Mairil
Dalam perjalanan panjang Gambir-Kediri, di atas kereta api Gajayana, aku menanggapi sepenggal kisah dari putriku yang hari itu kuantar kembali ke Pesantrennya. “Ayah, aku boleh sharing gak…” Youma meminta izinku. Aku menganggukkan kepala tanda setuju. “Ada kejadian yang aku sebenarnya gak setuju banget, tapi kayanya sudah dianggap biasa, beberapa temanku yang junior, takut mengadukan hal ini kepada pengurus.” “Soal apa sih kak?” Tanyaku menyelidik. “Hmmm, waktu zaman ayah nyantri dulu apakah suka ada yang namanya Mairil?.”
Deg……
Aku memutar tubuh, memandangi wajah lugunya yang penuh harap akan jawabanku. “Ya kak, Mairil itu sejenis rasa suka sama sejenis, apa yang sudah kamu ketahui tentang hal itu?” Aku kembali bertanya, aku ingin dia mengemukakan semua yang dia tahu. “Iya yah, temanku jadi korban, tapi dia gak berani marah apalagi sampe ngadu ke pengurus. Tapi aku pernah tanya langsung ke salah seorang pengurus, hanya dijawab begini, “itu soal biasa di pesantren, nanti juga hilang sendiri.” Begitu jawaban pengurus di pesantrenku, tapi aku kan jijik, soalnya tuh kadang-kadang mereka yang sampe kaya pacaran gitu, saling perhatian, sampe dibelikan makanan, dicucikan baju, terus kaya dilindungin gitu deh.”
Enough
Aku bersyukur, sejak kecil putriku sangat terbuka untuk menceritakan apapun peristiwa yang terjadi, sejak dari sekolah dasar sampai sekarang di usia memasuki sekolah menengah atas. Keterbukaan semacam ini penting, agar kita sebagai orang tua, bisa bersama-sama anak merenda kehidupan yang keras dengan berbagai ujiannya.
Fenomena Mairil, sepertinya dianggap biasa, padahal ia bisa meningkat pada aktivitas seks yang mengerikan. Di Pesantren dikenal dengan istilah “nyempet”. Nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang sejenis.
Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam hubungan seksual satu jenis kelamin.
Salah seorang pelaku Mairil yang saya kenal dengan baik, bahkan berlanjut setelah lulus dari Pesantrennya di Jawa Barat. Ketika akhirnya menikah ternyata hanya bertahan dua tahun, karena terbukti sang istri dianggurin alias tidak disentuh. Mereka bercerai, istrinya sudah menikah lagi dan setahun kemudian melahirkan. Sementara temanku itu sampai sekarang tidak menikah lagi. Meskipun pengetahuan agamanya sangat bagus, di kampungnya dia seorang ustadz yang cukup disegani.
Lain lagi cerita Munir, bukan nama sebenarnya, ia benar-benar aktivis LGBT, cowok berkulit putih dan berambut panjang ini memegang jaringan utama homoseksual untuk alumni Pesantren. Gila, tapi ini fakta yang sebenarnya. Lelaki berwajah imut ini pernah menyampaikan kepada saya, “alumni-alumni Pesantren yang tidak punya salurannya, kan perlu difasilitasi ustadz, beberapa dari mereka sudah pernah berkencan dengan saya, suka sama suka, tanpa paksaan.”
Stop…
Apa yang saya ceritakan bukan yang pertama, Syarifuddin, alumni Pesantren Wonorejo, bahkan pernah menuliskan sebuah buku kontraversial yang diberi judul, “Mairil, Sepenggal kisah biru di Pesantren.”
Budaya Mairil, saya duga, tidak akan segera berakhir, iklim sosiologis Pesantren serta kekurangpedulian pengurus pada fenomena ini, menjadi salah satu indikator dugaan saya. Aktivitas harian yang mempertemukan kelamin sejenis berpeluang melahirkan apa yg disebut dalam istilah Jawa, “witing tresno jalaran songko kulino_cinta tumbuh karena terbiasa.” Tapi kan itu sejenis? Bukankah mereka juga belajar bahwa yang demikian itu diharamkan? Tidakkah materi fikih dan hadits apalagi kitab akhlaq banyak menyinggung persoalan ini? Ya, benar sekali, tapi boleh jadi, ketiadaan lawan jenis di sekitar Pesantren telah membentuk konstruksi seksual yang demikian itu.
