APAKAH FILSAFAT ITU?: Dari Plato ke Deleuze & Guattari Beserta Beberapa Filsuf Sezamannya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Sejarah filsafat yang merentang selama lebih dari dua ribu tahun memperlihatkan pergeseran makna, rumusan, orientasi dan fakultas diri yang dipergunakan untuk berfilsafat. Begitu pula dengan konsepsi manusia. Dari rentang waktu tersebut, untuk kepentingan tulisan ini, secara garis besar dibedakan dua kutub filsafat yang banyak berseberangan. Kutub pertama direpresentasikan melalui pemikiran Plato tentangphilosophia beserta konsepsi manusianya, sementara kutub kedua direpresentasikan melalui kompilasi pemikiran beberapa filsuf tentang filsafat dan konsepsi manusianya, antara lain Gilles Deleuze dan Pierre-Félix Guattari, Martin Heidegger, Jacques Lacan serta akan diimbuhi dengan pembahasan tentang hermeneutika.
1. Filsafat dan Konsepsi Manusia Pada Awalnya(1)
Dalam filsafat Yunani, pengenalan diri menempati posisi sentral.(2) Salah satunya terlihat dalam pengajaran Socrates. Selain sebagai guru, Socrates adalah tokoh utama dalam berbagai karya Plato. Melalui ajarannya, Socrates menelanjangi ketidaktahuan warga Athena ihwal diri mereka sendiri. Namun, seruannya itu juga memunculkan kebencian yang mengantarkan Socrates pada hukuman mati. Pengadilan Athena menjatuhkan dua tuduhan utama, yaitu, kekafiran dan merusak akhlak para pemuda Athena, maka Socrates pun dibunuh oleh demokrasi.
Berbagai lontaran pertanyaannya menggelisahkan warga Athena karena mengguncang asumsi kemapanan tujuan hidup serta kenaifan pengetahuan mereka. Socrates menyatakan dirinya mengemban misi besar, yaitu membantu menemukan pengetahuan diri yang terpendam. Dia mengumpamakan karakteristik ilmunya seperti ilmu bidan, yaitu, membantu kelahiran pengetahuan sejati yang diperoleh melalui pengenalan diri sendiri, dan dia berperan sebagai bidan pengetahuan (maleutikos).
1. 1. Philosophia
Di atas pintu masuk kuil di Delphi Yunani terpampang tulisan “Gnothi Se Authon”, artinya “Kenali Dirimu Sendiri”. Konon itu merupakan perkataan Apollo, yang dikemukakan pula oleh Thales, dan menjadi basis ajaran Socrates. Dalam Protagoras, Plato menyatakan bahwa kata-kata ringkas semacam itu merupakan bentuk khas filsafat. Philosophia(3) (filsafat) dalam Phaedo dirumuskan sebagai pembelajaran pengisi hidup yang membantu manusia percaya diri saat akan mati, dan menyimpan berbagai harapan baik untuk mendapatkan karunia paling mulia setelah kematian. Philosophia semata-mata untuk melatih manusia mati setiap waktu. Kematian yang dimaksud adalah pemisahan psyché(4) (jiwa) dari soma (tubuh). Filsuf tidaklah menghasrati kesenangan badani, bahkan memandangnya rendah, karena pemikirannya tidaklah pada soma, tapi pada psyché, dan sebisa mungkin membebaskan psyché dari hubungan dengan soma. Karena tidak menikmati dan tidak ambil bagian dalam kesenangan semacam itu, mereka tak ubahnya mendekati kematian.
Tidak seperti mereka yang rela mati agar bisa bersama kembali dengan yang dicintainya, filsuf itu benar-benar mencintai kebijaksanaan dan berteguh pada harapan mendapatkan kebijaksanaan dalam kematian serta bersuka cita menyambutnya. Jika seseorang malah senewen menghadapi kematian, jelas dia bukan filsuf sejati, melainkan philosoma—bukan pecinta kebijaksanaan, tapi pecinta tubuh. Tak mengherankan jika orang semacam itu adalah pecinta uang dan atau pecinta kemasyhuran. Dua hasrat materi dan imateri tersebut bisa dilampaui dengan kesederhanaan, yaitu, tidak terhasut oleh hasrat. Dengan kesederhanaan, filsuf bisa mengendalikan hasrat secara mudah dan mulia, sebab kesederhanaan hanya menjadi milik mereka yang sedikit sekali tergantung pada soma dan hidup dalam alam philosophia.
Untuk mencapai kebijaksanaan, soma tidaklah diutamakan, karena setiap kali psychéberusaha menguji sesuatu disertai soma, psyché selalu terpedaya olehnya. Ketika psychébenar-benar terpisah dari soma, dan sejauh mungkin tidak ada hubungan dengannya, barulah psyché bisa mencapai kesejatian. Dengan philosophia, akan didapati psyché itu terpenjara dan terpateri dalam soma, berkubang dalam kedunguan dikarenakan hasrat. Lama kelamaan psyché malah menjadi pembantu utama dalam pemenjaraan dirinya. Ajaran philosophia secara lembut dan halus menyemangati serta berupaya membebaskanpsyché sembari memperlihatkan bahwa indera itu menipu. Ajaran philosophia membujukpsyché untuk berlepas dari penggunaan berbagai indera kecuali seperlunya saja, mendesaknya untuk berdiri sendiri, terpisah, tak mempercayai apa pun kecuali dirinya sendiri, serta memahami realitas diri. Apa pun yang mempengaruhi psyché dalam mempelajari kebijaksanaan harus disingkirkan.
Psyché filsuf sejati tak akan menolak pemisahan dari soma beserta hasrat, kesenangan, kesedihan, rasa takut, karena kesemuanya itu akan membuatnya menanggung derita tekanan ganda. Pada saat psyché merasakan kesenangan atau kesedihan, saat itu juga dia terdorong untuk meyakini bahwa yang dirasakannya nyata dan benar, padahal tidak. Tiap kesenangan atau kesedihan memiliki alat yang dipakai untuk memaku psyché padasoma, melekatkannya serta membuatnya memiliki sifat-sifat badani. Akibatnya, psychémembenarkan apa pun yang dikatakan benar oleh soma, berpendapat sama, menyukai berbagai hal yang juga disukai oleh soma, bertindak sesuai soma, memakan makanan yang sama. Psyché pun terkotori oleh soma dan tak bisa kembali ke Hades dalam keadaan suci.
Selama masih menempeli soma dalam mencari kesejatian, selama psyché masih dikotori hasrat, tak akan pernah tercapai kebijaksaan. Soma bisa mendatangkan beribu-ribu gangguan berupa perasaan susah dan senang serta membuat manusia benar-benar tak bisa berpikir, sehingga tak sempat mempelajari philosophia.
Padahal untuk mengetahui yang sejati hanya bisa diraih dengan kematian non-biologis, yaitu, psyché yang terlepas dari soma. Apabila tidak, maka kebijaksanaan hanya akan diperoleh setelah manusia mengalami kematian biologis, karena hanya pada saat itulahpsyché bisa terpisah sama sekali dari soma. Kebenaran hanya bisa dipegang oleh mereka yang suci, dan kesucian sempurna hanya bisa diraih dengan kematian. Itulah kemurnian. Karenanya, membebaskan psyché dari soma merupakan usaha utama yang dilakukan oleh mereka yang mencintai kebijaksanaan, dan hanya oleh mereka saja. Perhatian serta latihan yang dilakukan oleh para filsuf tak lain untuk memisahkan psyché dari soma.
Bentuk kebijakan dikemukakan Plato dalam Politeia (atau Republic) melalui alegori gua (akan dibahas dalam bagian berikutnya). Dalam alegori tersebut, psyché telah mencapai ketinggian serta senantiasa merasakan dorongan ke atas dan kerinduan akan tempat persinggahan di atas sana karena telah melihat realitas sesungguhnya, juga terbebas dari belenggu soma dan dunia. Dalam Phaedo dinyatakan bahwa ketika psyché dimasukkan ke dalam soma, psyché belajar menggunakan fakultas indera soma dan diarahkan olehnya ke sesuatu yang selalu berubah. Akibatnya psyché menjadi tersesat dan kacau, seperti orang mabuk. Karenanya, psyché harus mempelajari segala sesuatu sendiri agar menuju sesuatu yang murni dan abadi, tidak mati serta tidak berubah, dan menetap bersama semua kebaikan tersebut. Dengan begitu, pada akhirnya psyché bisa beristirahat dari kembaranya, berada di antara semua kebijaksanaan yang tidak berubah.
Psyché dan soma merupakan dua entitas berbeda, tidak menyatu sebagaimana, misalnya, dipahami oleh fenomenologi Maurice Merleau-Ponty. Ketika seseorang mati, maka soma-nya—yang berada di dunia yang tampak serta bisa diceraiberaikan dan hilang—tidak akan langsung tercerai atau hilang. Butuh waktu lama untuk menguraikannya hingga tulang belulang. Sementara psyché—bagian tak tampak dalam diri—akan pergi ke tempat lain yang terhormat, murni dan tak tampak, yaitu Hades, persemayaman theos(5) yang baik, bijaksana dan tenang. Dengan terlepas dari soma, maka psyché termurnikan, menjauhi keinginan badani. Seperti itu pulalah psyché yang sedang melatih diri dengan philosophia, yang cinta kebijaksanaan sejati, serta selalu berlatih mati dalam kehidupan.
Kematian itu ada dua bentuk, yaitu, secara biologis dan non-biologis (lepasnya pengaruhsoma terhadap psyché). Kuburan pun ada yang berupa tanah pemakaman untuk menguburkan soma yang telah mati dan kuburan bagi psyché di dunia, yaitu soma, yang telah ‘membunuhnya’ melalui berbagai hasrat duniawi. Ditegaskan pula bahwa psychételah ada jauh sebelum soma, dan akan terus ada walaupun soma telah mati dan hancur. Segala sesuatu terjadi dari kebalikannya. Bahwa bangun itu mulainya tidur dan tidur itu mulainya bangun dan akibat yang ditimbulkannya adalah tertidur dan terbangun. Begitu juga kematian dan kehidupan, bahwa kematian lahir dari kehidupan, dan kehidupan melahirkan kematian. Ajaran tentang philosophia ini menggemakan ajaran Phytagoras tentang penyucian psyché dan tubuh sebagai kuburan bagi psyché (soma sema).
Setelah psyché dimasukkan ke dalam soma, semestinya terjadi proses anamnesis, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengingatan kembali bentuk-bentuk sempurna yang secara batini dimiliki psyché sebagai pengetahuan a priori, atau telah dialami dalam eksistensi sebelum penubuhannya. Psyché sudah ada jauh sebelum mengisi soma, dan telah memiliki kebijaksanaan terpendam di dalamnya. Tapi, dalam proses penubuhan itu, manusia menjadi lupa akan pengetahuan primordial tersebut, kehilangan karena kealpaannya. Penyebab utamanya adalah ketertarikan mencari pengetahuan dengan hanya bersandar pada indera serta tarikan berbagai hasrat soma.
Dalam Phaedrus dikemukakan bahwa apabila psyché itu sempurna dan bersayap lengkap, ia terbang membumbung tinggi ke angkasa, dan menata semesta dunia. Apabila tak sempurna, ia kehilangan sayapnya dan terkulai jatuh dalam pelayangannya ke tanah nan padat. Di sana, psyché menemukan sebuah rumah, mendapatkan kerangka kebumian yang tampak bergerak sendiri, namun sesungguhnya benar-benar digerakkan atas kuasanya sendiri. Persusunan antara psyché dan soma inilah yang disebut makhluk insaniah yang hidup. Mengapa psyché kehilangan sayap-sayapnya?
Sayap merupakan unsur jasadiah paling dekat dengan perkara ilahiah, dan secara alamiah berkecenderungan untuk senantiasa membumbung tinggi ke angkasa, mengangkat apa-apa yang berkecenderungan jatuh ke arah bawah agar terangkat ke wilayah tinggi di atas, tempat tinggal makhluk malakut. Perkara ilahiah adalah keindahan, kebijaksanaan, kebajikan, dan yang serupanya. Dengan semua itulah sayap psyché dirawat dan tumbuh dengan amat cepatnya. Namun saat diberi makan atas kejahatan, kesalahan serta lawan kebaikan, ia menjadi jatuh terkulai dan musnah.
Terakhir, setelah uraian kaitan philosophia dengan psyché dan soma, dibedakan pula dua tingkatan pengetahuan: pertama, pengetahuan yang secara abadi sempurna, tak dapat berubah, tak kasat mata (archetype, esensi); dan kedua, pengetahuan tentang objek-objek yang dapat dilihat, terukur (terinderai). Tujuan philosophia adalah untuk memperoleh pemahaman tentang dunia bentuk yang nyata, dan hal ini dicapai melalui rasional murni. Seperti dikemukakan di atas, pemikiran filsuf itu ada di psyché, yang mengisyaratkan bahwa akal pun ada dua, yaitu akal psyché dan akal soma (otak). Akal psyché itulah yang dirujuk sebagai rasionalitas. Pengetahuan sejati yang dicerap akal psyché disebut sebagaiepistemé.
Episteme—atau gnosis—adalah pengetahuan murni, dan lengkap, pemahaman objektif dari kebenaran ultima yang berkaitan dengan permasalahan wujud murni. Episteme ini terbagi menjadi dua, pertama, noesis, yaitu, inteligensia, kemampuan untuk memahami dialektika. Kedua, dianoia, yaitu, nalar, terutama yang sering dikaitkan dengan geometri. Sedang diseberangnya adalah pengetahuan awam, yang terkait dengan pemahaman atas dunia inderawi melalui persepsi, pengalaman, observasi partikular, dan disebut sebagaidoxa. Doxa berarti opini atau waham yang berdasarkan deduksi pemahaman awam, dan karenanya tidak dapat diandalkan. Episteme dan unsur-unsur pokoknya mengatur wilayah akal (to noeton), sedangkan doxa merujuk kepada wilayah yang dapat dilihat oleh indera (to horaton).(6)
1. 2. Konsepsi Manusia
Sebelumnya telah dibahas tentang philosophia yang terus menerus dikaitkan dengan kematian, yaitu lepasnya psyché dari soma. Konsepsi psyché yang diutarakan Plato tidaklah sama dengan pengertian yang berlaku dalam disiplin psikologi saat ini. Bahkan entitas yang membentuk kesatuan diri manusia bukan hanya soma dan psyché. Pemaparan konsepsi manusia beserta kondisi keterpenjaraannya dipaparkan secara detail melalui alegori gua dalam Politeia.
Alegori ini menggambarkan sekumpulan orang yang berdiam di dalam gua bawah tanah dengan jalan masuk yang panjang terbuka membentangi cahaya pada seluruh lebarnya. Mereka mendapati kaki dan lehernya terbelenggu semenjak masa kecil, selalu di tempat yang sama, hanya bisa memandang ke depan karena terhalang oleh belenggu untuk membalikkan kepalanya. Di belakang mereka ada seberkas cahaya dari api yang membakar membumbung. Antara api dengan para tawanan tadi dan di atasnya ada jalan yang di sepanjangnya berdiri dinding rendah, sebagaimana para penonton pertunjukan wayang memiliki hijab pembatas di antara para pemain dengan diri mereka sendiri yang diatasnya dipertunjukkan wayang. Kemudian, ada orang-orang yang mengangkut sesuatu melewati dinding tadi sehingga memaujudkan segala bentuk pada dinding beserta berbagai bayangan citra manusia, juga bentuk-bentuk hewan, yang tertempa pada batu dan kayu dan bahan-bahan lainnya. Beberapa dari para pengangkut ini berbicara, sementara yang lainnya membisu.
Sepanjang hidupnya, para tawanan tersebut tak pernah melihat apa pun pada diri mereka sendiri atau satu sama lain selain berbagai bayangan yang terpancar dari api ke dinding gua yang ada di hadapannya. Sekalipun mereka bisa berbicara satu sama lain, mereka mengira bahwa dengan menamai berbagai bayangan tersebut mereka menamai benda-benda yang sebenarnya. Jika pun mereka mendapatkan gema dari dinding di hadapannya, mereka mengira bahwa bayangan itulah yang mengeluarkan suara, bukan orang-orang yang berlalu lalang di belakang mereka. Bagi mereka, berbagai bayangan itu adalah realitas sebenarnya.
Namun, salah seorang dari mereka terbebaskan dari belenggu, dipaksa berdiri dengan tiba-tiba, memalingkan kepalanya berkeliling, berjalan, mengangkat matanya ke arah cahaya, serta merasakan kesakitan karena silau dan gemerlapnya cahaya, tak kuasa membedakan benda dengan bayang-bayangnya. Sadarlah dia bahwa semua bayangan itu hanyalah tipuan dan ilusi. Silau yang menyakitkan itu membuatnya ingin berpaling lagi ke bayangan di dinding gua. Namun, dia ditarik paksa menuju ke atas pendakian naik yang kasar dan terjal, dan tidak dilepaskan sebelum keluar menuju cahaya matahari. Dia merasakan kesakitan diseret sedemikian, dan terluka atas perlakuan seperti itu.
Sesampainya di luar gua, matanya terpenuhi pancaran sinar, sehingga tak bisa melihat apa pun. Diperlukan pembiasaan untuk bisa melihat kembali. Pada mulanya paling mudah ia membedakan bayangan-bayangan dan, setelah itu, keserupaan atau pantulan pada permukaan air dari manusia dan benda-benda lainnya, kemudian benda-benda itu sendiri, dan merenungkan berbagai penampakkan di lelangit—lebih mudah dilakukan pada malam hari, memandang pada cahaya bintang gemintang dan rembulan—daripada di siang hari kepada matahari dan cahayanya. Pada akhirnya, ia bisa memandang matahari itu sendiri dan melihat keadaannya sebenarnya, tidak melalui pantulan pada air ataupun khayalan, namun di dalam dan dengan dirinya sendiri serta pada tempatnya sendiri. Ia pun menyimpulkan itulah yang mengakibatkan pergantian musim, rangkaian tahun, penyebab segala sesuatu yang pernah dilihatnya. Dia merasa berbahagia atas berbagai perubahan itu dan mengasihani para tawanan lainnya.
Seandainya dia harus turun ke bawah lagi dan mengambil tempat lamanya, ia akan mendapati kedua matanya dipenuhi kegelapan, sehingga dengan segera ia keluar lagi menuju cahaya matahari. Namun, apabila ia diwajibkan untuk menghadapi para tawanan abadi ini dalam menguji bayangan-bayangan itu, sementara pandangannya masih tetap redup dan sebelum matanya terbiasa dengan kegelapan, maka dia ditertawakan. Bukan hanya itu, para tawanan tersebut ingin membunuh siapa pun yang berupaya membebaskan dan membimbing mereka ke atas.
Alegori ini harus diterapkan sebagai keseluruhan, mentautkan daerah yang terungkap melalui penglihatan hingga tempat berdiam para tawanan, serta cahaya api di dalamnya hingga kuasa matahari. Kenaikan dan perenungan atas segala yang di atas merupakan kenaikan psyché menuju wilayah yang tercahayai akal. Hal paling akhir dilihat dan sukar terlihat adalah Idea tentang apa yang benar sejati. Bahwa mereka yang telah mencapai ketinggian ini tidak bersedia untuk menyibukkan dirinya dengan berbagai urusan manusia, namun psyché mereka senantiasa merasakan dorongan ke atas dan kerinduan akan tempat persinggahan di atas sana.
Ilustrasi Alegori Gua
Alegori tersebut telah mendeskripsikan banyak hal dengan sendirinya. Selain menggambarkan kehidupan manusia di dunia, alegori itu juga melambangkan konsepsi manusia. Bayang-bayang dan belenggu melambangkan realitas fisik yang menipu manusia dan membuatnya menganggap tak ada hal lain yang lebih nyata daripada bayang-bayang tersebut. Sedang para pengangkut di belakang para tawanan yang bayang-bayangnya terpantul di dinding gua merupakan realitas sebenarnya, alam yang lebih nyata dan lebih tinggi derajatnya dari bayang-bayang tersebut. Inilah alam psyché, namun sejalan dengan semakin besarnya keterpikatan manusia pada bayang-bayang malah membuatnya melupakan realitas sebenarnya ini. Kemudian api di mulut gua merupakan “tiruan kecil” matahari. Sedangkan matahari yang menyilaukan adalah Sang Pencipta, sebagai Sumber dari segala sumber Cahaya.
Alegori gua ini serupa dengan penggambaran dalam wayang kulit di tradisi Jawa. Bayangan di layar pementasan wayang kulit melambangkan tubuh. Wayang kulit yang dihias indah berwarna-warni—namun hanya terlihat bayangannya dan, sesekali, warna aslinya—adalah jiwa. Api yang menimbulkan bayangan wayang pada layar adalah ruh. Adapun dalang yang memainkan wayang merupakan simbol dari Tuhan. Ibn ’Arabi juga pernah mengemukakan alegori serupa:
Barang siapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara) pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.(7)
Dalam karya Plato teridentifikasi tiga entitas kedirian manusia (sejati), yaitu, soma, psychédan daimón. Dari paparan tentang philosophia terlihat bahwa soma merupakan aspek fisikal manusia, komposit korporeal (material), yang memiliki hasrat kebertubuhan (carnal) seperti kecintaan terhadap materi, sensualitas, seksualitas. Hasrat material ini bisa merembes dan mempengaruhi psyché menjadi bertabiat dan berhasrat seperti soma. Selain itu, soma itu tidak abadi, ada terkemudian setelah psyché. Dalam alegori gua, somahanyalah bayang-bayang di dinding gua.
Sedang psyché adalah entitas hidup yang bisa mengada secara independen lepas darisoma. Dalam uraian di atas terlihat bahwa psyché merupakan diri manusia sejati, abadi, ada jauh sebelum soma dan akan tetap ada ketika soma mati. Psyché seharusnya menjadi sumber semua yang terbaik dan semua kebaikan. Psyché bukanlah komposit dan inkorporeal (imaterial) namun ia ditanamkan dalam (terkurung oleh atau terikat pada) somadan harus berjuang keras untuk melawan pengaruh dari aktivitas berbagai entitas sekunder dalam diri manusia yang semakin lama semakin membelenggu dirinya.
Dalam Phaedrus dipaparkan sifat psyché melalui alegori sepasang kuda bersayap dan seorang penunggang kereta perang. Kuda yang satu mulia dan dari keturunan mulia, sedangkan yang lainnya hina dan dari keturunan hina, sehingga memayahkan kala mengendalikannya. Seharusnya kereta kuda itu berada dalam sikap setimbang sempurna, sejalan dengan tali kekang, meluncur cepat. Namun, penunggang kereta kepayahan karena kuda yang liar bergerak dengan lembam, membebani turun sang penunggang kereta ke bumi ketika kudanya belum sepenuhnya terlatih. Inilah saat kesengsaraan dan pertempuran paling dahsyat bagi psyché.
