Shakti: Tinjauan Hasrat dalam Tradisi Timur



Shakti-Nya yang menyala,
Membakar, sekaligus menerangi
Merengkuh tapi juga menyakiti

Dan hanya dua pilihan:
Menyambut mesra, mencandra Dia,
kesakitan yang membahagiakan
atau larut dalam semu,
dan lupa keberadaan Dia

Prolog

Benar adanya, pengalaman paling purba manusia adalah keterasingan dan kecemasan. Itulah pengalaman yang senantiasa hadir kemana pun wajah manusia menengadah, di mana pun kaki berpijak. Berpaling darinya hanya akan membuat manusia terjerembab dalam semesta kepastian semu, sebagai cikal bakal manusia kehilangan rasa metafisiknya. Keterasingan dan kecemasan adalah pengalaman yang terlahir dari tiga kegelapan yang melingkupi diri. Pertama, kegelapan yang bersumber dari kesadarannya sendiri, yakni kesadaran yang melupakan sumber eksistensinya. Dengan kata lain, kesadaran manusia terlahir dari kelupaan akan Dia. Kedua, kegelapan akan dimensi ruang yang melahirkan perasaan terasing. Perasaan yang sangat kentara saat dirinya berhadapan dengan semesta tanda yang melingkupinya. Tanda-tanda adalah pertanyaan yang butuh jawaban, sebab manusia butuh kepastian dan pegangan, dirinya akan selalu gerah, tak tahan untuk berada dalam jeratan aneka tanda tanya dan ketidakpastian. Ketiga, kegelapan akan masa depannya, perspektif terhadap waktu, sebuah masa depan dengan sekian kemungkinan yang terbuka. Kecemasan yang timbul dari rasa gamang akan tindakan apa yang mesti dijalankan, cerita seperti apakah yang layak dilakoni. Gamang terhadap segala kemungkinan yang akan datang. Dalam hal ini, keterasingan dan kecemasan itu bersifat eksistensial, ia serupa palu godam yang dengannya seorang manusia menggedor dirinya, kesadarannya, dengan berbagai pertanyaan eksistensial: Siapa aku? Dari mana dan hendak kemana diri ini? Apa gunanya hidup dan
kehidupan?

Buah dari pertanyaan eksistensial ini menjadi pengembangan daya imajinasi. Sebuah daya yang hanya dimiliki oleh manusia. Dengan daya imajinasi inilah manusia bisa mencecap realitas, dirinya dan dunianya, dengan penuh pemahaman dan penghayatan. Perkawinan daya imajinasi manusia dan bentangan realitas di hadapannya, melahirkan anak-anak berupa narasi-narasi besar yang menyejarah dalam peradaban di bumi ini, yakni, mitologi, filsafat, sains, dan agama. Dari rahim keterasingan, terlahirkan pengetahuan mengenai hakikat realitas, dengan nama metafisika ataupun ontologi. Dan dari rahim yang sama, terlahir juga epistemologi, sebuah bangunan pengetahuan yang bergulat dengan pembahasan potensi dan perangkat seperti apakah, yang dimiliki manusia secara khas, yang bisa menangkap keapaan realitas. Sedang dari rahim kecemasan, di mana kegamangan manusia berhadapan dengan alunan waktu yang mengarah linier ke masa depan, telah menyodorkan sekian pilihan terbuka, sehingga tersembullah ke permukaan pertanyaan atas tindakan apa dan bagaimana yang layak di jalani, sekaligus timbangan seperti apakah yang menjadi patokan dan ukurannya. Maka terlahirlah aksiologi, ilmu mengenai etika, yang berusaha menjawab tuntas permasalahan erbagai pilihan sikap dan tindakan yang mesti diambil.