Maka, pada saat diberi amanat mendirikan pesantren, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat kamar besar yang menampung semua santri, dan menyediakan kamar kakak pendamping di dalam ruangan besar asrama santri itu. Berikutnya adalah mendirikan Asrama putri di area Pesantren besar juga dengan konsep yang sama. Mereka masih bisa berjumpa saat sekolah, apel, makan dan sholat jamaah. Meskipun bukan tanpa hambatan, karena ujian awal adalah banyak santri yang ketahuan berpacaran, meskipun hanya lewat surat-suratan lewat modus “tukar buku pelajaran”, tapi Alhamdulillah seiring waktu semua dapat dikontrol lewat pendampingan. Setiap pekan ada small gathering antara kakak pendamping dengan adik-adik dampingannya. Sejauh ini sih efektif, mereka mulai terbangun spirit mengasihi sebagai keluarga, keluarga besar Pesantren Motivasi Indonesia.
Deg……
Aku memutar tubuh, memandangi wajah lugunya yang penuh harap akan jawabanku. “Ya kak, Mairil itu sejenis rasa suka sama sejenis, apa yang sudah kamu ketahui tentang hal itu?” Aku kembali bertanya, aku ingin dia mengemukakan semua yang dia tahu. “Iya yah, temanku jadi korban, tapi dia gak berani marah apalagi sampe ngadu ke pengurus. Tapi aku pernah tanya langsung ke salah seorang pengurus, hanya dijawab begini, “itu soal biasa di pesantren, nanti juga hilang sendiri.” Begitu jawaban pengurus di pesantrenku, tapi aku kan jijik, soalnya tuh kadang-kadang mereka yang sampe kaya pacaran gitu, saling perhatian, sampe dibelikan makanan, dicucikan baju, terus kaya dilindungin gitu deh.”
Enough
Aku bersyukur, sejak kecil putriku sangat terbuka untuk menceritakan apapun peristiwa yang terjadi, sejak dari sekolah dasar sampai sekarang di usia memasuki sekolah menengah atas. Keterbukaan semacam ini penting, agar kita sebagai orang tua, bisa bersama-sama anak merenda kehidupan yang keras dengan berbagai ujiannya.
Fenomena Mairil, sepertinya dianggap biasa, padahal ia bisa meningkat pada aktivitas seks yang mengerikan. Di Pesantren dikenal dengan istilah “nyempet”. Nyempet merupakan jenis atau aktivitas pelampiasan seksual dengan kelamin sejenis yang dilakukan seseorang ketika hasrat seksualnya sedang memuncak, sedangkan mairil merupakan perilaku kasih sayang kepada seseorang yang sejenis.
Perilaku nyempet terjadi secara insidental dan sesaat, sedangkan mairil relatif stabil dan intensitasnya panjang. Namun dalam banyak hal antara nyempet dan mairil mengandung konotasi negatif, yaitu sama-sama terlibat dalam hubungan seksual satu jenis kelamin.
Salah seorang pelaku Mairil yang saya kenal dengan baik, bahkan berlanjut setelah lulus dari Pesantrennya di Jawa Barat. Ketika akhirnya menikah ternyata hanya bertahan dua tahun, karena terbukti sang istri dianggurin alias tidak disentuh. Mereka bercerai, istrinya sudah menikah lagi dan setahun kemudian melahirkan. Sementara temanku itu sampai sekarang tidak menikah lagi. Meskipun pengetahuan agamanya sangat bagus, di kampungnya dia seorang ustadz yang cukup disegani.
Lain lagi cerita Munir, bukan nama sebenarnya, ia benar-benar aktivis LGBT, cowok berkulit putih dan berambut panjang ini memegang jaringan utama homoseksual untuk alumni Pesantren. Gila, tapi ini fakta yang sebenarnya. Lelaki berwajah imut ini pernah menyampaikan kepada saya, “alumni-alumni Pesantren yang tidak punya salurannya, kan perlu difasilitasi ustadz, beberapa dari mereka sudah pernah berkencan dengan saya, suka sama suka, tanpa paksaan.”
Stop…
Apa yang saya ceritakan bukan yang pertama, Syarifuddin, alumni Pesantren Wonorejo, bahkan pernah menuliskan sebuah buku kontraversial yang diberi judul, “Mairil, Sepenggal kisah biru di Pesantren.”
