Keinginan Kita
GIMANA cara membedakan keinginan kita, apa itu murni dari hawa nafsu,
atau kemungkinan besar ada 'tangan Allah' di balik keinginan itu?
Biar nggak keliru penerapannya, ini bener-bener harus presisi dipahaminya ya.
Jadi, di dalam hidup kita selalu muncul keinginan. Keinginan apapun. Ingin mobil. Ingin kulkas. Ingin sekolah. Ingin anak kita masuk ke sekolah yang bagus dan mahal. Ingin umroh.
Semua keinginan di atas itu baik, kan? Bukan keinginan yang jelas salahnya, seperti ingin berzina, misalnya.
Nah, buat seorang yang sedang belajar membersihkan hati dari hawa nafsu, keinginan yang baik saja nggak cukup. Kurang presisi. Sebab hawa nafsu pun bisa menginginkan yang baik juga.
Buat orang seperti ini, ayat ini rambu yang harus sangat diperhatikan:
//"Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyimpangkan kamu dari jalan Allah."// (38 : 26)
Dia berusaha untuk tidak mengikuti hawa nafsu dalam hal apapun, karena tidak ingin salah langkah. Bahkan dalam melakukan hal-hal yang tampak luar baik, tidak ada salahnya.
Sekali lagi: hawa nafsu itu bisa saja menginginkan hal-hal yang tampak baik. Tapi bisa saja, di mata Allah, itu belum saatnya kita lakukan sekarang.
Bukan tidak boleh, ya. Tapi belum saatnya. Atau ada hal lain yang lebih haqq untuk kita kerjakan daripada keinginan kita yang baik itu.
Nah, untuk seorang yang belajar ingin membedakan mana keinginan yang berasal dari hawa nafsu dan mana keinginan yang bukan murni berasal dari hawa nafsu, ada sebuah tool, metode sederhana untuk memisahkan mana keinginan hawa nafsu--saja--, dan mana keinginan yang --kemungkinan besar-- bersesuaian dengan kehendak Allah untuk kita lakukan.
Sebab Allah, jika menghendaki kita mengarah ke tujuan tertentu, maka Dia akan membuka pintu-pintu ke arah sana.
Metode ini bisa setiap saat kita terapkan, kapan saja ada keinginan yang muncul dari diri kita.
Caranya, keinginan yang muncul itu harus kita timbang dengan tiga hal:
(1) Kemauan
(2) Kemampuan
(3) Kesempatan.
Jadi misalnya, kita ingin anak kita masuk ke sekolah yang bagus dan mahal. Maka, timbang: Kemauan ada? Ada. Anaknya mau nggak? Cek dulu. Kalo nggak, ya jangan. Kesempatan ada? Ada. Kemampuan ada? Nggak. Uangnya nggak cukup. Kecuali hutang-hutang dulu, banyak hutangnya.
Maka, jangan. Cari sekolah yang lain, karena kemungkinan itu keinginan hawa nafsu kita saja untuk anak kita. Kita saja yang punya waham bahwa anak kita akan berhasil, sukses dunia akhirat, kalau masuk sekolah yang 'itu'. Padahal, apa jaminannya?
Atau, ingin umroh. Kemauan ada? Nggak sih, sebenarnya agak enggan juga. Kemampuan? ada, uang ada. Sehat? Iya. Kesempatan? Nggak ada, ternyata. Sekitar tanggal segitu saya harus mengawasi proyek kantor, dan udah nggak mungkin lagi diwakilkan. Udah benar-benar saya coba cari pengganti, nggak dapat.
Maka, jangan dilakukan. Jangan memaksakan. Tunda dulu.
Ingin shalat malam 27 rakaat nanti malam. Kemauan ada? Ada, kuat. Kemampuan? Ragu... kalau setiap malam 27 rakaat, kuat nggak ya? Kalo kesempatannya ada? Ternyata nggak. Pas malamnya anak sakit, rewel terus, harus saya dampingi, jadi tidurnya telat. Apalagi, besoknya saya harus bangun pagi-pagi sekali, setrika baju suami dan nyiapin anak berangkat sekolah.
Maka, jangan 27 rakaat. Kurangi saja, sampai pas, dan bisa dilakukan dengan konsisten.
Ingin sekolah di luar negeri. Kemauan ada? Ada banget. Kuat. Bulat, gak ada keraguan. Kemampuan ada? Ada. Uang cukup. Beasiswa udah dapat. Tes bahasa udah lolos semua. Kesempatan ada? Ada. Kantor sudah mengijinkan saya off. Keluarga udah ridho saya tinggal dua tahun. Semua prosedur di sekolah sana juga udah beres.
