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ada. Soalnya adalah bagaimana kita tahu suatu konsumsi telah mencapai tahap mengada-ada? Sebagai contoh, bintang tenis AS, Serena Williams, mengaku terus shopping pakaian, tas, sepatu, dan aksesori anjingnya. "Aku terus shopping, belanja hal-hal yang tidak kubutuhkan; aku bahkan jarang memakainya." (The Guardian, 9/8/01)
Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya uang untuk shopping. Pun bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Lalu, mengapa di tengah lautan kemiskinan yang luas, orang menumpuk barang-jasa bermerek yang berharga absurd? Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada" dilembagakan sebagai nirvana.
Para kapten iklan tahu, barang/jasa obyek konsumerisme tidak punya arti dalam diri sendiri. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pédé dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pédé tertinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.
Obsesi pada klaim itu menjadi syarat kelangsungan bisnis konsumsi yang mengada-ada. Tanpa itu, bisnis gaya-hidup akan mati. Maka, seandainya kita tak punya kebutuhan akan barang/jasa yang mengada-ada, para kapten iklan bisnis gaya-hidup akan melakukan siasat apa pun guna menciptakannya. Lugasnya, konsumsi yang tidak mengada-ada adalah musuh besar ekonomi megalomania.
Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber decak kagum, atau panutan. Namun, bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu adalah cerita tentang narcissisme seorang konsumeris.
Ekonomi-politik
Konsumeris ialah narcissists yang, dengan mengonsumsi mengada-ada, memberi ucapan selamat kepada diri sendiri. Dan, seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja topengnya sendiri.
Konsumerisme tak hanya menyangkut proses sosio-psikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi-politik. Dalam banyak hal bisa dikatakan, konsumerisme menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya-hidup. Pokok ini sentral meski suka dihaluskan dengan menutup-nutupinya dalam istilah value-added. Mereka yang pernah membaca filsafat ekonomi akan tertawa karena istilah "nilai tambah" lebih sering bukan urusan kualitas, tetapi soal klaim pada rasa pédé. Tetapi, bukan itu yang akan diajukan.
Yang akan diajukan, konsumerisme di negeri ini melibatkan proses korosi yang tidak sekadar menyangkut konsumsi (sepatu atau tas) yang mengada-ada, tetapi melibatkan soal ekonomi-politik yang lebih luas. Misalnya, konsumerisme ruang (consumerism of space) yang menghancurkan ekologi, kemacetan lalu-lintas, atau masalah abadi KKN dan kehancuran infrastruktur publik. Lihat tabel.
Bahkan bagi penyusunan pidato kaliber tinggi, Rp 74 juta per bulan (Rp 887,7 juta per tahun) adalah anggaran yang absurd. Begitu pula anggaran lain pada tabel itu. Tidak berlebihan mengatakan anggaran di tabel itu merupakan premeditated consumerism. Dengan pembengkakan Rp 25 milyar, total Rp 11,050 trilyun RAPBD DKI Jakarta 2003 telah disahkan menjadi APBD Rp 11,075 trilyun (Kompas, 29/1/03). Atau, pengalihan anggaran untuk membeli 55 mobil bagi anggota DPRD DKI Jakarta. (Kompas, 24/2/01)
Konsumerisme dalam manajemen kenegaraan itu sejalan dengan patologi ekonomi-politik pada lingkup global dan disangga ekses sistem pasar yang sedang kehilangan genius-nya. Tahun 1999, misalnya, warga AS menghabiskan 8 milyar dollar untuk belanja kosmetik. Di tahun yang sama, PBB tidak bisa memperoleh 9 milyar dollar untuk membangun fasilitas paling sederhana bagi seluruh penduduk dunia yang selama ini tak pernah punya akses pada air minum bersih (Hertz 2001). Potret di Indonesia? Tahun 1997, sementara konsumerisme meluas, 147.000 balita mati karena malnutrisi. Di tahun 1998, kematian balita karena malnutrisi melonjak menjadi sekitar 180.000, atau 59 persen dari total 305.000 kematian balita tahun 1998 (UNICEF).
