Mengenal Sosok Waliyullah Eksentrik Syeikh Ahmad Mutamakkin
Syeikh Ahmad Mutamakkin di kenal juga dengan nama Mbah Cebolek, beliau adalah seorang faqih yang disegani karena berpandangan jauh dan luas. Sebagai guru besar agama beliau berdakwah dari satu tempat ke tempat yang lain yang beliau anggap tepat sasaran. Melihat penduduk dibeberapa tempat yang berlainan bahasa dan adatnya, dalam memilih daerah-daerah di pantai utara Jawa Syeikh Ahmad Mutamakkin membuat pertimbangan-pertimbangan terlebih dahulu.
Adapun sejarah beliau menurut catatan ahli tarikh, pada masa itu beliau melakukan misi dakwah menuju ke arah Barat, sampai ke Desa Kalipang, suatu daerah yang terletak di Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Disana beliau menetap beberapa lama dan sempat mendirikan sebuah Masjid. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan sampai ke Cebolek, sebuah Desa di kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah, yang waktu itu Cebolek masih bagian dari Kecamatan Juana. Setelah bermukim di Cebolek beberapa lama, beliau kemudian hijrah ke Desa Kajen, sebuah Desa yang terletak disebelah Barat Desa Kajen.
Sebagai guru besar Agama, Syeikh Ahmad Mutamakkin menyebarkan Agama dan membuka lapangan pendidikan Islam untuk mencetak mubaligh dan kader-kader agama yang nantinya akan menyambung tali perjuangan beliau.
Silsilah Beliau
Menurut KH Abdurrahman Wahid, Syeikh Ahmad Mutamakkin berasal dari Persia (Zabul) propinsi Khurasan Iran selatan. Akan tetapi, silsilah yang di percaya masyarakat setempat Ia adalah bangsawan Jawa. Sedangkan menurut catatan sejarah lokal Syeikh Ahmad Mutamakkin dari garis bapak adalah keturunan Raden Patah (Raja Demak) yang berasal dari Sultan Trenggono. Sedangkan, dari garis Ibu keturunan, Syekh Ahmad Mutamakkin dari Sayyid Ali Bejagung Tuban Jawa Timur. Sayyid ini memiliki putra namanya adalah Raden Tanu dan Raden Tanu memiliki seorang putri yang menjadi ibunda Syekh Ahmad Mutamakkin.
Diyakini bahwa Syeikh Ahmad Mutamakkin adalah keturunan Raja Muslim Jawa Jaka Tingkir, cicit Raja Majapahit terahir Brawijaya V. Ayah Syeikh Ahmad Mutamakkin adalah Sumahadiwijaya adalah Pangeran Benowo II Raden Sumahadinegara bin Pangeran Benawa I Raden Hadiningrat bin Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya bin ki Ageng Pengging bin Ratu Pambayun binti Prabu Brawijaya V Raja Majapahit terakhir. Ratu Pambayun adalah saudara perempuan Raden patah. Istri Jaka Tingkir adalah putri Sultan Trenggono bin Raden Patah Raja Demak.
Menurut sumber lain, Syeikh Ahmad Mutamakkin masih memiliki garis keturunan langsung dengan Nabi Muhammad s.a.w. Silsilah Syeikh Ahmad Mutamakkin menunjukkan pertemuannya dengan Nabi melalalui garis ayah:
Syeikh Ahmad Mutamakkin bin
- Sumahadinegara bin
- Sunan Benawa bin
- Abdurrahman Basyiyan bin
- Sayyid Umar Ibnu Sayyid Muhammad bin
- Sayyid Ahmad bin
- Sayyid Abu Bakar Basyiyan bin
- Sayyid Muhammad Asadullah bin
- Sayyid Husain at-Turaby bin
- Sayyid Ali bin
- Sayyid al-Faqih al-Muqaddam bin
- Sayyid Aly bin
- Sayyid Muhammad Shahib al-Murbath bin
- Sayyid Ali Khali Qasyim bin
- Sayyid Alwy Ibnu Sayyid Muhammad bin
- Sayyid Alwy bin
- Imam Ubaidillah bin
- Imam Ahmad al-Muhajir ila Allah bin
- Imam Isa an-Naqib bin
- Imam Muhammad an-Naqib bin
- Imam Alwy al-Uraidhi bin
- Imam Jakfar al-Shadiq bin
- Imam Muhammad al-Baqir bin
- Imam Ali Zainal Abidin bin
- Sayyidina Husain bin
- Fatimah Azzahra binti
- Sayyidina Muhammad SAW.
