Aku Dan Pertanyaanku
Secara vulgar pikir sebenarnya bisa dikatakan bila "Manfaat adalah Tuhan", entah disadari atau tidak, diakui atau ditentang, demikianlah kenyataannya. Dan hal itu menjadi basik dari segala gagasan bahkan kondisi dalam kehidupan kita. Karena itulah hal-hal yang (dianggap) tidak bermanfaat akan di tolak, dan manusia akan selalu mencari kemanfaatan, baik hal yang remeh hingga sangat penting. Manfaat akan selalu menjadi obsesi manusia di segala hal.
Dulu, waktu kelas 6 SD, ketika itu tahun 1988. Saya kalau waktu istirahat suka duduk-duduk di bawah pohon beringin yang sangat besar di halaman sekolah sembari merenung dan memperhatikan teman-teman yang sedang asik dengan jajan dan permainan masing-masing. Dengan usia 12 tahun (ternyata) Tuhan sudah memberi beban pikir yang berat kepada saya. Saya yakin pikiran ini tidak terpikir oleh anak-anak (teman-teman) saya ketika itu yang tentu waktu keceriaan dengan aktivitas fisik dan belajar secara formal. Saya bertanya-tanya dalam hati :"Sebenarnya apakah manfaat ilmu matematika?".
Ketika itu saya sudah bisa memahami manfaat ilmu lain, semisal biologi, tentu manfaat ilmu biologi adalah untuk mengetahui tentang kesehatan. Ilmu Pengetahuan Sosial, tentu manfaatnya untuk mengetahui sejarah, dsb. Tetapi tidak dengan ilmu matematika, untuk apa sebenarnya ilmu matematika. Toh ilmu ini begitu sulit dan memuakkan. Pertanyaan saya tentang apa manfaat ilmu matematika berlanjut hingga SMP, terlebih sudah dimulai dikenalkan persamaan, Sin, Cos, dst, yang semakin njlimet untuk dikonsumsi dalam otak kecuali dibutuhkan minat dan tekat untuk menguasainya.
Setelah itu saya lupa dengan pertanyaan-pertanyaan menggelitik dalam kesadaran saya itu dikarenakan fokus mempelajari hal-hal keagamaan dan mistisisme dan metodenya sehingga membawa saya menjadi berkiblat pada dunia keruhanian tasawuf.
Akan tetapi diselain itu, saya sejak kecil memang sangat hobi nonton film dokumenter, seperti Discovery, National Geographic, dsb. Suatu saat sekitar tahun 2000 an ketika itu nonton National Geographic, kebetulan tentang teori kosmologi seperti fisika kuantum, astronomi, dan basik-basik filsafatnya yang dibawakan oleh Michio Kaku, seorang teoritis sains fisika. Maka saya menjadi suka mengikuti hal-hal pemaparan seperti itu, dan bila ada acara TV tentang Michio Kaku saya akan menonton dengan cermat.
Ketika itu saya belum begitu bisa mencerna, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan pemaparan seperti itu, meski dalam kesadaran saya yang dalam sebenarnya setuju dengan gagasan-gagasan sains meski benak saya masih dipenuhi dengan hal keagamaan dan metafisika versi agama. Tentu saja karena saya tidak begitu memahami (meski sebenarnya sangat tertarik) akhirnya kedengkian (jengkel) muncul dari hati saya sambil mengomel :"Apa sih sebenarnya 'manfaat teoritis'?".Sejak itu saya sangat membenci hal teoritis, termasuk orangnya. Sebab, saya pikir apa arti pembicaraan yang abstrak dan tidak ada karya nyata dalam kehidupan.
Sejujurnya baru saya sadari sehari dua hari belakangan ini, sebenarnya pertanyaan saya waktu SD tentang matematika dan hal teoritis itu berkorelasi. Itu adalah dua bentuk pertanyaan yang sejenis tentang kemanfaatan yang yang (dianggap) abstrak dan tidak membawa dampak (positif) nyata dalam kehdupan, bahkan hanya perkataan-perkataan yang berbelit-belit.