Kereta kuda itu seharusnya terbang ke langit di atas segala lelangitan, tempat berbagai perkara sejati yang menjadi pusat perhatian pengetahuan hakiki: tak berwarna, tak berbentuk, esensi yang tak teraba, hanya terlihat oleh akal, pemandu psyché. Kepandaian ilahiah yang dirawat dan ditumbuhkan pada pikiran dan pengetahuan, serta kecerdasan setiap psyché yang bisa menerima makanan yang sesuai baginya, akan bergembira memandang realitas tinggi tersebut. Sekali lagi psyché menatap kebenaran, terlengkapi dan terbahagiakan, hingga perputaran dunia membawanya kembali ke tempat yang sama. Dalam perputaran tersebut psyché melihat keadilan, kesahajaan, dan pengetahuan mutlak, tidak dalam bentuk pembuatan atau hubungan, yang disebut sebagai keberadaan, namun pengetahuan mutlak dalam kehadiran mutlak. Ketika melewati bagian dalam langit, sang penunggang memandang berbagai kehadiran lain dengan cara serupa dan kembali pulang. Disanalah sang penunggang kereta menempatkan kuda-kudanya di istal, memberinya makan ambrosia dan minum nektar.
Alegori tersebut memperlihatkan pembagian psyché menjadi tiga: dua ekor kuda dan seorang penunggang kereta. Kuda di sebelah kanan tegap, bersih, memiliki leher kekar, hidung seperti paruh rajawali, berwarna putih, dan mata gelap. Ia adalah pencinta kehormatan, kesederhanaan, kesahajaan, dan pengikut kemenangan sejati. Ia tidak membutuhkan sentuhan cambuk, cukup dipandu hanya dengan kata dan nasihat. Yang lainnya adalah hewan yang bergerak lamban dan berkelok-kelok, namun tetap disandingkan bersama. Ia memiliki leher pendek dan tembam, bermuka datar, berwarna gelap, mata keabuan dan corak kulit yang merah darah; pasangan kehinaan dan keangkaraan, bertelinga rawing dan tuli, cambuk dan pukulan tak ada manfaatnya. Ketika sang penunggang kereta memandang pandangan cinta, dan mendapatkan seluruhpsyché-nya terhangatkan melalui indera, serta penuh dengan tusukan dan godaan syahwat, kuda yang patuh dan selalu memiliki rasa malu, tertahan dari melompat ke arah yang dicintainya. Namun, kuda lainnya tak menghiraukan pukulan dan ayunan cambuk, menjerumuskan dan berlari, memayahkan kuda sejawatnya dan sang penunggang, yang ia paksa untuk mendekati apa yang dicintainya dan mengingat kesenangan cinta. Awalnya karena jengkel, sang penunggang melawannya dan tidak tergoda untuk melakukan tindakan buruk dan jahat. Namun, akhirnya, karena kuda hitam itu bersikukuh, mereka setuju untuk melakukan apa yang ditawarkannya.
Setelah itu mereka berada pada suatu titik dan memandang kilasan keindahan akan yang dicintai. Ketika sang pengendara kereta melihatnya, ingatannya dibawa menuju keindahan sejati, yang ia pandang dalam kebersamaan dengan kesahajaan, laksana citra yang diletakkan di lapik suci. Ia melihatnya, namun merasa ketakutan dan jatuh ke belakang sehingga ia terpaksa menarik tali kekang dengan sedemikian keras sehingga mengembalikan kedua kuda tersebut. Yang satu bersedia dan tidak menahannya, sementara yang liar sangat tidak bersedia. Ketika mereka mundur sedikit, yang satu dikuasai oleh rasa malu dan takjub, dan seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Sementara yang lain, ketika rasa sakit karena tali kekang mereda, mengalami kesulitan untuk mengambil nafas, dipenuhi kemurkaan dan cacian yang ia timpakan pada sang penunggang dan sesama pasangannya, karena dialihkan dari apa yang diinginkannya. Keduanya tetap menolak, sekalipun ia memaksa, sehingga ia menanti lain waktu. Ketika saat yang ditentukan tiba, mereka seperti lupa dan ia menarik mereka lagi, memerangi, meringkik, menyeret mereka ke keinginannya. Sang kuda hitam membungkukkan kepalanya, menegakkan ekornya, mengambil gurdi di giginya dan menariknya tanpa ampun. Sang penunggang kuda lebih marah dari biasanya. Ia mundur ke belakang seperti seorang pemacu menghadapi rintangan, dan dengan putaran yang kejam ia menarik kekang ke luar dari gigi kuda liar hingga memenuhi lidah kasar dan rahangnya dengan darah, memaksa kaki dan pinggangnya ke tanah, menghukumnya dengan kejam. Demikian terjadi berulang kali hingga kuda hitam itu menjadi jinak, rendah hati, dan mengikuti keinginan sang pengendara kuda. Hingga, ketika melihat sang keindahan ia telah siap mati oleh rasa takut. Sejak saat itu, psyché pencinta mengikuti sang kekasih dalam kesahajaan nan suci.
Ketiga bagian psyché dalam alegori tersebut adalah to logistikon (bagian rasional) yang dikaitkan dengan keutamaan kebijakan (phronesis atau sophia), to thymoeides (bagian keberanian) yang memiliki keutamaan kegagahan (andreia) dan to epithymetikon (bagian keinginan) yang mempunyai pengendalian (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk menjamin keseimbangan di antara ketiga fungsi psyché tersebut diperlukan keadilan (dikaiosyne), yaitu, hanya mengerjakan ergon (amal) yang memang diperuntukkan bagi dirinya, dan tidak pernah mencoba-coba untuk mengerjakan ergon orang lain bagi dirinya. Jika ketiga fakultas ini selaras dengan ide dan pengetahuan tentang yang baik, maka manusia akan memiliki psyché yang damai. Sedang jika fakultas itu terpecah, dia akan berada dalam keadaan kacau dan konflik terus menerus.
Perumpamaan seperti itu ditemukan pula dalam tradisi agama, seperti Arjuna beserta Krisna yang mengendarai kereta kuda di perang Bharatayudha; Dewa Wishnu yang menunggangi Lembu Andini; penunggang, kuda serta anjing pemburu dalam tradisitashawwuf, dan sebagainya. Penggambaran sais kereta dan kudanya sebagai penggambaran posisi psyché terhadap soma juga tersirat dalam Phaedo. Ketika psychédan soma menjadi satu, alam menetapkan bahwa soma adalah budak yang harus diatur, serta psyché menjadi tuan dan pengatur.
Dalam Timaios disebutkan bahwa “fungsi rasional” ditempatkan di dalam kepala, “fungsi keberanian” ditempatkan dalam dada, sedangkan “fungsi keinginan” di tempatkan di bawah sekat rongga dada. Namun, hanya “fungsi rasional“ saja yang bersifat baka, sedangkan bagian lain akan mati bersama soma. Timaios pun membandingkan jagat raya sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos.
Selain psyché dan soma, ada satu lagi entitas kedirian manusia yang sering luput dari perhatian, yaitu daimón. Dalam Apologia, daimón atau daimonion—seringkali ditransliterasi sebagai daemon atau demon—merujuk pada petunjuk atau suara batin berupa ruh yang membisik di telinga Socrates. Daimón kadang digunakan secara bergantian dengan theos, makhluk malakut. Namun, secara umum ia dipahami sebagai ketuhanan atau kuasa ilahi yang karakteristiknya berada di antara theos dengan manusia, bukan makhluk insaniah ataupun malakut, utusan antara manusia dan Tuhan. Dalam Symposium, dijelaskan bahwadaimón menerjemahkan antara theos dan manusia, menyampaikan dan menyeberangkan kepada Tuhan permohonan dan pengorbanan manusia, dan kepada manusia berbagai perintah dan jawaban dari Tuhan. Daimón adalah perantara yang terbentang jurang terdalam memisahkan mereka, dan oleh karena itu dalam dirinyalah seluruhnya terjilid bersama, dan melaluinya kekaryaan para nabi dan ulama, pengorbanan, misteri, dan kejaiban mereka, dan seluruhnya, nubuwah dan doa, menemukan jalannya. Kearifan yang memahami inilah yang ruhaniah, sementara kebijaksanaan lainnya, seperti karya seni dan pertukangan, itu hina dan kasar. Socrates menyebutnya daimónion ti, sesuatu “menyerupai” Tuhan yang membimbing misi hidupnya. Daimón adalah sang utusan Tuhan dalam diri.
Dalam Apologia, Socrates menjelaskan alasan mengapa ia berkeliling memberi nasihat secara pribadi dan bersibuk diri dengan kepentingan orang lain. Itu semua disebabkan adanya orakel atau tanda yang datang kepadanya, yaitu daimón. Hal itu dicemooh oleh Meletos dalam surat tuduhannya. Pertanda (semeion)(8) ini—yang menjelma semacam suara—untuk pertama kalinya menghampiri Socrates semasa masih anak-anak. Suara itu selalu memberitakan larangan dan tak pernah bersifat perintah untuk berbuat sesuatu yang hendak dilakukannya. Daimón itulah yang menyebabkan Socrates menghindarkan diri menjadi negarawan. Seandainya Socrates tetap bersikukuh menjadi negarawan, atauergon lain yang dilarang oleh daimón-nya, niscaya telah lama dia binasa, tanpa bisa berbuat baik bagi warga Athena maupun untuk dirinya sendiri. Hal itu mengisyaratkan bahwa Socrates telah menemukan dan menjalankan misi hidupnya atas dasar perintah Tuhan melalui perantaraan daimón-nya.
Dalam Apologia, Socrates menuturkan bahwa Tuhan menitahkannya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang filsuf, yaitu melakukan penyelidikan diri sendiri serta terhadap orang lain. Dalam Phaedo juga diungkap bahwa hanya sedikit manusia yang bisa mencapai misi hidup personalnya. “Banyak orang dipanggil, tapi sedikit dipilih”, menurut Socrates, yang sedikit itu tidak lain dari orang-orang yang mencintai kebijaksanaan dengan cara yang benar. Seumur hidupnya Socrates berusaha untuk menjadi salah satu dari yang sedikit itu, serta tidak meninggalkan sesuatu yang tak selesai sepanjang kemampuannya. Kehidupan serta tindakan Socrates itu senantiasa berdasarkan petunjuk Tuhan berupa daimónion sémeion.
Apabila Socrates berbuat sesuatu kekhilafan atau kesesatan, maka daimón selalu menimbulkan tentangan dalam batinnya, sekalipun tentang perkara remeh. Namun,daimónion sémeion itu tiada menunjukkan tanda-tanda menentang ketika Socrates menjalankan misi hidupnya sebagai filsuf, juga ketika memaparkan pembelaan—seperti tertuang dalam Apologia—padahal sering terjadi ia dihentikan oleh daimón dalam menguraikan sesuatu. Karenanya, kematian karena menjalankan misi hidupnya sebagai filsuf itu pun merupakan kebaikan.
Socrates bahkan memaparkan bahwa dirinya adalah karunia Tuhan bagi warga Athena. Kalau mereka membunuhnya, tak akan mudah bagi mereka untuk mendapatkan penggantinya, karena ia ibarat seekor langau kuda yang dianugerahkan Tuhan kepada Athena yang menyerupai kuda besar yang kurang lincah gerak-geriknya, lamban dan berat, dan setiap kali perlu dirangsang untuk menggugahnya. Namun, Socrates mengisyaratkan bahwa bilamana Tuhan memperhatikan keadaan warga Athena, maka Dia akan mengirim lagi seekor langau lain (bisa jadi Plato). Socrates lebih banyak menghabiskan hidupnya untuk kepentingan orang banyak dan menyelamatkan mereka dari kaum Sofis, para filsuf gadungan, dan tidak pernah sekalipun Socrates meminta upah untuk ajaran kebijaksaannya tersebut.(9)
Pernah suatu ketika, Chairephon, sahabat Socrates sejak muda, pergi ke Delphi dan di sana terang-terangan ia bertanya kepada Oracle apakah ada orang yang lebih bijaksana daripada Socrates. Oracle Delphi menjawab tidak ada. Socrates menjelaskan bahwa dia dikatakan sebagai yang paling bijaksana karena mereka yang mendengarkan berbagai pernyataannya selalu mendapat kesan bahwa dia memiliki kebijaksanaan yang tidak dapat ditemukan pada orang lain. Namun, sebenarnya Tuhanlah satu-satunya yang bijaksana, bahwa kebijaksanaan manusiawi itu sedikit atau sama sekali tak ada harganya. Tuhan bukanlah berbicara tentang Socrates, namanya sekadar dipergunakan sebagai kiasan. Maksud-Nya adalah: Hai manusia, yang sebijaksana-bijaksananya di antaramu adalah dia yang—seperti Socrates—tahu bahwa kebijaksanaan itu bukanlah segala-galanya. Maka karena taat kepada Tuhan, Socrates mengembara kian kemari, mencari serta menyelidiki kebijakan setiap orang, baik anak negeri ini maupun yang asing, yang tampaknya bijaksana. Sedemikian sibuknya sampai tak ada kesempatan lagi baginya untuk memikirkan kepentingannya sendiri. Dalam baktinya terhadap Tuhan, Socrates senantiasa hidup serba miskin.
Konsepsi daimón ini memiliki beberapa kesimetrian dengan kisah pewayangan Bima mencari Dewa Ruci. “Kata Ruci” merujuk pada Ruh Suci—dalam bahasa Jawa ditransliterasi menjadi “gusti” (dengan “g” kecil)—atau Ruh al-Quds dalam Islam, atauParakleitos dalam Kristen. Dalam khazanah Stoics dikenal istilah pneuma, yaitu ruh atau entitas sangat halus yang terkandung dalam api abadi (pyr). Segala sesuatu memilikipneuma yang merembes sebagai agen kausalnya. (Di abad 20 nanti, cognitive scienceakan memperlihatkan bahwa setiap unit dalam realitas ini adalah benda hidup, tak ada benda mati, yang kalau dalam bahasa agama: semuanya memiliki ruh.)
Paparan tentang daimón tersebut semakin menegaskan semboyan “Gnothi Se Authon” dalam pemikiran Socrates. Dia memiliki pandangan teleologis bahwa manusia itu bisa diumpamakan seperti benda buatan yang mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Bahwa manusia telah diciptakan untuk suatu tujuan dan fungsi tertentu, dan adalah tugas manusia pula untuk menemukannya dan melaksanakannya dengan tepat. Karenanya, kehidupan yang tidak ditafakuri adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.
Manusia, menurut Socrates, mempunyai “diri yang nyata” yang harus ditemukan oleh dirinya sendiri. Kebahagiaan yang nyata terdapat dalam keberhasilan meraih kesempurnaan akan diri yang nyata tersebut. Apabila manusia mengenal siapa dirinya, dia akan akan mengetahui bagaimana sebaiknya berbuat. Moralitas bukanlah sekadar mematuhi hukum, melainkan sesuatu yang spiritual. Moralitas merupakan pengetahuan yang nyata mengenai esensi, seperti “arete” atau “dike”, yang harus dicapai dengan pengenalan akan diri sendiri. Begitu pengetahuan ini diperoleh, maka mata hati bisa melihat semuanya, akan mengetahui apa yang benar, dan tak akan pernah keliru menetapkan tindakannya. Moralitas merupakan jalan bagi penemuan diri sendiri.
Pengenalan diri sendiri merupakan pencarian untuk menemukan esensi yang membuat manusia menjadi dirinya sejati, dan tahu bagaimana seharusnya berperilaku serta bertindak sesuai dengan esensi dirinya. Aristoteles memaparkan eudaimonia yang berarti kesejahteraan atau kebahagiaan spiritual yang vital. Kebahagiaan ini dicapai ketika potensi penuh seorang individu untuk kehidupan yang rasional sepenuhnya benar-benar terealisasi, terekspresikan semua kapasitasnya yang beraneka ragam, sesuai watak inherennya. Bahwa yang baik bagi individu adalah segala yang sesuai menurut fitrah esensialnya. Kebaikan tidak selalu identik dengan keinginan, karena keinginan tidak didasarkan pada watak rasional esensial. Menyelaraskan kedua hal ini merupakan upaya keras untuk realisasi diri agar mencapai esensi menjadi manusia.
Misi hidup yang dibawa tiap individu yang harus dicapai dengan pengenalan diri diistilahkan sebagai aretè (sering diterjemahkan sebagai virtue). Aretè berarti keluhuran, kemanfaatan, keunggulan yang seharusnya dimiliki manusia dalam kehidupannya, atau menjadi baikpada sesuatu. Bila seseorang menjalankan fungsi unik yang dirancang untuknya, dan melakukannya dengan sempurna, maka ia dipandang memiliki aretè. Aretè itu bisa diumpamakan seperti sebuah alat pangkas yang berfungsi untuk memotong dahan-dahan pohon. Ia dirancang untuk tujuan itu dan melakukan tugas itu lebih baik daripada alat lainnya. Begitu pulalah manusia.
Aretè mempertanyakan “Apa yang unik pada manusia? Fungsi apa yang dilakukan seseorang tapi tak dapat dilakukan oleh orang lain dengan cara yang sama baiknya?”Aretè seseorang akan ditemukan pada sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Dengan menemukan aretè berarti manusia akan menemukan ergon masing-masing, dan itulah keunggulan hidupnya di muka bumi ini. Bagi Aristoteles inilah eudaimonia. Konsepsiaretè memiliki kesimterian dengan konsepsi dharma dalam agama Hindu.
Misalnya, hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melakukan perang, yaitu para hylakes (para penjaga), yang dipilih hanya berdasarkan “bakat” tanpa mempertimbangkan asal-usul keturunan. Ini menunjukkan eksistensi kemisian yang unik. Keunikan misi hidup ini terlihat melalui perumpamaan keahlian negarawan dengan tukang tenun. Tugas seorang negarawan adalah menenun, atau menciptakan keselarasan yang harmonis, di antara semua keahlian lain di dalam negara. Karenanya, sepanjang orang itu menjalankan aretè-nya, tak ada satupun yang dapat dianggap lebih utama dibanding yang lain. Kebaikan yang didapat dari aretè adalah agathon, yang berhubungan dengan apa yang dapat dipenuhi atau diaktualisasikan manusia dari potensi uniknya masing-masing.
Dengan menjalankan aretè, maka manusia terbebas karena diatur dan dicerahkan oleh pengetahuan tentang kebaikan ideal, tidak menjadi pelayan hasrat disertai kebodohan akan diri. Pada titik inilah manusia berada dalam dikaiosyné. Secara prinsip, dikaiosynémerupakan ciri filsuf-raja yang telah mencapai pengetahuan tentang bentuk-bentuk ideal (ingat alegori gua).
Istilah dike—sering diterjemahkan sebagai keadilan atau justice—berasal dari kata sifatdikaios, yang berarti adil (just); juga berakar dari bentuk kata benda dikaiosyne, yang berarti “suatu hal dalam keadaan dikaios”. Bentuk kata kedua inilah yang paling banyak digunakan dalam Politeia. G.M.A. Guthrie mencoba membandingkan penggunaan kata tersebut dalam Odysseus:
Ketika Penelope mengingatkan para sahaya betapa Odysseus merupakan seorang tuan yang baik, ia berkata bahwa Odysseus tidak pernah berbuat atau berkata apa pun yang keji atau terlalu kasar, ataupun dia memiliki kegemaran, ‘sebagaimana halnya dike para penguasa’—yakni perilaku yang akan dipertunjukkan mereka. Ketika Eumaeus menghibur majikannya, ia meminta maaf atas kesederhanaan hidangannya dengan mengatakan: ‘Apa yang aku tawarkan adalah tak seberapa, meski diberikan dengan tulus, karena itu adalahdike hamba sahaya seperti diriku sendiri ini, yang senantiasa berada dalam rasa khawatir.’ Yang dimaksudkan, hal yang normal, yang dapat diharapkan. Menjelaskan suatu penyakit, penulis karya kedokteran Hippocrates berkata, ‘Kematian tidak mengikuti gejala-gejala ini dalam iringan dike’, maksudnya, ‘tidak secara normal mengikuti.’(10)
Pada masa itu, kata dike dipahami sebagai cara bagaimana suatu kelas atau orang-orang tertentu biasanya berperilaku, atau sesuatu yang sifatnya alamiah. Dalam puisi Aeschylus, satu abad sebelum Plato, dike telah dipersonifikasikan sebagai ruh agung dari kebajikan yang duduk di singgasana sebelah Zeus. Dalam Politeia, setelah berdiskusi dan beberapa definisi ditolak, disimpulkan bahwa dikaiosyne merupakan keadaan bagaimana manusia mengikuti dike, mengerjakan misi hidupnya, mengerjakan ergon yang tepat untuk dirinya; tidak mencampuradukkan dengan ergon orang lain. Dengan demikian, kata dikaiosynedikembalikan kepada makna aslinya, yaitu, menempatkan sesuatu pada tempatnya, pada fungsi dan tujuan penciptaan dirinya yang sebenarnya, aretè-nya.
Catatan Kaki:
1. Untuk pembahasan tentang Plato di bagian ini, buku yang dipakai adalah terjemahan lengkap karya Plato oleh Benjamin Jowett, The Dialogues of Plato (1952), William Benton Publisher: London.
2. Dalam buku Hermeneutics of the Self, Michel Foucault menafsirkan bahwa bukan gnothi se authon (kenali dirimu sendiri) yang menjadi dasar dari hubungan antara subjek dengan kebenaran dalam pemikiran Yunani, tapi epimeleia heatou (kepedulian akan diri). Foucault memang sangat menaruh perhatian terhadap tubuh, sementara Plato lebih menaruh perhatian pada psyché. Sebagai filsuf kontemporer, Foucault memang tidak mengakui dan tidak tertarik pada gagasan tentang cetak biru manusia, berseberangan dengan para filsuf Yunani. Untuk pembahasan tentang pemikiran para filsuf Yunani, lihat John Marshall, A Short History of Greek Philosophy, 1891, London: Percival and Co.
3. Akar katanya adalah philos (cinta) atau philia (persahabatan, kasih sayang, kesukaan atau ketertarikan pada) dan sophos (orang bijak) atau sophia (kebijakan).
4. Dalam makalah ini, istilah psyché dalam filsafat Plato tetap dipertahankan dan tidak diganti dengan jiwa atau psikis, agar menegaskan perbedaan entitas dan maknanya dengan psikis yang akan dibahas berikutnya.