Budaya Mairil, saya duga, tidak akan segera berakhir, iklim sosiologis Pesantren serta kekurangpedulian pengurus pada fenomena ini, menjadi salah satu indikator dugaan saya. Aktivitas harian yang mempertemukan kelamin sejenis berpeluang melahirkan apa yg disebut dalam istilah Jawa, “witing tresno jalaran songko kulino_cinta tumbuh karena terbiasa.” Tapi kan itu sejenis? Bukankah mereka juga belajar bahwa yang demikian itu diharamkan? Tidakkah materi fikih dan hadits apalagi kitab akhlaq banyak menyinggung persoalan ini? Ya, benar sekali, tapi boleh jadi, ketiadaan lawan jenis di sekitar Pesantren telah membentuk konstruksi seksual yang demikian itu.
Maka, pada saat diberi amanat mendirikan pesantren, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat kamar besar yang menampung semua santri, dan menyediakan kamar kakak pendamping di dalam ruangan besar asrama santri itu. Berikutnya adalah mendirikan Asrama putri di area Pesantren besar juga dengan konsep yang sama. Mereka masih bisa berjumpa saat sekolah, apel, makan dan sholat jamaah. Meskipun bukan tanpa hambatan, karena ujian awal adalah banyak santri yang ketahuan berpacaran, meskipun hanya lewat surat-suratan lewat modus “tukar buku pelajaran”, tapi Alhamdulillah seiring waktu semua dapat dikontrol lewat pendampingan. Setiap pekan ada small gathering antara kakak pendamping dengan adik-adik dampingannya. Sejauh ini sih efektif, mereka mulai terbangun spirit mengasihi sebagai keluarga, keluarga besar Pesantren Motivasi Indonesia.
Bukan Penyakit
Budaya Mairil di Pesantren yang tumbuh lewat sebuah sistem yang tak direncanakan namun dibiarkan (karena sejauh ini tidak pernah ada ta’zir khusus atas pelanggaran seperti ini), hal demikian juga terjadi pada kasus tumbuh kembang anak di lingkungan keluarga yang tak sempat mengenali perubahan orientasi seksual anak-anak.
Pada banyak kasus dampingan, saya menemukan “pembiaran” di masa awal sebagai biang keladi paling efektif liarnya orientasi seksual anak. Beberapa data kasus yang pernah saya tangani, Ada anak laki-laki yang tumbuh bersama semua saudaranya yang perempuan, lalu ia berubah orientasi ke arah feminin. Ada juga anak perempuan yang sejak masa kehamilannya dulu diharapkan oleh orang tuanya terlahir laki-laki, faktanya ia lahir sebagai perempuan. Jiwanya labil, di usia remaja ia memilih menjadi perempuan macho, waktu anak ini berumur 14 tahun pernah bertanya kepada saya di mana dokter yang bisa membantunya operasi kelamin, “aku sudah muak terlahir sebagai perempuan ust, jiwaku, lahir batin adalah lelaki.” Begitu kata dia, saya masih mengingatnya dengan jelas.
Ada juga kasus seorang anak yang tumbuh di keluarga religius, ia tumbuh dengan dua saudara lelaki dan lima saudara perempuan, namun sejak kecil memilik fantasi seks yang luar biasa, wajahnya yang standar membuatnya frustasi karena tidak pernah mendapatkan pacar, sehingga suatu waktu mendapatkan pelecehan seksual (baca: sodomi) dari pamannya. Ia berkembang menjadi pecinta laki-laki, namun, usai pendampingan, Alhamdulillah orientasi seksualnya dapat diarahkan untuk kembali normal. Kini ia sudah menikah dengan perempuan yang dicintainya dan telah memberinya keturunan, dua anak kembar perempuan.
Ada lagi kasus keluarga dari minoritas tionghoa, ya Allah temanku ini, meski beda agama mereka orang-orang baik, tapi perlakuan para tetangga kepada mereka sangat keji, tudingan sebagai antek PKI amat menyakitkan. Mereka hijrah dari Jakarta lalu bertekad menjadikan anak-anaknya sukses lewat pendidikan tinggi. Salah satu putranya berhasil menamatkan magister bisnis di Sorbonne University, Paris, lalu tinggal di sana, setelah menikah ternyata ditinggal istrinya yang selingkuh. Tekanan demi tekanan dalam hidupnya membuatnya memilih menjadi Homoseksual. Ia mendapatkan kepuasan batin bersama teman prianya.