Jadi, kesimpulan dari dua jenis pertanyaan saya diatas sebenarnya adalah mempertanyakan soal manfaat, dan dalam kerangka pikir agama. Sedangkan agama pada hakikatnya (bila jujur dikatakan) tentu tentang "Keberpihakan", selama dalam pihaknya atau membawa manfaat bagi agama yang dianut pasti akan di klaim "Bermanfaat". Demikian juga sebaliknya, meski ada manfaat tetapi tidak berpihak kepada agama yang dianut tentu saja akan dianggap "Tidak bermanfaat"
Baiklah ya, kita tidak perlu bicara agama dengan segala ketidak konsekwenan yang ada di dalamnya. Saya bercerita tentang sejarah gagasan yang saya anut (dukung) dalam perjalanan hidup saya.
Biasanya banyak orang akan mengatakan bila sains bertentangan dengan agama. Dalam hal ini saya tidak sependapat. Sebab, memang antara sains dan agama punya kerangka pikir yang tidak sama meski urgensi dalam kehidupan manusia dua kubu ini setara dalam kebutuhan kehidupan manusia. Sains bukan agama, dan agama bukan sains, jadi itu adalah dua kutub yang berlainan.
Saya juga tidak setuju bila agama hendak di-sains-kan, dan sains hendak di- agama-kan. Tetapi saya percaya bila dua kutub ini meski berbeda ada korelasi yang suatu saat akan semakin manusia menemukan titik temunya selaras dengan peradaban yang terbentuk dalam rentang sejarah di bumi ini. Setidaknya ini adalah secara teoritis, tetapi kita juga tidak tau apa yang akan terjadi di masa mendatang.
Ketidaksamaan kerangka pikir dan metode dua kutub inilah yang menjadikan orang tidak mengetahui apa yang menjadi makna-makna yang terkandung dalam bahasan-bahasan. Maka adalah wajar bila seseorang yang masih dikuasai kerangka pikir agama tidak tau atau bahkan menganggap sesat hal berkenaan dengan (filosofi) sains. Demikian juga sebaliknya para saintis juga sering apriori dengan agama. Hal seperti ini sebenarnya berlaku bukan saja pada skala individu, akan tetapi secara gagasan pemikiran juga.
Biasanya yang lebih sering terjadi adalah pada pihak (orang-orang ber-) agama menghendaki agar sains selaras dengan tujuan-tujuan agama, bahkan pada bentu basik filsafatnya. Sebab, ada perasaan bila agama haruslah menjadi segala sesuatu, dan segala sesuatu adalah (harus bernilai) agama. Karena ini hal-hal yang diluar (kepemahaman) agama dianggap berbahaya dan sesat, layak dimusahkan. Akan tetapi ketika sains dirasa menguntungkan agama, produk sains akan digunakan semaksimal mungkin untuk pengembangan agama.
Kembali pada kisah saya tentang teoritis. Mempertanyakan apa manfaat teoritis sebenarnya hal wajar. Bahkan kata "Teori" ini saja untuk orang awam sudah menjenuhkan dan jauh dari manfaat, dan ada anggapan seperti "Membual" dengan kata-kata muluk-muluk yang sok ilmiah.
Silahkan bagi yang masih awam dengan hal ilmiah memiliki anggapan seberti itu, boleh-boleh saja dan tidak masalah. Akan tetapi kata teori dalam khazanah ilmiah tidak seperti sangkaan orang awam. Teori ilmiah adalah rangkuman hipotesis atau hipotesis-hipotesis yang telah didukung dengan tes yang berulang. Jadi memiliki validitas.
Adapun tentang pertanyaan :"Apa manfaat ilmu matematika?". Saya menjawab, bahwasanya matematika adalah dasar segala hukum jagad ciptaan. Ini adalah pendapat asli dari diri saya sendiri tanpa mengutip dari siapapun. Saya tidak tau apakah pendapat saya ini valid menurut sains, dan atau apakah diterima secara pendekatan filsafat. Tetapi dalam perenungan kontemplatif saya berdasar Al Qur'an bahwa pendapat saya menunjukkan ada indikasi korelasi dengan ayat ini.