5. Saat mempelajari khazanah Yunani Kuno, orang seringkali terpancing untuk bertanya apakah bangsa Yunani itu menganut politeisme atau monoteisme. G.M.A. Grube mencatat bahwa kata theos dalam bahasa Yunani tidak memiliki makna yang sama dengan kata Tuhan sebagaimana dipahami hari ini. Wilamowitz, seorang peneliti dari Jerman, mencatat mengenai asosiasi dari suatu kata Yunani yang kita dapati dalam pikiran ketika kita berbicara tentang theos-nya Plato, terutama yang memiliki sebuah daya predikatif. Orang Yunani tidaklah seperti para penganut agama hari ini yang pertama-tama menegaskan keberadaan Tuhan, untuk kemudian menyebutkan satu persatu atributnya seperti “Tuhan itu Maha Pemurah”, “Tuhan adalah Cinta” dan lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila orang Yunani terkesan atau terpesona oleh sesuatu dalam kehidupan atau alam yang luar biasa, entah itu menyenangkan atau menakutkan, maka mereka akan mengatakan “ini adalah theos” atau “itu adalah theos”. Apabila para penganut agama monoteis hari ini mengatakan “Tuhan adalah cinta”, maka orang Yunani mengatakan “Cinta adalah theos”. Hal ini ditegaskan pula oleh Grube bahwasanya “dengan mengatakan bahwa cinta, atau kejayaan, adalah theos, atau untuk lebih akuratnya, suatu tuhan, pertama-tama dan terdepan sekali dimaksudkan, bahwa hal itu lebih dari pada manusia, bukan subjek atas kematian, keabadian…Setiap kekuasaan, setiap kekuatan yang kita lihat bekerja di dunia, yang tidak terlahir bersama dengan kita dan akan tetap berlangsung setelah kita pergi, oleh karena itu dapat disebut sebagai theos, dan kebanyakan di antara mereka memang demikian.” (Grube, G.M.A., Plato’s Thought, 1935, Methuen & Co. Ltd: London, hlm. 150). Bahkan dalam puisi Euripides dikatakan bahwa “Penghargaan di antara teman-teman adalah theos”. Para filsuf Milesian menyebutkan bahwa theos adalah sebuah substrata dari dunia fisik yang mereka cari. Bahkan Thales pun mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi oleh theos. Oleh karena itu, hal ini harus diperhatikan dengan cermat saat menyimpulkan ihwal monoteisme atau politeisme pada bangsa Yunani. Di samping itu, Socrates pun sering menyebut Tuhan dalam konotasi monoteis.
6. D. Lee dalam terjemahan The Republic yang diterbitkan oleh Penguins Books tahun 1987 membuat diagram sebagai berikut:
7. Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, 1995, Gramedia: Jakarta, cet. 3, hlm. 286.
8. Saat ini sémeion dipakai sebagai nama salah satu cabang keilmuan dalam filsafat dan bahasa, yaitu semiotika.
9. Socrates menunjukkan bahwa misi hidupnya untuk masyarakat Athena seperti rasul dari kaumnya. Dalam melaksanakan misi hidupnya, sikap Socrates sangat bersesuaian dengan paparan QS Yâsîn [36]: 21: “Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun (orang yang mendapat petunjuk).
10. W.K.C.Guthrie, The Greek Philosophers: From Thales to Aristotle, 1972, Methuen: London, hlm. 6.
11. Gilles Deleuze & Felix Guattari, What is Philosophy?, 1994, Columbia University Press: New York.
1. Filsafat dan Konsepsi Manusia Pada Awalnya(1)
Dalam filsafat Yunani, pengenalan diri menempati posisi sentral.(2) Salah satunya terlihat dalam pengajaran Socrates. Selain sebagai guru, Socrates adalah tokoh utama dalam berbagai karya Plato. Melalui ajarannya, Socrates menelanjangi ketidaktahuan warga Athena ihwal diri mereka sendiri. Namun, seruannya itu juga memunculkan kebencian yang mengantarkan Socrates pada hukuman mati. Pengadilan Athena menjatuhkan dua tuduhan utama, yaitu, kekafiran dan merusak akhlak para pemuda Athena, maka Socrates pun dibunuh oleh demokrasi.
Berbagai lontaran pertanyaannya menggelisahkan warga Athena karena mengguncang asumsi kemapanan tujuan hidup serta kenaifan pengetahuan mereka. Socrates menyatakan dirinya mengemban misi besar, yaitu membantu menemukan pengetahuan diri yang terpendam. Dia mengumpamakan karakteristik ilmunya seperti ilmu bidan, yaitu, membantu kelahiran pengetahuan sejati yang diperoleh melalui pengenalan diri sendiri, dan dia berperan sebagai bidan pengetahuan (maleutikos).
1. 1. Philosophia
Di atas pintu masuk kuil di Delphi Yunani terpampang tulisan “Gnothi Se Authon”, artinya “Kenali Dirimu Sendiri”. Konon itu merupakan perkataan Apollo, yang dikemukakan pula oleh Thales, dan menjadi basis ajaran Socrates. Dalam Protagoras, Plato menyatakan bahwa kata-kata ringkas semacam itu merupakan bentuk khas filsafat. Philosophia(3) (filsafat) dalam Phaedo dirumuskan sebagai pembelajaran pengisi hidup yang membantu manusia percaya diri saat akan mati, dan menyimpan berbagai harapan baik untuk mendapatkan karunia paling mulia setelah kematian. Philosophia semata-mata untuk melatih manusia mati setiap waktu. Kematian yang dimaksud adalah pemisahan psyché(4) (jiwa) dari soma (tubuh). Filsuf tidaklah menghasrati kesenangan badani, bahkan memandangnya rendah, karena pemikirannya tidaklah pada soma, tapi pada psyché, dan sebisa mungkin membebaskan psyché dari hubungan dengan soma. Karena tidak menikmati dan tidak ambil bagian dalam kesenangan semacam itu, mereka tak ubahnya mendekati kematian.
Tidak seperti mereka yang rela mati agar bisa bersama kembali dengan yang dicintainya, filsuf itu benar-benar mencintai kebijaksanaan dan berteguh pada harapan mendapatkan kebijaksanaan dalam kematian serta bersuka cita menyambutnya. Jika seseorang malah senewen menghadapi kematian, jelas dia bukan filsuf sejati, melainkan philosoma—bukan pecinta kebijaksanaan, tapi pecinta tubuh. Tak mengherankan jika orang semacam itu adalah pecinta uang dan atau pecinta kemasyhuran. Dua hasrat materi dan imateri tersebut bisa dilampaui dengan kesederhanaan, yaitu, tidak terhasut oleh hasrat. Dengan kesederhanaan, filsuf bisa mengendalikan hasrat secara mudah dan mulia, sebab kesederhanaan hanya menjadi milik mereka yang sedikit sekali tergantung pada soma dan hidup dalam alam philosophia.
Untuk mencapai kebijaksanaan, soma tidaklah diutamakan, karena setiap kali psychéberusaha menguji sesuatu disertai soma, psyché selalu terpedaya olehnya. Ketika psychébenar-benar terpisah dari soma, dan sejauh mungkin tidak ada hubungan dengannya, barulah psyché bisa mencapai kesejatian. Dengan philosophia, akan didapati psyché itu terpenjara dan terpateri dalam soma, berkubang dalam kedunguan dikarenakan hasrat. Lama kelamaan psyché malah menjadi pembantu utama dalam pemenjaraan dirinya. Ajaran philosophia secara lembut dan halus menyemangati serta berupaya membebaskanpsyché sembari memperlihatkan bahwa indera itu menipu. Ajaran philosophia membujukpsyché untuk berlepas dari penggunaan berbagai indera kecuali seperlunya saja, mendesaknya untuk berdiri sendiri, terpisah, tak mempercayai apa pun kecuali dirinya sendiri, serta memahami realitas diri. Apa pun yang mempengaruhi psyché dalam mempelajari kebijaksanaan harus disingkirkan.
Psyché filsuf sejati tak akan menolak pemisahan dari soma beserta hasrat, kesenangan, kesedihan, rasa takut, karena kesemuanya itu akan membuatnya menanggung derita tekanan ganda. Pada saat psyché merasakan kesenangan atau kesedihan, saat itu juga dia terdorong untuk meyakini bahwa yang dirasakannya nyata dan benar, padahal tidak. Tiap kesenangan atau kesedihan memiliki alat yang dipakai untuk memaku psyché padasoma, melekatkannya serta membuatnya memiliki sifat-sifat badani. Akibatnya, psychémembenarkan apa pun yang dikatakan benar oleh soma, berpendapat sama, menyukai berbagai hal yang juga disukai oleh soma, bertindak sesuai soma, memakan makanan yang sama. Psyché pun terkotori oleh soma dan tak bisa kembali ke Hades dalam keadaan suci.
Selama masih menempeli soma dalam mencari kesejatian, selama psyché masih dikotori hasrat, tak akan pernah tercapai kebijaksaan. Soma bisa mendatangkan beribu-ribu gangguan berupa perasaan susah dan senang serta membuat manusia benar-benar tak bisa berpikir, sehingga tak sempat mempelajari philosophia.
Padahal untuk mengetahui yang sejati hanya bisa diraih dengan kematian non-biologis, yaitu, psyché yang terlepas dari soma. Apabila tidak, maka kebijaksanaan hanya akan diperoleh setelah manusia mengalami kematian biologis, karena hanya pada saat itulahpsyché bisa terpisah sama sekali dari soma. Kebenaran hanya bisa dipegang oleh mereka yang suci, dan kesucian sempurna hanya bisa diraih dengan kematian. Itulah kemurnian. Karenanya, membebaskan psyché dari soma merupakan usaha utama yang dilakukan oleh mereka yang mencintai kebijaksanaan, dan hanya oleh mereka saja. Perhatian serta latihan yang dilakukan oleh para filsuf tak lain untuk memisahkan psyché dari soma.
Bentuk kebijakan dikemukakan Plato dalam Politeia (atau Republic) melalui alegori gua (akan dibahas dalam bagian berikutnya). Dalam alegori tersebut, psyché telah mencapai ketinggian serta senantiasa merasakan dorongan ke atas dan kerinduan akan tempat persinggahan di atas sana karena telah melihat realitas sesungguhnya, juga terbebas dari belenggu soma dan dunia. Dalam Phaedo dinyatakan bahwa ketika psyché dimasukkan ke dalam soma, psyché belajar menggunakan fakultas indera soma dan diarahkan olehnya ke sesuatu yang selalu berubah. Akibatnya psyché menjadi tersesat dan kacau, seperti orang mabuk. Karenanya, psyché harus mempelajari segala sesuatu sendiri agar menuju sesuatu yang murni dan abadi, tidak mati serta tidak berubah, dan menetap bersama semua kebaikan tersebut. Dengan begitu, pada akhirnya psyché bisa beristirahat dari kembaranya, berada di antara semua kebijaksanaan yang tidak berubah.
Psyché dan soma merupakan dua entitas berbeda, tidak menyatu sebagaimana, misalnya, dipahami oleh fenomenologi Maurice Merleau-Ponty. Ketika seseorang mati, maka soma-nya—yang berada di dunia yang tampak serta bisa diceraiberaikan dan hilang—tidak akan langsung tercerai atau hilang. Butuh waktu lama untuk menguraikannya hingga tulang belulang. Sementara psyché—bagian tak tampak dalam diri—akan pergi ke tempat lain yang terhormat, murni dan tak tampak, yaitu Hades, persemayaman theos(5) yang baik, bijaksana dan tenang. Dengan terlepas dari soma, maka psyché termurnikan, menjauhi keinginan badani. Seperti itu pulalah psyché yang sedang melatih diri dengan philosophia, yang cinta kebijaksanaan sejati, serta selalu berlatih mati dalam kehidupan.
Kematian itu ada dua bentuk, yaitu, secara biologis dan non-biologis (lepasnya pengaruhsoma terhadap psyché). Kuburan pun ada yang berupa tanah pemakaman untuk menguburkan soma yang telah mati dan kuburan bagi psyché di dunia, yaitu soma, yang telah ‘membunuhnya’ melalui berbagai hasrat duniawi. Ditegaskan pula bahwa psychételah ada jauh sebelum soma, dan akan terus ada walaupun soma telah mati dan hancur. Segala sesuatu terjadi dari kebalikannya. Bahwa bangun itu mulainya tidur dan tidur itu mulainya bangun dan akibat yang ditimbulkannya adalah tertidur dan terbangun. Begitu juga kematian dan kehidupan, bahwa kematian lahir dari kehidupan, dan kehidupan melahirkan kematian. Ajaran tentang philosophia ini menggemakan ajaran Phytagoras tentang penyucian psyché dan tubuh sebagai kuburan bagi psyché (soma sema).
Setelah psyché dimasukkan ke dalam soma, semestinya terjadi proses anamnesis, yaitu pengetahuan yang diperoleh dari pengingatan kembali bentuk-bentuk sempurna yang secara batini dimiliki psyché sebagai pengetahuan a priori, atau telah dialami dalam eksistensi sebelum penubuhannya. Psyché sudah ada jauh sebelum mengisi soma, dan telah memiliki kebijaksanaan terpendam di dalamnya. Tapi, dalam proses penubuhan itu, manusia menjadi lupa akan pengetahuan primordial tersebut, kehilangan karena kealpaannya. Penyebab utamanya adalah ketertarikan mencari pengetahuan dengan hanya bersandar pada indera serta tarikan berbagai hasrat soma.
Dalam Phaedrus dikemukakan bahwa apabila psyché itu sempurna dan bersayap lengkap, ia terbang membumbung tinggi ke angkasa, dan menata semesta dunia. Apabila tak sempurna, ia kehilangan sayapnya dan terkulai jatuh dalam pelayangannya ke tanah nan padat. Di sana, psyché menemukan sebuah rumah, mendapatkan kerangka kebumian yang tampak bergerak sendiri, namun sesungguhnya benar-benar digerakkan atas kuasanya sendiri. Persusunan antara psyché dan soma inilah yang disebut makhluk insaniah yang hidup. Mengapa psyché kehilangan sayap-sayapnya?
Sayap merupakan unsur jasadiah paling dekat dengan perkara ilahiah, dan secara alamiah berkecenderungan untuk senantiasa membumbung tinggi ke angkasa, mengangkat apa-apa yang berkecenderungan jatuh ke arah bawah agar terangkat ke wilayah tinggi di atas, tempat tinggal makhluk malakut. Perkara ilahiah adalah keindahan, kebijaksanaan, kebajikan, dan yang serupanya. Dengan semua itulah sayap psyché dirawat dan tumbuh dengan amat cepatnya. Namun saat diberi makan atas kejahatan, kesalahan serta lawan kebaikan, ia menjadi jatuh terkulai dan musnah.
Terakhir, setelah uraian kaitan philosophia dengan psyché dan soma, dibedakan pula dua tingkatan pengetahuan: pertama, pengetahuan yang secara abadi sempurna, tak dapat berubah, tak kasat mata (archetype, esensi); dan kedua, pengetahuan tentang objek-objek yang dapat dilihat, terukur (terinderai). Tujuan philosophia adalah untuk memperoleh pemahaman tentang dunia bentuk yang nyata, dan hal ini dicapai melalui rasional murni. Seperti dikemukakan di atas, pemikiran filsuf itu ada di psyché, yang mengisyaratkan bahwa akal pun ada dua, yaitu akal psyché dan akal soma (otak). Akal psyché itulah yang dirujuk sebagai rasionalitas. Pengetahuan sejati yang dicerap akal psyché disebut sebagaiepistemé.
Episteme—atau gnosis—adalah pengetahuan murni, dan lengkap, pemahaman objektif dari kebenaran ultima yang berkaitan dengan permasalahan wujud murni. Episteme ini terbagi menjadi dua, pertama, noesis, yaitu, inteligensia, kemampuan untuk memahami dialektika. Kedua, dianoia, yaitu, nalar, terutama yang sering dikaitkan dengan geometri. Sedang diseberangnya adalah pengetahuan awam, yang terkait dengan pemahaman atas dunia inderawi melalui persepsi, pengalaman, observasi partikular, dan disebut sebagaidoxa. Doxa berarti opini atau waham yang berdasarkan deduksi pemahaman awam, dan karenanya tidak dapat diandalkan. Episteme dan unsur-unsur pokoknya mengatur wilayah akal (to noeton), sedangkan doxa merujuk kepada wilayah yang dapat dilihat oleh indera (to horaton).(6)
1. 2. Konsepsi Manusia
Sebelumnya telah dibahas tentang philosophia yang terus menerus dikaitkan dengan kematian, yaitu lepasnya psyché dari soma. Konsepsi psyché yang diutarakan Plato tidaklah sama dengan pengertian yang berlaku dalam disiplin psikologi saat ini. Bahkan entitas yang membentuk kesatuan diri manusia bukan hanya soma dan psyché. Pemaparan konsepsi manusia beserta kondisi keterpenjaraannya dipaparkan secara detail melalui alegori gua dalam Politeia.
Alegori ini menggambarkan sekumpulan orang yang berdiam di dalam gua bawah tanah dengan jalan masuk yang panjang terbuka membentangi cahaya pada seluruh lebarnya. Mereka mendapati kaki dan lehernya terbelenggu semenjak masa kecil, selalu di tempat yang sama, hanya bisa memandang ke depan karena terhalang oleh belenggu untuk membalikkan kepalanya. Di belakang mereka ada seberkas cahaya dari api yang membakar membumbung. Antara api dengan para tawanan tadi dan di atasnya ada jalan yang di sepanjangnya berdiri dinding rendah, sebagaimana para penonton pertunjukan wayang memiliki hijab pembatas di antara para pemain dengan diri mereka sendiri yang diatasnya dipertunjukkan wayang. Kemudian, ada orang-orang yang mengangkut sesuatu melewati dinding tadi sehingga memaujudkan segala bentuk pada dinding beserta berbagai bayangan citra manusia, juga bentuk-bentuk hewan, yang tertempa pada batu dan kayu dan bahan-bahan lainnya. Beberapa dari para pengangkut ini berbicara, sementara yang lainnya membisu.
Sepanjang hidupnya, para tawanan tersebut tak pernah melihat apa pun pada diri mereka sendiri atau satu sama lain selain berbagai bayangan yang terpancar dari api ke dinding gua yang ada di hadapannya. Sekalipun mereka bisa berbicara satu sama lain, mereka mengira bahwa dengan menamai berbagai bayangan tersebut mereka menamai benda-benda yang sebenarnya. Jika pun mereka mendapatkan gema dari dinding di hadapannya, mereka mengira bahwa bayangan itulah yang mengeluarkan suara, bukan orang-orang yang berlalu lalang di belakang mereka. Bagi mereka, berbagai bayangan itu adalah realitas sebenarnya.
Namun, salah seorang dari mereka terbebaskan dari belenggu, dipaksa berdiri dengan tiba-tiba, memalingkan kepalanya berkeliling, berjalan, mengangkat matanya ke arah cahaya, serta merasakan kesakitan karena silau dan gemerlapnya cahaya, tak kuasa membedakan benda dengan bayang-bayangnya. Sadarlah dia bahwa semua bayangan itu hanyalah tipuan dan ilusi. Silau yang menyakitkan itu membuatnya ingin berpaling lagi ke bayangan di dinding gua. Namun, dia ditarik paksa menuju ke atas pendakian naik yang kasar dan terjal, dan tidak dilepaskan sebelum keluar menuju cahaya matahari. Dia merasakan kesakitan diseret sedemikian, dan terluka atas perlakuan seperti itu.
Sesampainya di luar gua, matanya terpenuhi pancaran sinar, sehingga tak bisa melihat apa pun. Diperlukan pembiasaan untuk bisa melihat kembali. Pada mulanya paling mudah ia membedakan bayangan-bayangan dan, setelah itu, keserupaan atau pantulan pada permukaan air dari manusia dan benda-benda lainnya, kemudian benda-benda itu sendiri, dan merenungkan berbagai penampakkan di lelangit—lebih mudah dilakukan pada malam hari, memandang pada cahaya bintang gemintang dan rembulan—daripada di siang hari kepada matahari dan cahayanya. Pada akhirnya, ia bisa memandang matahari itu sendiri dan melihat keadaannya sebenarnya, tidak melalui pantulan pada air ataupun khayalan, namun di dalam dan dengan dirinya sendiri serta pada tempatnya sendiri. Ia pun menyimpulkan itulah yang mengakibatkan pergantian musim, rangkaian tahun, penyebab segala sesuatu yang pernah dilihatnya. Dia merasa berbahagia atas berbagai perubahan itu dan mengasihani para tawanan lainnya.
Seandainya dia harus turun ke bawah lagi dan mengambil tempat lamanya, ia akan mendapati kedua matanya dipenuhi kegelapan, sehingga dengan segera ia keluar lagi menuju cahaya matahari. Namun, apabila ia diwajibkan untuk menghadapi para tawanan abadi ini dalam menguji bayangan-bayangan itu, sementara pandangannya masih tetap redup dan sebelum matanya terbiasa dengan kegelapan, maka dia ditertawakan. Bukan hanya itu, para tawanan tersebut ingin membunuh siapa pun yang berupaya membebaskan dan membimbing mereka ke atas.
Alegori ini harus diterapkan sebagai keseluruhan, mentautkan daerah yang terungkap melalui penglihatan hingga tempat berdiam para tawanan, serta cahaya api di dalamnya hingga kuasa matahari. Kenaikan dan perenungan atas segala yang di atas merupakan kenaikan psyché menuju wilayah yang tercahayai akal. Hal paling akhir dilihat dan sukar terlihat adalah Idea tentang apa yang benar sejati. Bahwa mereka yang telah mencapai ketinggian ini tidak bersedia untuk menyibukkan dirinya dengan berbagai urusan manusia, namun psyché mereka senantiasa merasakan dorongan ke atas dan kerinduan akan tempat persinggahan di atas sana.
Ilustrasi Alegori Gua
Alegori tersebut telah mendeskripsikan banyak hal dengan sendirinya. Selain menggambarkan kehidupan manusia di dunia, alegori itu juga melambangkan konsepsi manusia. Bayang-bayang dan belenggu melambangkan realitas fisik yang menipu manusia dan membuatnya menganggap tak ada hal lain yang lebih nyata daripada bayang-bayang tersebut. Sedang para pengangkut di belakang para tawanan yang bayang-bayangnya terpantul di dinding gua merupakan realitas sebenarnya, alam yang lebih nyata dan lebih tinggi derajatnya dari bayang-bayang tersebut. Inilah alam psyché, namun sejalan dengan semakin besarnya keterpikatan manusia pada bayang-bayang malah membuatnya melupakan realitas sebenarnya ini. Kemudian api di mulut gua merupakan “tiruan kecil” matahari. Sedangkan matahari yang menyilaukan adalah Sang Pencipta, sebagai Sumber dari segala sumber Cahaya.