Hanya saja, kesadaran diri manusia yang terbentuk bersamaan dengan kehadirannya di dunia ini, bersinggungan dengan kerumunan manusia lainnya, dengan sendirinya telah menjadikan watak kesadaran manusia yang cenderung kepada kesadaran kebanyakan orang dan berwatak duniawi, artinya titik referensi diri, tata nilai, ukuran benar salah, dan sebagainya, bergantung kepada nilai komunitasnya, sedangkan watak duniawi berpengaruh terhadap kesadaran yang cenderung mencari kenyamanan, sebuah jeratan psikologis yang niscaya.

Dua hal yang menjadikan manusia tidak lagi mencermati perasaan purba dari dalam dirinya, yakni kecemasan dan keterasingan. Ia, kesadaran dirinya, terburamkan, larut dalam hasrat kerumunan orang. Inilah tiga penjara dalam diri manusia, yaitu kesadaran diri yang tidak lagi otentik, serta penjara ruang dan waktu. Kesadaran yang tidak otentik ini mengarahkan manusia untuk terlarut dalam penjara ruang dan waktu. Dalam penjara ruang, ia larut dan merasa nyaman dengan objek-objek yang tak pernah selesai dan tak cukup terpuaskan. Ia bersama objek-objek membentuk dunianya sendiri, menyamankan dan memuaskan diri. Dalam penjara waktu, kesadaran diri ini larut dalam ilusi waktu, dalam putaran roda sang kala yang menyebabkan samsara (penderitaan) yang menjadikan diri tak pernah otentik dan terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian yang tak berujung, hingga ia bisa terlepas dari jeratan lingkaran samsara dan mencapai nirvana. Keterpenjaraan dalam waktu juga bisa berbentuk ketidakmampuan mengabstraksi kemungkinan peristiwa yang lepas dari ruang dan waktu, yakni kehidupan setelah kematian, di mana persoalan etika bermuara: bukankah saya berbuat baik, agar selamat di kehidupan nanti? Lantas, kapan perasaan keterasingan dan kecemasan mulai hinggap dalam diri manusia yang sudah terlarut dalam penjara ruang dan waktu? Jawabannya, jika manusia terputus dalam alunan kesehariannya, terputus dari objek-objek yang dicintainya, yang pada objek-objek tersebut dirinya melekat. Bisa berupa kehilangan atau kematian orang yang dicintainya, benda yang dimilikinya, atau kehilangan waktu rutinnya, suatu keterputusan yang mengganggu jadwal rutinitasnya.

Keterputusan dan kehilangan ini, yang darinya menyeruak perasaan asing dan cemas, sebenarnya berpotensi memunculkan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, yang mengarahkan seseorang untuk mencari diri yang otentik, menuntut upaya pembeningan dan penjernihan diri, lepas dari penjara ruang dan waktu, hanya saja, tidak demikian adanya. Pada kebanyakan orang, kecemasan dan keterasingan eksistensial ini, kemudian berusaha ditutup rapat kembali, dengan menghadirkan objek-objek dan rutinitas yang baru, mencari pengganti dari objek yang sebelumnya telah luput. Hanya sedikit sekali manusia yang tahan bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan eksistensial, yang mencoba mencari keotentikan diri, membeningkan dan menjernihkan kesadarannya

Manusia: Yang Terjatuh dan Terlupa

Pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang dibidikkan manusia terhadap keapaan dan kesiapaan akan dirinya sendiri dan semestanya, adalah pertanyaan khas manusia-manusia yang berupaya mencari kesejatian di antara belantara ketidakpastian dan kebingungannya. Tanpa bermaksud menyederhanakan, kita bisa memilah bagaimana manusia menjawab pertanyaan eksistensial tersebut ke dalam dua kerumunan besar. Kerumunan pertama adalah kerumunan manusia yang menyandarkan jawaban atas pertanyaan tadi kepada kehadiran suatu misteri yang Agung tak tertandingi, adanya Pusat, Yang Absolut, apakah itu Dewa, Tuhan, Yang Esa, Brahman, Dia, apa pun itu namanya, yang pasti Dia-lah sumber utama eksistensi diri dan semesta yang menelikungnya. Kerumunan besar yang kedua adalah manusia yang menyodorkan paket keyakinan yang tidak berdasar kepada apa pun, sumber atau pusat, apakah itu logos, Tuhan, Dewa, Kebenaran final atau apa pun namanya, yang pasti kehadiran manusia dan semesta ini, begitu saja adanya, kebetulan yang sangat akurat, tanpa campur tangan apa pun. Mereka menolak adanya sebuah pusat, sebagai titik referensi, alpha-omega, tapi sebenarnya mereka sendiri berinduk kepada satu pusat yang lain, apakah rasionalitas, hasrat yang banal, kesepakatan publik, common sense atau yang lain-lainnya, yang diciptakan oleh tangan mereka sendiri.