إِنَّا كُلَّ شَىۡءٍ خَلَقۡنَـٰهُ بِقَدَرٍ۬
" Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran ". - Qs : Al Qamar : 49
Sedangkan pertanyaan :"Apakah manfaat teoritis?". Maka saya menjawab bahwa teoritis memang mungkin dirasakan tidak membawa kemanfaatan secara langsung sebagaimana ilmu terapan. Akan tetapi ilmu terapan itu memang disusun berdasar teoritis. Ilmu terapan memang terhubung dengan praktik di lapangan, akan tetapi ilmu teoritis berusaha membuat rumusan yang valid dari berbagai macam penelitian ilmiah. Jadi, itu bagai tahap yang berbeda.
Maka akanlah salah bila mencela teori (dalam ranah ilmiah) sebab, teori itu adalah upaya sungguh-sungguh (hasil ijtihad) yang dilakukan oleh manusia selama beberapa periode waktu untuk menghasilkan sebuah metode yang akan digunakan untuk membangun suatu alat (teknologi) yang akan digunakan untuk sebagai jalan keluar problematika dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini saya akan berikan contoh. Adalah salah bila kita mencela teori gravitasi Newton karena anggapan bila dengan teori itu Sir Isaac Newton dianggap tidak membuahkan suatu manfaat yang nyata berupa alat tertentu yang dapat digunakan. Akan tetapi dari teori itu dapat dipahami tentang gejala gravitasi planet bumi, tentu akan sangat berguna dalam ilmu teknik bangunan, aerodinamik pembuatan pesawat terbang, dsb.
Sepertihalnya bila dikatakan :"Apakah manfaat Albert Einstein, toh dia juga tidak menciptakan alat (teknologi) tertentu?", maka jawaban untuk itu seperti jawaban tentang Sir Isaac Newton meski pada skala yang sudah berkembang. Einstein menemukan (menuliskan) rumusan tentang ruang dan waktu sehingga sangat memudahkan memahami gejala-gejala astronomi.
Demikian juga dengan pertanyaan :"Apakah manfaat Stephen Hawking?", toh dia orang cacat yang menetang teori-teori agama khususnya monotheisme dengan gagasan-gagasannya. Jawab saya adalah :"Manfaat Stephen Hawking adalah bahwasanya dia-lah yang menemukan rumusan tentang ruang multidimensi dan kuantum, dan dari sinilah pemahaman tentang alam lebih terbuka lagi sehingga multijagad mulai dikenal oleh sains meski tidak seperti yang dipaparkan dalam gagasan agama-agama yang biasa disebut dengan "Ghaib".
Khusus tentang Stephen Hawking saya punya komentar tentang gagasannya yang menolak eksistensi Tuhan dalam jagad ini. Saya berpendapat bahwa apa yang menjadi pendapatnya itu tidak di medan yang sama seperti yang dimaksudkan oleh agama. Dia bicara tentang "Teknis" dalam memahami realita dimana dia berpendapat bahwa hadirnya eksistensi jagad ini bisa dijelaskan secara fisika modern. Terlebih ada kenyataan bahwa semua soal Tuhan pastilah hal-hal yang digunakan untuk menutupi ketidakdiketahuian. Bagai potongan puzzle yang anda bingung menemukan untuk kelengkapan suatu gambar puzzle itu, maka orang mengatakan itulah Tuhan sebagai pelengkap dari gejala pikir dalam benak manusia. Misal, bagaimana rezeki anda 10 tahun yang akan datang?, anda tidak tau, maka anda akan mengatakan, Atas Allah-lah rezeki saya, dan saya berbaik sangka kepada-Nya. Kata Allah ini sebagai pemberhentian gejala pikir dalam benak anda.
Sebagian orang memang sudah meneleti bagaimana soal "Pikir" ini secara sangat mendalam. Biasanya mereka mendapat gambaran dari hal-hal yang bersifat teknik dari alam, dari sinilah muncul banyak gagasan tentang cara berpikir dan berfilsafat sehingga memunculkan banyak pemahaman dan aliran-aliran (madzhab) sebagai ajaran-ajaran tertentu.