Alegori gua ini serupa dengan penggambaran dalam wayang kulit di tradisi Jawa. Bayangan di layar pementasan wayang kulit melambangkan tubuh. Wayang kulit yang dihias indah berwarna-warni—namun hanya terlihat bayangannya dan, sesekali, warna aslinya—adalah jiwa. Api yang menimbulkan bayangan wayang pada layar adalah ruh. Adapun dalang yang memainkan wayang merupakan simbol dari Tuhan. Ibn ’Arabi juga pernah mengemukakan alegori serupa:
Barang siapa ingin tahu arti sejati, bahwa Tuhanlah yang berkarya di balik layar alam ciptaan, hendaknya ia memandang pertunjukan bayangan (khayal) dan bayangan-bayangan (suwar) yang ditampilkan (sitara) pada layar, lalu memperhatikan siapakah yang berbicara dalam bayangan-bayangan itu menurut hemat anak-anak kecil yang duduk agak jauh dari layar yang dibentangkan antara mereka dan para boneka. Demikian juga bentuk-bentuk dunia ini; kebanyakan orang masih seperti anak-anak. Di sini kita dapat belajar, dari mana asalnya peristiwa-peristiwa yang dibeberkan (di layar). Anak-anak kecil tertawa dan merasa gembira, orang-orang dungu memandang hal-hal itu sebagai banyolan dan senda gurau, tetapi orang-orang bijak berpikir dan mengetahui, bahwa itu semua oleh Tuhan hanya diatur sebagai suatu perumpamaan, agar manusia tahu, bahwa hubungan antara dunia ini dan Tuhannya seperti antara boneka dan dalangnya, lagipula bahwa layar itu merupakan tirai al-kadar (takdir) yang tak dapat disingkirkan oleh siapa pun.(7)
Dalam karya Plato teridentifikasi tiga entitas kedirian manusia (sejati), yaitu, soma, psychédan daimón. Dari paparan tentang philosophia terlihat bahwa soma merupakan aspek fisikal manusia, komposit korporeal (material), yang memiliki hasrat kebertubuhan (carnal) seperti kecintaan terhadap materi, sensualitas, seksualitas. Hasrat material ini bisa merembes dan mempengaruhi psyché menjadi bertabiat dan berhasrat seperti soma. Selain itu, soma itu tidak abadi, ada terkemudian setelah psyché. Dalam alegori gua, somahanyalah bayang-bayang di dinding gua.
Sedang psyché adalah entitas hidup yang bisa mengada secara independen lepas darisoma. Dalam uraian di atas terlihat bahwa psyché merupakan diri manusia sejati, abadi, ada jauh sebelum soma dan akan tetap ada ketika soma mati. Psyché seharusnya menjadi sumber semua yang terbaik dan semua kebaikan. Psyché bukanlah komposit dan inkorporeal (imaterial) namun ia ditanamkan dalam (terkurung oleh atau terikat pada) somadan harus berjuang keras untuk melawan pengaruh dari aktivitas berbagai entitas sekunder dalam diri manusia yang semakin lama semakin membelenggu dirinya.
Dalam Phaedrus dipaparkan sifat psyché melalui alegori sepasang kuda bersayap dan seorang penunggang kereta perang. Kuda yang satu mulia dan dari keturunan mulia, sedangkan yang lainnya hina dan dari keturunan hina, sehingga memayahkan kala mengendalikannya. Seharusnya kereta kuda itu berada dalam sikap setimbang sempurna, sejalan dengan tali kekang, meluncur cepat. Namun, penunggang kereta kepayahan karena kuda yang liar bergerak dengan lembam, membebani turun sang penunggang kereta ke bumi ketika kudanya belum sepenuhnya terlatih. Inilah saat kesengsaraan dan pertempuran paling dahsyat bagi psyché.
Kereta kuda itu seharusnya terbang ke langit di atas segala lelangitan, tempat berbagai perkara sejati yang menjadi pusat perhatian pengetahuan hakiki: tak berwarna, tak berbentuk, esensi yang tak teraba, hanya terlihat oleh akal, pemandu psyché. Kepandaian ilahiah yang dirawat dan ditumbuhkan pada pikiran dan pengetahuan, serta kecerdasan setiap psyché yang bisa menerima makanan yang sesuai baginya, akan bergembira memandang realitas tinggi tersebut. Sekali lagi psyché menatap kebenaran, terlengkapi dan terbahagiakan, hingga perputaran dunia membawanya kembali ke tempat yang sama. Dalam perputaran tersebut psyché melihat keadilan, kesahajaan, dan pengetahuan mutlak, tidak dalam bentuk pembuatan atau hubungan, yang disebut sebagai keberadaan, namun pengetahuan mutlak dalam kehadiran mutlak. Ketika melewati bagian dalam langit, sang penunggang memandang berbagai kehadiran lain dengan cara serupa dan kembali pulang. Disanalah sang penunggang kereta menempatkan kuda-kudanya di istal, memberinya makan ambrosia dan minum nektar.
Alegori tersebut memperlihatkan pembagian psyché menjadi tiga: dua ekor kuda dan seorang penunggang kereta. Kuda di sebelah kanan tegap, bersih, memiliki leher kekar, hidung seperti paruh rajawali, berwarna putih, dan mata gelap. Ia adalah pencinta kehormatan, kesederhanaan, kesahajaan, dan pengikut kemenangan sejati. Ia tidak membutuhkan sentuhan cambuk, cukup dipandu hanya dengan kata dan nasihat. Yang lainnya adalah hewan yang bergerak lamban dan berkelok-kelok, namun tetap disandingkan bersama. Ia memiliki leher pendek dan tembam, bermuka datar, berwarna gelap, mata keabuan dan corak kulit yang merah darah; pasangan kehinaan dan keangkaraan, bertelinga rawing dan tuli, cambuk dan pukulan tak ada manfaatnya. Ketika sang penunggang kereta memandang pandangan cinta, dan mendapatkan seluruhpsyché-nya terhangatkan melalui indera, serta penuh dengan tusukan dan godaan syahwat, kuda yang patuh dan selalu memiliki rasa malu, tertahan dari melompat ke arah yang dicintainya. Namun, kuda lainnya tak menghiraukan pukulan dan ayunan cambuk, menjerumuskan dan berlari, memayahkan kuda sejawatnya dan sang penunggang, yang ia paksa untuk mendekati apa yang dicintainya dan mengingat kesenangan cinta. Awalnya karena jengkel, sang penunggang melawannya dan tidak tergoda untuk melakukan tindakan buruk dan jahat. Namun, akhirnya, karena kuda hitam itu bersikukuh, mereka setuju untuk melakukan apa yang ditawarkannya.
Setelah itu mereka berada pada suatu titik dan memandang kilasan keindahan akan yang dicintai. Ketika sang pengendara kereta melihatnya, ingatannya dibawa menuju keindahan sejati, yang ia pandang dalam kebersamaan dengan kesahajaan, laksana citra yang diletakkan di lapik suci. Ia melihatnya, namun merasa ketakutan dan jatuh ke belakang sehingga ia terpaksa menarik tali kekang dengan sedemikian keras sehingga mengembalikan kedua kuda tersebut. Yang satu bersedia dan tidak menahannya, sementara yang liar sangat tidak bersedia. Ketika mereka mundur sedikit, yang satu dikuasai oleh rasa malu dan takjub, dan seluruh tubuhnya bermandikan keringat. Sementara yang lain, ketika rasa sakit karena tali kekang mereda, mengalami kesulitan untuk mengambil nafas, dipenuhi kemurkaan dan cacian yang ia timpakan pada sang penunggang dan sesama pasangannya, karena dialihkan dari apa yang diinginkannya. Keduanya tetap menolak, sekalipun ia memaksa, sehingga ia menanti lain waktu. Ketika saat yang ditentukan tiba, mereka seperti lupa dan ia menarik mereka lagi, memerangi, meringkik, menyeret mereka ke keinginannya. Sang kuda hitam membungkukkan kepalanya, menegakkan ekornya, mengambil gurdi di giginya dan menariknya tanpa ampun. Sang penunggang kuda lebih marah dari biasanya. Ia mundur ke belakang seperti seorang pemacu menghadapi rintangan, dan dengan putaran yang kejam ia menarik kekang ke luar dari gigi kuda liar hingga memenuhi lidah kasar dan rahangnya dengan darah, memaksa kaki dan pinggangnya ke tanah, menghukumnya dengan kejam. Demikian terjadi berulang kali hingga kuda hitam itu menjadi jinak, rendah hati, dan mengikuti keinginan sang pengendara kuda. Hingga, ketika melihat sang keindahan ia telah siap mati oleh rasa takut. Sejak saat itu, psyché pencinta mengikuti sang kekasih dalam kesahajaan nan suci.
Ketiga bagian psyché dalam alegori tersebut adalah to logistikon (bagian rasional) yang dikaitkan dengan keutamaan kebijakan (phronesis atau sophia), to thymoeides (bagian keberanian) yang memiliki keutamaan kegagahan (andreia) dan to epithymetikon (bagian keinginan) yang mempunyai pengendalian (sophrosyne) sebagai keutamaan khusus. Untuk menjamin keseimbangan di antara ketiga fungsi psyché tersebut diperlukan keadilan (dikaiosyne), yaitu, hanya mengerjakan ergon (amal) yang memang diperuntukkan bagi dirinya, dan tidak pernah mencoba-coba untuk mengerjakan ergon orang lain bagi dirinya. Jika ketiga fakultas ini selaras dengan ide dan pengetahuan tentang yang baik, maka manusia akan memiliki psyché yang damai. Sedang jika fakultas itu terpecah, dia akan berada dalam keadaan kacau dan konflik terus menerus.
Perumpamaan seperti itu ditemukan pula dalam tradisi agama, seperti Arjuna beserta Krisna yang mengendarai kereta kuda di perang Bharatayudha; Dewa Wishnu yang menunggangi Lembu Andini; penunggang, kuda serta anjing pemburu dalam tradisitashawwuf, dan sebagainya. Penggambaran sais kereta dan kudanya sebagai penggambaran posisi psyché terhadap soma juga tersirat dalam Phaedo. Ketika psychédan soma menjadi satu, alam menetapkan bahwa soma adalah budak yang harus diatur, serta psyché menjadi tuan dan pengatur.
Dalam Timaios disebutkan bahwa “fungsi rasional” ditempatkan di dalam kepala, “fungsi keberanian” ditempatkan dalam dada, sedangkan “fungsi keinginan” di tempatkan di bawah sekat rongga dada. Namun, hanya “fungsi rasional“ saja yang bersifat baka, sedangkan bagian lain akan mati bersama soma. Timaios pun membandingkan jagat raya sebagai makrokosmos dan manusia sebagai mikrokosmos.
Selain psyché dan soma, ada satu lagi entitas kedirian manusia yang sering luput dari perhatian, yaitu daimón. Dalam Apologia, daimón atau daimonion—seringkali ditransliterasi sebagai daemon atau demon—merujuk pada petunjuk atau suara batin berupa ruh yang membisik di telinga Socrates. Daimón kadang digunakan secara bergantian dengan theos, makhluk malakut. Namun, secara umum ia dipahami sebagai ketuhanan atau kuasa ilahi yang karakteristiknya berada di antara theos dengan manusia, bukan makhluk insaniah ataupun malakut, utusan antara manusia dan Tuhan. Dalam Symposium, dijelaskan bahwadaimón menerjemahkan antara theos dan manusia, menyampaikan dan menyeberangkan kepada Tuhan permohonan dan pengorbanan manusia, dan kepada manusia berbagai perintah dan jawaban dari Tuhan. Daimón adalah perantara yang terbentang jurang terdalam memisahkan mereka, dan oleh karena itu dalam dirinyalah seluruhnya terjilid bersama, dan melaluinya kekaryaan para nabi dan ulama, pengorbanan, misteri, dan kejaiban mereka, dan seluruhnya, nubuwah dan doa, menemukan jalannya. Kearifan yang memahami inilah yang ruhaniah, sementara kebijaksanaan lainnya, seperti karya seni dan pertukangan, itu hina dan kasar. Socrates menyebutnya daimónion ti, sesuatu “menyerupai” Tuhan yang membimbing misi hidupnya. Daimón adalah sang utusan Tuhan dalam diri.
Dalam Apologia, Socrates menjelaskan alasan mengapa ia berkeliling memberi nasihat secara pribadi dan bersibuk diri dengan kepentingan orang lain. Itu semua disebabkan adanya orakel atau tanda yang datang kepadanya, yaitu daimón. Hal itu dicemooh oleh Meletos dalam surat tuduhannya. Pertanda (semeion)(8) ini—yang menjelma semacam suara—untuk pertama kalinya menghampiri Socrates semasa masih anak-anak. Suara itu selalu memberitakan larangan dan tak pernah bersifat perintah untuk berbuat sesuatu yang hendak dilakukannya. Daimón itulah yang menyebabkan Socrates menghindarkan diri menjadi negarawan. Seandainya Socrates tetap bersikukuh menjadi negarawan, atauergon lain yang dilarang oleh daimón-nya, niscaya telah lama dia binasa, tanpa bisa berbuat baik bagi warga Athena maupun untuk dirinya sendiri. Hal itu mengisyaratkan bahwa Socrates telah menemukan dan menjalankan misi hidupnya atas dasar perintah Tuhan melalui perantaraan daimón-nya.
Dalam Apologia, Socrates menuturkan bahwa Tuhan menitahkannya untuk melaksanakan tugas sebagai seorang filsuf, yaitu melakukan penyelidikan diri sendiri serta terhadap orang lain. Dalam Phaedo juga diungkap bahwa hanya sedikit manusia yang bisa mencapai misi hidup personalnya. “Banyak orang dipanggil, tapi sedikit dipilih”, menurut Socrates, yang sedikit itu tidak lain dari orang-orang yang mencintai kebijaksanaan dengan cara yang benar. Seumur hidupnya Socrates berusaha untuk menjadi salah satu dari yang sedikit itu, serta tidak meninggalkan sesuatu yang tak selesai sepanjang kemampuannya. Kehidupan serta tindakan Socrates itu senantiasa berdasarkan petunjuk Tuhan berupa daimónion sémeion.
Apabila Socrates berbuat sesuatu kekhilafan atau kesesatan, maka daimón selalu menimbulkan tentangan dalam batinnya, sekalipun tentang perkara remeh. Namun,daimónion sémeion itu tiada menunjukkan tanda-tanda menentang ketika Socrates menjalankan misi hidupnya sebagai filsuf, juga ketika memaparkan pembelaan—seperti tertuang dalam Apologia—padahal sering terjadi ia dihentikan oleh daimón dalam menguraikan sesuatu. Karenanya, kematian karena menjalankan misi hidupnya sebagai filsuf itu pun merupakan kebaikan.
Socrates bahkan memaparkan bahwa dirinya adalah karunia Tuhan bagi warga Athena. Kalau mereka membunuhnya, tak akan mudah bagi mereka untuk mendapatkan penggantinya, karena ia ibarat seekor langau kuda yang dianugerahkan Tuhan kepada Athena yang menyerupai kuda besar yang kurang lincah gerak-geriknya, lamban dan berat, dan setiap kali perlu dirangsang untuk menggugahnya. Namun, Socrates mengisyaratkan bahwa bilamana Tuhan memperhatikan keadaan warga Athena, maka Dia akan mengirim lagi seekor langau lain (bisa jadi Plato). Socrates lebih banyak menghabiskan hidupnya untuk kepentingan orang banyak dan menyelamatkan mereka dari kaum Sofis, para filsuf gadungan, dan tidak pernah sekalipun Socrates meminta upah untuk ajaran kebijaksaannya tersebut.(9)
Pernah suatu ketika, Chairephon, sahabat Socrates sejak muda, pergi ke Delphi dan di sana terang-terangan ia bertanya kepada Oracle apakah ada orang yang lebih bijaksana daripada Socrates. Oracle Delphi menjawab tidak ada. Socrates menjelaskan bahwa dia dikatakan sebagai yang paling bijaksana karena mereka yang mendengarkan berbagai pernyataannya selalu mendapat kesan bahwa dia memiliki kebijaksanaan yang tidak dapat ditemukan pada orang lain. Namun, sebenarnya Tuhanlah satu-satunya yang bijaksana, bahwa kebijaksanaan manusiawi itu sedikit atau sama sekali tak ada harganya. Tuhan bukanlah berbicara tentang Socrates, namanya sekadar dipergunakan sebagai kiasan. Maksud-Nya adalah: Hai manusia, yang sebijaksana-bijaksananya di antaramu adalah dia yang—seperti Socrates—tahu bahwa kebijaksanaan itu bukanlah segala-galanya. Maka karena taat kepada Tuhan, Socrates mengembara kian kemari, mencari serta menyelidiki kebijakan setiap orang, baik anak negeri ini maupun yang asing, yang tampaknya bijaksana. Sedemikian sibuknya sampai tak ada kesempatan lagi baginya untuk memikirkan kepentingannya sendiri. Dalam baktinya terhadap Tuhan, Socrates senantiasa hidup serba miskin.
Konsepsi daimón ini memiliki beberapa kesimetrian dengan kisah pewayangan Bima mencari Dewa Ruci. “Kata Ruci” merujuk pada Ruh Suci—dalam bahasa Jawa ditransliterasi menjadi “gusti” (dengan “g” kecil)—atau Ruh al-Quds dalam Islam, atauParakleitos dalam Kristen. Dalam khazanah Stoics dikenal istilah pneuma, yaitu ruh atau entitas sangat halus yang terkandung dalam api abadi (pyr). Segala sesuatu memilikipneuma yang merembes sebagai agen kausalnya. (Di abad 20 nanti, cognitive scienceakan memperlihatkan bahwa setiap unit dalam realitas ini adalah benda hidup, tak ada benda mati, yang kalau dalam bahasa agama: semuanya memiliki ruh.)
Paparan tentang daimón tersebut semakin menegaskan semboyan “Gnothi Se Authon” dalam pemikiran Socrates. Dia memiliki pandangan teleologis bahwa manusia itu bisa diumpamakan seperti benda buatan yang mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Bahwa manusia telah diciptakan untuk suatu tujuan dan fungsi tertentu, dan adalah tugas manusia pula untuk menemukannya dan melaksanakannya dengan tepat. Karenanya, kehidupan yang tidak ditafakuri adalah kehidupan yang tidak layak dijalani.
Manusia, menurut Socrates, mempunyai “diri yang nyata” yang harus ditemukan oleh dirinya sendiri. Kebahagiaan yang nyata terdapat dalam keberhasilan meraih kesempurnaan akan diri yang nyata tersebut. Apabila manusia mengenal siapa dirinya, dia akan akan mengetahui bagaimana sebaiknya berbuat. Moralitas bukanlah sekadar mematuhi hukum, melainkan sesuatu yang spiritual. Moralitas merupakan pengetahuan yang nyata mengenai esensi, seperti “arete” atau “dike”, yang harus dicapai dengan pengenalan akan diri sendiri. Begitu pengetahuan ini diperoleh, maka mata hati bisa melihat semuanya, akan mengetahui apa yang benar, dan tak akan pernah keliru menetapkan tindakannya. Moralitas merupakan jalan bagi penemuan diri sendiri.
Pengenalan diri sendiri merupakan pencarian untuk menemukan esensi yang membuat manusia menjadi dirinya sejati, dan tahu bagaimana seharusnya berperilaku serta bertindak sesuai dengan esensi dirinya. Aristoteles memaparkan eudaimonia yang berarti kesejahteraan atau kebahagiaan spiritual yang vital. Kebahagiaan ini dicapai ketika potensi penuh seorang individu untuk kehidupan yang rasional sepenuhnya benar-benar terealisasi, terekspresikan semua kapasitasnya yang beraneka ragam, sesuai watak inherennya. Bahwa yang baik bagi individu adalah segala yang sesuai menurut fitrah esensialnya. Kebaikan tidak selalu identik dengan keinginan, karena keinginan tidak didasarkan pada watak rasional esensial. Menyelaraskan kedua hal ini merupakan upaya keras untuk realisasi diri agar mencapai esensi menjadi manusia.
Misi hidup yang dibawa tiap individu yang harus dicapai dengan pengenalan diri diistilahkan sebagai aretè (sering diterjemahkan sebagai virtue). Aretè berarti keluhuran, kemanfaatan, keunggulan yang seharusnya dimiliki manusia dalam kehidupannya, atau menjadi baikpada sesuatu. Bila seseorang menjalankan fungsi unik yang dirancang untuknya, dan melakukannya dengan sempurna, maka ia dipandang memiliki aretè. Aretè itu bisa diumpamakan seperti sebuah alat pangkas yang berfungsi untuk memotong dahan-dahan pohon. Ia dirancang untuk tujuan itu dan melakukan tugas itu lebih baik daripada alat lainnya. Begitu pulalah manusia.
Aretè mempertanyakan “Apa yang unik pada manusia? Fungsi apa yang dilakukan seseorang tapi tak dapat dilakukan oleh orang lain dengan cara yang sama baiknya?”Aretè seseorang akan ditemukan pada sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Dengan menemukan aretè berarti manusia akan menemukan ergon masing-masing, dan itulah keunggulan hidupnya di muka bumi ini. Bagi Aristoteles inilah eudaimonia. Konsepsiaretè memiliki kesimterian dengan konsepsi dharma dalam agama Hindu.
Misalnya, hanya segolongan orang saja yang harus ditugaskan untuk melakukan perang, yaitu para hylakes (para penjaga), yang dipilih hanya berdasarkan “bakat” tanpa mempertimbangkan asal-usul keturunan. Ini menunjukkan eksistensi kemisian yang unik. Keunikan misi hidup ini terlihat melalui perumpamaan keahlian negarawan dengan tukang tenun. Tugas seorang negarawan adalah menenun, atau menciptakan keselarasan yang harmonis, di antara semua keahlian lain di dalam negara. Karenanya, sepanjang orang itu menjalankan aretè-nya, tak ada satupun yang dapat dianggap lebih utama dibanding yang lain. Kebaikan yang didapat dari aretè adalah agathon, yang berhubungan dengan apa yang dapat dipenuhi atau diaktualisasikan manusia dari potensi uniknya masing-masing.
Dengan menjalankan aretè, maka manusia terbebas karena diatur dan dicerahkan oleh pengetahuan tentang kebaikan ideal, tidak menjadi pelayan hasrat disertai kebodohan akan diri. Pada titik inilah manusia berada dalam dikaiosyné. Secara prinsip, dikaiosynémerupakan ciri filsuf-raja yang telah mencapai pengetahuan tentang bentuk-bentuk ideal (ingat alegori gua).