Semua pintu udah terbuka. Maka, kerjakan.
Kemungkinan besar itu bukan sekedar keinginan hawa nafsu. Sebab, --biasanya-- kalo untuk level kita (tidak selalu, ya), kalau Allah menghendaki kita melaksanakan sesuatu dengan jelas, semua pintu akan Dia buka.
Setelah melakukan semua upaya ini, pertimbangan ini, barulah kita --tawakkal-- dalam melaksanakannya.
Karena berserah diri itu bukan sekedar pasrah bongkokan sekedar terbawa oleh aliran kehidupan, tapi --pontang-panting-- berusaha mencari/memahami/mengidentifikasi kehendak Allah, dan --melaksanakannya--.
Dalam melaksanakannya itulah kita berserah diri kepada Allah.
Setelah tawakkal, lalu hasilnya gimana, itu terserah Allah. Kita sudah melakukan yang terbaik yang kita bisa. Dari sisi kita sudah, maka selanjutnya adalah porsi Allah ta'ala. Itu hak-Nya untuk mengambil alih. Jangan berani coba-coba mengambil hak-Nya, wong Dia ingin merahmati kok :)
Jangan diambil semua. Biarkan Dia yang merahmati. Sisakan porsi buat Dia, jangan semua harus kita kontrol, kita kendalikan dan kita pastikan hasilnya. Itu nggak ada porsi tawakkalnya.
Itu artinya, kita mengambil hak Allah, dan mencoba merahmati diri sendiri. Kalau gini, kita nggak akan pernah dianugerahi-Nya penyaksian, melihat bahwa tindakan Allah dalam kehidupan keseharian kita itu real, ada. Bukan sekedar konsep di buku-buku dan kitab suci.
Kalau setiap kali kita melakukan ini, ini proses belajar yang sangat kompleks. Maka nanti aql jiwa kita juga akan teraktivasi. Dia akan semakin tajam dan cerdas. Kita akan semakin 'sensitif' dengan identifikasi hawa nafsu, sebab kita semakin mengenal bagaimana karakter hawa nafsu itu. Biasanya, ingin sekarang. Harus sekarang. Harus punya. Pokoknya harus, titik. Semacam itu.
Istikharah dan doa, adalah bagian dari metode ini. Dengan istikharah dan doa, hati akan lebih tenang dan bening, sehingga kita akan lebih mudah menimbang persoalan dengan tiga parameter tadi. Sebab, kalau kita menimbang dengan hati yang tidak tenang, penuh ambisi, dan sudah sarat dengan keinginan dan keputusan ke arah tertentu sebelum menimbang, ya akan susah juga mempertimbangkan tiga parameter tadi dengan jujur dan obyektif.
Yang sangat penting, jika ternyata berhasil teridentifikasi bahwa salah satu dari tiga faktor tersebut masih tertutup, --jangan mengeluh-- atau menggerutu. Bahkan di dalam hati. Sebab nanti barokah dari upaya mengenali hawa nafsu ini hilang. Sebab Allah akan mencabut rahmat dan pertolongan-Nya dari siapapun yang mengeluhkan ketentuan-Nya. Lebih baik akui saja kalau kita belum paham 'kenapa nggak boleh melakukan itu sekarang', tapi jangan mengeluh.
Ini bagian dari belajar mengenali kehendak-Nya. Sedang diajari sebuah hal yang sangat besar, ya kok malah menggerutu dan ngrasani.
: :
Jangan salah, ya. Metode ini --bukan-- untuk mengidentifikasi takdir Allah. Bukan ke situ. Takdir hanya bisa diidentifikasi setelah terjadi. Mustahil bagi makhluk untuk mengetahui takdir secara mutlak sebelum terjadi.
Tapi metode ini adalah untuk memisahkan mana keinginan hawa nafsu saja, dan mana yang kemungkinan bukan sekedar hawa nafsu, tapi ada 'tangan Allah' di balik keinginan itu.
Kalau sudah kita timbang dengan tiga hal itu ternyata lolos, dan ternyata hawa nafsu kita juga keinginannya sama, ya bagus. Malah kita akan sangat enteng melaksanakannya, karena artinya hawa nafsu kemungkinan sedang bersesuaian dengan keinginan yang benar. Keinginan si kuda sedang searah dengan keinginan pengendaranya.