Silsilah lain berbeda pada tingkat Sayyid Alwy ke bawah, silsilah ini:
- Syeikh Ahmad Mutamakkin bin
- Sumahadinegara bin
- Sunan Benawa bin
- Putri sultan Trenggono binti
- Sutan Trenggono bin
- istri Raden Patah binti
- Maulana Rahmat bin
- Maulana Ibrahim bin
- Jamaluddin Husain bin
- Sayyid Ahmad Syah bin
- Sayyid Abdullah bin
- Sayyid Amir Abd al-Malik bin
- Sayyid Alwy dan seterusnya seperti silsilah di atas.
Telah disebutkan bahwa Pangeran Benowo II pada tahun 1617 M melarikan diri ke Giri untuk meminta suaka politik atas serangan Mataram. Di ceritakan juga, adipati Tuban yang menjalin hubungan kekerabatan dengan pangeran Benawa II. Maka dapat diasumsikan bahwa dari hasil perkawinan itu lahir Sumadiwijaya (nama ningrat al-Mutamakkin) tahun kelahiranya tidak diketahui secara tepat, oleh karena itu, masih di perlukan pelacakan secara cermat tentang peninggalan dan silsilahnya.
Syeikh Ahmad Mutamakkin di lahirkan di Desa Cebolek, 10 Km dari Kota Tuban, Ia kemudian di kenal dengan nama Mbah Mbolek. Nama Al-Mutamakkin sebenarnya adalah gelar yang di peroleh dari rihlah ilmiahnya di timur Tengah. Al-Mutamakkin di ambil dari Bahasa Arab yang artinya orang yang meneguhkan hati atau diyakini akan kesuciannya.
Di Desa Cebolek Tuban, Syeikh Ahmad Mutamakkin menghabiskan usia mudanya. Desa Cebolek di Tuban yang sekarang bernama Desa Winong. Di sana terdapat peninggalannya berupa masjid Winong. Masjid tersebut tepat berada di tepi sungai. Pelacakan secara mendalam mengalami kesulitan karena masjid sudah di pugar berkali-kali akibat sering terkena banjir besar. Di dalam masjid tersebut terdapat klebut (kayu agak lonjong bulat tempat untuk menjemur kopyah atau peci haji) dan batu kecil mirip seperti asbak. Di depan masjid terdapat sawo kecik yang cukup besar yang di yakini terdapat keris pusaka Syeikh Ahmad Mutamakkin. Desa sunyi senyap dan banyak penyamun ini berkat usaha KH. Mutamakkin berubah menjadi Desa yang penuh damai dan sejahtera.
Riwayat Intelektual Beliau
Di ceritakan pada abad ke 17 hubungan Tuban dan Pati dengan daerah Banten dapat di lihat dari seringnya pelabuhan Tuban dan Juana (Pati) di singgahi para pelayar dari Banten. Kedua pelabuhan itu mempunyai kedudukan penting bagi Mataram dalam distribusi hasil pertanian dari pedalaman. Bahkan, dengan kebijakan Mataram yang membagi empat wilayah daerah pesisir dua pelabuhan tersebut mampu menandingi pelabuhan Semarang dan Jepara. Terlebih lagi ketika Jepara dipandang tidak aman karena sering terjadi pembajakan kapal.