Istilah dike—sering diterjemahkan sebagai keadilan atau justice—berasal dari kata sifatdikaios, yang berarti adil (just); juga berakar dari bentuk kata benda dikaiosyne, yang berarti “suatu hal dalam keadaan dikaios”. Bentuk kata kedua inilah yang paling banyak digunakan dalam Politeia. G.M.A. Guthrie mencoba membandingkan penggunaan kata tersebut dalam Odysseus:
Ketika Penelope mengingatkan para sahaya betapa Odysseus merupakan seorang tuan yang baik, ia berkata bahwa Odysseus tidak pernah berbuat atau berkata apa pun yang keji atau terlalu kasar, ataupun dia memiliki kegemaran, ‘sebagaimana halnya dike para penguasa’—yakni perilaku yang akan dipertunjukkan mereka. Ketika Eumaeus menghibur majikannya, ia meminta maaf atas kesederhanaan hidangannya dengan mengatakan: ‘Apa yang aku tawarkan adalah tak seberapa, meski diberikan dengan tulus, karena itu adalahdike hamba sahaya seperti diriku sendiri ini, yang senantiasa berada dalam rasa khawatir.’ Yang dimaksudkan, hal yang normal, yang dapat diharapkan. Menjelaskan suatu penyakit, penulis karya kedokteran Hippocrates berkata, ‘Kematian tidak mengikuti gejala-gejala ini dalam iringan dike’, maksudnya, ‘tidak secara normal mengikuti.’(10)
Pada masa itu, kata dike dipahami sebagai cara bagaimana suatu kelas atau orang-orang tertentu biasanya berperilaku, atau sesuatu yang sifatnya alamiah. Dalam puisi Aeschylus, satu abad sebelum Plato, dike telah dipersonifikasikan sebagai ruh agung dari kebajikan yang duduk di singgasana sebelah Zeus. Dalam Politeia, setelah berdiskusi dan beberapa definisi ditolak, disimpulkan bahwa dikaiosyne merupakan keadaan bagaimana manusia mengikuti dike, mengerjakan misi hidupnya, mengerjakan ergon yang tepat untuk dirinya; tidak mencampuradukkan dengan ergon orang lain. Dengan demikian, kata dikaiosynedikembalikan kepada makna aslinya, yaitu, menempatkan sesuatu pada tempatnya, pada fungsi dan tujuan penciptaan dirinya yang sebenarnya, aretè-nya.
2. Filsafat dan Konsepsi Manusia Pada Saat Ini
Saat memasuki khazanah filsafat Barat yang menggeliat kembali masa Renaisans—setelah dibungkam Gereja di Zaman Kegelapan—lupakan berbagai isu yang pernah diangkat dalam philosophia Yunani. Tak ada lagi pandangan realitas yang hierarkis, Tuhan, spiritualitas, cetak biru primordial manusia, pengendalian hasrat, dan, terutama, kebenaran sejati. Terlebih, pada awal abad 20 filsafat mengalami peralihan ke arah bahasa atau linguistic turn, yang mengklaim bahwa analisis pemikiran dan pengetahuan harus disalurkan melalui analisis bahasa dan, karenanya, bahasa harus menjadi perhatian sentral filsafat. Salah satu kata kunci pokok adalah ‘hermeneutika’ yang membuat pemilahan subjek-objek sulit dipertahankan lagi, dan meragukan klaim objektivitas.
Konsepsi manusia pada zaman ini pun berubah, salah satunya dengan kemunculan disiplin psikologi. Atmosfir sekularisme begitu kuat mengakar sehingga tak ada lagi pemaknaan aspek ilahiah dan primordial dalam diri manusia. Manusia kini hanya dipandang sebagai produk konstruksi budaya belaka. Tak ada lagi pencarian akan diri sejati. Spiritualitas dimaknai sebagai sesuatu yang tak ada kaitannya dengan agama. Berikut akan dibahas tentang filsafat dan konsepsi manusia yang direpresentasikan oleh paparan beberapa filsuf yang—secara umum dan global—bisa dipandang merepresentasikan kecenderungan pemikiran saat ini.
2. 1. Filsafat
Gilles Deleuze dan Pierre-Félix Guattari dalam What is Philosophy? menyajikan rumusannya yang—sedikit banyak—merepresentasikan karakter filsafat saat ini.(11) Hugh Tomlinson dan Graham Burchel, penerjemah edisi Inggris, menyatakan bahwa buku tersebut lebih menyerupai manifesto ‘Para filsuf sedunia, menciptalah!’. Dalam buku tersebut, Deleuze & Guattari merumuskan filsafat sebagai seni membentuk, menemukan dan merajut konsep-konsep dalam cara baru, bahkan mengambil dari berbagai disiplin lain seperti biologi dan sains bumi, sehingga akan menantang cara bagaimana filsafat itu sendiri ditulis dan dirumuskan. Berbagai konsep tersebut memerlukan persona konseptual (conseptual personae, personnages conceptuels) yang memainkan peran dalam pendefinisiannya, yaitu para “sahabat”. Deleuze & Guattari mengambil konsep sahabat tersebut dari khazanah Yunani(12) bahwa para filsuf adalah sahabat kebijaksanaan, yakni—mengulangi Phytagoras—mereka yang mengupayakan kebijaksanaan, namun tidak secara aktual memilikinya.
Para filsuf adalah sahabat konsep karena adanya potensialitas konsep— sebagai seseorang yang secara potensial memiliki kekuatan dan kemumpunian konsep—guna menciptakan konsep yang selalu baru. Potensialitas itu merupakan semacam kondisi bagi pelatihan pemikiran. Tak ubahnya tukang kayu saat berhadapan dengan kayu yang berpotensi menciptakan bentuk baru darinya. Deleuze & Guattari sangat menekankan fungsi kreativitas—menggemakan pengaruh Bergson—dalam penciptaan konsep-konsep filosofis tersebut. Rumusan mereka tentang ‘jalur-jalur pelepasan’ (lines of flight) membuka serta membiarkan pemikiran membebaskan diri dari berbagai kekangan yang mencoba membatasi dan mengurung kreativitas. Bahkan nilai seorang filsuf adalah pada kreativitasnya menciptakan konsep sendiri, sebab filsuf harus tidak mempercayai kebanyakan konsep yang tidak diciptakannya sendiri.
Selain itu, filsafat pun hendaknya jangan hanya memanfaatkan pengalaman nyata sebagai sumber ekstraksi atau deduksi konseptual abstrak guna mengkategorisasi fenomena serta menentukan dan mengungkapkan esensi fenomena, atau untuk menyusun dan memperingkatkannya berdasarkan konsep. Konsep-konsep filsafat harus menjadi alat untuk melampaui apa yang dialami, sehingga berbagai kemungkinan baru menjadi bisa terpikirkan. Ketimbang sekadar ‘berjarak’ dari pengalaman, konsep filsafat harus aktif dan kreatif, bukan sekadar representatif, deskriptif atau menyederhanakan. Dengan demikian, filsafat berperan membantu mengapresiasi atau berkontribusi terhadap kekayaan pengalaman hidup.
Kata kunci dari pemikiran Deleuze, yaitu diferensi, menjadi salah satu landasan kolaborasi kedua pemikir ini dalam merumuskan filsafat. Bagi Deleuze, filsafat adalah ontologi, karena ide, imajinasi, hasrat, dan sebagainya, ‘ada’ dengan cara yang sama dengan pengada material. ‘Ada’ itu berpartisipasi langsung terhadap seluruh realitas tanpa perantara maupun representasi, dan bersifat kreatif karena menciptakan dan membedakan diri terus menerus. Pada tingkat paling tinggi atau mutlak, kreativitas terdapat di pikiran yang selalu mencipta ulang dirinya melalui medium yang diciptakannya sendiri, yaitu konsep-konsep. Dengan kata lain, pikiran menciptakan peta sekaligus teritorinya sendiri. Konsep memposisikan diri sekaligus mendudukkan objeknya, sedang realitas menyerupai tanah liat yang bisa dibentuk oleh konsep. Dengan demikian, filsafat adalah menciptakan realitas melalui pikiran.
Konsekuensi dari rumusan bahwa pikiran itu kreatif dan ‘ada’ itu univokal adalah tidak adanya lagi pemilahan antara subjek dan objek, bahasa dan dunia rujukannya, hasrat dan objeknya, makna metaforik dan makna literal, fenomena dan noumena, serta tak ada pula pemilahan antara yang real, simbolik dan imajiner (lihat pembahasan Konsepsi Manusia di bagian berikutnya). Dengan kata lain, yang nyata adalah realitas yang langsung, tak terpilah dan tak termediasi. Deleuze memperlihatkan bahwa pemilahan itu artifisial, karena manusia mengalaminya secara total dan langsung. Kelangsungan pengalaman ini terlihat nyata pada orang gila (schizophrenic) dan tidak terjadi pada manusia normal yang sudah terbiasa memilah-milah. Konsekuensi lainnya adalah terhadap bahasa, yaitu, bukan lagi makna yang dipentingkan (what it means) melainkan apa yang dilakukan (what it does), terutama efek produktifnya yang selalu memungkinkan manusia melampaui pengalaman.
Deleuze memandang bahwa hidup adalah gerak pembedaan berkesinambungan yang berarti proses alienasi tanpa henti. Gerak ini melahirkan paradoks, yaitu produk kreativitas berupa sistem-sistem yang pada gilirannya nanti malah memenjarakan kreativitas, seperti agama. Sialnya, manusia harus mencipta berdasarkan sistem yang ada, tidak bisacreatio ex nihilo. Apabila kreativitas tertinggi itu di pikiran yang kemudian menghasilkan filsafat, maka filsafat adalah proses pembebasan dari keterikatan sintaksis (maknawi) untuk mencapai wilayah yang tidak bisa dipersepsi (imperceptible), tidak bisa dikenali (indiscernibility), dan di luar jangkauan manusiawi (impersonality).(13)
Deleuze & Guattari menegaskan bahwa pertanyaan dalam filsafat seringkali merupakan pertanyaan yang sudah pernah atau selalu dipertanyakan lagi, karena filsafat pun senantiasa dalam proses ‘menjadi’ (becoming). Dalam menjawab berbagai pertanyaan, sejarah filsafat sering memperlihatkan dirinya sebagai sejarah ‘pertengkaran’ yang lama kelamaan membentuk lapisan demi lapis ke atas yang mereka sebut geofilsafat. Hal ini diperkuat oleh sifat filsafat Barat, yaitu,self-cancelling atau gemar membatalkan berbagai pernyataan terdahulu yang pernah dibuatnya sendiri, serta membuat hidup menjadi nomadik, tak pernah mantap stabil, bergerak mencari terus.(14) Deleuze & Guattari menyatakan bahwa para filsuf harus terlibat dalam berbagai jalur pelepasan baru dan hubungan baru antara ide, argumen dan ranah spesialisasi tertentu, sehingga filsafat akan mendapatkan kekuatan positif untuk mentransformasi cara berpikir, menghasilkan konsep baru dan menciptakan hubungan yang produktif.(15)
Dalam Anti-Oedipus: Capitalism And Schizophrenia,(16) Deleuze & Guattari melengserkan pandangan negatif terhadap hasrat yang telah bercokol sekian abad dalam filsafat Barat. Ronald Bogue menyamakan Anti-Oedipus sebagai tandingan modern atas Anti-Christ karya Friedrich Nietzsche, karena Deleuze & Guattari menyerang frontal konsep Oedipus complex psikoanalisis dan segenap teori psikologi yang mengunggulkan hubungan keluarga dan keutuhan diri. Mereka mengajukan bahwa hasrat lebih bersifat sosial ketimbang keluarga (familial), dan pemandu terbaik bagi hasrat sosial adalah id skizofrenik ketimbang ego neurotik, dan mengajukan skizoanalisis untuk menggantikan psikonanalisis.
Berabad-abad filsafat mengenyahkan dan memandang rendah hasrat semenjak Plato, sementara rasio diposisikan sebagai pemandu hidup manusia dan pembentuk identitas yang ajeg. Pembalikan sejarah filsafat yang mengarah ke hasrat, pertama kali digaungkan oleh Nietzsche melalui konsep kehendak untuk berkuasa yang diambil alih oleh Deleuze & Guattari untuk membeberkan bahwa tatanan sosial dalam segenap perjalanan hidup manusia berfungsi merepresi hasrat untuk dibentuk sesuai tuntutannya. Selain itu, mereka juga melihat bahwa Plato menguraikan hasrat sebagai kekosongan dalam subjek yang kemudian diisi oleh akuisisi dari suatu objek, dan kebanyakan pemikir di Barat serta psikoanalisis mengikutinya dalam memperlakukan hasrat sebagai kekurangan (lack). Jacques Lacan mendefinisikan hasrat sebagai kekurangan yang tak terpenuhi—kecuali melalui mimpi—yang muncul di antara kebutuhan dan permintaan, yang berkembangbiak dalam bahasa melalui substitusi tiada akhir dalam rantai penanda, dan disimbolikkan dalam phallus. Dengan kata lain, itulah kekurangan yang maujud (manque-à-être). Hasrat bukanlah dorongan alamiah yang ditindas oleh sosial, karena represi tersebut telah mendahului semua bentuk opresi sosial.
Bagi Deleuze & Guattari, hasrat bisa saja mengafirmasi dirinya sendiri atau memilih kuasa sebagai pusat serta kemapanan suatu tatanan sebagai tujuannya. Mereka mengembangkan definisi hasrat sebagai sesuatu yang positif dan produktif yang mendukung konsepsi hidup sebagai aliran material, serta menggugat konsepsi hasrat sebagai ‘kekurangan’ internal yang tak pernah bisa terpuaskan, sebagai proses yang bertujuan terputusnya kesenangan, atau sebagai sesuatu yang ‘diregulasi’ oleh hukum kekurangan atau norma kesenangan. Hasrat tidaklah diatur secara eksternal oleh berbagai larangan yang membuatnya memiliki hubungan konstitutif dengan ‘kekurangan’, melainkan sebagai proses eksperimentasi pada bidang imanensi. Dengan kata lain, hasrat merupakan konstruksi suatu bidang imanensi yang di dalamnya hasrat berkesinambungan dan apa pun diperbolehkan. Hasrat produktif tersebut merupakan bentuk lain ‘kehendak untuk berkuasa’ Nietzsche.
Hasrat adalah produksi, atau produksi hasrat (desiring-production), bukan akuisisi atau kekurangan. Hasrat itu koekstensif dengan aktivitas sosial dan natural, sebuah energi yang bebas terapung, tidak terikat dengan sesuatu yang Freud sebut libido dan yang Nietzsche sebut kehendak untuk berkuasa. Hasrat pada dasarnya bersifat tak sadar, dan karenanya tidak terhubung dengan negasi (tak ada istilah ‘tidak’ dalam ketaksadaran), tidak peduli terhadap identitas personal atau citra tubuh (sebagai hal yang sentral dalam tahapan imajiner Lacan) serta interpretasi atau ekspresi linguistik yang mandiri (inti dari tahapan simbolik Lacan). Hasrat membagi banyak karakteristik dari singularitas anonim dan nomadik yang melintasi manusia, hewan dan tumbuhan tak bergantung pada materi individuasi dan bentuk kepribadian mereka.
Deleuze & Guattari mengkritik psikoanalisis yang merumuskan tentang bagaimana anak memiliki ego sebagai posisi subjek untuk mengalami dunia, dan ini dibentuk oleh relasi anak dengan orang tua berjenis kelamin sama yang bersaing terhadap orang tua berjenis kelamin beda (pertempuran Oedipal). Di sini, rasa bersalah awal muncul dari hasratincestuous dan dorongan patricidal atau matricidal. Berbagai tabu Oedipal menciptakan manusia neurotik dengan menginternalkan rasa bersalah guna merepresi hasratnya, seperti pendeta atau mistikus yang mengalihkan kekuatan aktif hasrat produktif untuk melawan dirinya sendiri dan menciptakan patologi perasaan bersalah. Oedipalisme psikoanalisis selalu menafsirkan semua fenomena ketaksadaran dengan mengembalikannya kepada segitiga primal keluarga suci, yaitu, ‘ibu-ayah-aku’ (mommy-daddy-me), padahal ketaksadaran itu dihasilkan secara sosial dari pengalaman publik kolektif, karena fantasi tidak pernah bersifat individual melainkan kelompok. Karenanya, ketaksadaran sama sekali tak menyadari pribadi semacam itu sebab yang diketahuinya adalah peran sosial dan politik (Sunda, Padang, polisi, radikalis, pemberontak, majikan, dan lain-lain) serta peristiwa-peristiwa historis dan publik (pembantaian etnis, komunisme, reformasi, dan lain-lain). Bahkan semua fenomena ketakwarasan (delirium) mengandung muatan politis, rasial dan kesejarahan dunia.
Dalam pemikiran Deleuze sebelum kolaborasi, satu-satunya realitas adalah hasrat. Dia merumuskan konsepsi tubuh tanpa organ—yang diadaptasi dari Antonin Artaud—sebuah entitas yang diproduksi oleh mesin hasrat dan muncul dalam momen sesaat dari produksi hasrat, suatu medan imanensi hasrat, bidang konsistensi yang sesuai bagi hasrat. Atau dengan kata lain, semacam identitas namun tak pernah menjadi bulat utuh, atau totalitas individual yang selalu berkembang atau berubah-ubah. Tubuh tanpa organ inilah yang sering dirujuk sebagai ketaksadaran Jungian, bukan Freudian, yang bersifat kolektif dan senantiasa membongkar dan mengkombinasikan dirinya dalam proses ‘subjektivasi’ berkelanjutan melalui berbagai relasi dengan kelompok.
Hal ini kemudian sejalan dengan pemikiran Guattari sebelum kolaborasi yang telah mengidentifikasi bahwa analisis individual tidak mungkin lepas dari ikatan psikologi kelompok dan institusi. Subjektivitas kelompok merupakan pendahuluan mutlak untuk kemunculan semua subjektivitas individual. Secara realitas, terdapat subjek yang terikat menjadi kelompok dengan konfigurasi: 1) subjected group atau kelompok yang dipersubjek, yaitu kehomogenan yang dicetak oleh kelompok, individu adalah kawanan dan bukan siapa-siapa; 2) group-subject atau subjek kelompok, keheterogenan yang menjadi subjek, mandiri dan berani menjadi individu (Nietzsche menyebutnya übermensch). Bagi Guattari yang ideal adalah group-subject karena merupakan tindakan revolusioner yang memutus diri dari dominasi struktur dan kode sosial yang mapan.
Permasalahannya, dalam kehidupan, hasrat selalu ditaklukan atau dikodifikasi ke dalam model tertentu (Freud menyebutnya prinsip realitas). Hasrat yang chaos kemudian dikodifikasi dan disalurkan menjadi cosmos sehingga membentuk homogenisasi (subjected group), yang dinamakan proses chaosmosis. Agen chaosmosis saat ini adalah kapitalisme melalui tirani atau despotisme penanda, yaitu berbagai merek dagang yang dihasrati individu. Karenanya, kapitalisme adalah kekuatan deteritorialisasi dan reteritorialisasi yang bersamaan.
Sekalipun mengkritik, namun Guattari masih melihat signifikansi psikonanalisis sebagai strategi untuk membebaskan subjek dari cengkraman dengan cara merangsang subjektivasi transformatif. Guattari melakukan eksperimen di rumah sakit jiwa dengan selalu memindah-mindahkan para pasien ke lingkungan baru dan berbeda agar selalu beradaptasi dari awal tanpa menjadi terfiksasi. Untuk kondisi saat ini, menurutnya, yang perlu dilakukan adalah multisentrisme-fungsional, yaitu, saat individu menjadi sekrup mesin hasrat kapitalisme, maka sistem tersebut dipecah-pecah menjadi banyak pusat melalui cara memperkuat singularitas individu atau kekuatan kritis sehingga setiap individu harus mampu membongkar dan mengenali proses-proses chaosmosis yang dialaminya. Selain itu juga melalui kekuatan kreatif, yaitu memperkuat kemampuan melihat berbagai kemungkinan baru dan merekonfigurasinya sesuai aspirasi diri sendiri. Dengan demikian, individu akhirnya mengubah diri terus menerus, sehingga terjadi individuasi yang nomadik karena senantiasa berkembang dan bertumbuh.
Selain itu, Guattari juga mengganti konsep ‘subjek’ yang problematis—karena sangat mudah terbingungkan dengan ‘kesadaran’—menjadi gagasan mengenai ‘mesin’, yaitu suatu titik tempat aliran dari sesuatu (fisikal, intelektual, emosional, dan seterusnya) baik keluar maupun masuk ke dalam suatu struktur. Misalnya, mulut bayi pada payudara ibunya merupakan mesin mulut yang bertemu dengan mesin payudara; di sini terdapat aliran antara dua mesin.
Dalam kolaborasinya, Deleuze dan Guattari melihat bahwa sampai saat ini hasrat masih dibicarakan secara abstrak dengan semata menyarikan suatu objek yang seharusnya menjadi objek hasrat. Manusia tidak pernah menghasratkan sesuatu, tetapi selalu lebih kepada menghasratkan agregat (ensemble). Dalam menghasratkan suatu objek, pakaian misalnya, hasrat tersebut bukanlah kepada objek pakaian, melainkan kepada keseluruhan konteks atau agregatnya, yaitu berada di butik, di antara orang banyak, dan seterusnya. Tak ada hasrat yang tidak mengalir kepada kumpulan (agencement) karena hasrat selalu mengkonstruksi wilayah.
Karena itu, nyaris tak ada individu yang pernah bisa memenuhi hasratnya karena setiap individu bergerak di antara dua kutub, yaitu, hasrat skizoid yang revolusioner namun bersifat anti sosial dan hasrat paranoid yang bersifat sosial namun dikodifikasi dan menginginkan represinya sendiri. Mereka menawarkan skizofrenia sebagai ‘Homo Natura’ serta model produksi yang mampu mengekspresikan hasrat produktif, yaitu skizofrenia aktif, bukan skizofrenia medis.
Bagi mereka, sejarah merupakan proses deteritorialisasi. Pada mulanya adalah suku primitif (mesin teritorial primitif) yang segala sesuatunya dikodekan. Masyarakat primitif bersifat statis, dan setiap gerak-gerik, tindakan dan bahkan tubuh diatur oleh adat istiadat. Hal ini terjadi baik pada tingkatan produksi ekonomi maupun produksi libidinal. Segala sesuatunya bersifat sosial dan teritorinya benar-benar dibuat garis batas. Pada tingkatan lain, suku primitif tersebut memberikan jalan bagi sang despot (mesin teritorial barbarik) yang mendeteritorialkan suku tersebut, tapi tetap senantiasa mempertahankan tatanan sosial melalui produksi yang dikodekan. Hasrat dipahatkan pada tubuh sang despot, sehingga apa yang dikatakannya harus dikerjakan.
