BARAT PASTI SALAH, DAN HANYA ISLAMLAH YANG BENAR
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Ada satu hal yang rasanya cukup sering saya temukan saat membaca tulisan para aktivis Islam yang mencoba berargumen terhadap berbagai pemikiran Barat, yaitu, tendensi penghakiman nyaris tanpa ampun atas pemikiran Barat. Hal itu membuat tulisan-tulisan mereka sudah terlihat tendensius bahkan dari judulnya. Saya rasa, salah satu hal yang mendasari sikap semacam itu adalah karena “fanatisme”-nya bahwa kebenaran hanya ada di Islam, dan lebih spesifik lagi adalah dalam Al-Quran dan Al-Hadis (lengkap dengan tafsir khas ideologi kelompoknya), kemudian sumber kebenaran tambahan lainnya adalah pandangan para ulama yang dianggap “lurus” menurut kelompok masing-masing. (Oh ya, herannya, terhadap teknologi yang lebih bernilai praktis mereka seringkali afirmatif dan tidak kritis…)
Secara pribadi, saya sendiri memang pernah mengalami masa-masa seperti itu. Saat saya mulai tertarik membaca buku adalah saat saya masih tercelup ideologi NII (yang kini sedang heboh lagi untuk kesekian kalinya). Saat saya mulai membaca buku filsafat berbarengan dengan saat saya intens mengikuti pengajian dengan salah seorang pentolan Ikhwanul Muslimin. Saya pergi dari pengajian tersebut karena tidak nyaman dengan cara ustad tersebut menjelek-jelekan Nurcholis Madjid dan Jalaluddin Rahmat. Akhirnya saya lepas dari pengajian apa pun dan terjun bebas ke SKAU, unit di Salman yang berisi anak-anak nakal berpikiran bebas lagi liar yang membuat para aktivis di lingkungan masjid itu menjadi sebal dan gerah. (Akhirnya SKAU dibubarkan juga oleh YPM SALMAN hiks hiks hiks…)
Di sini saya semakin kenal dekat dengan tasawuf. Sebenarnya sejak tingkat pertama di kuliah saya sudah mulai berkenalan dengan seorang yang mungkin bisa dibilang menjalani hidup seperti sufi. Ke mana-mana saya ikut dia dan banyak bertanya padanya. Kemudian kami berpisah karena kesibukan masing-masing dan ketika di SKAU saya kembali didekatkan dengan khazanah tasawuf. Tapi, sejujurnya saja ya, makin lama saya makin kurang pas dengan atmosfir berwacana tasawuf di SKAU itu. Kegelisahan semacam itu mengantarkan saya ke tahap berikutnya, yaitu menjadi “tidak hanya berwacana tasawuf”.
Nah, titik ini menjadi penting bagi saya, karena justru dengan “tidak hanya berwacana tasawuf” saya malah jadi semakin intens belajar berbagai pemikiran Barat. Bahkan bertahun-tahun saya belajar pada kalangan Katolik tentang Filsafat, dan yang paling menerima saya dengan terbuka adalah pak Bambang Sugiharto. Beliau sampai berkata: “kamu tidak akan pernah lulus dari UNPAR karena selalu jadi mahasiswa di sini…” Bagi saya, kalangan yang penguasaan filsafat Baratnya paling paten dan mumpuni adalah kalangan Katolik. Selain itu kakak saya juga berpesan: “Al, pelajari pemikiran para filsuf itu sampai mendalam ya, karena pasti ada maksudnya Tuhan mengizinkan mereka hadir.” Beliau suka mengutip QS 3: 191 yang berbunyi “Maa khalaqta haadzaa bathilan” (tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia). Selain itu, beliau juga mengajarkan bahwa “kalau mengalahkan singa itu ya di kandangnya”. Kalau saya bahasakan ulang adalah, kalau mau berwacana tanding dengan Barat, maka kuasai juga bahasa, logika, alur berpikir dan argumentasinya, dan berbahasalah dengan bahasa mereka.
Kalau menurut bahasa keponakan jauh saya, Daud, “jangan jadi banci”. Maksud dia begini. Misalnya kita hendak menyisipkan nilai-nilai Islam dalam sebuah karya tulis tugas akhir kita. Nah, ketimbang mengambil semangat dan cara pandangnya, kita malah menampilkan secara mentah-mentah ayat Al-Quran dan Al-Hadis dalam tugas akhir itu. Selain akan sangat besar berpotensi menjadi “Jaka Sembung bawa golok”, pengutipan Al-Quran dan Al-Hadis secara mentah dan begitu saja dalam karya tugas akhir itu juga berpotensi membuat para penguji, kalau kebetulan Muslim, menjadi serba salah untuk mengkritisinya. Tidak dikritisi juga salah, karena bagaimana bisa mengujinya, apalagi kalau ternyata “Jaka Sembung bawa golok”, dan kalau dikritisi akan merasa salah seperti tidak beriman. Nah, cara membuat para penguji bingung dan tidak leluasa itu adalah yang Daud katakan sebagai “cara banci”. Saya sepakat dengan dia.