Semoga berguna dan semoga mudah diamalkan.
Biar nggak keliru penerapannya, ini bener-bener harus presisi dipahaminya ya.
Jadi, di dalam hidup kita selalu muncul keinginan. Keinginan apapun. Ingin mobil. Ingin kulkas. Ingin sekolah. Ingin anak kita masuk ke sekolah yang bagus dan mahal. Ingin umroh.
Semua keinginan di atas itu baik, kan? Bukan keinginan yang jelas salahnya, seperti ingin berzina, misalnya.
Nah, buat seorang yang sedang belajar membersihkan hati dari hawa nafsu, keinginan yang baik saja nggak cukup. Kurang presisi. Sebab hawa nafsu pun bisa menginginkan yang baik juga.
Buat orang seperti ini, ayat ini rambu yang harus sangat diperhatikan:
//"Janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ia akan menyimpangkan kamu dari jalan Allah."// (38 : 26)
Dia berusaha untuk tidak mengikuti hawa nafsu dalam hal apapun, karena tidak ingin salah langkah. Bahkan dalam melakukan hal-hal yang tampak luar baik, tidak ada salahnya.
Sekali lagi: hawa nafsu itu bisa saja menginginkan hal-hal yang tampak baik. Tapi bisa saja, di mata Allah, itu belum saatnya kita lakukan sekarang.
Bukan tidak boleh, ya. Tapi belum saatnya. Atau ada hal lain yang lebih haqq untuk kita kerjakan daripada keinginan kita yang baik itu.
Nah, untuk seorang yang belajar ingin membedakan mana keinginan yang berasal dari hawa nafsu dan mana keinginan yang bukan murni berasal dari hawa nafsu, ada sebuah tool, metode sederhana untuk memisahkan mana keinginan hawa nafsu--saja--, dan mana keinginan yang --kemungkinan besar-- bersesuaian dengan kehendak Allah untuk kita lakukan.
Sebab Allah, jika menghendaki kita mengarah ke tujuan tertentu, maka Dia akan membuka pintu-pintu ke arah sana.
Metode ini bisa setiap saat kita terapkan, kapan saja ada keinginan yang muncul dari diri kita.
Caranya, keinginan yang muncul itu harus kita timbang dengan tiga hal:
(1) Kemauan
(2) Kemampuan
(3) Kesempatan.
Jadi misalnya, kita ingin anak kita masuk ke sekolah yang bagus dan mahal. Maka, timbang: Kemauan ada? Ada. Anaknya mau nggak? Cek dulu. Kalo nggak, ya jangan. Kesempatan ada? Ada. Kemampuan ada? Nggak. Uangnya nggak cukup. Kecuali hutang-hutang dulu, banyak hutangnya.
Maka, jangan. Cari sekolah yang lain, karena kemungkinan itu keinginan hawa nafsu kita saja untuk anak kita. Kita saja yang punya waham bahwa anak kita akan berhasil, sukses dunia akhirat, kalau masuk sekolah yang 'itu'. Padahal, apa jaminannya?
Atau, ingin umroh. Kemauan ada? Nggak sih, sebenarnya agak enggan juga. Kemampuan? ada, uang ada. Sehat? Iya. Kesempatan? Nggak ada, ternyata. Sekitar tanggal segitu saya harus mengawasi proyek kantor, dan udah nggak mungkin lagi diwakilkan. Udah benar-benar saya coba cari pengganti, nggak dapat.
Maka, jangan dilakukan. Jangan memaksakan. Tunda dulu.
Ingin shalat malam 27 rakaat nanti malam. Kemauan ada? Ada, kuat. Kemampuan? Ragu... kalau setiap malam 27 rakaat, kuat nggak ya? Kalo kesempatannya ada? Ternyata nggak. Pas malamnya anak sakit, rewel terus, harus saya dampingi, jadi tidurnya telat. Apalagi, besoknya saya harus bangun pagi-pagi sekali, setrika baju suami dan nyiapin anak berangkat sekolah.
Maka, jangan 27 rakaat. Kurangi saja, sampai pas, dan bisa dilakukan dengan konsisten.
Ingin sekolah di luar negeri. Kemauan ada? Ada banget. Kuat. Bulat, gak ada keraguan. Kemampuan ada? Ada. Uang cukup. Beasiswa udah dapat. Tes bahasa udah lolos semua. Kesempatan ada? Ada. Kantor sudah mengijinkan saya off. Keluarga udah ridho saya tinggal dua tahun. Semua prosedur di sekolah sana juga udah beres.