Akhir dari sejarah adalah Kapitalisme (mesin kapitalis yang beradab) yang secara radikal mendekodekan dan menderitorialkan kehidupan sosial. Kapitalisme menciptakan individual pribadi, pemilik dari tubuhnya sendiri beserta pekerjanya. Dalam rangka menyempurnakan deteritorialisasi ini, segala sesuatu yang sifatnya sakral, ritual atau tradisional harus dienyahkan. Kapitalisme merupakan sistem skizofrenik, karena kepentingannya hanya tertuju pada individu beserta keuntungan yang mengharuskannya untuk menumbangkan atau mendeteritorialisasikan semua pengelompokan teritorial seperti gereja, keluarga, kelompok, bahkan tatanan sosial apa pun. Namun pada saat yang bersamaan, karena kapitalisme membutuhkan pengelompokkan sosial agar dapat menjalankan fungsinya, ia pun harus membiarkan reteritorialisasi, yaitu berupa pengelompokan sosial yang baru, bentuk baru dari negara, keluarga atau kelompok. Hal ini terjadi pada saat yang bersamaan. Kapitalisme tidak membutuhkan apa pun dari sistem kepercayaan yang sakral, kapitalisme merupakan yang paling radikal dari semua sistem, karena kapitalisme menjual dengan harga yang lebih rendah apa pun yang merepresi individu otonom. Dan bahkan, menurut Deleuze dan Guattari, realitas kapitalisme adalah represi terbesar atas produksi hasrat dalam sejarah. Kapitalisme seharusnya menggiring kepada sesuatu yang absolut, yaitu kebebasan nomadik, tetapi kenyataannya tidak.
Paparan Deleuze & Guattari di atas memperlihatkan berbagai pembalikan rumusan filsafat hingga nyaris berseberangan sama sekali dengan rumusan philosophia. Namun, pembalikan tersebut tidak eksklusif hanya dilakoni oleh Deleuze & Guattari, karena secara umum abad 20 ditandai dengan peralihan filsafat ke arah bahasa (linguistic turn) yang nantinya akan melahirkan postmodernisme. Apabila logika merupakan sumber sentral modernitas, maka bahasa adalah sumbu sentral postmodernitas. Filsafat bahasa ini gencar melontarkan kritik terhadap filsafat dan sains yang berpretensi seolah mencerminkan realitas objektif beserta prinsip dasarnya, yaitu, dalam memandang realitas luar, manusia harus mengambil jarak, membedakan diri dan terpisah. Melalui cara itu, subjek menjadi rasional dan bebas sehingga dapat membentuk representasi dunia objektif secara tepat berdasarkan kepastian logika rasional-matematis. Rasionalitas yang menekankan peran subjek ini memuncak pada idealisme (esse est percipi, realitas atau esensi itu hanya segala sesuatu sejauh terlihat dan tergantung kepada yang melihatnya) yang cenderung egologis, substansialistik dan esensialistik. Di sisi lain, filsafat yang menekankan pada objek (bahwa realitas ada di luar sana) memuncak dalam positivisme yang cenderung memandang realitas semata dari sudut faktualitas, sistem mekanis, dan materialitas.
Selama sekian abad, filsafat selalu beralih penekanan antara subjek dan objek, namun di abad dua puluh, filsafat mulai mempertanyakan ‘sesuatu’ yang ada di antara subjek dan objek, yaitu bahasa, yang merupakan jembatan di antara keduanya. Gerakan ini diawali oleh analisis linguistik di Inggris, yang digawangi Rudolf Carnap, Bertrand Russel, George Edward Moore, Alfred Jules Ayer, dan memuncak pada Ludwig Wittgenstein. Mereka umumnya mengkritik bahwa banyak permasalahan filsafat itu bukanlah permasalahan sebenarnya, melainkan hanya permasalahan linguistik, terutama metafisika yang dipandang sebagai pseudo-problem atau sekadar masalah makna kalimat. Secara umum, makna kalimat itu terbagi dua: 1) kalimat make sense, bahwa kalimat yang bermakna adalah yang faktual dan empirik; 2) kalimat non sense (omong kosong) dan non sensical (tidak ada datanya), seperti berbagai pernyataan metafisik filosofis mau pun teologis. Para filsuf metafisika dan teolog dianggap mengidap realisme-naif yang berpandangan seolah-olah ada realitas di luar sana yang lepas dari kesadaran manusia, padahal realitas adalah bahasa yang kita coba pahami.
Peralihan ke arah bahasa paling penting di abad ini adalah hermeneutika.(17) Selain memiliki kesamaan atmosfir dengan paparan Deleuze & Guattari sebelumnya, hermeneutika juga menguak berbagai persoalan mendasar pola pikir modern dan memunculkan berbagai kemungkinan baru untuk memahami realitas. Perenungan filosofis tentang penafsiran sebenarnya telah mulai direnungkan sejak Aristoteles dalam Peri Hermeneias, juga oleh Xenophon, Plutarch, Euripides, dan sebagainya. Dalam perjalanan sejarah berikutnya, hermeneutika dipakai di wilayah tafsir kitab suci Kristen, yaitu eksegese, hingga abad ke-17. Pada abad ke-18, hermeneutika merambah keluar dari wilayah kitab suci dan memasuki wilayah filologi, terutama karena terkait dengan kesadaran baru, yaitu, ilmu sejarah. Di sini, hermeneutika digunakan untuk menafsirkan mitos yang merupakan campuran dari sejarah atau legenda dengan pesan moral (sebagai muatan utama mitos). Pada abad ke-19, oleh F.D.E. Schleiermacher, hermeneutika beralih menjadi prinsip dasar penafsiran segala bentuk teks, dan digunakan untuk mencari tahu apa yang dimaui oleh sang pengarang, bahkan hingga tahapan bisa lebih tahu ketimbang sang pengarang melalui pengonstruksian masa lalu. Kemudian, di peralihan abad ke-19 dan 20, oleh Wilhelm Dilthey, hermeneutika beralih menjadi metode khusus ilmu-ilmu sosial atau kemanusiaan (geisteswissenschaften) dengan penekanannya pada pemahaman (verstehen)—berlawanan dengannaturwissenschaften atau ilmu-ilmu alam yang penekanannya adalah penjelasan (erklären). Namun, hermeneutika menjadi kerangka berpikir baru untuk filsafat secara khusus diprakarsai oleh Martin Heidegger dan dilanjutkan oleh muridnya, Hans-Georg Gadamer.
Proses historis tersebut memperlihatkan dua konotasi hermeneutika. Pertama, konotasi metodis, yaitu sebagai pisau bedah yang muncul dari suatu kebutuhan. Hal ini problematis karena tradisi positivistik perguruan tinggi bertentangan dengan cara pikir post-positivistik hermeneutika. Kedua, konotasi filosofis, yaitu sebagai cara berpikir. Konotasi kedua inlah yang berperan sangat penting dalam mengubah tradisi berpikir, terutama oleh Heidegger dan Gadamer.
Hermeneutika sebagai cara berpikir dan memahami realitas memiliki beberapa asumsi dasar yang mengubah cara berpikir filsafat abad ke-20. Asumsi pertama, menurut Heidegger, hidup itu berarti menafsir, sehingga tak satu pun dalam dunia manusia yang tanpa tafsir. Tafsir tingkat pertama adalah bahasa, berupa kosa kata dan penamaan atas segala hal; bentuk konkritnya adalah kamus yang berisi sekian entri penamaan. Realitas itu tanpa bentuk, dan bahasa adalah cetakannya. Bahasa bukanlah lensa bening netral atau pun cermin pikiran, tapi lensa berwarna yang senantiasa telah mewarnai realitas yang dilihat (selain pengaruh konstruksi fisis dan kultural). Ferdinand de Saussure membagi unsur bahasa menjadi dua: pertama, langue atau sistem bahasa yang membentuk dan menciptakan dunia kolektif yang khas;kedua, parole atau praktik penggunaan bahasa, yang membentuk dan menciptakan dunia pribadi.
Asumsi kedua, bahwa setiap pemahaman dan penafsiran (verstehen) akan sesuatu dimungkinkan justru karena adanya prasangka (vorverstandnis), sehingga tak ada pemahaman yang netral dan murni. Ini bertentangan dengan positivisme yang meyakini bahwa observasi bisa objektif, sehingga prasangka harus dihindarkan. Prinsip positivisme adalah what you see is what you get atau seeing is believing, sementara hermeneutik sebaliknya, yaitu, believing is seeing, bahwa apa yang kita percayai akan membuat kita bisa melihat. Manusia memahami sesuatu melalui yang lain, yang berarti selalu bersifat relasional, namun dalam hermeneutika, relasi subjek-objek ala positivisme tidak berlaku, dan digantikan dengan relasi permainan dari Gadamer.
Asumsi ketiga, ‘bermain’ adalah tindakan manusia paling serius, baik ada aturan maupun free play. Bermain adalah interaksi diri dengan sesuatu di luar diri yang sangat intens hingga terjadi keasyikan peleburan atau keterserapan, dan memunculkan subject-matter. Setiap pengalaman dan pencarian makna adalah proses ‘permainan’. Dunia manusia merupakan dunia permainan, dunia seolah-olah, rekaan dan buatan yang terkait dengan berbagai pemaknaan dan, bagi Gadamer, puncak permainan adalah ritual keagamaan yang dipenuhi simbol-simbol dan paling dihayati manusia.
Asumsi keempat, bagi manusia, kebenaran hidup bukan soal fakta (factum brutum), melainkan soal makna, dan ini membuatnya tidak hidup dalam fakta, tapi dalam dunia tafsir yang dibuat-buat. Untuk sekian lama peradaban terlalu bersandar pada sains, hingga menganggap ‘makna’ sekadar perkara ‘subjektif’. Dalam beberapa hal, makna itu sama dengan ‘bernilai’ intelektual kognitif, afektif, imajinatif atau spiritual. Dalam perspektif cognitive science, manusia merupakan makhluk kreatif dan otonom, sedang binatang dan tumbuhan aspek kreatifnya bertahap, sementara benda itu reaktif dan dependen. Dengan kreativitas dan keotonomannya, dunia manusia sudah senantiasa merupakan dunia rekaan dan tafsir bahasa. Begitu juga konsep tentang ‘Tuhan’ dalam Kitab Suci, sejauh merupakan rumusan dalam bahasa manusia.
Pengalaman yang dimiliki manusia adalah fakta, namun apa sebenarnya pengalaman itu merupakan wilayah makna yang bersifat fiksi. Kebenaran tentang hidup, alam semesta, atau Tuhan bukanlah sesuatu yang definitif-objektif, melainkan merupakan perluasan wawasan atas kompleksitas realitas (insight). Dari sudut eksternal yang terjadi adalah penyingkapan faset-faset realitas yang sebelumnya tersembunyi. Dalam perluasan wawasan tersebut senantiasa terkandung tegangan antara yang ada dalam rumusan dengan yang nyata dalam pengalaman; antara yang sungguh transenden dengan yang tampil secara imanen; antara perkara yang sangat mistis-teoretis dengan realitas praksis. Kebenaran merupakan sesuatu yang mengembang terus dalam dinamika interaksi/relasi horisontal dan vertikal, yang kerap penuh kontradiksi dan paradoks. Karenanya, sejauh suatu perkara masih terinderai, here and now, masih dimungkinkan adanya kesepakatan, namun apabila telah masuk ke berbagai wilayah yang tak terinderai (intangible) maka porsi terbesar diberikan kepada makna dan tafsir.
Dengan asumsi dasar tersebut, hermeneutika menjadikan abad ke-20 hingga kini sebagai abad fiksi, yaitu abad kesadaran yang menyadari ‘kesadarannya’ sendiri, seperti kebohongan yang baru disadari. Obsesi akan objektivitas dalam peradaban yang terobsesi dengan sains selama sekian abad mengisyaratkan keterperangkapan manusia dalam khayalannya sendiri atau solipsisme. Hermeneutika mengingatkan bahwa realitas yang ditangkap oleh manusia selalu hanya aspek-aspek tertentu yang terus bermunculan tanpa akhir. Hidup dan Tuhan terlampau luas dan misterius untuk bisa ditangkap sepenuhnya hanya oleh satu kitab atau pun satu sistem yang selalu terbatas. Karenanya, semakin manusia menggeluti aspek-aspek tertentu dari ‘kebenaran’, semakin dia tidak mempunyai pegangan atau pijakan selain hanya tafsiran atau keyakinan; tak ubahnya seperti berenang ke tengah lautan.
Dalam menafsir, secara de facto, manusia tak pernah bisa lepas dari cakrawala pemahaman awal yang dipunyainya (yaitu prasangka). Misalnya, dengan bersikukuh menganggap bahwa makna sebuah teks terletak pada maksud sang pengarang yang murni, objektif dan asli, seringkali hanya berakhir pada kekonyolan. Bila Kitab Suci diyakini sebagai tulisan Tuhan sendiri, maka siapakah yang sanggup semurni-murninya memahami maksud-Nya sesungguhnya, karena hanya Tuhanlah yang paham apa maksud Dia sebenarnya. Konsekuensi kritik semacam ini membuat para pemuka agama yang suka berkhutbah terlihat seperti pembual dan sok tahu.
Akibatnya, hermeneutika meletakkan tanda tanya besar terhadap pandangan kebenaran sebagai korespondensi dengan fakta. Bambang Sugiharto mengemukakan beberapa teori tentang kebenaran yang kini telah banyak berubah menjadi beragam:(18)
1. Teori Korespondensi: Benar artinya ada kesesuaian antara perkataan dengan kenyataan; kesesuaian satu banding satu bagai cermin.
2. Teori Koherensi: Benar artinya terdapat kait mengait logis yang kokoh dan tidak mengandung kontradiksi antar unsur-unsurnya.
3. Teori Pragmatis: Benar artinya ada manfaatnya, ada gunanya bagi hidup, sehingga segala perdebatan nyinyir teoretis tidak diperlukan.
4. Teori Performatif: Benar adalah perkara bagaimana bisa meyakinkan, mempengaruhi dan mengubah pendapat orang lain, sedang isinya relatif, sehingga benar atau tidaknya sesuatu itu adalah perkara siasat.
5. Teori Revelasi: Benar adalah bila memang asli diwahyukan oleh yang memiliki otoritas (Tuhan).
6. Teori Disclosure: Benar adalah bila sesuatu itu membuat manusia menyadari hal baru yang tadinya tidak disadari, yang biasa disebut sebagai ‘Pencerahan’.
7. Teori Eksistensial: Benar artinya sangat berarti bagi seseorang, dan ini merupakan perkara nilai dan keberartian yang erat terkait dengan pengalaman konkrit. Misalnya, tentang siapa sesungguhnya orang tertentu atau ada tidaknya Tuhan.
Bersamaan dengan itu, sikap manusia terhadap ‘kebenaran’ pun berubah, yang ikut mengubah rasa kepastian dan tatanan hari ini, yaitu:
1. Absolutis: Benar itu satu, tak mungkin banyak.
2. Relativis Historis: Segala prinsip itu benar tidaknya tergantung pada situasi dan kondisi sejarah.
3. Relativis Perspektival: Tiap kebudayaan punya cara pandang yang berbeda tentang apa yang mereka anggap benar.
4. Relativis Linguistik: Tiap bahasa membawa pola pikir yang spesifik, maka kebenaran pun relatif.
5. Relativis Hermeneutis: Segala hal tergantung cara melihat dan menafsirnya karena segala perkara adalah permasalahan tafsir, dan dunia manusia adalah dunia tafsir, sehingga tak ada kebenaran murni objektif.
6. Relasional: Segala sesuatu selalu berada dalam proses ‘menjadi’ dan selalu ‘dalam relasi’ atau ‘in between’, sehingga kebenaran harus dilihat dalam relasi. Cara melihat segala sesuatu sebagai ‘substansi’ tak lagi relevan. Segala hal selalu bisa dilihat secara berbeda: kapan dan dalam hubungan dengan apa. Misalnya, siapakah Tuhan tidaklah persis seperti yang ada dalam berbagai dogma, tapi Dia yang ada saat seseorang beribadah atau tengah memikirkan-Nya, yang tak bisa persis dirumuskan, yang ada dalam ‘peristiwa aku dan Dia’. Hakikat ‘palu’ yang sesungguhnya bukanlah yang ada dalam definisi, tapi yang dialami saat sedang menggenggamnya dan memukulkannya pada paku. Definisi dan dogma hanyalah gambaran minimal atau pegangan awal.
Seperti dikemukakan sebelumnya, sebagai kerangka berpikir, hermeneutika dikukuhkan oleh Martin Heidegger.(19) Heidegger menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat temporal (mewaktu), intensional (terkait maksud dan kepentingan tertentu) serta ditentukan oleh masa lalu, masa kini dan masa depan (vorverstandnis). Dengan demikian, pemahaman (verstandnis) atau penafsiran bukanlah tindakan tertentu, tapi cara ada (mode of being). Sementara berpikir bukanlah berarti memanipulasi ide, seperti dalam tradisi filsafat Barat tradisional dan sains, tapi bersikap responsif (care) terhadap penyingkapan (disclosure). Melalui permainan kata, Heidegger mengungkapkan bahwa berpikir (denken atau to think) itu berarti bersyukur (danken atau to thank) serta mendengarkan yang tersirat (to listen). Berpikir itu juga berarti merenungi, dan yang paling layak direnungi adalah puisi.
Bagi Heidegger, kebenaran bukanlah permasalahan korespondensi, representasi, pantulan realitas, objektif atau logis koheren sebagaimana diyakini sains. Kebenaran adalah aletheia atau ketaktersembunyian yang terkait erat dengan pengalaman eksistensial, bukan sekadar proses kognitif; kebenaran adalah masalah correct. Hubungan dengan realitas pun bukanlah hubungan subjek/objek, yang mengisyaratkan seolah ada keterpisahan padahal semata artifisial, sebab subjek sudah selalu memahami diri dari sudut objek, dan sebaliknya. Selain itu, objek-objek di dunia sudah selalu menjadi bagian dari hidup manusia, karena umumnya manusia telah memiliki ‘pengetahuan’ awal tentang berbagai hal di dunia. Selain itu, dalam setiap perjumpaan dengan realitas, yang terjadi adalah selalu proses ganda, yaitu membaca realitas berarti membaca diri (dalam bahasa sunda: ngaji diri).
Dengan pemikiran seperti itu, Heidegger melontarkan kritik atas filsafat Barat yang melalui pola pikir subjek/objek telah melahirkan kecenderungan humanisme (antroposentrisme) yang nantinya seiring sejalan dengan ‘metafisika kehadiran’ (metaphysics of presence, mungkin ada kaitannya dengan representation) yang dirumuskan belakangan oleh Jacques Derrida. Metafisika kehadiran ini menggambarkan kegandrungan para filsuf untuk sok tahu dan mengada-adakan ‘Ada’ yang sebenarnya entah apa. Misalnya, Georg Wilhelm Friedrich Hegel dengan konsep ruh (spirit), Arthur Schopenhauer dengan konsep kehendak (will), Friedrich Nietzsche dengan konsep kehendak untuk berkuasa (will to power), Jean Paul Sartre dengan konsep kebebasan (freedom), dan sebagainya (bahkan, belakangan Heidegger pun menuliskan kata Ada sambil di coret, karena sebagai konsep, kata tersebut masih diperlukan, namun sebagai pendefinisian). Atmosfir semacam ini terus menerus mendominasi, menguasai, memprediksi, dan mengontrol realitas yang memuncak pada sains dan teknologi sebagai konsekuensi logis.
Pemikiran Heidegger tersebut diradikalkan oleh muridnya, Hans-Georg Gadamer.(20) Apabila Heidegger menyatakan bahwa seluruh aktivitas hidup adalah menafsir, maka menurut Gadamer adalah proses memahami. Baginya, hermeneutika adalah filsafat tentang pemahaman (apa itu pemahaman dan apa yang terjadi dalam pemahaman). Gadamer mengkritik metode karena, dalam kajan ilmiah, pemahaman selalu metodis, sebab metode adalah jalan menuju kebenaran. Bagi Gadamer adalah sebaliknya, karena, secara de facto, metode adalah jalan ke arah pembenaran diri, sehingga kebenaran lebih luas dibungkam dan tertutup oleh metode. Selain itu, metode pun merupakan jalan ke arah manipulasi realitas, karena kajian ilmiah terlalu dikuasai pola subjek yang memperkarakan objek. Gadamer lebih mengutamakan ketimbalbalikan atau dialektika antara subjek dan objek melalui interaksi. Melalui interaksi tersebut hal terpenting adalah subject-matter yang terletak antara subjek dan objek, bukan di dalam subjek maupun objek. Seperti telah dikemukakan di atas, paradigma permainan—sebagai momen paling serius dalam hidup manusia—merupakan inti dari hermeneutika Gadamer. Dalam permainan, subjek dan objek melebur, tak ada lagi luar-dalam (fusion of horizons). Bahkan berbagai kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan simbol (seperti ritual), akan lebih terpahami melalui paradigma bermain.
Dari kesemua paparan di atas, terlihat bahwa filsafat merupakan interpretasi atas interpretasi, intertekstual, yang berpotensi terus menerus membongkar karakter fiktif setiap klaim dogmatik dan rasional. Tak ada keusangan dalam pemikiran filsafat, karena pemikiran filsuf mana pun bisa dibaca dan ditafsirkan kembali di zaman berikutnya. Pembacaan dan penafsiran di zaman berbeda menghasilkan kritik dan rekonteksualisasi atas pemikiran filsuf di masa lalu. Selain itu, filsafat umumnya bersifat hipotesis, sebab hanya menyangkut hal-hal yang terlampau abstrak dan tak jarang imajinatif sehingga tak mungkin dibuktikan dan hanya mungkin diargumentasikan. Maka berfilsafat adalah bermain menjajagi berbagai kemungkinan untuk memahami sesuatu. Ukuran bagi kebenarannya hanyalah: argumentasinya lebih mendalamdibanding argumentasi lainnya, atau daya penjelasannya lebih besar dan lebih mampu menjelaskan kompleksitas suatu masalah ketimbang paham lainnya.
Filsafat umumnya dipandang sebagai upaya pencarian ‘kebenaran’ melalui jalan rasionalitas. Ini berbeda dengan seni, yang meskipun juga dipandang sebagai upaya pencarian ‘kebenaran’, namun dilakukan melalui persepsi langsung dan intuisi. Sementara Agama, selain nalar juga ada wahyu, iman, ritual dan pengadilan. Sementara sains, sekalipun sangat menyerupai filsafat, berbagai pertanyaan yang dikemukakannya dicari melalui eksperimen dan observasi. Namun, filsafat pun terasa sebagai teror bagi agama karena memorak-porandakan segala kepastian, memperumit segala kejelasan. Filsafat, dengan kata lain, adalah bahaya, jalan kemurtadan, aneka tafsir bebas yang terlampau liar dan arogan, suatu ancaman menuju kekacauan dan terlarang bagi masyarakat. Padahal dalam teologi Kristen, awalnya filsafat diposisikan sebagai pelayan teologi (ancilla theologia). Namun, kemudian filsafat terlepas dari agama dan menjadi cara berpikir yang “sekular” dan melepaskan diri dari semua kepastian yang ditemukan dalam agama. Secara kasar bisa dikatakan bahwa filsafat adalah anak haram dari agama dan merupakan bentuk sekular dari teologi (Kristen).