Belum lagi cerita seorang teman yang lahir dan besar di tengah dominasi keluarga baik orang tua maupun kakak-kakaknya. Rafi, sebut saja begitu, merasa dikerdilkan, tak punya hak suara, keputusan selalu didominasi oleh keluarganya. Ia bagaikan boneka yang tak boleh protes, meskipun harta berlimpah, tekanan batinnya tak jua dimengerti sehingga ia berjumpa dengan teman lelakinya yang memberinya perhatian, mereka jatuh cinta dan kini tinggal serumah di Amsterdam.
Rumah adalah pesantren kecil. Pesantren adalah rumah besar. Bila di rumah ada ayah, ibu, kakak dan adik, maka di Pesantren ada Kyai, ustadz pendamping dan juga teman-teman sepengajian dan sepergaulan. Di antara keberadaan para subjek di atas ada sebuah sistem nilai dan juga rules yang terkadang tidak berpihak kepada mereka yang berorientasi seksual berbeda.
Bagi saya, homoseksual bukan penyakit, apalagi disejajarkan dengan Schizophrenia. Penderita Schizophrenia dikarenakan kesadarannya yang berubah, seringkali tingkah polah mereka jadi aneh (Bisa tampak lucu, ngoceh sendiri atau paranoid ). Tetapi, bukannya kasihan, orang yang sakit seperti ini justru seringkali jadi bahan tontonan, bahan olok-olok yang seolah asyik.
Pada banyak kasus dampingan, saya menemukan “pembiaran” di masa awal sebagai biang keladi paling efektif liarnya orientasi seksual anak. Beberapa data kasus yang pernah saya tangani, Ada anak laki-laki yang tumbuh bersama semua saudaranya yang perempuan, lalu ia berubah orientasi ke arah feminin. Ada juga anak perempuan yang sejak masa kehamilannya dulu diharapkan oleh orang tuanya terlahir laki-laki, faktanya ia lahir sebagai perempuan. Jiwanya labil, di usia remaja ia memilih menjadi perempuan macho, waktu anak ini berumur 14 tahun pernah bertanya kepada saya di mana dokter yang bisa membantunya operasi kelamin, “aku sudah muak terlahir sebagai perempuan ust, jiwaku, lahir batin adalah lelaki.” Begitu kata dia, saya masih mengingatnya dengan jelas.
Ada juga kasus seorang anak yang tumbuh di keluarga religius, ia tumbuh dengan dua saudara lelaki dan lima saudara perempuan, namun sejak kecil memilik fantasi seks yang luar biasa, wajahnya yang standar membuatnya frustasi karena tidak pernah mendapatkan pacar, sehingga suatu waktu mendapatkan pelecehan seksual (baca: sodomi) dari pamannya. Ia berkembang menjadi pecinta laki-laki, namun, usai pendampingan, Alhamdulillah orientasi seksualnya dapat diarahkan untuk kembali normal. Kini ia sudah menikah dengan perempuan yang dicintainya dan telah memberinya keturunan, dua anak kembar perempuan.
Ada lagi kasus keluarga dari minoritas tionghoa, ya Allah temanku ini, meski beda agama mereka orang-orang baik, tapi perlakuan para tetangga kepada mereka sangat keji, tudingan sebagai antek PKI amat menyakitkan. Mereka hijrah dari Jakarta lalu bertekad menjadikan anak-anaknya sukses lewat pendidikan tinggi. Salah satu putranya berhasil menamatkan magister bisnis di Sorbonne University, Paris, lalu tinggal di sana, setelah menikah ternyata ditinggal istrinya yang selingkuh. Tekanan demi tekanan dalam hidupnya membuatnya memilih menjadi Homoseksual. Ia mendapatkan kepuasan batin bersama teman prianya.
Belum lagi cerita seorang teman yang lahir dan besar di tengah dominasi keluarga baik orang tua maupun kakak-kakaknya. Rafi, sebut saja begitu, merasa dikerdilkan, tak punya hak suara, keputusan selalu didominasi oleh keluarganya. Ia bagaikan boneka yang tak boleh protes, meskipun harta berlimpah, tekanan batinnya tak jua dimengerti sehingga ia berjumpa dengan teman lelakinya yang memberinya perhatian, mereka jatuh cinta dan kini tinggal serumah di Amsterdam.