Semua pintu udah terbuka. Maka, kerjakan.
Kemungkinan besar itu bukan sekedar keinginan hawa nafsu. Sebab, --biasanya-- kalo untuk level kita (tidak selalu, ya), kalau Allah menghendaki kita melaksanakan sesuatu dengan jelas, semua pintu akan Dia buka.
Setelah melakukan semua upaya ini, pertimbangan ini, barulah kita --tawakkal-- dalam melaksanakannya.
Karena berserah diri itu bukan sekedar pasrah bongkokan sekedar terbawa oleh aliran kehidupan, tapi --pontang-panting-- berusaha mencari/memahami/mengidentifikasi kehendak Allah, dan --melaksanakannya--.
Dalam melaksanakannya itulah kita berserah diri kepada Allah.
Setelah tawakkal, lalu hasilnya gimana, itu terserah Allah. Kita sudah melakukan yang terbaik yang kita bisa. Dari sisi kita sudah, maka selanjutnya adalah porsi Allah ta'ala. Itu hak-Nya untuk mengambil alih. Jangan berani coba-coba mengambil hak-Nya, wong Dia ingin merahmati kok :)
Jangan diambil semua. Biarkan Dia yang merahmati. Sisakan porsi buat Dia, jangan semua harus kita kontrol, kita kendalikan dan kita pastikan hasilnya. Itu nggak ada porsi tawakkalnya.
Itu artinya, kita mengambil hak Allah, dan mencoba merahmati diri sendiri. Kalau gini, kita nggak akan pernah dianugerahi-Nya penyaksian, melihat bahwa tindakan Allah dalam kehidupan keseharian kita itu real, ada. Bukan sekedar konsep di buku-buku dan kitab suci.
Kalau setiap kali kita melakukan ini, ini proses belajar yang sangat kompleks. Maka nanti aql jiwa kita juga akan teraktivasi. Dia akan semakin tajam dan cerdas. Kita akan semakin 'sensitif' dengan identifikasi hawa nafsu, sebab kita semakin mengenal bagaimana karakter hawa nafsu itu. Biasanya, ingin sekarang. Harus sekarang. Harus punya. Pokoknya harus, titik. Semacam itu.
Istikharah dan doa, adalah bagian dari metode ini. Dengan istikharah dan doa, hati akan lebih tenang dan bening, sehingga kita akan lebih mudah menimbang persoalan dengan tiga parameter tadi. Sebab, kalau kita menimbang dengan hati yang tidak tenang, penuh ambisi, dan sudah sarat dengan keinginan dan keputusan ke arah tertentu sebelum menimbang, ya akan susah juga mempertimbangkan tiga parameter tadi dengan jujur dan obyektif.
Yang sangat penting, jika ternyata berhasil teridentifikasi bahwa salah satu dari tiga faktor tersebut masih tertutup, --jangan mengeluh-- atau menggerutu. Bahkan di dalam hati. Sebab nanti barokah dari upaya mengenali hawa nafsu ini hilang. Sebab Allah akan mencabut rahmat dan pertolongan-Nya dari siapapun yang mengeluhkan ketentuan-Nya. Lebih baik akui saja kalau kita belum paham 'kenapa nggak boleh melakukan itu sekarang', tapi jangan mengeluh.
Ini bagian dari belajar mengenali kehendak-Nya. Sedang diajari sebuah hal yang sangat besar, ya kok malah menggerutu dan ngrasani.
: :
Jangan salah, ya. Metode ini --bukan-- untuk mengidentifikasi takdir Allah. Bukan ke situ. Takdir hanya bisa diidentifikasi setelah terjadi. Mustahil bagi makhluk untuk mengetahui takdir secara mutlak sebelum terjadi.
Tapi metode ini adalah untuk memisahkan mana keinginan hawa nafsu saja, dan mana yang kemungkinan bukan sekedar hawa nafsu, tapi ada 'tangan Allah' di balik keinginan itu.
Kalau sudah kita timbang dengan tiga hal itu ternyata lolos, dan ternyata hawa nafsu kita juga keinginannya sama, ya bagus. Malah kita akan sangat enteng melaksanakannya, karena artinya hawa nafsu kemungkinan sedang bersesuaian dengan keinginan yang benar. Keinginan si kuda sedang searah dengan keinginan pengendaranya.
Semoga berguna dan semoga mudah diamalkan.
Komentar
Posting Komentar