2. 2. Konsepsi Manusia
Seperti dikemukakan sebelumnya, logika merupakan sumber sentral modernitas, atau, dalam bentuk lebih global lagi, kesadaran. Intensitas filsafat modern dalam menjelajahi kesadaran dipelopori oleh Rene Descartes dengan mengemukakan metode kesangsian dan pernyataannya yang terkenal, yaitu cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Selain itu, Descartes pun merevisi dualisme manusia Plato (soma plus psyché, minus daimón). Dia membagi subjekcogito menjadi res cogitans atau pikiran sebagai idea bawaan sejak lahir dan res extensa atau keluasan atau kejasmanian subjek cogito. Dengan demikian, kehidupan psikis manusia disamakan dengan kesadaran. Pandangan tentang subjek berkesadaran ini mendasari filsafat Barat sekian abad hingga datanglah Sigmund Freud yang membalikkan pandangan tersebut dengan temuannya, yaitu, ketaksadaran. Bagi Freud, kehidupan psikis manusia menyerupai gunung es yang sebagian terbesar berada di bawah permukaan laut dan tidak dapat ditangkap dengan indera, namun aktif dan terintegrasi dalam kehidupan psikis manusia. Kebanyakan pemikiran manusia, menurut Freud, adalah ketaksadaran dan hanya kadang-kadang menjadi sadar.
Awalnya Freud membagi topologi manusia menjadi ketaksadaran, prakesadaran dan kesadaran, namun kemudian merekonstruksinya menjadi id, ego dan superego yang merupakan tiga tingkatan aktivitas mental. Id merupakan sisi gelap kepribadian manusia, pusat naluri dan impuls primitif, yang merentang ke belakang sampai ke masa silam manusia yang bersifat hewani dan seksual, juga tak sadar. Id tidak mengenal nilai, baik buruk, moral, dan hanya menginginkan pemuasan keinginan dan kenikmatan.
Dalam perkembangan berikutnya, ego tumbuh dari id. Ego dikuasai oleh prinsip realitas dan menyadari dunia sekelilingnya, serta menjadi mediator antara hasrat id yang liar dengan kendali dunia luar. Ego bertindak sebagai sensor terhadap keinginan id dengan cara menyesuaikannya kepada keadaan yang realistis, menyadari bahwa mengelak dari hukuman serta mementingkan diri sendiri sangat tergantung dari penekanan hasrat id. Konflik antara ego dan id ini bisa menimbulkan neurosis.
Berikutnya superego sebagai evolusi mental tertinggi dan terdiri dari berbagai endapan segala larangan dan tatakrama yang diajarkan oleh orangtua dan para pengganti orang tua. Perasaan kesadaran bergantung pada perkembangansuperego. Seperti halnya id, superego juga bersifat tak sadar, dan keduanya selalu berada dalam konflik tak berkesudahan dan ego yang menjadi penengahnya. Jika id, ego, superego dalam keadaan selaras, maka individu akan memiliki kepribadian yang seimbang dan bahagia. Namun jika ego membiarkan id memenuhi hasratnya, maka superegoakan memunculkan kesulitan berupa perasaan bersalah.
Konsep Freud lainnya yang terkait erat dengan id adalah libido—dan sering dianggap sebagai inti psikoanalisis. Libidomerupakan impuls id yang mengandung energi psikis bersifat seksual (dalam pengertian yang luas). Libido ini berkembang dari tahapan infantil hingga dewasa yang disalurkan kepada orang lain melalui pernikahan atau diekspresikan melalui karya seni rupa, sastra, musik juga melalui aktivitas intelektual. Singkatnya, libido merupakan sumber terbesar kerja kreatif. Perkembangan libido ditandai dengan Oedipus Complex, diambil dari mitos Yunani kuno tentang Oedipus yang telah membunuh ayahnya dan mengawini ibunya sendiri. Pada individu normal impuls Oedipus ini bisa diatasi, tapi individu lemah tidak dan mengalami rentetan neurosis.
Psikoanalisis Freud ini merupakan aliran psikologi yang paling sering diulas, dikritik, juga diadaptasikan ke berbagai bidang sehingga memperlihatkan pengaruhnya yang begitu besar pada abad 20 hingga sekarang. Bahkan, di bagian sebelumnya telah diperlihatkan bagaimana Deleuze & Guattari memberi judul bukunya “Anti-Oedipus”. Dalam kaitannya dengan filsafat, Kees Bertens menjelaskan bahwa “Sebagaimana Freud dan murid-muridnya umumnya menolak filsafat, demikian juga para filsuf biasanya bersikap negatif terhadap psikoanalisis...[dengan] pengecualian, yaitu fenomenologi, khususnya dalam bentuk yang dipraktikkan di Prancis dan tidak jarang disebut ‘fenomenologi eksistensial’.”(21) Bertens membuat tiga pembahasan titik temu psikoanalisis dengan fenomenologi.
Pertama, tubuh manusiawi. Bertens memaparkan bahwa banyak filsuf membicarakan situasi konkrit manusia sebagai makhluk bertubuh. “Tubuh merupakan penghubung antara subjek dan dunianya. Tubuh memainkan peranan sebagai ‘penengah’, tetapi penengah dalam arti yang unik, karena di satu pihak tak terpisahkan dengan aku dan di lain pihak berakar dalam dunia.”(22) Bertens mengungkapkan bahwa tubuh dalam bahasan ilmu alam adalah tubuh abstrak yang dimiliki siapa pun karena dibicarakan pada tahap objektif. Misalnya, Descartes yang memandang tubuh sebagai mesin, juga ilmu kedokteran abad ke-19. Ini berbeda dengan tubuh konkrit sebagai tubuh yang dihayati (corps vecu, dari Merleau-Ponty). Tubuh adalah objek sekaligus subjek; alat yang unik karena menyatu dengan yang mempergunakan alat tersebut. Gabriel Marcel mengungkapkannya sebagai aku adalah tubuhku, tapi serentak juga harus ditambahkan bahwa dipandang dari segi lain aku juga mempunyai tubuhku.(23)
Kedua, penolakan terhadap dualisme. Bertens mengungkapkan psikoanalisis dengan fenomenologi menolak setiap bentuk dualisme yang memecah kesatuan manusia. Merleau Ponty mengemukakan “Lahir dan batin tidak dapat dipisahkan. Dunia adalah seluruhnya di dalam dan aku adalah seluruhnya diluarku.”(24) Merleau-Ponty pun pernah menyatakan bahwa “Abad ke-20 telah memulihkan dan memperdalam paham ‘daging’, artinya tubuh berjiwa”,(25) maksudnya garis pemisah tajam antara tubuh dan ‘roh’ telah dihapus. Dia pun melanjutkan bahwa “Dengan psikoanalisis, roh beralih ke dalam tubuh, seperti sebaliknya tubuh beralih ke dalam roh.”(26) Pandangan ini diperkuat pula oleh A. Vergote yang mengatakan “Freud telah memaksa kita untuk mengubah pemikiran kita tentang roh dan tubuh. Manusia adalah pertama-tama—baik kronologis maupun struktural—suatu makhluk yang bernaluri dan berkeinginan. Hal itu tidak berarti bahwa hakekat rohaninya hanya sekadar fenomen permukaan saja. Psikoanalisis justru mempermasalahkan pembagian manusia ke dalam dua wilayah: satu yang kurang dan lain yang lebih bernilai, satu yang hina dan lain yang luhur, satu yang di pusat dan lain yang di pinggiran.”(27) Bertens mengemukakan bahwa fenomenologi memandang konsep Freud tentang libido sebagai paham di perbatasan antara wilayah psikis dan fisis, karena meliputi aspek-aspek psikis maupun badani.(28)
Ketiga, bahasa. Bertens mengungkapkan bahwa bagi psikoanalisis dan fenomenologi, bahasa merupakan pusat yang menjadi asal-usul berbagai praktik dan penelitian. Bahkan dalam arti tertentu, fenomenologi menegaskan bahwa manusiaadalah bahasa. Ketimbang dipandang sebagai “binatang yang mempunyai rasio”, manusia lebih tepat disebut sebagai “binatang yang berbicara”. Bertens mengungkapkan bahwa “Sebutan Latin ‘animal rationale’ (binatang yang mempunyai rasio) diterjemahkan dari bahasa Yunani “zôon logon ekhon”, tapi terjemahan itu serentak merupakan penafsiran sebab dalam bahasa Yunani ‘logos’ berarti baik ‘bahasa’ maupun ‘rasio’.”(29) Di sisi lain, psikoanalisis sepenuhnya berlangsung dalam cakrawala bahasa, sebagaimana dirumuskan Freud “Yang berlangsung antara pasien dan analis tidak lain daripada berbincang-bincang saja. Si analis tidak menggunakan alat-alat, bahkan tidak untuk mengadakan pemeriksaan; dan ia juga tidak menuliskan resep...Si analis menetapkan suatu jam tertentu bagi pasiennya, membiarkan dia bicara, mendengarkan dia, lalu mengatakan sesuatu kepadanya dan membiarkan dia mendengarkan.”(30) Freud menyatakan bahwa ketaksadaran merupakan bahasa, yang kemudian dirumuskan ulang oleh Jacques Lacan dengan pernyataannya bahwa “ketaksadaran itu terstruktur sebagai bahasa.” Freud merumuskan mekanisme utama proses ketaksadaran, yaitu kondensasi dan pemindahan. Bagi Lacan, kedua mekanisme tersebut merupakan fenomena bahasa, karena makna dikondensasikan (dalam metafora) atau dipindahkan (dalam metonimi). Analisis mimpi Freud dan simbolisme ketaksadaran para pasiennya, bergantung pada permainan kata, asosiasi, dan sebagainya, yang terutama bersifat verbal. Karenanya, muatan ketaksadaran sepenuhnya sadar (aware) akan bahasa, dan secara khusus terdiri dari struktur bahasa.
Melalui Lacan, psikoanalisis direinterpretasi secara canggih dari teori bersifat humanis menjadi filsafat psikoanalisis melalui strukturalisme. Bisa dikatakan bahwa Lacan adalah (Freud + Saussure), dengan sedikit sentuhan Lévi-Strauss, dan bahkan sedikit bumbu Derrida dan Heidegger. Lacan menunjukkan bahwa Aku atau Ego adalah identitas fiktif manusia. Sebelumnya, Freud menyatakan hubungan antara ketaksadaran dan kesadaran sebagai “Wo Es War, Soll Ich Werden” (Di mana ada Id, di situ ada sang Aku [Ego]). Id (ketaksadaran) akan digantikan oleh aku atau ego (kesadaran dan identitas diri). Bagi Lacan, ego tidak akan pernah bisa menggantikan ketaksadaran, karena ego hanyalah ilusi, produk ketaksadaran itu sendiri.
Lacan merumuskan tentang tahapan cermin sebagai proses bagaimana bayi membentuk ilusi akan ego sebagai diri sadar yang utuh dan diidentifikasi dengan kata ‘Aku’.(31) Awalnya adalah tahap Yang Nyata (The Real), suatu tempat psikis (bukan fisikal) yang merupakan penyatuan asal, seluruh kepenuhan dan kelengkapan, dengan tak ada kebutuhan yang tidak dapat dipuaskan, tak ada dan tak bisa direpresentasikan dalam bahasa. Di tahap ini bayi berada dalam rahim ibu. Bagi bayi, tak ada perbedaan antara diri dan liyan (other), yaitu ibu. Inilah kesatuan mitis, situasi ketakterbedakan, yang tak ada pemilahan subjek-objek, bulat utuh sempurna. Bayi yang masih berupa semacam gumpalan ini tidak memiliki pemahaman akan identitas terindividuasi, dan bahkan tanpa pemahaman akan tubuhnya sebagai satu kesatuan koheren. Gumpalan ini dikendalikan oleh kebutuhan: makanan, kenyamanan, keamanan, dan seterusnya.
Ketika terlahir, bayi ini seperti telur yang pecah dan muncrat ke berbagai arah tak berbentuk, menyerupai telur orak-arik, yang diistilahkan Lacan sebagai hommelete. Namun, awalnya bayi masih belum menyadari keterpecahan ini karena berbagai kebutuhannya bisa terpuaskan oleh objek yang tidak disadarinya sebagai bagian dari oknum utuh lainnya. Ketika butuh makanan, ia mendapatkan payudara (atau botol); ketika butuh keamanan, ia mendapatkan pelukan, dan lain sebagainya, yang kesemua itu tidak dipahaminya sebagai sesuatu yang terpisah dan terbedakan dari dirinya. Sejak kelahiran hingga usia antara 6 dan 18 bulan, bayi masih berada dalam tahapan Yang Nyata, dan fase kebutuhan.
Lambat laun, bayi mulai memahami keterpisahan dirinya dari sang ibu—meski oposisi biner ‘diri/liyan’ belum lagi eksis, karena masih belum memiliki pemahaman koheren tentang ‘diri’—yang memunculkan semacam kehilangan rasa penyatuan primal. Keterpisahan ini membentuk identitas dan jalan masuk ke dalam peradaban. Lacan merumuskan argumen ini berdasarkan paparan Freud dalam buku Beyond Pleasure Principle yang membicarakan tentang anaknya, Anna Freud, 18 bulan, yang bermain dengan kumparan diikat benang. Anna melemparkan jauh kumparan tersebut, dan mengatakan ‘Fort’ (bahasa Jerman untuk ‘hilang’). Anna kemudian menarik kembali kumparan tersebut, dan mengatakan ‘Da’ (bahasa Jerman untuk ‘ketemu’). Menurut Freud, permainan ini adalah cara simbolik bagi sang anak untuk mengatasi kecemasannya akan ketiadaan ibunya. Ketika melemparkan kumparan dan berkata ‘Fort’, dia memainkan kembali pengalaman akan kehilangan objek yang dicintai; ketika menggulungnya dan berkata ‘Da’, dia mendapatkan kepuasan dari penemuan objek tersebut.
Temuan Freud ini direinterpretasi oleh Lacan sebagai peristiwa masuknya anak ke dalam tahapan Simbolik, atau struktur bahasa, untuk menguasai realitas atau kekurangan melalui simbol. Bahasa selalu mengenai kehilangan atau ketiadaan; yang dibutuhkan hanyalah kata-kata saat objek yang diinginkan menghilang. Paradoksnya, bahasa membantu artikulasi kebutuhan, kekurangan dan hasrat, namun bahasa tidak mampu menggantikan realitas yang dialami. Malah, bahasa mengintesifkan kekurangan, karena itu dalam bahasa, manusia menjadi subjek dalam, dari dan untuk bahasa. Jika dunia manusia seluruhnya utuh, seperti dalam tahapan Yang Nyata, tanpa ketiadaan, maka bahasa tidak dibutuhkan. Pada titik peralihan ini, bayi bergeser dari kebutuhan menjadi permintaan. Permintaan tidak dapat dipuaskan dengan objek-objek, karena selalu merupakan permintaan akan pengakuan dan cinta dari liyan.
Bayi meminta kepenuhan dan penyatuan kembali seperti di tahapan Yang Nyata, tapi itu mustahil. Di tingkat ketaksadaran, bayi mengetahui bahwa ide tentang ‘liyan’ telah eksis. Liyan memenuhi permintaan bayi guna menutupi kekurangan yang dialami—sang bayi menangis, dan ibu memberikannya botol, atau payudara, atau dot, atau sesuatu, tetapi tak ada objek yang dapat memuaskan permintaan tersebut. Mustahil untuk memenuhi permintaan itu, karena kekurangan atau perasaan akan keliyanan, adalah kondisi bagi bayi untuk menjadi subjek atau makhluk budaya.
Semula, bayi belum lagi memiliki ide tentang siapa ‘diri’-nya sebenarnya. Pada usia antara 6 hingga 18 bulan, sang bayi mengalami tubuhnya seperti terfragmentasi, atau terpencar-pencar meneyerupai telur pecah (hommelette), belum menyadari keutuhan tubuhnya. Maka terjadilah tahapan cermin, ketika sang bayi melihat bayangannya di cermin, dan kemudian melihat kembali kepada oknum sebenarnya—ibunya, atau beberapa orang lainnya—kemudian melihat kembali pada bayangan cermin. Hal ini memberinya perasaan sebagai wujud utuh terintegrasi juga. Entitas utuh yang terlihat sang bayi di cermin itulah yang akan menjadi ‘diri’ dengan ditandai sebagai ‘Aku’. Identifikasi diri ini merupakan kesalahpengenalan (meconaissance), karena ‘Aku’ itu adalah citra di cermin, dan, bagaimana pun, bukanlah sang bayi. Tetapi oknum lain (biasanya ibu) malah memperkuat kesalahan identifikasi tersebut dengan perkataan “Ya, itu adalah engkau!” yang menjamin ‘realitas’ keterhubungan antara sang anak dengan citraannya.
Proses kesalahpengenalan diri terhadap citra cermin ini menciptakan ego yang mengatakan ‘Aku’. Inilah ilusi atau mispersepsi akan keutuhan, integrasi, dan totalitas yang mengelilingi dan melindungi tubuh terfragmentasi. Ego atau diri atau ‘I’dentity (Aku dan identitas), di beberapa tingkatan selalu merupakan fantasi, karena merupakan identifikasi dengan citra eksternal, dan bukan perasaan internal akan identitas utuh terpisah. Dengan kata lain, ego adalah kedirian fiktif yang terus menerus dibangun melalui identifikasi dan objek-objek baru. Inilah tahapan Imajiner, bagaimana ide tentang diri diciptakan melalui identifikasi Imajiner dengan citra di cermin. Wilayah imajiner adalah tempat relasi teralienasi dari diri ke citraannya sendiri diciptakan dan dipertahankan. Imajiner adalah wilayah citraan-citraan, baik sadar maupun tak sadar, bersifat pralinguistik atau praoedipal, tetapi sangat berlandaskan pada persepsi visual atau pencitraan spekular.
Manusia membentuk pemahaman akan ‘I’dentity melalui (mis)identifikasi dengan ego ideal atau citra di cermin. Fiksi ‘I’dentity yang terlihat di cermin menjadi kompensasi karena telah kehilangan ketunggalan awal dengan tubuh sang ibu,the state of ‘nature’, agar memasuki budaya. Permasalahannya, konsep diri (ego atau ‘I’dentity) tidak akan pernah cocok dengan wujudnya sendiri. Imajiner adalah tempat atau fase psikis yang di dalamnya sang anak memproyeksikan ide-idenya tentang ‛diri’ atas citraan cermin yang dilihatnya.
Tatanan Simbolik dan Imajiner saling tumpang-tindih (tidak seperti fase-fase perkembangan Freud), tak ada tanda atau pembagian yang jelas antara kedua tatanan tersebut, dan dalam beberapa hal, keduanya selalu koeksis. Tatanan Simbolik merupakan struktur bahasa itu sendiri. Manusia harus memasuki bahasa agar menjadi subjek yang berbicara, dan untuk menandai diri kita dengan ‘Aku’. Sementara fondasi untuk memiliki ‘diri’ yang berada pada proyeksi Imajiner akan diri atas citra spekular, liyan dalam cermin, dan memiliki ‘diri’ yang terungkapkan dalam perkataan ‘Aku’, hanya bisa terjadi dalam tatanan Simbolik. Itulah mengapa kedua tatanan itu koeksis.
Ilustrasi sederhana fiksi ‘I’dentity ini bisa dicontohkan dengan MTV. Melalui suguhan sekian banyak program acara musik, lengkap dengan tampilan visual, grafis dan video klip, fashion dan warna musik beserta lirik dan tema lagunya, juga subkulturnya, MTV menyimpulkan kesemuanya itu dengan kata-kata ‘MTV Gue Banget’. Maka, kini ada generasi muda yang diidentifikasi sebagai ‘Generasi MTV’, karena ‘I’dentity-nya disuguhkan oleh MTV.(32) ‘I’dentity adalah sesuatu yang dicangkok ke dalam psikis dari luar, bukan dari dalam psikis yang dibawa keluar.
Penutup
Melihat paparan Plato di bagian awal, rupanya kearifan kuno ihwal kaitan antara pengetahuan dan pengenalan diri kini terabaikan. Pengetahuan lebih sering dikembangkan bukan untuk mengenal diri manusia sendiri, melainkan untuk mengetahui, atau bahkan mengeksploitasi, segala hal selain diri manusia. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad XIX, juga sudah mensinyalir hal tersebut dengan menyatakan: “Kita tak kenal, kita (yang katanya berpengetahuan) tak kenal diri kita sendiri… niscaya kita tetap asing bagi diri kita sendiri; kita tak paham diri kita sendiri.” Hal tersebut juga menjadi keprihatinan Walker Percy, filsuf Amerika. Menurut dia, kita hidup di sebuah zaman yang lebih gila dari biasanya. Karena, kendatipun ada kemajuan besar-besaran sains dan teknologi, manusia tidak memiliki bayangan ide tentang siapa dirinya dan apa yang dia perbuat. Percy mempertanyakan kenapa hanya ada satu teori yang diterima secara umum tentang penyebab dan obat radang paru-paru akibat bakteri pneumococcus. Kenapa hanya ada satu teori tentang orbit planet, serta gaya tarik-menarik gravitasi antara galaksi kita dan galaksi M31 di Andromeda? Sementara itu, kenapa—sekurangnya—ada enam belas mazhab psikoterapi dengan enam belas teori kepribadian? Kenapa selama 2.000 tahun terakhir ini kita tak tahu lebih banyak tentang psikis ketimbang yang sudah diketahui Plato?(33)
Hal tersebut semakin diperkabur dengan pandangan bahwa manusia itu tak ubahnya tanah liat tak berbentuk dan menantikan dibentuk menjadi apa pun. Identitas kita dipandang hanya sebagai konstruksi sosial-budaya belaka yang menjadi cetakan bagi manusia yang “terlempar” ke dalamnya. Pandangan seperti ini semakin mengarahkan manusia untuk bergerak, melihat, dan mempelajari segala sesuatu di luar dirinya, dan melupakan khazanah dirinya sendiri, seperti dikemukakan—antara lain—oleh Socrates. Dalam trend buku-buku psikologi populer, manusia malah lebih sering diarahkan untuk terobsesi menjadi orang lain yang dipandang sebagai simbol hidup paripurna. “Bagaimana menjadi seperti Michael Jordan”, misalnya. Padahal, orang yang selalu ingin menjadi seperti orang lain hanya menjadi pecundang. Belakangan ini, pandangan semacam ini semakin menguat dengan membanjirnya berbagai buku “how to”, “do it yourself” dan “self-help”. Fenomena ini dikritik dengan pedas oleh Michael Shrage yang mengatakan “Kebanyakan manajemen pop serta buku dan video swabantu (self-help) menawarkan berlimpah ruah saran tentang bagaimana sang individu dapat menjadi manajer terbaik atau orang yang lebih baik lagi, menikmati lebih banyak keintiman atau lebih banyak lagi hubungan profesional…Anda ‘membuka potensi tersembunyi Anda’ dengan melakukan hal-hal yang belum pernah Anda lakukan sebelumnya. Anda hanya tinggal mendapatkan cangkokan emosional dan kepribadian maka segalanya akan berjalan dengan baik. Pesan paling mendasarnya memiliki kekejaman yang khas: tentunya Anda telah menjadi orang yang lebih baik jika saja Anda adalah seseorang yang lain.”