Diduga Sheikh Ahmad Mutamakkin mengawali perjalanan intelektualnya dengan berlayar ke Banten dan di sana beliau bertemu dengan ulama besar Syekh Muhammad Yusup al Makassari yang kemudian beliau melanjutkan ke Negeri Timur Tengah. Dapat juga di duga sebelum sampai ke Banten beliau singgah ke Tegal Jawa Tengah. Hal ini di dasarkan atas makam ayahnya (pangeran Benawa II) yang diyakini terdapat di Tegal. Bahkan, di daerah tersebut terdapat Desa yang bernama Kajen. Sepulang dari Timur Tengah, Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak kembali ke Tuban melainkan ke sebuah Desa di Pati bagian utara.
Pendapat dari Keluarga
Sedangkan menurut KH. Maspu’duri salah satu keluarga dekat dari keturunan Syeikh Ahmad Mutamakkin, riwayat intelektual Syeikh Mutamakkin di peroleh pertama dari keluarganya sendiri karena keluarga Syeikh Ahmad Mutamakkin merupakan putra salah satu keluarga ningrat dan keluarga terdidik yaitu putra salah satu Adipati di Tuban yaitu Hadinegoro atau Sumohadiningrat. Namun, sejak kecil Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak menyukai gaya hidup Keraton yang gelamor kemudian melakukan pengembaraan ke arah Barat hingga sampai Sarang Rembang dan menetap sementara di Sarang dan mendirikan sebuah masjid, kemudian melanjutkan perjalanan dakwah ke arah Barat dan kemudian singgah di Cebolek.
Setelah menetap di Cebolek sementara, Syeikh Mutamakkin setiap malam setelah melakukan shalat malam atau shalat Tahajud beliau melihat sinar ke arah atas, dan dicarilah sinar itu ke arah Barat hingga ketemu pusat sinar yaitu di kediaman KH Syamsuddin di Desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah. Kemudian Syeikh Mutamakkin berbaiat menjadi murid dan santri KH Syamsuddin. Akhirnya Syeikh Mutamakkin menjadi murid KH Syamsuddin, karena kealimannya, kebagusan akhlaqnya dan kecerdasannya, Syeikh Mutamakkin kemudian dijodohkan dan diambil menantu KH. Syamsuddin dengan seorang putrinya bernama Nyai Shalihah.
Setelah menjadi santri KH. Syamsuddin, Syeikh Mutamakkin kemudian melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Timur Tengah. Syeikh Mutamakkin belajar di Timur Tengah dalam beberapa lama, salah satu gurunya adalah makamnya ada di Madinah. Makam gurunya Syeikh Mutamakkin ada lubangnya, dan lubangnya selalu mengeluarkan angin yang berbau harum. Namun, karena di sana menganut paham Wahabi sekarang makam guru Syeikh Mutamakkin tersebut sudah tidak terawat dan dibuangin sampah oleh masyarakat Arab.
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18, Syeikh Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah Pati Utara wilayah Kawedanan Tayu. Desa Cebolek merupakan nama yang diberi oleh Syeikh Mutamakkin yang diambil dari kondisinya ketika terhempas dipantai yang di bawa oleh muridnya dari bangsa Jin kemudian dipindahkan ke atas seekor ikan mladang dan jebul-jebul Melek (tiba-tiba terbuka matanya atau terjaga sepulang dari tanah suci Mekah). Dapat pula diasumsikan bahwa beliau terdampar di pantai timur Cebolek karena kapal yang ditumpanginya dibajak oleh pembajak dari Jepara yang pada waktu itu merajalela di laut utara Jawa.