Selain itu, saya pun mendapat sebuah cerita bagus dari Mas Herman tentang Nasruddin Hoja. Dikisahkan bahwasanya Nasruddin Hoja sering keluar masuk negeri tetangganya. Tentu saja kebiasaan tersebut menimbulkan kecurigaan pada Fulan, petugas bea cukai di perbatasan. Dia yakin sekali bahwa Nasruddin tengah menyelundupkan sesuatu. Namun, setiap kali dia memeriksa Nasruddin dengan sangat teliti, tak ditemukan apa pun, karena Nasruddin hanya membawa keledai yang memanggul jerami. Demikianlah hal tersebut senantiasa berulang. Tahun demi tahun pun berlalu, hingga mereka berdua pun beranjak tua. Suatu ketika keduanya bertemu kembali, berkatalah si Fulan, “Nasruddin, sekarang kita sudah sama-sama tua. Aku sudah pensiun sebagai petugas bea cukai perbatasan, dan kau pun sudah tidak bepergian lagi ke negeriku. Sudah saatnya kau bicara jujur padaku,toh aku pun tidak akan bisa menangkapmu. Aku sebenarnya yakin sekali bahwa engkau tengah menyelundupkan sesuatu setiap kali memasuki negeriku. Namun, setiap kali aku memeriksamu, aku tidak menemukan apa pun selain keledai dengan jerami di punggungnya. Sebenarnya apa yang engkau selundupkan?” Dengan entengnya Nasruddin menjawab, “Keledai! Aku menyelundupkan keledai, karena di negerimu harga keledai lebih mahal.”
Anekdot di atas, dalam konteks berwacana, saya tafsirkan sebagai strategi untuk tidak mengeksplisitkan khazanah Islam saat dibahasakan. Tapi, tentu saja, secara pribadi bukan berarti saya adalah politikus wacana yang selamanya selalu berstrategi menyelundupkan khazanah Islam (khususnya tasawuf) karena, seperti dikemukakan di atas, saya mengimani bahwa tak ada kesia-siaan dalam kemunculan para pemikr Barat itu. Jadi, ketimbang sudah memelihara sikap tendensius bahwa Barat dengan rasionalitasnya itu sudah mengidap kesalahan sejak awal karena sekulerismenya, saya malah lebih sibuk mencari keping-keping “kebenaran” dari mereka. Kalau pun saya mengkritisi pemikiran mereka, itu bukan berarti saya sudah tendensius menilai mereka sesat pikir, karena toh biasa juga kalau para pemikir itu saling mengkritisi. Dan kenapa saya tidak boleh mengkritisi, selama logika saya sejalan dan argumentatif.
Nah, karena itu, saya sendiri sering mengamini pemikiran beberapa filsuf, terlebih saya sangat menyukai para filsuf bahasa, dan filsuf sejarah Michel Foucault (walau masih dangkal pemahaman saya). Saya juga mengamini sebagian pemikiran Karl Marx, Merleau-Ponty (tentang tubuh), juga mengamini sebagian pandangan para feminis, dan sebagainya, dan sebagainya. Resiko dari sikap semacam itu dan menulis dengan bahasa pemikir Barat membuat saya berulang kali di cap sebagai wakil dari Jaringan Islam Liberal. Well, orang yang ngomong kayak gitu berarti memang tidak kenal saya sama sekali, karena di kalangan teman-teman berwacana yang cukup dekat, mereka tahu kalau saya terlalu mistikus dan Platonis. Dan rasanya mustahil ada orang JIL yang mistik kayak saya wkwkwkwkwkwkwkwk.