Untuk menelisik bagaimana rasa keterasingan sebagai sesuatu yang inheren dalam diri manusia, mari kita rujuk kepada mitos, tentang asal-usul “nenek moyang manusia”! Ia sejatinya mengguratkan catatan tentang esensi diri yang berbeda dengan semesta yang ia pijak. Benar, secara fisik manusia tak ada beda dengan unsur dasar kosmos, elemen dasar jagat raya, yang dibentuk dari 4 unsur: air, udara, api dan tanah. Tapi, esensi kedirian manusia itu sendiri bukan berasal dari semesta material ini, ia berasal dari tempat di antah berantah, di langit tinggi, di tanah surgawi, di suatu asal di mana manusia pertama hadir. Mitos dari kelompok manusia paling awal menyiratkan demikian. Orang Yunani primitif menganggap manusia muncul dari abu jasad para dewa yang mati bertempur dan jatuh ke bumi. Menyodorkan sebentuk makna bahwa manusia sebagiannya adalah ilahi atau langit dan sebagian lagi dari bumi. Dalam tradisi Semit, mitos kejatuhan Adam dan Hawa dari surga menyebabkan manusia hadir di bumi, beranak pinak memenuhi segenap penjuru. Demikian juga dengan mitos di sebagian suku-suku primitif, bahwa nenek moyang mereka berasal dari gunung yang tinggi sebagai simbol langit, atau pun dari pulau dan lautan yang sedemikian jauh.

Sebentuk alur yang teramat jelas, ihwal sebab keterasingan manusia adalah esensi dirinya yang berasal dari tempat yang tak sama dengan semesta yang ia pijak. Kesadaran diri sekarang ini adalah bentukan yang tersusun kemudian, yakni setelah manusia terlahir dan mulai mencerap beragam fenomena duniawi, setelah ia larut dalam kerumunan dan keseharian. Kesadaran diri, disebut ego oleh para psikoanalis dengan Freud sebagai pendekarnya, diteorikan sebagai sesuatu yang tumbuh dari sintesis antara endapan-endapan hasrat di bawah sadar yang libidinal dengan konstrain norma-norma sosial budaya, hasil kesepakatan kerumunan manusia. Sedangkan Lacan, meracik teorinya dari dua aliran sungai besar, psikoanalisis dan strukturalisme, menyebut ego sebagai sesuatu yang selalu teralineasi, maka ia senantiasa membenamkan diri dalam citraan-citraan yang dikonstruksi oleh kerumunan orang, oleh hasrat bersama. Sekali lagi, apa yang dinamakan kesadaran diri, yakni yang lebih bersifat ego, adalah kesadaran yang telah lupa akan esensi diri yang sejati, sumber kediriannya.
Shakti: Antara Dia dan Diri atau Antara Yang Lain dan Diri
Jika Filsafat Barat dalam kacamata Heideggerian, adalah perjalanan pemikiran yang melupakan Ada. Maka dalam kacamata tradisi, para filsuf profan dengan instrumen rasionalitasnya, telah melupakaan tidak hanya Ada, tapi juga Dia. Dalam tradisi, kajian metafisika adalah artikulasi terbatas, hanya satu segi saja dari pembahasan mengenai Dia. Metafisika yang diskemakan oleh para filsuf baik mereka yang menginduk kepada filsuf sebagai para figur terpilih, atau pun kepada para filsuf profan, hanya membahas satu segi mengenai Dia yang hadir, sebagai Wujud atau Ada, Being, Existence. Mengapa demikian, jika kita runut sejarahnya, segi Dia yang lainnya, di samping Ada, sama sekali tidak bisa diartikulasikan dalam penjara bahasa logika, dalam kategori-kategori, prinsip identitas, prinsip kontradiksi, alasan memadai, penyebab efisien dan yang lainnya.