Selain itu juga, ada satu konsep filsafat yang berpengaruh kuat pada dunia modern, yaitu, tabula rasa dari John Locke, filsuf Inggris. Tabula rasa memandang pikiran manusia seperti papan tulis kosong yang di atasnya dituliskan pengetahuan. Locke tidak percaya intuisi atau teori pengetahuan bawaan. Meskipun konsep ini mendapat banyak kritik, namun, di abad 20, konsepsi tersebut mengalami radikalisasi. Kini manusia dipandang sebagai makhluk tanpa cetakan primordial sama sekali. Manusia bisa jadi apa pun. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis, mengemukakan pandangan bahwa psikis manusia mempunyai potensi untuk mengarahkan kehidupan kepribadian manusia menjadi apa pun. Jean Paul Sartre, tokoh eksistensialisme Prancis, mengemukakan bahwa manusia itu tidak punya tujuan apa pun dalam eksistensinya. Manusia hidup dalam absurditas, namun dengan begitu, manusia malah akan memperoleh kebebasannya. Kemudian Jacques Lacan, pelopor psikoanalisis struktural, mengemukakan bahwa ego hanyalah ilusi bentukan citra cermin yang secara keliru diklaim sebagai identitas diri oleh manusia. Terakhir, Gilles Deleuze dan Félix Guattari mengemukakan pandangan radikal ihwal ketiadaan cetak biru manusia dengan meramu secara kreatif (bahkan terkadang subversif) berbagai pemikiran sebelumnya.
Bambang Sugiharto meringkaskan kesemuanya itu sebagai berikut: “Manusia kontemporer seperti sosok Proteus dalam mitos Yunani (yang bisa berubah-ubah menjadi babi rusa, naga, singa, api, kayu, dan sebagainya tanpa bisa menetap dalam satu bentuk): diri itu bisa berubah-ubah kepribadiannya dari eksperimen/eksplorasi pribadi yang satu ke yang lainnya, lebih seperti sosok cairan yang bentuknya berubah-ubah sambil mengalir terus (flux), atau seperti aktor yang berganti-ganti peran. Dulu ini dianggap patologis (polymorphous perversity). Kini itu adalah kondisi umum (polymorphous versatility), sehingga yang disebut ‘normal’ mesti dirumuskan kembali. Peter L. Berger menyebutnya ‘Homeless Mind’...‘Diri’ (Self) macam ini tak bisa lagi dimengerti sebagai ‘Substansi’ melainkan ‘relasi’. Diri adalah relasi-relasi yang terus menerus berubah secara kontekstual. Sistem simbol sentral yang dulu merakit serpihan-serpihan pengalamannya (koherensi) serta menjembatani ‘dunia dalam’ dan ‘dunia luar’ (korespondensi) kini berantakan. Ia tinggal hidup di antara imaji-imaji yang fragmentaris dan cepat berubah, komitmen yang satu ke yang lain, dan sebagainya. Selera estetik, agama, gaya hidup, pola berpikir, dan sebagainya selalu bisa berganti atau dimodifikasi dengan relatif mudah dan tanpa rasa bersalah.”(34)
Pandangan ihwal manusia tanpa cetak biru ini tumbuh subur dalam pemikiran Barat berbarengan dengan runtuhnya pandangan tentang hierarki realitas. Alam tidak lagi dipandang bertingkat-tingkat. Realitas sejati hanyalah manifestasi fisik ini yang menjadi landasan penilaian untuk segala hal. Terlebih lagi, posisi Tuhan sebagai pencipta segala sesuatu telah dicoret dari pembicaraan filosofis; tabu untuk dibicarakan, seakan “pornografi” dalam filsafat.
Akan tetapi, pandangan tentang manusia tanpa cetak biru ini pun merembes ke dalam wilayah agama. Meski sampai saat ini agama masih mengakui adanya hierarki realitas, namun bagi kebanyakan pemeluknya, itu hanyalah sebuah konsep yang diyakini tapi tidak pernah dialami. Dalam Islam, contoh kasus utama tulisan ini, diyakini bahwa manusia itu diciptakan sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, konsepsi khalifah itu tidak menyentuh tataran bahwa manusia itu punya misi hidup khusus dan keahlian tertentu. Sepertinya bunyi keyakinan tersebut menjadi: “manusia adalah khalifah di muka bumi yang tidak ditentukan apa misi hidupnya dan harus menjadi siapa?” Analoginya seperti berikut: apabila kita melihat pohon mangga, pastilah kita yakin bahwa yang dulu ditanam di tanah tersebut adalah benih mangga. Namun, apabila ada manusia yang menjadi nabi, itu bukanlah karena misi kenabian tersebut telah ditentukan sejak awal penciptaannya. Itu hanya sebuah kebetulan saja. Pandangan aneh seperti ini di kalangan umat Islam—disadari atau tidak—lebih menyerupai bentuk “skizofrenik” antara pandangan hierarki realitas ala agama dengan manusia tanpa cetak biru ala filsafat Barat yang tidak mempercayai hierarki realitas.
Permasalahannya, tradisi spiritual mempunyai sistem kepercayaan yang dilandasi gagasan dasar tentang struktur realitas yang hierarkis, terdiri dari alam-alam yang semakin tinggi, kompleks, dan lebih nyata. Inheren di dalamnya adalahhierarki epistemologis. Peradaban Barat modern menolak sama sekali keberadaan struktur hierarkis realitas ini. Struktur hierarkis ini digantikan konsepsi realitas datar, tersusun dari materi belaka yang memang paling cocok diselidiki melalui sains berbekal rasio. Maka dikukuhkanlah filsafat resmi dalam peradaban Barat modern: materialisme saintifik. Sementara di kalangan umat Islam—yang juga tak kebal dari modernitas Barat—situasinya tak jauh berbeda. Secara umum di kalangan umat Islam—meski konsepsi hierarkis ini bisa saja diterima sebagai gagasan—realitas hierarkis ini nyaris tak terjamah, tak teralami, tak tereksplorasi, tak teraktualisasi, bahkan dalam kehidupan aktual ‘keberagamaannya’ sehari-hari. Bukannya tidak mau menerima gagasan adanya alam yang lebih tinggi, hanya saja kita nyaris lupa bagaimana cara dan rasanya hidup di alam semesta hierarkis semacam itu. Yang kita tahu, setiap hari kita hidup di alam material, alam kehidupan sehari-hari.
Salah satu penyebab kondisi tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Jane Idelman dan Yvonne Yazbeck Haddad, adalah karena perasaan malu dan rendah diri di kalangan umat Islam sendiri: “Semua penulis modern, dengan satu atau lain cara, mengambil ide-ide Barat untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam bentuk tertentu untuk mengungkapkan Islam, dan semuanya merespons dalam bentuk tertentu terhadap apa yang mereka lihat sebagai penegasan utama pada rasionalisme yang menjadi ciri kuat mayoritas pemikiran Barat. Tetapi respons yang muncul cukup beragam. Kenyataannya, mayoritas penulis muslim kontemporer memilih untuk sama sekali tidak membahas kehidupan akhirat. Mereka cukup puas dengan hanya menegaskan realitas hari pengadilan dan akuntabilitas manusia tanpa menyajikan perincian atau bahasan yang lebih mendetail. Ada beberapa alasan kenapa fenomena ini mengemuka. Salah satunya adalah semacam rasa malu atas uraian riwayat terperinci mengenai kehidupan di alam kubur dan tempat pemberian ganjaran, yang dipersoalkan oleh para rasionalis modern.”(35)
Dalam tradisi ilmiah, struktur hierarkis realitas—mulai dari materi, tubuh, pikiran dan psikis, jiwa, hingga ruh—bisa sepenuhnya direduksi menjadi struktur materi. Sementara materi—dalam otak maupun sistem/proses material lainnya—akan menjelaskan seluruh realitas tanpa sisa. Inilah yang terjadi dalam modernitas, yaitu runtuhnya seluruh dimensi interior atau struktur hierarkis realitas. Maka, landasan seluruh ilmu hanyalah rasionalitas yang memang berjasa memunculkan tradisi kritis terhadap segala hal. Dalam wacana humaniora, tradisi kritis tersebut terus berlanjut hingga saat ini dan telah melahirkan berbagai paradigma besar yang menawarkan berbagai konsepsi tentang kemanusiaan. Teori A dikritisi oleh teori B, yang pada gilirannya nanti, teori B ini pun akan dikritisi oleh teori C, dan demikian seterusnya. Hingga sampailah pada beberapa kesimpulan bersama. Bahwa kebenaran sejati itu tidak ada, karena yang ada hanyalah suatu konstruksi hasil tafsiran manusia. Tafsiran itu sendiri adalah bentukan dari berbagai pengalaman kebertubuhannya, bahasa, dan alam pemikiran yang dipengaruhi kondisi sosial kultural tertentu. Bahwa dengan kemampuan akalnya, manusia mampu menjadikan yang alami sebagai budaya, sehingga seluruh kehidupan manusia dipandang sebagai konstruksi semata.
Agama pun diposisikan sebagai konstruksi budaya. Secara psikis, agama adalah halusinasi bawaan masa kanak-kanak, serupa dongeng nina bobok. Menggemaskan pada kanak-kanak, tapi mematikan pada orang dewasa. Tuhan tak ada, karena setiap yang nyata mesti terdaftar dalam sains, dan sejauh ini tak ada mikroskop atau teleskop yang pernah menangkap keberadaan Tuhan. Di sinilah terlihat bahwa sekalipun rasionalitas itu berhasil membangun kekritisan, namun dia tidak sepenuhnya kritis. Rasionalitas bisa membuat orang curiga bahwa makna itu tidak ada. Tetapi itu belum cukup curiga karena mereka tidak memperkenankan dirinya sendiri untuk mencurigai bahwa kebenaran boleh jadi memang ada.
Hingga sekian abad, di samping sumbangan konkretnya yang besar untuk peradaban, rasionalitas ternyata cenderung mengelak untuk apresiatif dan terbuka terhadap logika lain yang berlandaskan pada (pengalaman akan) hierarki realitas. Setelah mengangkat wacana pluralisme yang melengserkan cita-cita universalisme di berbagai ranah kemanusiaan, diam-diam rasionalitas seakan memosisikan diri sebagai Sang Universal untuk segala masalah kemanusiaan. Karenanya, wacana spiritualitas pun nyaris tidak bisa beranjak dari wilayah tubuh dan psikis untuk bergerak ke wilayah jiwa dan ruh, sebagai habitat lain dari spiritualitas.
Sebenarnya konsep dikaiosyne dan aretè dari Socrates perlu juga perhatikan. Amati kisah hidup Einstein. Sewaktu kecil dia benar-benar anak yang payah. Dipandang bodoh dalam semua mata pelajaran, kecuali matematika. Bahkan gurunya menyatakan kelak bila Einstein besar, dia takkan menjadi apa-apa. Ternyata Einstein jadi fisikawan terbesar di abad dua puluh. Amati juga kisah hidup Thomas Alva Edison yang akhirnya dididik sendiri oleh ibunya setelah guru di sekolah menolak mendidiknya. Setelah dewasa dia malah jadi seorang penemu. Dia bahkan betah melakukan eksperimen 1000 kali untuk menemukan lampu. Hal yang paling mencolok dari kisah kedua tokoh itu adalah energi minimal yang sejalan dengan konsep dikaiosyne dan aretè dari Socrates. Energi minimal itu semacam bayangan jati diri individu. Suatu kemampuan utama yang dimiliki seseorang yang mengalir mudah ketika mengerjakan sesuatu. Energi minimal tidak mengisyaratkan seseorang harus mengerjakan sesuatu tanpa kerja keras. Orang malah bisa kerja keras siang-malam, namun tidak merasa sedang bekerja susah payah. Setiap orang memiliki energi minimal, sehingga ada yang mudah mendalami filsafat, ekonomi, atau bahasa, dan lain sebagainya. Seseorang bisa saja bekerja keras menggeluti suatu hal, bukan dengan energi minimalnya, tetapi lebih kepada hasrat dan ambisi untuk meraih suatu hal. Akan tetapi, tak setiap energi minimal tersebut dimanfaatkan oleh manusia untuk memahami dirinya. Sering kali yang terjadi adalah: terciptanya jurang yang lebar antara pengetahuan yang diperoleh melalui “energi minimal” dan pengenalan diri melalui pengetahuan tersebut.[]
1. Untuk pembahasan tentang Plato di bagian ini, buku yang dipakai adalah terjemahan lengkap karya Plato oleh Benjamin Jowett, The Dialogues of Plato (1952), William Benton Publisher: London.
2. Dalam buku Hermeneutics of the Self, Michel Foucault menafsirkan bahwa bukan gnothi se authon (kenali dirimu sendiri) yang menjadi dasar dari hubungan antara subjek dengan kebenaran dalam pemikiran Yunani, tapi epimeleia heatou (kepedulian akan diri). Foucault memang sangat menaruh perhatian terhadap tubuh, sementara Plato lebih menaruh perhatian pada psyché. Sebagai filsuf kontemporer, Foucault memang tidak mengakui dan tidak tertarik pada gagasan tentang cetak biru manusia, berseberangan dengan para filsuf Yunani. Untuk pembahasan tentang pemikiran para filsuf Yunani, lihat John Marshall, A Short History of Greek Philosophy, 1891, London: Percival and Co.
3. Akar katanya adalah philos (cinta) atau philia (persahabatan, kasih sayang, kesukaan atau ketertarikan pada) dan sophos (orang bijak) atau sophia (kebijakan).
4. Dalam makalah ini, istilah psyché dalam filsafat Plato tetap dipertahankan dan tidak diganti dengan jiwa atau psikis, agar menegaskan perbedaan entitas dan maknanya dengan psikis yang akan dibahas berikutnya.
5. Saat mempelajari khazanah Yunani Kuno, orang seringkali terpancing untuk bertanya apakah bangsa Yunani itu menganut politeisme atau monoteisme. G.M.A. Grube mencatat bahwa kata theos dalam bahasa Yunani tidak memiliki makna yang sama dengan kata Tuhan sebagaimana dipahami hari ini. Wilamowitz, seorang peneliti dari Jerman, mencatat mengenai asosiasi dari suatu kata Yunani yang kita dapati dalam pikiran ketika kita berbicara tentang theos-nya Plato, terutama yang memiliki sebuah daya predikatif. Orang Yunani tidaklah seperti para penganut agama hari ini yang pertama-tama menegaskan keberadaan Tuhan, untuk kemudian menyebutkan satu persatu atributnya seperti “Tuhan itu Maha Pemurah”, “Tuhan adalah Cinta” dan lain sebagainya. Dalam hal ini, apabila orang Yunani terkesan atau terpesona oleh sesuatu dalam kehidupan atau alam yang luar biasa, entah itu menyenangkan atau menakutkan, maka mereka akan mengatakan “ini adalah theos” atau “itu adalah theos”. Apabila para penganut agama monoteis hari ini mengatakan “Tuhan adalah cinta”, maka orang Yunani mengatakan “Cinta adalah theos”. Hal ini ditegaskan pula oleh Grube bahwasanya “dengan mengatakan bahwa cinta, atau kejayaan, adalah theos, atau untuk lebih akuratnya, suatu tuhan, pertama-tama dan terdepan sekali dimaksudkan, bahwa hal itu lebih dari pada manusia, bukan subjek atas kematian, keabadian…Setiap kekuasaan, setiap kekuatan yang kita lihat bekerja di dunia, yang tidak terlahir bersama dengan kita dan akan tetap berlangsung setelah kita pergi, oleh karena itu dapat disebut sebagai theos, dan kebanyakan di antara mereka memang demikian.” (Grube, G.M.A., Plato’s Thought, 1935, Methuen & Co. Ltd: London, hlm. 150). Bahkan dalam puisi Euripides dikatakan bahwa “Penghargaan di antara teman-teman adalah theos”. Para filsuf Milesian menyebutkan bahwa theos adalah sebuah substrata dari dunia fisik yang mereka cari. Bahkan Thales pun mengatakan bahwa dunia ini dipenuhi oleh theos. Oleh karena itu, hal ini harus diperhatikan dengan cermat saat menyimpulkan ihwal monoteisme atau politeisme pada bangsa Yunani. Di samping itu, Socrates pun sering menyebut Tuhan dalam konotasi monoteis.
6. D. Lee dalam terjemahan The Republic yang diterbitkan oleh Penguins Books tahun 1987 membuat diagram sebagai berikut:
7. Zoetmulder, P.J., Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa, 1995, Gramedia: Jakarta, cet. 3, hlm. 286.
8. Saat ini sémeion dipakai sebagai nama salah satu cabang keilmuan dalam filsafat dan bahasa, yaitu semiotika.
9. Socrates menunjukkan bahwa misi hidupnya untuk masyarakat Athena seperti rasul dari kaumnya. Dalam melaksanakan misi hidupnya, sikap Socrates sangat bersesuaian dengan paparan QS Yâsîn [36]: 21: “Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah muhtadun (orang yang mendapat petunjuk).
10. W.K.C.Guthrie, The Greek Philosophers: From Thales to Aristotle, 1972, Methuen: London, hlm. 6.
11. Gilles Deleuze & Felix Guattari, What is Philosophy?, 1994, Columbia University Press: New York.
12. Untuk buku yang membahas tentang konsep sahabat dalam khazanah Yunani, lihat Lorraine Smith Pangle, Aristotle and the Philosophy of Friendship, 2003, Cambridge University Press: Cambridge.
13. Wilayah di luar jangkauan manusiawi sebenarnya merupakan wilayah ilahi yang mungkin dicapai karena manusia mempunyai cahaya dari Sang Maha Cahaya (Tuhan). Dengan demikian, realitas hanyalah layar yang memantulkan ‘film’ dari pikiran Tuhan yang diproyeksikan melalui Ruang dan Waktu, dan terutama pada pikiran manusia. Lihat Gilles Deleuze, Cinema I: The Movement-Image, 1986, Minneapolis: University of Minnesota Press
14. Dalam beberapa hal, filsafat bersifat reduksionistik meski menghasilkan ketajaman-ketajaman tertentu, karena pola pikirnya adalah “kalau bukan ini pastilah itu, kalau bukan itu pastilah anu.”
15. Michel Foucault, filsuf yang sering disebut-sebut sebagai alter-ego Deleuze, menegaskan bahwa filsafat, sejalan konsep kuasa/pengetahuan yang dirumuskannya, merupakan alat untuk memperbaiki keseimbangan otoritas atas individu, melalui pembongkaran berbagai struktur kuasa yang dimaksudkan untuk mengontrol kita. Sebagai perbandingan dengan rumusan Deleuze & Guattari, Alain Badiou mengemukakan empat dimensi filsafat. Pertama, pemberontakan (revolt), yaitu filsafat itu mengandung kekecewaan terhadap dunia yang sedang dihadapi, juga ketidakpuasan terhadap pemikiran sebelumnya, sehingga filsafat selalu mengandung pikiran berkonfrontasi atau memberontak secara logis.Kedua, logika, artinya filsafat selalu memegang keyakinan akan daya argumen dan penalaran yang merupakan logika baru untuk zamannya yang mengatasi cara pikir lama yang menjadi sumber ketidakpuasannya. Ketiga, univesalitas, artinya filsafat menganggap semua manusia sebagai makhluk yang berpikir dan mampu memahami pemikiran yang dikandung filsafat, sehingga meskipun menggunakan logika baru, semestinya dapat dipahami sebagai pemikiran universal. Keempat, risiko, bahwa pemikiran filsafat selalu merupakan keputusan yang mendukung sudut pandang baru dengan berbasis pada komitmen yang dipegang dalam situasi yang mengandung kemungkinan lain yang merupakan pertaruhan atau risiko. Lihat Alain Badiou, Infinite Thought: Truth and the Return to Philosophy, 2003, Continuum: London.
16. Gilles Deleuze & Felix Guattari, Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, 1989, University of Minnesota Press: Minneapolis.
17. Berasal dari bahasa Yunani hermeneuein (menafsirkan) dan hermeneia (tafsiran). Istilah ini terkait dengan tokohHermes dalam mitologi Yunani yang diutus menyampaikan pesan para dewa kepada manusia dan terpaksa menafsirkannya terlebih dahulu. Mitos tersebut menyiratkan unsur-unsur penting tafsir, yakni: mengungkapkan(express), menjelaskan (explain), dan menerjemahkan (translate) yang di kemudian hari menjadi telaahan utama hermeneutika. (Uraian tentang hermeneutika di bagian ini dirangkum dari berbagai kuliah hermeneutika yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto.)
18. Bambang Sugiharto, ‘Kondisi Manusia di Awal Abad 21’, makalah yang tidak dipublikasikan
19. Untuk pembahasan terkait topik ini, lihat Martin Heidegger, Being and Time, diterjemahkan oleh John Macquarrie and Edward Robinson, New York: Harper & Row, 1962, atau terjemahan baru oleh Joan Stambaugh, Albany: State University of New York Press, 1996, juga Poetry, Language, Thought, London: Harper and Row,1975 dan On the Way to Language, New York: Harper & Row, 1966.
20. Lihat Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, 1975, New York: Seabury Press, 2nd rev. edn, New York: Crossroad, 1990.
21. Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern, 1987, Gramedia: Jakarta, hlm. 44.
22. Ibid., hlm. 58.
23. Lihat ibid.
24. Ibid., hlm. 61.
25. Ibid., hlm. 62.
26. Ibid., hlm. 62.
27. Ibid., hlm. 62.
28. Ibid., hlm. 64.
29. Ibid., hlm. 64-65.
30. Ibid., hlm. 65.
31. Lihat Jacques Lacan, Ecrits: The First Complete Edition in English, W.W. Norton & co: New York & London, penerjemah Bruce Fink, terutama tulisan “The Mirror Stage as Formative of the I Function as Revealed in Psychoanalytic Experience” (hlm 75-81) dan “The Function and Field of Speech and Language in Psychoanalysis” (hlm 197-268).
Komentar
Posting Komentar