Tapi, secara pribadi saya sebenarnya lebih senang mencari keping-keping “kebenaran” dari para pemikir Barat itu, untuk hidup saya, serta belajar mengikuti alur argumentasi dan pola pikirnya, sehingga saya selalu kehilangan selera untuk membaca tulisan-tulisan dengan sikap tendensius khas para aktivis Islam yang menghakimi nyaris membabi-buta pemikiran yang lahir dari Barat. Seolah-olah kebenaran hanya datang dari Islam (apa pun itu menurut tafsir masing-masing) saja. Maaf, saya tidak percaya itu, karena setiap manusia juga berpikir, apalagi kalau terlatih berpikir mendasar seperti para filsuf dan ilmuwan, sehingga percik-percik “kebenaran” itu pun ada di mana-mana. Saya tidak percaya bahwa “BARAT PASTI SALAH, DAN HANYA ISLAMLAH YANG BENAR”. I don’t buy it.
Secara pribadi, saya sendiri memang pernah mengalami masa-masa seperti itu. Saat saya mulai tertarik membaca buku adalah saat saya masih tercelup ideologi NII (yang kini sedang heboh lagi untuk kesekian kalinya). Saat saya mulai membaca buku filsafat berbarengan dengan saat saya intens mengikuti pengajian dengan salah seorang pentolan Ikhwanul Muslimin. Saya pergi dari pengajian tersebut karena tidak nyaman dengan cara ustad tersebut menjelek-jelekan Nurcholis Madjid dan Jalaluddin Rahmat. Akhirnya saya lepas dari pengajian apa pun dan terjun bebas ke SKAU, unit di Salman yang berisi anak-anak nakal berpikiran bebas lagi liar yang membuat para aktivis di lingkungan masjid itu menjadi sebal dan gerah. (Akhirnya SKAU dibubarkan juga oleh YPM SALMAN hiks hiks hiks…)
Di sini saya semakin kenal dekat dengan tasawuf. Sebenarnya sejak tingkat pertama di kuliah saya sudah mulai berkenalan dengan seorang yang mungkin bisa dibilang menjalani hidup seperti sufi. Ke mana-mana saya ikut dia dan banyak bertanya padanya. Kemudian kami berpisah karena kesibukan masing-masing dan ketika di SKAU saya kembali didekatkan dengan khazanah tasawuf. Tapi, sejujurnya saja ya, makin lama saya makin kurang pas dengan atmosfir berwacana tasawuf di SKAU itu. Kegelisahan semacam itu mengantarkan saya ke tahap berikutnya, yaitu menjadi “tidak hanya berwacana tasawuf”.
Nah, titik ini menjadi penting bagi saya, karena justru dengan “tidak hanya berwacana tasawuf” saya malah jadi semakin intens belajar berbagai pemikiran Barat. Bahkan bertahun-tahun saya belajar pada kalangan Katolik tentang Filsafat, dan yang paling menerima saya dengan terbuka adalah pak Bambang Sugiharto. Beliau sampai berkata: “kamu tidak akan pernah lulus dari UNPAR karena selalu jadi mahasiswa di sini…” Bagi saya, kalangan yang penguasaan filsafat Baratnya paling paten dan mumpuni adalah kalangan Katolik. Selain itu kakak saya juga berpesan: “Al, pelajari pemikiran para filsuf itu sampai mendalam ya, karena pasti ada maksudnya Tuhan mengizinkan mereka hadir.” Beliau suka mengutip QS 3: 191 yang berbunyi “Maa khalaqta haadzaa bathilan” (tidaklah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia). Selain itu, beliau juga mengajarkan bahwa “kalau mengalahkan singa itu ya di kandangnya”. Kalau saya bahasakan ulang adalah, kalau mau berwacana tanding dengan Barat, maka kuasai juga bahasa, logika, alur berpikir dan argumentasinya, dan berbahasalah dengan bahasa mereka.
Kalau menurut bahasa keponakan jauh saya, Daud, “jangan jadi banci”. Maksud dia begini. Misalnya kita hendak menyisipkan nilai-nilai Islam dalam sebuah karya tulis tugas akhir kita. Nah, ketimbang mengambil semangat dan cara pandangnya, kita malah menampilkan secara mentah-mentah ayat Al-Quran dan Al-Hadis dalam tugas akhir itu. Selain akan sangat besar berpotensi menjadi “Jaka Sembung bawa golok”, pengutipan Al-Quran dan Al-Hadis secara mentah dan begitu saja dalam karya tugas akhir itu juga berpotensi membuat para penguji, kalau kebetulan Muslim, menjadi serba salah untuk mengkritisinya. Tidak dikritisi juga salah, karena bagaimana bisa mengujinya, apalagi kalau ternyata “Jaka Sembung bawa golok”, dan kalau dikritisi akan merasa salah seperti tidak beriman. Nah, cara membuat para penguji bingung dan tidak leluasa itu adalah yang Daud katakan sebagai “cara banci”. Saya sepakat dengan dia.