Rumah adalah pesantren kecil. Pesantren adalah rumah besar. Bila di rumah ada ayah, ibu, kakak dan adik, maka di Pesantren ada Kyai, ustadz pendamping dan juga teman-teman sepengajian dan sepergaulan. Di antara keberadaan para subjek di atas ada sebuah sistem nilai dan juga rules yang terkadang tidak berpihak kepada mereka yang berorientasi seksual berbeda.
Bagi saya, homoseksual bukan penyakit, apalagi disejajarkan dengan Schizophrenia. Penderita Schizophrenia dikarenakan kesadarannya yang berubah, seringkali tingkah polah mereka jadi aneh (Bisa tampak lucu, ngoceh sendiri atau paranoid ). Tetapi, bukannya kasihan, orang yang sakit seperti ini justru seringkali jadi bahan tontonan, bahan olok-olok yang seolah asyik.
Kegagalan Parenting
Homoseksual dan Lesbian atau Mairil pada budaya Pesantren maupun di rumah adalah fakta kegagalan parenting. Orang tua dan pengasuh anak boleh jadi terlalu asyik dengan dunianya sehingga tak mengenali disorientasi seksual anak-anaknya. Seiring waktu mereka tumbuh bersama fantasi yang tak bisa dikekang. Pada gilirannya mereka tinggal menunggu bom waktunya; kekecewaan mendalam, selalu disalahkan, dipermalukan di depan umum, kerap menjadi objek bullying dan dikucilkan dalam dominasi lingkungan sekitar.
Semua fakta ini saya beberkan dari sisi kemanusiaan untuk bisa mengenali mereka. Bahwa pilihan menjadi Homoseksual atau Lesbian bukan sesuatu yang baru datang, ada sejuta persoalan yang melatarbelakanginya. Lalu tiba-tiba saja sebagian kita mem-bypass-nya dan tampil sebagai polisi agama menghujat, mencaci, memaki, menyebut mereka gila, menuduh pewaris kaum sodom, pengundang adzab Tuhan dan karenanya harus segera dibumi-hanguskan, sebagaimana dulu kaum Sodom dihancurkan Tuhan.
Saya yakin ada skenario Tuhan yang lebih positif untuk memanggil para pemerhati kemanusiaan, menemukan upaya pendampingan terhebat, bukan dengan legalitas perkawinan antar mereka, tetapi penerimaan atas eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, manusia seperti kita.
Terkadang, ada sesuatu yang kukhawatirkan, bila ternyata kemudian ada di antara orang terdekat kita yang mengalami itu.. kebanyakan memang perasaan iba bercampur dengan rasa malu tanpa bisa mungkin tidak tahu bagaimana melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan mereka, yang ada hanya menyalahkan, mencurigai begitu seterusnya.
Pendampingan terhadap masalah yang sensitif ini tidak pernah terbuka disosialisasikan secara umum dan terbuka, bahkan oleh tokoh agama sekalipun. Sebagian besar akan dicibir karena dianggap mendukung, padahal tujuannya untuk membantu mengatasi masalah ini sampai ke akarnya yang mendalam.
Bahwa ada yang menyebut ini sebagai rekayasa global atau konspirasi internasional menghancurkan Islam, saya rasa terlalu berlebihan, bagaimana tidak, budaya nyempet dan mairil di Pesantren saja masih belum ada penyelesaian. Tokoh agama banyak yang sembunyi di balik busana kesalehan, menyerang dengan hujatan tanpa solusi untuk mengembalikan fitrah mereka. Kasus yang dialami Rahman dan Bowo (dua klien saya yang saya tuturkan pada postingan sebelum ini merupakan fakta tak terbantahkan bahwa rencana taubat mereka saja dimentahkan oleh sebagian kalangan agamawan).
Semua fakta ini saya beberkan dari sisi kemanusiaan untuk bisa mengenali mereka. Bahwa pilihan menjadi Homoseksual atau Lesbian bukan sesuatu yang baru datang, ada sejuta persoalan yang melatarbelakanginya. Lalu tiba-tiba saja sebagian kita mem-bypass-nya dan tampil sebagai polisi agama menghujat, mencaci, memaki, menyebut mereka gila, menuduh pewaris kaum sodom, pengundang adzab Tuhan dan karenanya harus segera dibumi-hanguskan, sebagaimana dulu kaum Sodom dihancurkan Tuhan.