Lalu dengan apa, kita bisa menyentuh dan meraba segi Dia yang non-Ada. Hal inilah yang kemudian dikhawatirkan oleh Alexander The Great dengan mengirimkan surat peringatan kepada sang Guru, saat Aristoteles hendak menuliskan rahasia-rahasia Ilahiah yang tinggi. Tapi Sang Guru menjamin, bahwa rahasia tersebut tidak akan tersentuh oleh mereka yang awam, dan sekadar ingatan saja bagi para rasionalis. Maka saat para penalar profan, para rasionalis, yang membaca dan mengomentari karya Aristoteles, hanya akan berhadapan dengan setumpuk kategori dan argumen logika semata. Rahasia tetap tersembunyi. Untuk meraba segi-segi dan manifestasi Dia yang lainnya, di sinilah ada sebuah metode yang dibawa oleh mereka, yang pernah menempuh perjalanan ini, mereka inilah yang disebut sebagai para figur terpilih. Inilah kemudian, yang selalu dikatakan oleh para figur terpilih, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14: 4). Untuk paham dan melihat, kita membutuhkan daya imajinasi dengan bantuan sinaran intelek.

Intelek adalah percikan dan rahmat dari Dia, buat mereka yang teguh dan setia mengikuti jalan. Dan mengikuti jalan, adalah mengikuti apa-apa yang telah ditempuh dan dirintis oleh para avatara, para rasul, para figur terpilih. Jadi, skema metafisika Barat yang berinduk kepada tradisi Yunani, telah melupakan—paling tidak terburamkan—dari aspek Dia yang non Ada (non-Wujud), maka ada baiknya kita menengok kepada khazanah Timur, yang barangkali belum begitu terganggu oleh aneka macam kemasan prinsip dan kategori, yang diikatkan pada nalar. Dia, dalam tradisi Vedanta, adalah Brahman. Sebuah nama yang sekaligus menerangkan sebuah makna yang sesuai.

Brahman dibentuk oleh akar kata Brh, yang berarti menyebar, ekspansi, yang meluas dari satu titik pusat. Brahman adalah titik pusat keseluruhan eksistensi (ruang, waktu dan kesadaran). Brahman dalam pengertian ini, disebut sebagi Saguna Brahman, atau Brahman dengan atribut, karena padanya kita bisa menyebutnya dengan nama-nama: apakah sebagai pencipta (sosok Dewa Brahma), sebagai Pemelihara (sosok Wishnu) ataupun sebagai manifestasi kecemburuan dan penarikan (sosok Siwa). Di samping Saguna Brahman, ada sisi Brahman yang gelap, yakni Nirguna Brahman, atau Brahman tanpa atribut, sosok Dia yang tak dapat terbicarakan, dan kita hanya bisa berkata: Neti, neti, neti (bukan yang ini, bukan, bukan). Saguna Brahman adalah juga Sat (Wujud), Cit (pengetahuan, kesadaran), dan Ananda (Kebahagiaan). Itulah tiga mata air sebagai manifestasi Dia.

Sedangkan jika kita kita merujuk ke dalam tradisi esoteris Islam, atau Tashawwuf, ada empat mata air atau ‘ain tsabithah, yang mengalir sebagai manifestasi Allah Ta'ala: yakni Wujud (Ada), Nûr (Cahaya), ‘Ilm, dan Syuhud. Pembahasan tentang mata air manifestasi ini akan sedemikian panjang, tapi baiknya kita ringkas saja: bahwa di samping ada mata air Wujud yang menghadirkan realitas yang nampak, terdapat pula berbagai mata air lainnya, yang tidak mewujud dan lepas dari prinsip serta kategori kosmis yang diskemakan oleh nalar.