Bagaimana gejala absurd itu mesti dipahami? Di sinilah kita menemukan kaitan konsumerisme dan ekonomi-politik. Korosi dan pendangkalan hidup Republik tidak hanya terjadi karena tindakan brutal (seperti militerisme dan kekerasan), tetapi juga melalui berbagai praktik "lembut-gemulai" dalam konsumsi mengada-ada bagi gaya-hidup. Kesesakan kondisi ekonomi-politik, kultural, dan psikologis yang mendera kita rupanya tidak akan menemukan solusinya tanpa kita serius melihat watak korup dan korosif konsumerisme. Persoalan macam KKN, keadilan, marjinalisasi, dan kemiskinan terkait dengannya.
Sejarah tidak pernah tergesa. Namun, beberapa peristiwa sejarah rupanya perlu terjadi lebih tergesa dibandingkan lainnya. Gerakan menyingkap watak korosif konsumerisme menjadi suatu urgensi.
Urgensi gerakan
Siapa pun yang memulai gerakan itu akan menyingkap salah satu akar tersembunyi mengapa negeri ini kian layak disebut "Republik Kesesakan". Di mata mereka yang sinis dan ingin solusi pintas, gerakan seperti itu mungkin menjadi olokan, dalam beragam olok-olok, dari "ah, itu cuma kegenitan sekelompok kelas-menengah yang ingin merasa penting!" sampai tudingan "kesesakan Republik ini tidak bisa diatasi hanya dengan gerakan kritik pada konsumerisme".
Dengan segala hormat, olokan seperti itu bukan saja naif, tetapi juga melihat solusi persoalan mau dibebankan pada formalitas politik seperti kepresidenan, DPR, pengadilan, dan sebagainya. Padahal, kita hafal betapa mudahnya lembaga-lembaga itu dibeli para pengusaha konsumerisme. Kita juga tahu ke mana anggaran menguap, ke mana korupsi bisnis bermuara: ke rumah keenam, ke mobil kesekian, kegenitan memasang berlian di gigi depan, weekend golf di Sydney, ataupun shopping yang mengada-ada.
Konsumerisme memang bukan sekadar soal shopping. Tetapi, shopping merupakan gerbang, melalui mana "konsumsi seperlunya" cepat berubah menjadi "konsumsi yang mengada-ada". Dan, seperti diketahui, sentra baru gejala itu adalah supermalls serta pusat-pusat shopping tertentu yang berdiri di atas penggusuran ruang-publik, lahan konservasi, dan wilayah hunian kaum miskin.
Tidak setiap mal menjadi sentra konsumerisme, tetapi konsumerisme begitu kerasan dalam supermalls. Karena itu, sentra-sentra seperti itu bisa menjadi salah satu arena awal bagi gerakan yang mau menyingkap watak korosif konsumerisme.
Filsuf Perancis, René Descartes (1596-1650), meringkas kinerja filsafatnya dalam prinsip masyhur cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Dengan memelesetkan menjadi emo ergo sum (saya shopping, maka saya ada), kira-kira Anda mengerti impuls yang menggerakkan konsumerisme.
Seorang psikoanalis perempuan, Rachel Bowlby, mungkin menjengkelkan kaumnya. Dalam Carried Away: Hidden Histories of Shopping (2001), ia ungkap temuannya, "Dalam banyak hal, sejarah shopping (dan konsumerisme) adalah sejarah kaum perempuan". Kualifikasi "pada banyak hal" dalam tuturan itu mau menunjuk, kaum lelaki (dan kaum antara lelaki-perempuan) tidak lepas dari gejala itu. Bowlby tidak sendirian. Diagnosa semacam sudah menjadi pokok refleksi berbagai literatur feminisme.
Bila temuan itu benar, transformasi gejala konsumerisme rupanya akan punya potensi nyata jika, dan hanya jika, dipelopori perempuan. Apakah mereka penganut feminisme atau bukan, tidak relevan. Pokok ini begitu sentral dan langsung terkait urusan kepemimpinan Republik.
Kepemimpinan suatu Republik membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah karisma. Dan kita tahu, Ibu Republik ini diberkati dengan karisma warisan ayahnya meski ia tampak terlalu berat menyangga. Ia tidak bisa mengurusi semua persoalan, apalagi persoalan seserius seperti konsumerisme. Karena itu, ada baiknya bila kepeloporan gerakan ini dilakukan ibu-ibu lain dan berbagai kelompok perempuan.
