Khuntsa, Mukhannats, Transgender
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ada beberapa yang bilang bahwa istilah untuk LGBT di fikih klasik sudah ada, yaitu kalau tidak “khuntsa” ya “mukhannats”. Khusus untuk “khuntsa”, jelas tidak tepat. Sedangkan “mukhannats” bisa saja ekuivalen dengan kata yang disingkat jadi huruf “T” dalam LGBT, yaitu transgender, atau yang di Indonesia disebut “waria”.
“Khuntsa” adalah orang yang punya kelamin lelaki dan wanita sekaligus. Khuntsa sering diterjemahkan dengan hermaprodit atau—dalam istilah yang lebih baru dan cakupan maknanya lebih luas—“intersex” (yang disingkat jadi huruf “I” dalam LGBTIQ). Pembahasan tentang khuntsa di fikih klasik lumayan detil: dari posisi saat salat jamaah, batasan aurat, hak waris, hingga pengurusan jenazahnya. Dalam fikih klasik, ada dua jenis khuntsa: yang mudah diidentifikasi apakah dia lelaki atau perempuan (khuntsa ghairu musykil) dan yang sulit diidentifikasi (khuntsa musykil).
Adapun mengenai “mukhannats”, dengan merujuk ke al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (Ensiklopedi Fikih Kuwait), definisinya adalah “alladzi yusyabbihu al-mar’ah fil-liyni wal-kalam wan-nazhar wal-harakah wanahwi dzalika” (lelaki yang menyamai wanita dalam kelembutan, cara bicara, cara melihat, cara bergerak, dan semacamnya). Definisi di berbagai literatur fikih klasik lainnya kurang lebih sama dengan ini.
Apakah “mukhannats” terjemahan yang ekuivalen untuk kata “transgender”? Ada dua pendapat: tidak dan ya.
Saya pribadi cenderung pada yang tidak. Transgender adalah orang yang antara “identitas gender” dan jenis kelamin (biological sex) tidak selaras. Ada yang identitas gendernya lelaki tapi kelaminnya perempuan (trans-man); ada yang identitas gendernya perempuan tapi kelaminnya lelaki (trans-woman). Bahasa Arab (modern) untuk transgender adalah “al-mutahawwil jinsiyyan” atau kadang disebut singkat dengan “mughayir” (yang berbeda, yang tidak ‘match’ [antara gender dan kelaminnya])—istilah ini, sepanjang yang saya tahu, tidak ada fikih klasik. Lebih mudahnya untuk dipahami, sebagaimana banyak orang bilang, transgender adalah orang yang jiwanya perempuan tapi terperangkap di tubuh lelaki, atau sebaliknya. Transgender masuk dalam kategori “identitas gender” (al-huwiyyah al-jinsiyyah), bukan “orientasi seksual” (al-muyul al-jinsiyyah), dan karena itu bisa saja ada transgender yang hetero maupun homo.
Sedangkan “mukhannats” lebih tepat diterjemahkan sebagai “effeminate man”, lelaki yang perilakunya seperti wanita, atau yang di Indonesia disebut “banci” (agaknya ini kata yang sudah peyoratif). Bedanya dari transgender yang merupakan kategori identitas gender, “effeminate” lebih menekankan pada peran gender (gender roles), dengan mempertimbangkan premis bahwa sifat kelelakian (maskulinitas) dan kewanitaan (femininitas) ditentukan sebagian besar oleh kultur setempat. Kalau anda buka wikipedia (yang berbahasa Inggris), atau bahkan google translate, terjemah untuk mukhannats adalah effeminate, dan ini menurut saya sudah benar. Kalau argumen ini disetujui, berarti sebenarnya belum ada istilah transgender di fikih klasik.
Namun demikian, dalam diskursus Islam kontemporer tak sedikit yang menyamakan transgender dengan mukhannats, dan bagaimana sikap Islam terhadap transgender dicarikan presedennya (di-ilhaq-kan) dengan bagaimana sikap Islam terhadap mukhannats. Baiklah, di uraian berikut kita ikuti pandangan ini.