Untuk lebih mudahnya, kita ambil saja skema mitologi dalam tradisi Hindu. Wajah Brahman yang menghadap kepada semesta diwakili oleh Trimurti (Wishnu, Siwa dan Brahma). Inilah aspek maskulinitas Brahman, Wujud Dia yang nampak. Sedangkan kita tahu bahwa Wujud, sebenarnya hasil perkawinan antara Sat dan Ananda, antara aspek Pengetahuan dan Kabahagiaan. Kebahagiaan bersimetri dengan Keindahan dan Ketakhinggaan, aspek-aspek feminin Brahman. Sehingga di samping ada Trimurti (Brahma, Wishnu, dan Siwa) ada juga pasangan dari ketiganya dalam sosok Saraswati, Laksmi, dan Parwati (Durga). Dewi Saraswati, sebagai pasangan dari Dewa Brahma, adalah Dewi pemilik Hikmah (Pengetahuan). Sosok Dewi Laksmi atau pasangan Dewa Wishnu, adalah manifestasi Keindahan, sedangkan Parwati sebagai isteri Shiwa merupakan aspek-aspek yang mengerikan, pemberi hukuman dan penyebab kerusakan.

Aspek feminin Brahman seringkali disebut juga sebagai shakti, yang secara harfiah berarti isteri, dan juga bermakna energi. Aspek feminin dari Brahman ini mempunyai dua sisi, yakni sisi yang menyatakan kegelapan dan ketakhinggaan, aspek Dia yang non-Wujud, yang tidak memanifestasi, dan aspek kasih sayang-Nya yang memancar ke segenap pelosok kosmos, dalam bentuk energi (shakti)—dalam arti fisik maupun metafisik—yang mewujud dalam alam-alam bentuk dan manifestasi (maya). Shakti adalah energi kreatif penciptaan, yang bersifat ekspansif sekaligus atraktif, yang membentang dalam keseluruhan semesta atau maya—apa-apa selain Brahman—sebagai sebuah konsekuensi ontologis dari gema yang ditransmisikannya. Shakti yang feminin seolah sosok ibu yang selalu memberi, membantu dan membimbing, sekaligus sosok perawan dengan keindahannya yang menarik dan pencemburu.

Para pengikut Tantraisme, yakni mereka pemuja Shiwa dan Durga—sehingga Shakti dimaknai lebih sempit sebagai Dewi Durga—melihat realitas maya dengat sangat transparan. Artinya, mereka melihat maya sekaligus sebagai shakti-Nya—bukan sekadar dalam maya terkandung shakti, sehingga alih-alih menjauhkan diri dari maya untuk mencapai kesejatian diri atau atman dan menggapai Brahman, seperti umumnya ajaran Vedanta, mereka malah mencoba mencebur ke dalam maya, guna menikmati keindahan-Nya yang transparan. Pesta minum anggur, kenikmatan seksual, makan daging dan ikan, adalah hal-hal yang dianjurkan, bukan untuk dipantang, tentunya dengan pengendalian dan ketajaman batin. Para pengikut Tantra beranggapan, manusia secara umum harus naik melalui dan dengan menerima alam semesta atau maya, bukan menolaknya.

“Ketika manusia terjatuh ke tanah,” kata Kularnawa Tantra, “dia harus mengangkat dirinya dengan bantuan tanah.” Para pelaku Yoga, melihat energi shakti memanifestasi dalam energi fisik tubuh dengan bentuk kundalini, sebuah kumparan atau gulungan energi yang melingkar seperti ular di bagian tubuh bawah, yang mesti dibangunkan dan ditarik ke chakra paling atas (sahasrara chakra) di bagian kepala. Sebuah makna, bahwa energi kosmis yang membebaskan kita sebenarnya adalah inti wujud kita sendiri, shakti yang berada dalam diri, yakni rasa cinta yang agung sebagai daya lontar dan bertemu dengan shakti-Nya yang menarik dalam bentuk rahmat dan kasih-Nya.