Selain itu, saya pun mendapat sebuah cerita bagus dari Mas Herman tentang Nasruddin Hoja. Dikisahkan bahwasanya Nasruddin Hoja sering keluar masuk negeri tetangganya. Tentu saja kebiasaan tersebut menimbulkan kecurigaan pada Fulan, petugas bea cukai di perbatasan. Dia yakin sekali bahwa Nasruddin tengah menyelundupkan sesuatu. Namun, setiap kali dia memeriksa Nasruddin dengan sangat teliti, tak ditemukan apa pun, karena Nasruddin hanya membawa keledai yang memanggul jerami. Demikianlah hal tersebut senantiasa berulang. Tahun demi tahun pun berlalu, hingga mereka berdua pun beranjak tua. Suatu ketika keduanya bertemu kembali, berkatalah si Fulan, “Nasruddin, sekarang kita sudah sama-sama tua. Aku sudah pensiun sebagai petugas bea cukai perbatasan, dan kau pun sudah tidak bepergian lagi ke negeriku. Sudah saatnya kau bicara jujur padaku,toh aku pun tidak akan bisa menangkapmu. Aku sebenarnya yakin sekali bahwa engkau tengah menyelundupkan sesuatu setiap kali memasuki negeriku. Namun, setiap kali aku memeriksamu, aku tidak menemukan apa pun selain keledai dengan jerami di punggungnya. Sebenarnya apa yang engkau selundupkan?” Dengan entengnya Nasruddin menjawab, “Keledai! Aku menyelundupkan keledai, karena di negerimu harga keledai lebih mahal.”
Anekdot di atas, dalam konteks berwacana, saya tafsirkan sebagai strategi untuk tidak mengeksplisitkan khazanah Islam saat dibahasakan. Tapi, tentu saja, secara pribadi bukan berarti saya adalah politikus wacana yang selamanya selalu berstrategi menyelundupkan khazanah Islam (khususnya tasawuf) karena, seperti dikemukakan di atas, saya mengimani bahwa tak ada kesia-siaan dalam kemunculan para pemikr Barat itu. Jadi, ketimbang sudah memelihara sikap tendensius bahwa Barat dengan rasionalitasnya itu sudah mengidap kesalahan sejak awal karena sekulerismenya, saya malah lebih sibuk mencari keping-keping “kebenaran” dari mereka. Kalau pun saya mengkritisi pemikiran mereka, itu bukan berarti saya sudah tendensius menilai mereka sesat pikir, karena toh biasa juga kalau para pemikir itu saling mengkritisi. Dan kenapa saya tidak boleh mengkritisi, selama logika saya sejalan dan argumentatif.
Nah, karena itu, saya sendiri sering mengamini pemikiran beberapa filsuf, terlebih saya sangat menyukai para filsuf bahasa, dan filsuf sejarah Michel Foucault (walau masih dangkal pemahaman saya). Saya juga mengamini sebagian pemikiran Karl Marx, Merleau-Ponty (tentang tubuh), juga mengamini sebagian pandangan para feminis, dan sebagainya, dan sebagainya. Resiko dari sikap semacam itu dan menulis dengan bahasa pemikir Barat membuat saya berulang kali di cap sebagai wakil dari Jaringan Islam Liberal. Well, orang yang ngomong kayak gitu berarti memang tidak kenal saya sama sekali, karena di kalangan teman-teman berwacana yang cukup dekat, mereka tahu kalau saya terlalu mistikus dan Platonis. Dan rasanya mustahil ada orang JIL yang mistik kayak saya wkwkwkwkwkwkwkwk.
Tapi, secara pribadi saya sebenarnya lebih senang mencari keping-keping “kebenaran” dari para pemikir Barat itu, untuk hidup saya, serta belajar mengikuti alur argumentasi dan pola pikirnya, sehingga saya selalu kehilangan selera untuk membaca tulisan-tulisan dengan sikap tendensius khas para aktivis Islam yang menghakimi nyaris membabi-buta pemikiran yang lahir dari Barat. Seolah-olah kebenaran hanya datang dari Islam (apa pun itu menurut tafsir masing-masing) saja. Maaf, saya tidak percaya itu, karena setiap manusia juga berpikir, apalagi kalau terlatih berpikir mendasar seperti para filsuf dan ilmuwan, sehingga percik-percik “kebenaran” itu pun ada di mana-mana. Saya tidak percaya bahwa “BARAT PASTI SALAH, DAN HANYA ISLAMLAH YANG BENAR”. I don’t buy it.
Komentar
Posting Komentar