Saya yakin ada skenario Tuhan yang lebih positif untuk memanggil para pemerhati kemanusiaan, menemukan upaya pendampingan terhebat, bukan dengan legalitas perkawinan antar mereka, tetapi penerimaan atas eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, manusia seperti kita.
Terkadang, ada sesuatu yang kukhawatirkan, bila ternyata kemudian ada di antara orang terdekat kita yang mengalami itu.. kebanyakan memang perasaan iba bercampur dengan rasa malu tanpa bisa mungkin tidak tahu bagaimana melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan mereka, yang ada hanya menyalahkan, mencurigai begitu seterusnya.
Pendampingan terhadap masalah yang sensitif ini tidak pernah terbuka disosialisasikan secara umum dan terbuka, bahkan oleh tokoh agama sekalipun. Sebagian besar akan dicibir karena dianggap mendukung, padahal tujuannya untuk membantu mengatasi masalah ini sampai ke akarnya yang mendalam.
Bahwa ada yang menyebut ini sebagai rekayasa global atau konspirasi internasional menghancurkan Islam, saya rasa terlalu berlebihan, bagaimana tidak, budaya nyempet dan mairil di Pesantren saja masih belum ada penyelesaian. Tokoh agama banyak yang sembunyi di balik busana kesalehan, menyerang dengan hujatan tanpa solusi untuk mengembalikan fitrah mereka. Kasus yang dialami Rahman dan Bowo (dua klien saya yang saya tuturkan pada postingan sebelum ini merupakan fakta tak terbantahkan bahwa rencana taubat mereka saja dimentahkan oleh sebagian kalangan agamawan).
Dompet Cinta
Bila kita mau belajar dari sang utusan, Nabi Muhammad itu sempurnanya seorang teladan. Beliau memiliki spirit kasih yang tak tertandingi oleh manusia manapun di jagat raya ini. Bahkan saat dihancurkan oleh berbagai tipudaya musuh, Sang Nabi tetap saja serius melayani mereka dengan kasih sayang. Sang Nabi benar-benar mengajarkan kepada para penyeru kebajikan untuk memiliki sub-modalitas seperti yang telah beliau contohkan:
1. Equality (kesetaraan). Sang Nabi telah dipilih oleh Allah dari jenis yang sama dengan kita yakni manusia, beliau bukan Jin, bukan pula Malaikat. Karenanya, Nabi tidak diutus kepada umatnya melainkan dengan bahasa kita, kaumnya. Prinsip kesetaraan ini membuat Nabibtak boleh jumawa, meskipun derajat kenabian telah menempatkan beliau sebagai ma’shum (tak tersentuh dosa), tapi meskipun demikian kebiasaan istighfar beliau melebihi kebiasaan semua pengikut ya. Adakah di antara kita yang istighfarnya melebihi Sang Nabi?
2. Empathy (tidak semata-mata perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti perasaan organisme tubuh yang sangat dalam, lebih dari sekedar peduli). Ya, begitulah sang nabi dalam menjalani pendampingan kepada umatnya, sungguh sangat berat terasa olehnya penderitaan yang kita rasakan.
3. Solutif (menyuguhkan jalan keluar). Beliau itu sangat menginginkan keselamatan umatnya, maka sejumlah program dakwah yang mencerahkan dan berorientasi pemberdayaan telah dicanangkan oleh beliau. Beliau kerap menyuguhkan jalan keluar dalam kebingungan yang sedang dialami umatnya. Bukan menghujat apalagi mengutuknya. Kepada mereka yang memusuhinya, sang nabi berdoa, “Ya Allah, tunjukilah mereka, karena sesungghunya merek tidak mengetahui.”
4. Unconditional love (cinta tanpa syarat). Sang Nabi mencintai umatnya lahir batin bahkan menjelang wafatnya beliau berulangkali memanggil-manggil umatnya, ummatiii…ummatiii…ummatiii…. Beliau itu amat besar belas kasihannya serta amat menyayangi kita umatnya.
Duhai para penyeru kebajikan, sudahkan Dompet Cinta-mu terisi penuh dengan empat sub-modalitas kenabian?
Bacalah surat cinta Sang Pencipta yang menegaskan kembali sosok terpilih, Sayyidina Muhammad sebagai teladan kita dalam kehidupan ini:
QS 9/128. Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.
Wallâhu A’lam bi ash-shawâb
Selengkapnya disini
Komentar
Posting Komentar