Maya yang tercipta berjenjang—sebagai akibat gema atau gaung dari energi atau shakti-Nya—pada dirinya sendiri terkandung energi shakti yang bersifat menarik. Energi maya inilah yang disebut sebagai triguna, tiga sifat dalam alam semesta: satwa (menaik, murni), rajas (horizontal, dinamis) dan tamas (menurun, lembam). Dengan demikian dalam maya terkandung dua daya, yakni daya tarik semunya (trigunas) yang bersifat menjebak, dan daya bantunya yang menggelontorkan aliran shakti-Nya yang membantu menghantarkan diri kepada Keindahan-Nya yang tak terhingga. Diri kita yang bergelut dengan dan dalam maya akan dihadapkan kepada pilihan-pilihan dari aspek feminin Diri-Nya. Jika kita mampu mentransendensikan maya, kita akan berjumpa dengan Keindahan-Nya yang tanpa Batas (sosok Laksmi), yang melahirkan pengetahuan Hikmah, Prinsip realitas, hakikat hidup dan kehidupan (sosok Saraswati). Sedangkan jika kita terjebak dalam ilusi maya, daya tarik semunya, dan larut di dalamnya, maka kita akan berhadapan dengan sosok Parwati, aspek yang mengerikan: pemberi hukuman dan sangat pencemburu. Karena Dia, dengan aspek feminin yang pencemburu, tak menghendaki ada pusat-pusat yang lain selain dirinya.

Maya adalah segala realitas selain Dia, yang menyelubungi Dia. Maya adalah selubung atau hijab, dan doktrin Vedanta menyebutkan sedikitnya ada lima selubung yang menghalangi diri dengan Dia, yang disebut panca maya kosa. Maya adalah proyeksi yang tersebar dalam dimensi ruang dan waktu. Maya adalah diri kita yang tak otentik, realitas (objek) dalam ruang, dan sang waktu itu sendiri. Ringkasnya, shakti adalah energi dasar yang mengisi ruang antara dua kutub: diri kita dengan semesta (maya) dan diri kita dengan Dia sebagai Pusat. Energi inilah yang membuat semuanya berada dalam posisi setimbang, Kita tertarik kepda yang kontingen atau maya, karena di dalamnya terkandung shakti dalam bentuk triguna, kita juga berusaha lepas dari jeratan maya dan menuju Yang Absolut karena Maha Sakti atau Piususha Shakti-Nya yang menarik dan membakar diri kita.

Sarana Mentransendesikan Maya: Diri yang Bening dan Penempuhan Jalan

Maya adalah apa yang terserak dalam ruang dan waktu, sekaligus ruang dan waktu itu sendiri. Jika Dia sebagai Pusat yang terlepas dari ruang dan waktu itu sendiri, maka bagaimana kita bisa mengenal Dia, sementara diri kita terjebak dalam tiga penjara: ruang, waktu dan kesadaran kita sendiri? Dia sebagai pusat memproyeksikan dirinya sebagai pusat dalam hamparan ruang dan waktu melalui bentuk sosok-sosok para manusia pilihan: para figur yang terpilih. Siapakah para figur terpilih ini? Dia adalah manusia-manusia yang dengan kebeningan dirinya, mengabarkan keberadaan Dia, sekaligus memanifestasikan khazanah Dia, bukan hanya Dia sebagai Ada, tapi keseluruhan dari mata airnya. Sehingga untuk bisa paham siapa para figur terpilih beserta manifestasi dan pewartaan tentang Dia, tidak cukup kita menyandarkan kepada rasionalitas, penjara logika semata. Tegasnya, apa yang dibawa oleh para figur terpilih.