Ibu Negara mencanangkan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi. Cuma ia lupa, banjir investasi tanpa gerakan kesadaran konsumen akan melorot menjadi proses korosi hidup Republik oleh tuan besar pundi-pundi. Gerakan ini menjadi test case untuk strata menengah ke atas yang sering dilihat sebagai penjaga utama kultur konsumerisme. Mereka dapat berbuat amat banyak untuk gerakan itu. Bagi mereka, simbol status-kultural baru sedang menunggu: sollicitus ergo sum (saya peduli, maka saya ada).
Bila mereka mulai bergerak, kita hanya minta dua hal kepada Ibu Negara dan para letnan. Pertama, agar polisi, militer dan aparat pemberangusan tidak menghalangi dengan cara apapun gerakan rintisan yang mulia ini. Kedua, bila ia masih punya karisma yang menggerakkan supaya mengajak seluruh warga mendukung serta bergabung dalam gerakan itu.
Selebihnya, semoga ada bunga dan konsumsi yang tidak mengada-ada.
(B. Herry-Priyono Peneliti, alumnus London School of Economics [LSE], Inggris, serta staf pengajar pada program pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.)
Bagi mereka yang meyakini bahwa "permintaan" (demand) konsumen bersifat alami, jawaban itu merisaukan. Bagi mereka yang punya "radar" untuk memahami berbagai soal konsumerisme, jawaban praktisi iklan itu seperti momen pewahyuan.
Psikologi megalomania
"Konsumerisme" perlu dibedakan dari "konsumsi". Dalam banyak hal bisa dikatakan, sejarah manusia adalah sejarah konsumsi (dan produksi). Sesudah dengan tangan telanjang kita memakai daun untuk makan, lalu memakai sendok-garpu sumpit guna mengonsumsi makanan. Konsumsi berkait pemakaian barang/jasa untuk hidup layak dalam konteks sosio-ekonomis-kultural tertentu. Ia menyangkut kelayakan survival. Sedangkan konsumerisme adalah soal lain lagi.
Bagi banyak orang, konsumerisme seperti pemburuan prestasi. Dan, bagi yang pernah membaca buku ekonomi dasar, ia sejenis spending yang menjadi indikator bagusnya demand economy. Bagi para kapten iklan, konsumerisme seperti tambang emas yang tidak habis digali. Tetapi, bagaimana kita mengartikan praktik konsumerisme? Jika dipadatkan, kira-kira begini: konsumerisme adalah konsumsi yang mengada-ada. Soalnya adalah bagaimana kita tahu suatu konsumsi telah mencapai tahap mengada-ada? Sebagai contoh, bintang tenis AS, Serena Williams, mengaku terus shopping pakaian, tas, sepatu, dan aksesori anjingnya. "Aku terus shopping, belanja hal-hal yang tidak kubutuhkan; aku bahkan jarang memakainya." (The Guardian, 9/8/01)
Konsumerisme bukan soal ada-tidaknya uang untuk shopping. Pun bukan soal laba besar yang dikeruk melalui permainan insting konsumen. Lalu, mengapa di tengah lautan kemiskinan yang luas, orang menumpuk barang-jasa bermerek yang berharga absurd? Kunci untuk memahami konsumerisme adalah psikologi, bagaimana "konsumsi yang mengada-ada" dilembagakan sebagai nirvana.
Para kapten iklan tahu, barang/jasa obyek konsumerisme tidak punya arti dalam diri sendiri. Mereka diburu dengan harga absurd karena memberi kita klaim pada rasa pédé dan eksklusif. Lantaran eksklusif, maka juga prestise dan status. Fakta bahwa semua itu ternyata bukan nirvana tidak soal karena status dan rasa pédé tertinggi pun dengan cepat dilampaui, konsumerisme bagai urusan mengejar langit di atas langit. Orang tidak hanya merasa naik mobil, tetapi Jaguar; tidak hanya merasa mengenakan pakaian, tetapi memakai Armani.
Obsesi pada klaim itu menjadi syarat kelangsungan bisnis konsumsi yang mengada-ada. Tanpa itu, bisnis gaya-hidup akan mati. Maka, seandainya kita tak punya kebutuhan akan barang/jasa yang mengada-ada, para kapten iklan bisnis gaya-hidup akan melakukan siasat apa pun guna menciptakannya. Lugasnya, konsumsi yang tidak mengada-ada adalah musuh besar ekonomi megalomania.
Biasanya keluasan konsumerisme terbentuk dalam kombinasi dengan kultus selebriti. Seorang penyanyi yang sedang tenar di negeri ini menghabiskan Rp 100 juta per bulan untuk make-up kecantikan. Mungkin ia menjadi sumber decak kagum, atau panutan. Namun, bagi mereka yang sempat berpikir, berita itu adalah cerita tentang narcissisme seorang konsumeris.