Sepulang dari Timur Tengah pada abad 18, Syeikh Ahmad Mutamakkin terdampar di Desa Cebolek, tepatnya di wilayah Pati Utara wilayah Kawedanan Tayu. Namun, menurut sejarah tradisi lisan yang sekarang masih terpelihara dengan baik, sebenarnya terhempasnya Syeikh Mutamakkin di tengah lautan itu karena Syeikh Mutamakkin dikhianati muridnya yang dari bangsa jin. Menurut cerita KH. Maspu’duri, ketika mau berhaji, Syeikh Mutamakkin memanggil salah seorang muridnya yang dari bangsa jin untuk mengantarkan berhaji ke Mekah. Sewaktu pulang dari Mekah, Syeikh Mutamakkin juga diantarkan muridnya dari bangsa jin, ketika sampai di tengah lautan berpapasan dengan Ratu jin Kafir. Dan Ratu jin kafir itu meminta agar Syeikh Mutamakkin di lepaskan saja oleh muridnya. Kalau tidak mau melepaskan, maka ratu jin kafir itu akan membunuh murid dari jin Syeikh Mutamakkin. Syeikh Mutamakkin kemudian dikhianati oleh muridnya dan ditinggalkan sendirian di tengah lautan, kemudian Syeikh Mutamakkin pasrah kepada Allah dan memejamkan mata, sehingga ditolong oleh ikan Mladang diantarkan ke pinggir pantai dan kemudian Syeikh Mutamakkin membuka matanya (jebul-jebul melek). Maka daerah pantai tempat terhempasnya Syeikh Mutamakkin ini di namakan Cebolek.
Guru-Guru Beliau
Guru Syeikh Ahmad Mutamakkin termaktub dalam serat Cebolek adalah Syeikh Zayn dari Yaman. Figur ini juga di kenang oleh masyarakat di sekitar makam Syeikh Ahmad Mutamakkin. Syeikh Zein a adalah Syekh Muhammad Zayn al Mizjazi al Yamani, seorang tokoh tarikat Naqsabandiyah yang sangat berpengaruh. Meski tahun kehidupan Syeikh Zayn tidak di ketahui pasti, tetapi ayahnya Syekh Muhammad al Baqi al Mizjaji adalah guru Syekh Yusuf al Makassari dan Syekh Abdurrouf As Singkili yang wafat pada tahun 1663 dan putranya Syekh Abdul Khaliq Ibnu Zayn al Mizjaji wafat tahun 1740.
Tidak diketahui secara persis Syeikh Ahmad Mutamakkin berguru kepada Syeikh Muhammad Zayn al-Yamani. Baik serat Cebolek maupun lokal historis masyarakat tidak mengungkapkannya, juga tidak tentang guru-gurunya yang lain. Akan tetapi, kita bisa bercermin pada riwayat historis murid Jawi pendahulunya Syekh Abdul Rauf as Singkili dan Syekh Yusuf al Makassari yang menyusuri kawasan Timur dan selatan Arabia termasuk Yaman sebelum sampai ke Haramain (Mekah dan Madinah). Diasumsikan, Syekh Ahmad Mutamakkin mengikuti rute perjalanan serupa sebelum akhirnya sampai ke Mekah, dengan demikian dapat melaksanakan ibadah Haji.
Rihlah ilmiyah dan jaringan keilmuan Syeikh Ahmad Mutamakkin penting untuk di ungkapkan dalam tulisan ini. Jika benar Ia mengikuti rute gurunya al Singkili dan al Makassari, maka dapat dicatat disini beberapa tempat yang disinggahinya, yaitu Dhuha (Doha) di wilayah Teluk Persia, Yaman, Jeddah, dan akhirnya Mekah dan Madinah. Tetapi, sebelum ke Timur Tengah penting untuk dicatat tentang kemungkinan pertemuan Syeikh Mutamakkin dengan Muhammad Yusuf al Makassari di Banten sekitar 1691 M. Syeikh Al-Makassari di asingkan di Tanjung Harapan pada tahun 1694 M. Kemungkinan ini di dasarkan atas catatan dalam karangan Syeikh al-Mutamakkin yang menyebutkan Tarikat Naqsabandiyyah dan Tarikat Khalwatiyyah yang diasumsikan diinisiasi atau sekedar di perkenalkan oleh Syeikh al-Makassari.
Berkat Syeikh al-Makassari kemudian beliau diperintahkan belajar ke Timur Tengah mengikuti rute yang pernah dilakukan oleh al-Makassari. Dari beberapa tempat dalam rutenya di perkirakan beliau juga belajar beberapa guru dan diinisiasi oleh guru Tarikat yang hidup pada masa itu selain berguru kepada Syeikh Zayn al-Yamani.