Orang-orang seperti diatas akan tidak mudah menerima (tafsir) agama, sebab, mereka paham bagaimana cara berpikir yang dijalankan si penafsir agama. Sedangkan orang awam akan mudah takluk dikarenakan takut dengan ayat-ayat Tuhan yang sudah dikemas dalam tafsir orang itu, padahal orang awam tidak tau sama sekali ayat-ayat itulah yang sudah dikemas dalam pikir si penafsir.
Karena hal seperti diatas itulah saya berpendapat bila beragama yang baik adalah dengan jiwa (kalbu), sebab memang ada kenyataan bila inti dari segala persoalan agama adalah hal abstrak, maka akan cenderung banyak menemukan kesalahan bila menafsirkan hal abstrak dengan pikiran. Ini seumpama bila anda berusaha menceritakan mimpi dalam tidur anda secara verbal, dan anda sadar betul bila lisan anda tidak mampu menceritakan sepenuhnya mimpi itu secara tepat.
Saya sendiri masih percaya bila tidak semua hal abstrak adalah salah (sebagaimana pikiran yang melayang kemana-mana tanpa arah), akan tetapi hal abstrak ada yang nyata, seumpama anda mengunyah sebatang cabe yang sangat pedas, kemudian ada merasakan sensasi pedas dalam lidah anda sehingga kulit anda juga menjadi berkeringat.
Sedikit kembali pada soal sains. Sains bersama teori dan produknya tidak akan pernah mencapai titik puncak tertentu. Akan tetapi sains akan melaju beriringan dengan peradaban yang terbentuk dalam rentang sejarah yang terjadi. Tetapi juga ada kemungkinan bila peradaban tidak akan berkembang maju karena pertikaian antar sesama manusia sehingga planet bumi semakin rusak, atau karena faktor bencana alam, atau karena keserakahan manusia dalam eksplorasi yang melampaui batas akan sumber daya alam.
Sedangkan teori-teori sains sendiri juga jangan dianggap final. Misal, dulu Newton dianggap fenomental, kemudian teori itu terbaharui oleh Einstein, dan teori Einstein terbaharui lagi oleh Hawking, dan tentu setelah Hawking kelak akan ada lagi dengan bentuk-bentuk teori yang update dalam sejarah sains dan peradaban dunia. Sedangkan pertentangan cara pikir dan kerangka pikir sebenarnya tidak perlu di risaukan, sebab, semua itu hanya kesementaraan saja.
Mungkin kita tidak cukup umur untuk melihat lagi bagaimana kelanjutan dari gagasan Hawking, dan seperti apa pendapatnya (dimasa depan kelak) sehingga sebagai orang beragama kita khawatir bila gagasan seperti itu akan menodai gagasan-gagasan agama. Kita tidak perlu khawatir, dan Tuhan memang tidak perlu dibela, sebab, bagaimana kita mampu membela Tuhan yang pemilik dan pengatur segala sesuatu ?. Akan tetapi kita mesti berbuat tanggung-jawab bagi kehidupan ini, baik bagi diri sendiri maupun sesama manusia. Itulah pembelaan yang sebenarnya.
Dalam bahasa filsafat Islam. Bisa jadi, apa yang ditemukan Hawking masih pada penggalan kata "Laa ilaha (=Tidak ada Tuhan). Mungkin kelak akan ada orang yang mampu melengkapi dengan illa llah (=Kecuali Tuhan / Allah) sehingga genaplah tanda-tanda eksistensi Tuhan dalam jagad ciptaan ini sebagaimana ajaran universal monotheisme. Sehingga keberadaan-Nya tidak saja dipahami hanya dalam (versi) agama saja, akan tetapi dalam sains juga, dimana sains adalah perpanjangan dari akal. Dan akal adalah karunia fitrah asli dan khusus bagi manusia. Mungkin kita tidak akan bertemu dengan masa itu, akan tetapi estimasi untuk itu jelas ada bagi orang yang mampu menggunakan pikir dengan sebaik-baiknya.
Jadi, pertanyaan :"Apakah manfaat matematika dan teoritis?", maka jawabnya (secara ringkas) adalah :"Untuk memahami bagaimana alam bekerja!"
Komentar
Posting Komentar