Apa kata fikih klasik tentang mukhannats? Pembahasan tentang ini tidak sedetil bahasan tentang khuntsa, tapi ia ada, dan kata “mukhannats” itu sendiri memang disebut dalam beberapa hadis (di Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, dll.). Di dalam beberapa hadis itu dilaporkan bahwa seorang mukhannats suka masuk kamar para istri Nabi—boleh jadi mereka menjadi khadim atau pelayan. Dalam hadis di Sunan Abi Dawud (bab khusus tentang mukhannats) riwayat Ummul-Mu’minin ‘Aisyah disebut bahwa mukhannats itu masuk dalam kategori “ghayr ulil-irbah minar-rijal” (para lelaki yang tidak punya hasrat seks dengan wanita)—ini frase yang disebut dalam QS 24:31, yang kepada mereka para muslimah boleh membuka hijabnya; dan di tafsir-tafsir klasik ada beragam pendapat tentang siapa saja yang masuk dalam kategori ini. Dalam hadis riwayat Ummu Salamah di Sahih Bukhari mukhannats itu disebut namanya, “Hit”. Di hadis lain di Sunan Abi Dawud, ada mukhannats yang memakai henna di tangan dan kakinya, yang lalu dibawa ke hadapan Nabi, dan kemudian oleh Nabi orang itu diminta untuk diungsikan ke an-Naqi’, satu kawasan dekat Madinah. Lalu para sahabat bertanya, “Tidakkah kita bunuh dia?” Jawab Nabi, “Inni nuhitu ‘an qatlil-mushallin” (aku dilarang membunuh orang yang salat).
Karena tulisan ini dimaksudkan untuk singkat, saya tidak hendak masuk ke detail hukum untuk mukhannats ini. Silakan riset. Saya mengusulkan, sebaiknya mencari bacaan berbahasa Arab atau Inggris. Kalau mau praktis, dan anda punya program al-Maktabah as-Syamilah, tinggal search dengan kata kunci “mukhannats” (tentu dalam huruf Arab) di kitab-kitab babon hadis atau rujukan klasik tentang biografi Sahabat Nabi seperti “al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah” karya Ibn Hajar al-‘Asqalani atau “Usdul-Ghabah fi Ma’rifah as-Shahabah” karya Ibn al-Atsir. Rujukan bahasa Inggris ada, misalnya, tulisan Everett K. Rowson berjudul “The Effeminates of Early Madina” (Journal of the American Oriental Society, 1991).
Pertanyaan paling relevan untuk diajukan di sini: apakah mukhannats itu natural atau penyakit/kelainan? Pada kenyataannya ulama klasik membagi dua jenis mukhannats. Pertama, mukhannats bil-khilqah, atau yang menjadi mukhannats karena sudah bawaan. Dua, mukhannats bit-takhalluq/takalluf, atau yang jadi mukhannats bukan karena bawaan alami tapi karena sengaja meniru-niru berperangai seperti perempuan. Jenis yang kedua inilah yang diharamkan (bersama dengan “mutarajjilat” atau perempuan yang sengaja meniru-niru perangai lelaki) dan oleh Nabi ‘direlokasi’ ke pinggiran Madinah (tapi tak boleh dibunuh!).
Saya ambil contoh saja keterangan dari al-Khathib as-Syirbini dalam Mughnil-Muhtaj, syarah terhadap Minhajut-Thalibin karya Imam an-Nawawi (1233-1277 M), ulama besar mazhab Syafi’i, mazhab yang dianut sebagian besar umat Islam di Indonesia. Dikatakan di kitab itu pada bab syahadat (persaksian) bahwa mukhannats adalah “man yatakhallaq biakhlaq an-nisa’ fi harakatin aw hay’atin fayahrumu ‘alar-rijal... fain kana dzalika khilqatan fala itsma” (orang yang berperangai seperti perangai perempuan, dalam cara bergerak maupun sifatnya; maka ini diharamkan... namun bila itu sudah bawaannya, maka tiada dosa). Kalau anda bisa bahasa Arab, baca lebih jauh di sini: http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=205624
Dengan mengamini pandangan bahwa transgender adalah yang disebut sebagai mukhannats dalam fikih klasik, maka fikih transgender sudah ada presedennya. Satu catatan penting di sini, yang barangkali bisa diambil spiritnya untuk dianalogikan dalam kasus lain: suatu hal yang alami tidak bisa dihukumi haram. Yang bisa dihukumi haram, per definisi fikih, adalah tindakan yang diambil secara sengaja (bil-qashdi) dan berdasar pilihan (ikhtiyari).
‘Ala kulli hal, gender dan seksualitas kini sudah jadi disiplin ilmu tersendiri, dan ia memang ilmu yang lahir di zaman modern. Sudah waktunya bagi umat Islam untuk menambah ilmu tentang ini (ini juga catatan untuk diri saya sendiri), termasuk bagaimana fikih meresponnya. Bila anda bersetuju bahwa Islam adalah agama yang dibangun di atas ilmu, maka mari sama-sama belajar dulu sebelum marah-marah. Ujaran wahyu pertama adalah “bacalah”, bukan “emosilah.” Kata “iqra” itu disebut tanpa menyebut objeknya (maf’ul bih), yang berarti implisit memerintahkan untuk membaca apa saja; bukan hanya membaca kitab suci melainkan juga membaca manusia dengan seluruh kompleksitas dunia batinnya.
Komentar
Posting Komentar