Pertama, sesuai waktu, di setiap zaman, akan selalu ada sosok para figur terpilih, karena manifestasi Dia akan hadir, tak pernah berulang, selalu baru dalam waktu kronologis. Para figur terpilih ini adalah poros di dunia sebagai poyeksi Pusat Surgawi, dalam dimensi ruang dan waktu, pada sebuah zaman dan lokasi tertentu. Kedua, para figur terpilih ini, akan membawa sebuah jalan penyelamatan, yakni jalan yang juga pernah ditempuhnya. Jalan yang dibawanya berfungsi membeningkan kesadaran kita yang selama ini terbungkus oleh ilusi hasrat komunal dan personal, yang selama ini terjebak dalam ilusi maya. Jalan adalah sebuah metode: yang mencoba menarik kesadaran diri dari kerumunan orang, dan membeningkannya, ke arah diri yang otentik, diri yang sejati. Sehingga selain membawa pewartaan tentang Dia, beserta jalan dan metode tempuhnya, para figur terpilih ini juga memberikan pengetahuan atau skema tentang diri yang sejati, tentang struktur kedirian manusia.

Dari sinilah kemudian kita mempunyai skema bagaimana lepas dari jeratan maya. Pertama, kehadiran pertanyaan eksistensial dalam diri kita. Ini biasanya terjadi saat kita dihadapkan pada kehilangan, keterputusan, tercerabut dari apa-apa yang memenjara kita. Pertanyaan eksistensial ini juga biasanya hadir secara alamiah pada suatu fase kehidupan, manakala manusia menginjak usia paruh baya, dan Jung menyebutnya sebagai proses individuasi. Pada usia paruh baya, seorang manusia mulai padam dalam menghasrati objek-objek yang berada di luar dirnya, ia kemudian mencoba menengok ke dalam dirinya, yang oleh Jung—juga para psikoanalisis—disebut sebagai menoleh ke alam bawah sadar. Kedua, dengan mengikuti apa yang dirintis oleh para figur terpilih, karena hanya dengan mengkutinya, rahmat dan kuasa Dia, akan membukakan sebuah instrumen dalam kedirian kita, yang dinamakan intelek. Lewat intelek yang berpadu dengan daya imajinasi, seorang manusia akan bisa menyerap pengetahuan-pengetahuan prinsip, singkapan-singkapan Dia, yang terserak di setiap realitas dan peristiwa dalam waktu saat ini. Manusia sejati adalah mereka yang bisa melihat realitas dengan sangat transparan, kesadarannya telah otentik, bisa terlepas dari penjara ruang-waktu. Mereka melihat prinsip dari fenomena, yang Absolut dari yang kontingen, melihat Dia dalam maya melalui shakti. Seorang manusia sejati tidak terpenjara dalam gerakan linier maupun siklis sang waktu, ia tidak terikat oleh masa lalu maupun masa depan. Ia hidup dalam waktu kekiniannya, bening dan jernih melihat realitas, melihat dan mengenali Dia sebagai sumber eksistensinya. Bagi dirinya, keterasingan menjadi tidak bermakna, sebab objek, realitas segala peristiwa selalu punya makna, di mana pun dia berada. Bagi dirinya, kecemasan menjadi tiada arti, karena ia bertindak dan bersikap atas ukuran seberapa banyak ia bisa melihat Keindahan-Nya yang tak terhingga. Ia berada dalam keabadian. Perjalanan tiada akhir, bukanlah suatu kepayahan, tapi suatu kesegaran, ibarat mereguk air samudera, yang tak pernah terpuaskan. Pertanyaan tentang takdir, aneka dualisme: kejahatan-kebaikan, penderitaan-kebahagiaan, tidak lagi menjerat dirinya. Ia bertahta dalam keabadian. Anugerah pengetahuan adalah hiasan dirinya, bukan untuk congkak, tapi menjadikan dirinya kian padam, sujud syukur atas apa yang diraihnya, atas apa yang luput darinya.

Daftar Pustaka:
1. Dody Salman, “Pengantar Mir‘atul ‘Arifin”, 2001, tidak dipublikasikan.
2. Schuon, Fritjof, Roots of The Human Conditions, 1991, Bloomington (Indiana), World Wisdom Books.
3. Zimmer, Heinrich, The Philosophy of India, 1974, New York: PUP

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي