Ihwal Ad-Dîn
“Kemuliaan dan keutamaan manusia yang mengungguli berbagai macam makhluk yang lain, adalah disebabkan kemampuannya ma‘rifatullah (mengenal Allah) Yang Maha Suci, karena ma‘rifatullah itu di dunia adalah keelokan, kesempurnaan dan kebanggaannya manusia. Dan di akhirat adalah alat dan simpanannya. Sesungguhnya manusia itu menyediakan diri bagi ma‘rifat, adalah dengan qalb-nya.” Itulah penjelasan Imam Al-Ghazali tentang manusia sebagaimana tertuang dalam kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin. Apa yang dimaksud dengan ma’rifatullah dan kenapa perkara itu menjadi sedemikian sentral sebagai tanda kemuliaan dan keutamaan manusia?
Beberapa ratus tahun sebelum Al-Ghazali, Imam Ali bin Abi Thalib pun telah menegaskan, sebagaimana tertuang dalam Nahjul Balaghah, bahwasanya ‘Awaludinna Ma‘rifatullah”, “Awal dari Ad-Dîn (agama) adalah ma‘rifatullah.” Di sini, sekali kita dihadapkan dengan perkara ma’rifatullah, dan bahkan Imam Ali dengan tandas menyatakan bahwa seseorang baru dikatakan ‘beragama’ justru ketika telah mencapai ‘ma’rifatullah’. Sekali lagi, kita melihat betapa sentral perkara ma’rifatullah. Apa itu? Ada sebuah hadits yang banyak dikemukakan oleh para sufi yang berbunyi: Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu, “Barangsiapa yang mengenal nafs (jiwa)-nya maka sungguh ia akan mengenal Rabb-nya.”
Mari bayangkan ilustrasi berikut ini. Kita biasanya punya penulis favorit. Kita membaca buku-buku karangannya dengan antusias dan senang, lalu kita membayangkan seperti apakah karakter sang penulis. Maka kita pun googling untuk mencari tahu ihwal sang penulis, melihat foto-fotonya dan menyimak berita mengenainya. Namun, yang seperti itu tidak bisa dikatakan ‘mengenal sang penulis’; kita hanya bisa dikatakan tahu tentang sang penulis. Namun, apabila kita bertemu muka dengan sang pengarang, berkenalan langsung, mengunjungi kediamannya, turut mengikuti sejumlah aktivitasnya, dan lain sebagainya, maka barulah di situ kita bisa dikatakan kenal dengan sang penulis.
Setelah itu, cobalah simak riwayat berikut ini. Seseorang datang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan berkata: “Apakah engkau melihat Allah sehingga engkau menyembah-Nya?” Beliau berkata, “Celaka Engkau! Aku tidak akan menyembah Tuhan yang aku tidak lihat?” Orang itu bertanya, “Bagaimana engkau melihat-Nya?” Imam menjawab, “Mata kasar tidak dapat melihat Allah, melainkan mata hati yang melihat-Nya dengan dasar hakikat iman.”
Namun, untuk bisa lebih memahami perkara ma’rifatullah, dibutuhkan sekian penjelasan lain terlebih dahulu. Terlalu berat apabila kita langsung terjun masuk ke dalam pembahasan apa itu ma’rifatullah. Karena itu, sebelum menjawab apa itu ma’rifatullah yang merupakan keadaan (state) awal dari Ad-Dîn (agama), untuk awal kali ini akan kita coba terlebih dahulu menjelaskan mengenai apa itu Ad-Dîn melalui hadis masyhur yang menjelaskan ihwal trilogi Al-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan:
----------------------
Pada suatu hari kami (Umar bin Khattab dan para sahabat lainnya) duduk-duduk bersama Rasulullah Saw. Lalu muncul di hadapan kami seorang yang berpakaian putih. Rambutnya hitam sekali dan tidak tampak tanda-tanda perjalanan. Tidak seorang pun dari kami yang mengenalnya. Dia langsung duduk menghadap Rasulullah Saw. Kedua kakinya menghimpit kedua kaki Rasulullah, dan kedua telapak tangannya diletakkan di atas paha Rasulullah Saw, seraya berkata, “Ya Muhammad, beritahu aku tentang Islam.” Lalu Rasulullah Saw menjawab, “Islam ialah bersyahadat bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji apabila mampu.” Kemudian dia bertanya lagi, “Kini beritahu aku tentang Iman.” Rasulullah Saw menjawab, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada Qadar baik dan buruknya.” Orang itu lantas berkata, “Benar. Kini beritahu aku tentang Ihsan.” Rasulullah berkata, “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya walaupun Anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.” (……………) Kemudian orang itu pergi menghilang dari pandangan mata. Lalu Rasulullah Saw bertanya kepada Umar, “Hai Umar, tahukah kamu siapa orang yang bertanya tadi?” Lalu Aku (Umar) menjawab, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.” Rasulullah lantas berkata, “Itulah Jibril datang untuk mengajarkanAd-Dîn kalian.” (HR Muslim)
----------------------
Dari hadis tersebut, bisa kita lihat bahwasanya Ad-Dîn itu terdiri dari tiga pokok utama, yaituAl-Iman, Al-Islam dan Al-Ihsan. Dalam Al-Quran, padanan dari tiga pokok tersebut kita dapati dalam istilah yang banyak diulang-ulang dalam berbagai ayat, yaitu Iman dan Amal Shalih.
Dari bagan di atas kita bisa melihat bahwa perkara mengenai Al-Iman dalam hadits memiliki kesamaan istilah dengan Iman dalam Al-Quran. Namun, keterkaitan antara permasalahan Al-Islam dan Al Ihsan dengan Amal (dan) Shalih memerlukan dijelaskan lebih jauh, terlebih karena peristilahannya menjadi berbeda.
Secara harfiahnya, Islam artinya adalah berserah diri. Namun, berserah diri itu bukanlah pasif tidak melakukan apa pun. Berserah diri itu artinya adalah aktif dan pontang-pantingnya seorang muslim (artinya orang yang berserah diri) dalam mencari, menemukan serta beramal sesuai dengan kehendak Allah. Mari kita bayangkan bahwa kita hidup 1000 tahun yang lalu. Kita pergi ke pasar, lalu melihat sayur mayur, buah-buahan serta lauk pauk dan daging di jual di sana. Tak lupa berbagai perabotan dan kebutuhan rumah tangga lainnya, termasuk budak. Ya, budak, manusia yang dijadikan budak atau hamba sahaya. Budak tidak memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun, karena sang tuan telah membelinya dari sang pedagang budak, dan si budak harus menuruti apa pun yang diperintahkan majikannya. Ya, perbudakan adalah sebuah sejarah panjang yang kelam dalam peradaban manusia. Namun, sejarah kelam itu bisa memberi kita impresi tentang dalamnya arti menjadi “hamba” Allah. Bukankah, istilah “hamba” itu sinonim dengan “budak”? Karena itu, kita setidaknya bisa membayangkan apa impresi yang didapatkan orang-orang Arab masa itu ketika turun dua ayat berikut:
“Dan di antara manusia ada yang mengorbankan nafs (jiwa)-nya karena mencari keridhaan Allah, dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (QS Al-Baqarah [2]: 207)
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari al-mu'min diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Qur‘an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (QS At-Taubah [9]: 111)
Abstraksi dan impresi masyarakat Arab mengenai orang yang menjual nafs-nya kepada Allah tersebut, tentulah sangat kuat. Kita semua tahu bahwa ada sejarah kelam yang panjang dalam peradaban manusia, yaitu, perbudakan. Pada masa ayat di atas diturunkan, perbudakan masih mengakar kuat di masyarakat Arab, sehingga mereka pun dapat mengerti dan membayangkan dengan baik ihwal menjual nafs kepada Allah ketimbang masyarakat Islam hari ini. Kini, tidak lagi terlihat perbudakan seperti pada masa Rasulullah Saw masih hidup. Kaum muslim saat itu setidaknya bisa menangkap, dalam kata “Allah telah membeli diri”, ada sekilas kesan tentang ‘kepenghambaan’ dalam ayat tersebut. Namun, Islam atau keberserahdirian di sini justru dilakukan dengan suka cita seperti dinyatakan dalam QS Fushshilat (41): 11: “...‘Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa.’ Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” Inilah sebentuk kepenghambaan secara suka hati dilakukan oleh al-muslimin. Dengan indah Rumi menggambarkannya sebagai berikut: “Perintah ‘datanglah dengan terpaksa’ ditujukan kepada pengikut yang buta; ‘datanglah dengan suka hati’ diperuntukkan bagi orang yang dicetak oleh ketulusan.” Dengan demikian, kita setidaknya bisa agak lebih memahami apa yang dinyatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib bahwa: “Sebagian manusia beribadah dengan harapan mendapatkan pahala dan ganjaran; inilah ibadah para pedagang. Sebagian lainnya beribadah karena takut kepada siksa; inilah ibadah para budak. Sebagian manusia lainnya beribadah untuk bersyukur kepada Allah; inilah ibadah orang-orang yang bebas.”
Ada pun Al-Ihsan, yaitu “Beribadahlah kepada Allah seolah-olah Anda melihat-Nya walaupun Anda tidak melihat-Nya, karena sesungguhnya Allah melihat Anda.”, itu merupakan sebentuk sikap yang berkaitan dengan keshalihan suatu amal. Shalih adalah kemurnian atau tidak rusaknya sebuah amal. Kenapa amal?
Manusia diperintahkan untuk beribadah kepada Allah, dan bahwasanya ibadah itu harus sampai ‘berbuah’, sehingga dapat dinikmati oleh manusia yang lainnya. Di terima atau tidaknya ibadah seseorang dapat dilihat dari ‘buah’-nya. Bahkan kesucian yang dicapai seseorang pun itu bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk orang lain (karena kalau tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk semata menjadi suci, maka tujuan penciptaan tersebut telah berhenti pada saat Allah menciptakan malaikat yang tak pernah berbuat dosa, dan bukannya manusia yang memang menjadi tempatnya khilaf dan dosa). Tak ubahnya pohon yang tidak pernah memakan buahnya sendiri, tetapi untuk diberikan kepada yang selainnya, seperti itulah buah dari ibadah kepada Allah Ta‘ala. Fungsi ibadah itu untuk ke dalam dan keluar diri sendiri, serta alat untuk menuntun manusia ke jalan Allah. Allah Ta‘ala telah memberikan suatu benih kepada setiap manusia untuk ditumbuhkan melalui ibadah, hingga akhirnya ‘berbuah’. Namun, pada kenyataannya, tidak semua manusia dapat menumbuhkan benih tersebut, karena tanah yang seharusnya menjadi tempat tumbuh benih tersebut telah menjadi gersang. Benih yang baik dapat tumbuh di lahan yang baik. Bagaimana pun, manusia tetap harus mengupayakannya dengan nafs (jiwa) dan jasadnya untuk menumbuhkan benih tersebut, sehingga berbuah amal shalih. Nah, di sini, kita sekali lagi berhadapan dengan istilah ‘amal shalih’. Apa itu amal shalih?
Secara umum amal terbagi menjadi tiga, yaitu, amal baik, amal tidak baik dan amal shalih. Amal tidak baik adalah amal yang mendatangkan dosa bagi si pelakunya, atau amal yang merugikan diri sendiri, bahkan bisa juga orang lain; sedangkan dosa adalah apa-apa yang Allah tidak sukai. Dosa pulalah yang akan melumpuhkan nafs (jiwa) manusia. Nabi Isa pernah berkata, “Sesungguhnya kamu tidak mengetahui bahwasanya makanan yang hakiki itu adalah mengamalkan kehendak Allah. Malaikat-malaikat yang suci itu tidak makan, tetapi mereka hidup dengan cara memakan kehendak-Nya.” Begitu pula halnya dengannafs yang merupakan bagian dari alam malakut (alamnya jiwa manusia). Dosa—sebagai sesuatu yang berlawanan dengan kehendak Allah—akan membuat nafs (jiwa) manusia lumpuh; tak ubahnya seperti Superman yang lemas karena Kryptonite. Rasulullah Saw pernah bersabda, “Dosa itu membekas pada qalb.”
Namun, yang paling sulit dan halus untuk dibedakan adalah antara amal baik dan amal shalih. Misalnya, apabila seseorang melihat pengemis dan tergeraklah hatinya karena kasihan untuk memberi pengemis tersebut sejumlah uang, bisa jadi amal tersebut hanya merupakan amal baik. Balasannya pun, bisa jadi, langsung didapatkan dalam bentuk sikap dan ucapan terima kasih dari pengemis tersebut. Singkatnya, amal baik adalah amal yang bermanfaat bagi sesama manusia dan tidak menimbulkan keburukan, namun balasannya di dapat di dunia. Ada pun pengertian dari amal shalih adalah amal yang langsung terhubung dengan Allah atau amal yang merupakan perintah-Nya. Misalnya, setelah digerakkan oleh rasa kasihan pada si pengemis, maka si pemberi tersebut langsung menghubungkan amalnya dengan harapan Allah akan meridhai dan mengampuninya.
Bahkan dalam bekerja dan menerima gaji pun, seorang muslim seharusnya juga beramal shalih. Apabila seseorang bekerja dan digaji 5 juta rupiah sebulan, namun dia bekerja dalam kapasitas gaji 3 juta, itu sama saja dengan mencuri atau korupsi. Sedang apabila dia bekerja sesuai dengan kapasitas gaji 5 juta, berarti ia tidak mendapatkan apa pun selain pembayaran atas kerjanya. Namun, apabila dia bekerja dalam kapasitas gaji 6 juta atau bahkan 7 juta, maka kelebihan 1 atau 2 juta tersebut akan menjadi amal shalihnya. Terkait amal shalih, Mursyidku pernah berkata: “Pesan terakhir di surat Al-Kahfi: ‘Jangan seperti kaum yang ditemui oleh Dzulkarnain yang tidak mengerti arti Pembicaraan Kebenaran.’ Kenapa tidak paham? Karena ada Ya‘juj-Ma‘juj, ada hawa nafsu, dan itu harus ditutup dengan amal shalih dan kerja; dengan Dharma; menyatukan amal-amal shalih yang berserakan adalah dengan mensedekahi kerja tubuh kita, kerja setiap tulang-tulang yang menyusun tubuh kita, dan itu dengan jalan Shalat Dhuha. Sesungguhnya Shalat Dhuha itu adalah untuk mensedekahi seluruh kerja ruas-ruas tulang di tubuh kita (mensedekahi tubuh kita), yang merupakan pemberian gratis dari Allah Ta‘ala. “...Dan barangisapa yang selalu bersedekah, maka ia akan terhindar dari bencana’, begitu sabda Rasulullah Saw.”
Nah, kembali kepada hal yang telah dikemukakan sebelumnya di atas, dosa adalah apa-apa yang Allah tidak sukai dan dapat mengakibatkan terjadinya penggelapan qalb (hati). Ada pun proses penggelapan atau pencahayaan qalb itu sendiri seiring sejalan dengan empat tahap proses terjadinya sebuah amal—yang tidak baik, baik maupun shalih—yaitu, tahap Rasa, Karsa, Cipta dan Karya.
Misalnya, si Fulan sedang berada di kamar temannya, kemudian dia melihat sebuah benda mahal lagi bagus tergeletak di atas meja. Melihat benda tersebut, muncullah rasaketertarikan pada si Fulan. Apabila Allah tidak suka dengan rasa ketertarikan tersebut, maka terjadilah proses penggelapan qalb tahap pertama, yaitu, tahapan Rasa. Setelah itu si Fulan berandai-andai dan berhasrat ingin memiliki benda tersebut, inilah tahapan kedua, yaitu, Karsa. Apabila Allah tidak suka dengan Karsa tersebut, maka terjadilah proses penggelapan qalb tahap kedua. Setelah itu, si Fulan pun mulai merencanakan dan merancang bagaimana caranya agar dia dapat memiliki benda tersebut, dan inilah tahapan ketiga, yaitu, Cipta. Apabila Allah tidak suka dengan Cipta tersebut, maka terjadilah proses penggelapan qalb tahap ketiga. Terakhir, si Fulan pun menjalankan keinginan dan rencananya dengan mencuri benda tersebut, inilah tahapan keempat dan terakhir, yaitu, Karya yang merupakan proses penggelapan qalb tahap terakhir. Pada tahapan inilah si Fulan dapat dihukumi secara lahiriah sesuai fiqih, misalnya, potong tangan.
Keempat tahapan ini berlaku untuk semua amal—yang tidak baik, baik maupun shalih—entah itu berkaitan dengan perampokan, pembunuhan dan lain sebagainya, maupun pada amal dan ibadah keagamaan. Oleh karena itu, apabila seseorang telah berbuat sesuatu yang melanggar syariat dan dihukumi secara lahiriah, maka sesungguhnya dia telah melanggar empat pagar syariat hingga pagar terluar. Namun, apabila dicermati, terlihat seakan hukum fiqih baru dapat dijatuhkan ketika amal telah mencapai tahapan karya, yaitu, amal yang telah dilakukan secara lahiriah. Lalu, bagaimana halnya dengan rasa, karsa dancipta yang berlangsung dalam qalb (hati), yaitu, sesuatu yang batin dan belum terlahirkan secara lahiriah? Bukankah manusia itu harus tertib hingga ke tataran qalbnya? Bukankah dalam hadits dinyatakan “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk, rupa dan harta benda kalian, tetapi Allah memperhatikan hati dan amal-amal kalian.” (HR. Muslim)? Dan sebagaimana tertuang dalam Al-Quran:
“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di petala langit dan apa yang di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam anfus-mu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah [2]: 284)
Nah, di tataran rasa, karsa dan cipta itulah tashawwuf memegang peranan penting. Nah, apa tashawwuf itu?
Mari kita amati lagi ringkasan dari uraian di atas sebagai berikut. Ad-Dîn terdiri dari tiga pokok utama, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Padanannya dalam Al-Quran adalah Iman danAmal Shalih. Perkara iman diatur dan berkaitan langsung dengan pembahasan mengenai Aqidah dan Tauhid, sedang perkara amal shalih diatur dan berkaitan langsung dengan Syariat. Bahwasanya Syariat itu terbagi menjadi dua, yaitu, pertama, Syariat Lahir yang diatur dan berkaitan langsung dengan fiqih dan menghukumi pada tingkatan karya. Kedua, adalah Syariat Batin yang menghukumi pada tingkatan rasa, karsa dan cipta yang di kemudian hari dikenal dengan nama Tashawwuf.
Dengan demikian, kita bisa melihat bahwasanya yang dimaksud dengan tashawwuf itu tak lain adalah syariat batin. Pada zaman Rasulullah Saw, tashawwuf sudah ada realitas dan hakikatnya, namun belum ada namanya. Apabila saat ini syariat batin tersebut dinamakantashawwuf—sebagaimana syariat lahir pun dinamai sebagai fiqih—itu sama sekali bukanlah sebuah perkara bidah. Imam Ali bin Abi Thalib bahkan pernah berkata: “Barangsiapa yang memperbaiki batinnya, maka Allah akan memperbaiki lahirnya. Dan barangsiapa yang berbuat demi kemaslahatan agamanya, maka Allah akan mempermudah baginya urusan dunianya. Dan barangsiapa yang menjaga hubungan dirinya dengan Allah, maka Allah akan memudahkan urusannya dengan orang lain.” Syariat lahir atau fiqih berfungsi untuk menjaga serta dipakai sewaktu manusia sedang dalam keadaan terjaga, sedang syariat batin berfungsi untuk menjaga serta dipakai terus menerus, baik sedang dalam keadaan terjaga maupun tidak. Imam Malik bin Anas,pendiri mazhab fiqh Maliki (yang meriwayatkannya adalah Imam Abul Hasan) menegaskan: “Barangsiapa mengamalkantashawwuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpatashawwuf maka dia tersesat, dan siapa yang mempelari tashawwuf dengan disertai fiqih maka dia meraih kebenaran.”
Dalam suatu kesempatan, setelah shalat berjama‘ah yang diimaminya, Ibn ‘Athaillah terlibat pembicaraan dengan Ibn Taymiyah tentang berbagai perkara ihwal kesalahpahaman mengenai tashawwuf serta berbagai perdebatan panas tentang iman yang seringkali tidak berfaedah yang malah semakin mengabaikan pentingnya tashawwuf sebagai syariat batin, maka Ibn ‘Athaillah pun menjelaskan sebagai berikut:
----------------------
Ia (Ibn ‘Arabi) telah menempuh jalan tashawwuf di bawah payung Al-Quran dan Sunnah, sama seperti Hujjatul Islam Al-Ghazali, yang mengusung perdebatan ihwal perbedaan mendasar mengenai iman dan isu-isu ibadah, namun menilai usaha ini kurang menguntungkan dan berfaedah.
Ia mengajak orang untuk memahami bahwa mencintai Allah adalah cara yang patut ditempuh seorang hamba Allah berdasarkan keyakinan. Apakah Anda setuju wahai faqih? Atau Anda lebih suka melihat perselisihan di antara para ulama? Imam Malik ra telah mengingatkan mengenai perselisihan semacam ini dan memberikan nasihat: “Setiap kali seseorang berdebat mengenai iman, maka kepercayaannya akan berkurang.”
Sejalan dengan ucapan itu, Al-Ghazali berpendapat: “Cara tercepat untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah melalui hati, bukan jasad. Bukan berarti hati dalam bentuk fisik yang dapat melihat, mendengar atau merasakan secara gamblang. Melainkan, dengan menyimpan dalam benak, rahasia terdalam dari Allah Yang Maha Agung dan Besar, yang tidak dapat dilihat atau diraba.”
Sesungguhnya ahli sunnah-lah yang menobatkan syaikh sufi, Imam Al-Ghazali, sebagai Hujjatul Islam, dan tak seorang pun yang menyangkal pandangannya, bahkan seorang cendekia secara berlebihan berpendapat bahwa Ihya Ulumuddin nyaris setara dengan Al-Quran. Dalam pandangan Ibn Arabi dan Ibn Al-Farid, taklif atau kepatuhan beragama laksana ibadah yang mihrab atau sajadahnya menandai aspek batin, bukan semata-mata ritual lahiriah saja.
Karena apalah arti duduk berdirinya Anda dalam shalat sementara hati Anda dikuasai oleh selain Allah. Allah memuji hamba-Nya dalam Al-Quran: “(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sholatnya”; dan Ia mengutuk dalam firman-Nya: “(Yaitu) orang-orang yang lalai dalam shalatnya”. Inilah yang dimaksudkan oleh Ibn Arabi saat mengatakan: “Ibadah bagaikan mihrab bagi hati, yakni aspek bathin, bukan lahirnya.”
Seorang muslim takkan bisa mencapai keyakinan mengenai isi Al Quran, baik dengan ilmu atau pembuktian itu sendiri, hingga ia membersihkan hatinya dari segala yang dapat mengalihkan dan berusaha untuk khusyuk. Dengan demikian Allah akan mencurahkan ilmu ke dalam hatinya, dan dari sana akan muncul semangatnya. Sufi sejati tak mencukupi dirinya dengan meminta sedekah.
Seseorang yang tulus adalah ia yang menyuburkan diri di hadapan Allah dengan mematuhi-Nya. Barangkali yang menyebabkan para ahli fiqih mengecam Ibn Arabi adalah karena kritik beliau terhadap keasyikan mereka dalam berargumentasi dan berdebat seputar masalah iman, hukum kasus-kasus yang terjadi (aktual) dan kasus-kasus yang baru dihipotesiskan (dibayangkan padahal belum terjadi).
Ibn Arabi mengkritik demikian karena ia melihat betapa sering hal tersebut dapat mengalihkan mereka dari kejernihan hati. Ia menjuluki mereka sebagai “ahli fiqih basa-basi wanita”. Semoga Allah mengeluarkanmu karena telah menjadi salah satu dari mereka! Pernahkan Anda membaca pernyataan Ibn Arabi bahwa: “Siapa saja yang membangun keyakinannya semata-mata berdasarkan bukti-bukti yang tampak dan argumen deduktif, maka ia membangun keyakinan dengan dasar yang tak bisa diandalkan. Karena ia akan selalu dipengaruhi oleh sanggahan-sanggahan balik yang konstan. Keyakinan bukan berasal dari alasan logis melainkan tercurah dari lubuk hati.” Adakah pernyataan yang seindah ini?
----------------------
Nah, kembali kepada tiga pokok Ad-Dîn yang sudah di kemukakan di atas, dalam kehidupan ini manusia harus senantiasa bisa menjaga keseimbangan dan berjalan dengan sebuah segitiga sama sisi yang terdiri dari Al-Iman, Al-Islam, dan Al-Ihsan. Apabila salah satu sisinya mengembang, maka sisi-sisi yang lainnya harus ikut mengembang, agar segitiga tersebut senantiasa sama sisi. Setiap perkembangan tingkat keimanan akan menuntut perkembangan tingkat keislaman dan keihsanan yang setara pula, sehingga wawasan dan cara pandang pun meluas dan semakin mampu menangkap berbagai persoalan dengan tingkat kompleksitas yang lebih tinggi. Oleh karena itu, dalam menyikapi setiap kejadian atau berita, hendaknya dilihat juga sejauh mana semua itu mewartakan mengenai Allah, serta bagaimana kesemua itu dapat mentransformasi nafs dengan menggunakan kacamata al-iman, al-islam dan al-ihsan secara terus menerus. Ketiga pokok utama Ad-Dîn tersebut adalah kesatuan utuh yang tidak boleh dipecah atau dipisah-pisahkan sebagaimana dinyatakan dalam QS Ar-Rûm (30): 30-32:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan hanîf kepada Dîn; fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, Dîn yang kokoh, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk Al-Musyrikîn, dari orang-orang yang memecah belah Ad-Dîn mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Lebih jauh tentang Al-Islam (Keberserahdirian)
Al-Islam—sebagaimana diulas secara singkat di atas sebagai syariat lahir—dalam makna terdalamnya adalah keberserahdirian, namun bukan dalam pengertian sebagai kepasrahan yang pasif. Islam adalah keberserahdirian yang aktif, bagaimana seorang hamba bergiat mencari apa yang menjadi Kehendak Rabb-nya setiap saat. Ini tak ubahnya seperti orang yang mencium suatu bau serta mencoba melacak dan menemukan sumbernya yang terkadang menguat, namun seringkali bau tersebut melemah dan menghilang karena tertiup angin. Al-Islam adalah sikap yang paling fundamental untuk dibangun oleh siapa pun yang ingin berjalan kembali menuju Tuhannya. Itulah sikap dalam pencarian akan Rabb yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai perangkap dan cobaan, dan secara lahiriah dapat dilakukan dengan ketaatan terhadap segenap syariat lahir (yang, tentu saja, tidak boleh dipisah-pisahkan dari syariat batin atau tashawwuf dan aqidah sebagaimana telah dijelaskan di atas).
Keberserahdirian (Al-Islam) bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dihayati dan kemudian dijalankan, karena manusia senantiasa diperangkap oleh syahwat (hasrat material) dan hawa nafsu (hasrat imaterial)-nya sendiri. Bahkan setan pun senantiasa menunggangi kedua hasrat tersebut untuk melontarkan manusia dari Shirâth Al-Mustaqîm-nya. Ketika seseorang masih berusia muda, umumnya dia memiliki keinginan berpetualang yang menggebu-gebu, tumpukan obsesi dan menempatkan bayang-bayang kematian jauh di depan sana, dikuasai oleh ‘sense of immortality’, rasa seolah memiliki keabadian hidup, sehingga permasalahan keberserahdirian ini akan sulit untuk mendapatkan lahan tumbuh yang baik. Seringkali segala daya upaya, dengan menggunakan syahwat dan hawa nafsu, dikerahkan guna meraih berbagai hasrat obsesifnya. Namun, suatu hasrat obsesif seringkali menimbulkan masalah baru, yaitu, mereproduksi hasrat-hasrat obsesif baru lainnya. Tumpukan hasrat obsesif yang besar adalah bahan untuk tumpukan kekecewaan yang besar pula karena jatuh bangunnya manusia dalam kehidupan seringkali tak bisa di duga. Umumnya, setelah dihantam banyak kekecewaan, ketika usia mulai menua, dan bayang-bayang kematian semakin dekat, barulah keberserahdirian mulai menemukan lahannya. Namun, kali ini hama yang mengancam tumbuhnya keberserahdirian adalah waham-waham yang telah mengkristal dan sulit mencair. Dengan indah Rumi menggambarkannya sebagai berikut:
-----------------------------------------
O Engkau yang penderitaannya membuat pria lemah bak wanita, tunjukkanlah kepadakujalan yang satu itu, jangan biarkan aku tersesat mengikuti sepuluh jalan!
Aku seperti seekor unta yang letih: pelana kemauan bebas telah membuat punggungku terasa memar
Dilantak berat keranjang-keranjang yang sebentar-sebentar merosot ke sisi sini, sebentar ke sisi sana.
Biarkan beban yang tak seimbang ini lepas, supaya aku dapat memamah rerumputan di Padang Rahmat-Mu
Bagai sebutir debu di udara, ratusan ribu tahun aku melayang tak tentu arah tanpa mauku.
Jika aku telah melupakan waktu dan keadaan itu, perpindahan dalam tidur ‘kan mengingatkan aku lagi pada kenangan.
Pada malam hari aku ‘kan melarikan diri dari palang cabang empat ini menuju padang penggembalaan nafs.
Dari Tidur sang perawat, kuhisap susu hari-hari laluku, O Tuan.
Seluruh makhluk melarikan diri dari kemauan bebas dan keberadaan diri mereka menuju ke diri mereka yang tak sadar.
Di atas diri sendiri mereka letakkan anggur kehinaan dan nyanyian supaya dapat bebas sesaat dari kesadaran diri mereka
Semua tahu, keberadaan adalah sebuah perangkap, sedangkan keinginan dan pikiran serta kenangan itu neraka.
-----------------------------------------
Dalam puisi tersebut, Rumi menceritakan kerinduannya agar Allah tunjuki ke ‘jalan yang satu itu’, yaitu jalan misi hidupnya di dunia ini, Shirath al-Mustaqim-nya. Lalu dia menggambarkan bagimana ‘kemauan bebas’ itu seperti beban di punggungnya yang tak pernah seimbang, selalu miring ke sini miring ke situ sehingga melukai dirinya sendiri, betapa dia mendambakan keberserahan diri kepada-Nya. Lalu Rumi menggambarkan bagaimana di malam hari dia akan lepas dari palang cabang empat atau salib yang menyimbolkan tubuh manusia yang sering digambarkan terdiri dari empat unsur (api, air, tanah, dan udara). Adalah keakuan dan kemauan bebas yang senantiasa membuat manusia susah untuk berserah diri atau mati sebelum mati. Padahal jalan menuju Allah hanya bisa ditempuh di atas keberserahdirian yang total dan murni. Dalam banyak puisinya, Rumi sering menggunakan metafora ‘suling’ untuk menggambarkan keberserahdirian total. Suling, sebagaimana kita tahu, terbuat dari bambu, dan bagian tengahnya kosong, sehingga dengan demikian, suling bisa dibunyikan untuk melantunkan nada-nada merdu sesuai yang dikehendaki dan dimainkan oleh Sang Empunya suling. Apabila bagian tengah suling malah dijejali dengan berbagai materi padat, maka suling itu tak akan bisa berbunyi untuk memainkan nada-nada merdu.
Kini, bayangkan sebuah keris yang dimasukkan ke dalam sarungnya dan tidak pernah dicabut untuk dibersihkan selama lima puluh tahun. Ketika pertama kali keris tersebut akan dicabut, tentulah akan sangat sukar. Ini disebabkan karat yang terbentuk selama lima puluh tahun telah membuat keris tersebut menempel pada sarungnya. Seakan terpatri. Begitu pula halnya dengan nafs insan yang dimasukkan ke dalam tubuh dan tidak pernah melatih keberserahdirian kepada-Nya; tidak pernah berlatih untuk mati sebelum mati. Kehidupannya di dunia telah membentuk kecintaan terhadap dunia. Inilah asal muasal ‘karat’ yang membuat nafs terikat pada tubuh, misalnya, dari sekian ribu kekecewaan akan hasrat obsesif yang tak tercapai, rasa kehilangan akan barang dicintai, dan berbagai kecintaan dunia lainnya. Maka, ketika menghadapi ajal, ketika nafs dan rûh-nya akan dicabut, manusia tersebut akan merasakan kesakitan yang sangat karena ‘karat’ yang terbentuk dari keterikatannya terhadap dunia.
Sekilas di atas telah disebut istilah ‘mati sebelum mati’ yang juga merupakan padanan dari keberserahdirian. Rumi, sekali lagi, menggambarkannya secara puitis:
-----------------------------------------
Sang Nabi bersabda, “Wahai pencari rahasia-rahasia, hendaklah engkau melihat orang mati yang hidup,
Yang berjalan-jalan di atas bumi, seperti orang yang masih hidup; namun nafs-nya bertempat tinggal di Surga,
Karena dia telah dipindahkan sebelum mati dan tidak akan dipindahkan ketika dia mati—
Suatu rahasia di luar pemerian, hanya dimengerti oleh orang yang sedang sekarat—
Apabila ada yang ingin melihat orang mati yang masih kelihatan berjalan di atas bumi,
Biarkanlah dia melihat Abu Bakar, yang saleh, yang karena kebajikannya menjadi seorang saksi yang benar bagi Tuhan dan menjadi Pangeran kebangkitan.”
-----------------------------------------
Seseorang yang telah mati (secara biologis), praktis tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi. Hendak dijadikan apa pun tubuhnya, dia tidak akan melawan sedikitpun. Ada pun seseorang yang telah mati sebelum mati atau berserah diri total kepada Allah, maka dia tidak akan menimbun nafs-nya dengan obsesi keduniaan yang tidak sejalan dengan Kehendak-Nya. Mati sebelum mati adalah kematian seseorang dari dirinya sendiri, dari segenap hawa nafsu dan syahwat yang sering kali tidak sejalan dengan Kehendak-Nya, yang kemudian diganti menjadi dipenuhi oleh Kehendak Allah semata. Karenanya, segenap tindak tanduk orang yang berserah diri akan senantiasa sejalan dengan Kehendak-Nya, dan karyanya pun akan sejalan dengan Karya-Nya, sebagaimana ditegaskan dalam hadits berikut:
-----------------------------------------
“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, Aku telah mengumumkan perang padanya. Tidak ada cara ber-taqarrub seorang hamba kepada-Ku yang lebih Kusukai melainkan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah Ku-fardlu-kan kepadanya. Namun senantiasa hamba-Ku itu berusaha ber-taqarrub kepada-Ku dengan melakukan hal-hal yang sunnah, sehingga Aku pun mencintainya. Apabila ia telah Kucintai, Aku menjadi alat pendengarannya yang dengannya ia mendengar, alat penglihatannya yang dengannya ia melihat, tangannya yang dengannya ia memukul keras, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku sungguh akan Kukaruniai dirinya dan jika ia memohon perlindungan-Ku, Aku akan melindunginya. Dan tak pernah Aku ragu-ragu pada sesuatu di saat Aku akan melakukannya, seperti ragu-Ku untuk mengambil nafs al-mu‘min yang enggan mati, sedang Aku tidak suka mengganggunya.”
-----------------------------------------
Dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah berarti seorang hamba sudah tidak mempunyai kebebasan lagi dalam memilih dan melakukan apa pun sekehendaknya. Dia menjadi hamba yang sama sekali tidak memiliki ‘kemerdekaan’ lagi. Dipandang dari perspektif ini, memang tidak pernah ada manusia yang merdeka di dunia ini. Manusia hanya akan ‘diperhamba’ oleh dua hal, yaitu oleh Allah atau yang selain Allah. Sedang ‘diperhamba’ oleh Allah adalah sebuah kehormatan dan kebanggaan yang agung bagi seorang hamba pencari Allah, dan sebuah kebebasan dari perhambaan oleh yang selain Allah. Dalam suatu kesempatan, Ibn ‘Arabi menyatakan sebagai berikut:
-----------------------------------------
“Hindari perbedaan pendapat sedapat mungkin. Anda harus menunaikan jihad akbar, yaitu memerangi hawa nafsu Anda. Allah SWT berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman, perangilah mereka yang kafir di sekitar kalian!’ Padahal tidak ada yang lebih kafir daripada hawa nafsumu, karena ia selalu mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya. Jika Anda memerangi hawa nafsu Anda dengan jihad ini, maka Anda telah menunaikan jihad akbar, yang jika hawa nafsu Anda terbunuh dalam perang itu maka Anda akan termasuk dalam golongan kekasih-Nya yang senantiasa ‘hidup’, yang memperoleh rezeki di sisi Tuhan dan berbahagia karena karunia Allah yang dilimpahkan kepada mereka.
Manusia senantiasa dalam jihad akbar karena ia selalu terseret untuk menolak ajaran kebenaran. Sebab, pada dasarnya, ia memang penurut kepada hawa nafsunya, yang hawa nafsu ini setara dengan iradah (kehendak) yang menjadi hak Allah, karena Allah melakukan sesuatu seperti manusia ingin melakukan apa yang disukainya.”
-----------------------------------------
Dari paparan di atas, kita lihat bagaimana Ibn ‘Arabi menyejajarkan ‘hawa nafsu’ dengan ‘iradah’, yang merupakan ‘hak Allah’ karena hanya Allah sajalah yang berhak melakukan apa pun sekehendak-Nya (dan sungguh semua Kehendak-Nya itu baik semata). Karena itu, mati sebelum mati, sebagaimana telah dijelaskan di atas, sangatlah bertentangan dengan syahwat dan hawa nafsu, sehingga setiap manusia akan mengelak dan berdalih dengan segenap cara. Ketakutan manusia akan kehilangan segala yang dicintainya, segala yang menjadi idamannya, segala yang membuatnya—secara sadar maupun tidak—amat bergantung, telah membuatnya susah untuk membangun keberserahdirian total kepada Allah. Bahkan, tak jarang manusia pun memberikan syarat untuk keberserahdiriannya, yaitu, selama Allah tidak mengganggu gugat apa-apa yang dia cintai, dan senantiasalah kehendak Allah tersebut berupa kesenangan-kesenangan duniawi. Rasa takut kehilangan serta kecintaan terhadap dunia seperti inilah yang nantinya akan menjadi ‘karat’ pembuat rekatnya nafs terhadap tubuh, dan menimbulkan rasa sakit yang amat sangat pada saat kematian nanti. Kematian ‘diri’ semacam inilah yang dimaksudkan dalam ayat-ayat Al-Quran sebagai berikut:
-----------------------------------------
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku sesungguhnya kamu telah menjadikan anak lembu, maka bertaubatlah kepada Rabb yang menjadikan kamu dan bunuhlah anfus-mu. Hal itu adalah lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu, maka Dia akan menerima taubatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah [2]: 54)
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah anfus-mu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan. (QS An-Nisâ’ [4]: 66)
-----------------------------------------
Sebenarnya dalam setiap kematian ada kehidupan, namun sedikit sekali manusia yang bersedia untuk mati sebelum mati. Ada pun maksud dari “membunuh anfus” (bentuk jamak dari nafs) dalam ayat di atas adalah ‘membunuh’ hawa nafsu. Namun, membunuh di sini bukanlah menjadikannya mati tak berfungsi, tapi memotong potensi hawa nafsu (yaitu, kecintaan terhadap hal-hal yang imaterial), sehingga dapat membuat nafs berjalan semata hanya sesuai dengan Kehendak-Nya. Ada pun “keluar dari kampung” adalah tempat segala sesuatu yang material yang dicintai oleh manusia, di kampung ada harta benda, tanah, binatang ternak, dan orang-orang yang dicintai. Inilah syahwat, yaitu, kecintaan terhadap hal-hal yang material. Pernah suatu ketika, saat sedang berdiri di depan televisi, Mursyid memanggilku untuk berdiri disampingnya. Dengan remote beliau memindah-mindahkanchannel televisi berulang kali ke berbagai stasiun televisi. Sambil melakukan itu, beliau berkata: “Coba lihat, televisi saja taat sama yang punya. Sementara manusia, malah tidak mau taat pada yang menciptakannya.” Sambil mengakhiri ucapannya tersebut, beliau pun menekan tombol off dan televisi itu pun mati.
Dari uraian di atas, setidaknya kita bisa mulai memahami bahwasanya keberserahdirian itu adalah jalannya para Nabi, para waliyullah, para pencari dan hamba-Nya. Keberserahdirianlah yang dapat mengantarkan seorang manusia hingga dapat bertemu dengan Rabbnya, yang melapangkan jalan dan memudahkannya dalam setiap ‘amr (urusan) dari Allah, dan menjadi kebanggaan seorang hamba di hadapan Rabb-nya.[]
x
Komentar
Posting Komentar