Ekonomi-politik
Konsumeris ialah narcissists yang, dengan mengonsumsi mengada-ada, memberi ucapan selamat kepada diri sendiri. Dan, seperti selebriti, para konsumeris bagai wajah-wajah yang memuja topengnya sendiri.
Konsumerisme tak hanya menyangkut proses sosio-psikologis, tetapi juga berupa gejala ekonomi-politik. Dalam banyak hal bisa dikatakan, konsumerisme menjadi syarat mutlak bagi kelangsungan bisnis status dan gaya-hidup. Pokok ini sentral meski suka dihaluskan dengan menutup-nutupinya dalam istilah value-added. Mereka yang pernah membaca filsafat ekonomi akan tertawa karena istilah "nilai tambah" lebih sering bukan urusan kualitas, tetapi soal klaim pada rasa pédé. Tetapi, bukan itu yang akan diajukan.
Yang akan diajukan, konsumerisme di negeri ini melibatkan proses korosi yang tidak sekadar menyangkut konsumsi (sepatu atau tas) yang mengada-ada, tetapi melibatkan soal ekonomi-politik yang lebih luas. Misalnya, konsumerisme ruang (consumerism of space) yang menghancurkan ekologi, kemacetan lalu-lintas, atau masalah abadi KKN dan kehancuran infrastruktur publik. Lihat tabel.
Bahkan bagi penyusunan pidato kaliber tinggi, Rp 74 juta per bulan (Rp 887,7 juta per tahun) adalah anggaran yang absurd. Begitu pula anggaran lain pada tabel itu. Tidak berlebihan mengatakan anggaran di tabel itu merupakan premeditated consumerism. Dengan pembengkakan Rp 25 milyar, total Rp 11,050 trilyun RAPBD DKI Jakarta 2003 telah disahkan menjadi APBD Rp 11,075 trilyun (Kompas, 29/1/03). Atau, pengalihan anggaran untuk membeli 55 mobil bagi anggota DPRD DKI Jakarta. (Kompas, 24/2/01)
Konsumerisme dalam manajemen kenegaraan itu sejalan dengan patologi ekonomi-politik pada lingkup global dan disangga ekses sistem pasar yang sedang kehilangan genius-nya. Tahun 1999, misalnya, warga AS menghabiskan 8 milyar dollar untuk belanja kosmetik. Di tahun yang sama, PBB tidak bisa memperoleh 9 milyar dollar untuk membangun fasilitas paling sederhana bagi seluruh penduduk dunia yang selama ini tak pernah punya akses pada air minum bersih (Hertz 2001). Potret di Indonesia? Tahun 1997, sementara konsumerisme meluas, 147.000 balita mati karena malnutrisi. Di tahun 1998, kematian balita karena malnutrisi melonjak menjadi sekitar 180.000, atau 59 persen dari total 305.000 kematian balita tahun 1998 (UNICEF).
Bagaimana gejala absurd itu mesti dipahami? Di sinilah kita menemukan kaitan konsumerisme dan ekonomi-politik. Korosi dan pendangkalan hidup Republik tidak hanya terjadi karena tindakan brutal (seperti militerisme dan kekerasan), tetapi juga melalui berbagai praktik "lembut-gemulai" dalam konsumsi mengada-ada bagi gaya-hidup. Kesesakan kondisi ekonomi-politik, kultural, dan psikologis yang mendera kita rupanya tidak akan menemukan solusinya tanpa kita serius melihat watak korup dan korosif konsumerisme. Persoalan macam KKN, keadilan, marjinalisasi, dan kemiskinan terkait dengannya.
Sejarah tidak pernah tergesa. Namun, beberapa peristiwa sejarah rupanya perlu terjadi lebih tergesa dibandingkan lainnya. Gerakan menyingkap watak korosif konsumerisme menjadi suatu urgensi.
Urgensi gerakan
Siapa pun yang memulai gerakan itu akan menyingkap salah satu akar tersembunyi mengapa negeri ini kian layak disebut "Republik Kesesakan". Di mata mereka yang sinis dan ingin solusi pintas, gerakan seperti itu mungkin menjadi olokan, dalam beragam olok-olok, dari "ah, itu cuma kegenitan sekelompok kelas-menengah yang ingin merasa penting!" sampai tudingan "kesesakan Republik ini tidak bisa diatasi hanya dengan gerakan kritik pada konsumerisme".
Dengan segala hormat, olokan seperti itu bukan saja naif, tetapi juga melihat solusi persoalan mau dibebankan pada formalitas politik seperti kepresidenan, DPR, pengadilan, dan sebagainya. Padahal, kita hafal betapa mudahnya lembaga-lembaga itu dibeli para pengusaha konsumerisme. Kita juga tahu ke mana anggaran menguap, ke mana korupsi bisnis bermuara: ke rumah keenam, ke mobil kesekian, kegenitan memasang berlian di gigi depan, weekend golf di Sydney, ataupun shopping yang mengada-ada.
Konsumerisme memang bukan sekadar soal shopping. Tetapi, shopping merupakan gerbang, melalui mana "konsumsi seperlunya" cepat berubah menjadi "konsumsi yang mengada-ada". Dan, seperti diketahui, sentra baru gejala itu adalah supermalls serta pusat-pusat shopping tertentu yang berdiri di atas penggusuran ruang-publik, lahan konservasi, dan wilayah hunian kaum miskin.
Tidak setiap mal menjadi sentra konsumerisme, tetapi konsumerisme begitu kerasan dalam supermalls. Karena itu, sentra-sentra seperti itu bisa menjadi salah satu arena awal bagi gerakan yang mau menyingkap watak korosif konsumerisme.
Filsuf Perancis, René Descartes (1596-1650), meringkas kinerja filsafatnya dalam prinsip masyhur cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Dengan memelesetkan menjadi emo ergo sum (saya shopping, maka saya ada), kira-kira Anda mengerti impuls yang menggerakkan konsumerisme.
Seorang psikoanalis perempuan, Rachel Bowlby, mungkin menjengkelkan kaumnya. Dalam Carried Away: Hidden Histories of Shopping (2001), ia ungkap temuannya, "Dalam banyak hal, sejarah shopping (dan konsumerisme) adalah sejarah kaum perempuan". Kualifikasi "pada banyak hal" dalam tuturan itu mau menunjuk, kaum lelaki (dan kaum antara lelaki-perempuan) tidak lepas dari gejala itu. Bowlby tidak sendirian. Diagnosa semacam sudah menjadi pokok refleksi berbagai literatur feminisme.
Bila temuan itu benar, transformasi gejala konsumerisme rupanya akan punya potensi nyata jika, dan hanya jika, dipelopori perempuan. Apakah mereka penganut feminisme atau bukan, tidak relevan. Pokok ini begitu sentral dan langsung terkait urusan kepemimpinan Republik.
Kepemimpinan suatu Republik membutuhkan banyak hal. Salah satunya adalah karisma. Dan kita tahu, Ibu Republik ini diberkati dengan karisma warisan ayahnya meski ia tampak terlalu berat menyangga. Ia tidak bisa mengurusi semua persoalan, apalagi persoalan seserius seperti konsumerisme. Karena itu, ada baiknya bila kepeloporan gerakan ini dilakukan ibu-ibu lain dan berbagai kelompok perempuan.
Ibu Negara mencanangkan tahun 2003 sebagai Tahun Investasi. Cuma ia lupa, banjir investasi tanpa gerakan kesadaran konsumen akan melorot menjadi proses korosi hidup Republik oleh tuan besar pundi-pundi. Gerakan ini menjadi test case untuk strata menengah ke atas yang sering dilihat sebagai penjaga utama kultur konsumerisme. Mereka dapat berbuat amat banyak untuk gerakan itu. Bagi mereka, simbol status-kultural baru sedang menunggu: sollicitus ergo sum (saya peduli, maka saya ada).
Bila mereka mulai bergerak, kita hanya minta dua hal kepada Ibu Negara dan para letnan. Pertama, agar polisi, militer dan aparat pemberangusan tidak menghalangi dengan cara apapun gerakan rintisan yang mulia ini. Kedua, bila ia masih punya karisma yang menggerakkan supaya mengajak seluruh warga mendukung serta bergabung dalam gerakan itu.
Selebihnya, semoga ada bunga dan konsumsi yang tidak mengada-ada.
(B. Herry-Priyono Peneliti, alumnus London School of Economics [LSE], Inggris, serta staf pengajar pada program pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta.)
Komentar
Posting Komentar