Perlu dicatat di sini beberapa murid Syeikh al-Singkili (w. 1693) yang sezaman dan barangkali bertemu dengan Syeikh al-Mutamakkin antara lain Syekh Abdul Muhyi asal Jawa Barat, Syekh Abdul al Malik bin Abdullah (1089-1149/1678-1736) asal Semenanjung Melayu yang di kenal sebagai tokoh pulau Manis dari Trengganu, Syekh Daud al Jawi Fansuri bin Ismail bin Agha Mustafa bin Agha Ali al-Rumi. Yang terahir ini adalah murid kesayangan Syeikh al-Makassari yang juga sebagai Khalifah utamanya.
Barangkali Syeikh Assingkili-lah yang yang menginisiasi Syeikh al-Mutamakkin ke dalam Tarikat Sattariyyah meski sumber-sumber yang ada tidak memberikan angka tahun pertemuannya, dugaan ini didasarkan atas catatan teks karangan Syeikh al-Mutamakkin yang membicarakan Tarikat Sattariyyah berbahasa Arab Melayu (Jawa Pegon).
Ketika Syeikh al-Mutamakkin sampai di Yaman, Syekh Muhammad Abdul al Baqi al Mizjaji sudah wafat dan diganti oleh anaknya Syekh Zayn bin Muhammad Abdul al Baqi al Mizjaji. Selain Syeikh al-Mutamakkin, Flecer menegaskan, seorang muslim Cina Ma Mingxin juga belajar dengan Syekh Zayn bin Muhammad Abdul al Baqi al Mizjaji (1053-1138H atau 1643-1726M) dan putranya Abdul al-Khaliq wafat 1740 M.
Begitu juga ketika sampai di Makkah dan Madinah, Syeikh al-Mutamakkin tidak menemui guru-guru Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari karena mereka sudah meninggal dunia. Ia hanya menemui generasi selanjutnya yang dapat dicatat dari kolega-kolega Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari. Karena ada baiknya di sini dikemukakan hubungan antara Syeikh al-Singkli dan Syeikh al-Makassari serta ulama-ulama yang berperan yang hampir sezaman dengan Syeikh al-Mutamakkin agar dapat di ketahui situasi dan interelasi keilmuan pada masa itu.
Jika guru-guru Syeikh al-Makassari antara lain:
- Syekh Umar bin Abdullah Basyaiban,
- Syekh Muhammad bin Abdul Baqi al Naqsabandi,
- Sayyid Ali al Zabidi,
- Syekh Muhammad bin al Wajih Al Sa’di al Zamani,
- Syekh Ahmad al Qussyayi,
- Syekh Ibrahim al Qurani dan Syekh Hasan al Ajami,
- Syekh Muhammad al Mazru’ al Madani,
- Syekh Abdul Karim al Lahuri,
- Syekh Muhammad Muraz al Sami,
- Syekh Ayyup bin Ahmad bin Ayyup al Dimasqi a -Khawati (994-1071H/1586-1661 M), maka guru-guru Syeikh al-Mutamakkin adalah generasi berikutnya yang bisa jadi murid-murid dari ulama tersebut atau teman-teman Syeikh al-Makassari. Di banding murid-murid Syeikh al-Makasari lainnya, Syeikh al-Mutamakkin lebih dulu berkiprah karena murid-murid Syeikh al-Makassari hidup dan berkiprah pada abad 18 sedangkan Syeikh al-Mutamakkin hidup pada masa peralihan abad 17 dan 18.
Murid Beliau
Syeh Ahmad Mutamakin memiliki murid-murid besar seperti Kyai /Syekh Ronggo Kusumo, Kyai Mizan, R. Sholeh dan murid-murid lainnya yang tersebar dimana-mana.
Karya dan Jasa Beliau
Karir kehidupan Syeikh Mutamakkin adalah sebagai Ulama Besar dan Budayawan yang telah berjasa banyak dalam menyebarkan Islam di Pantai Utara Pati Jawa Tengah dengan pusatnya Desa Kajen sebagai basis gerakan perjuangan dakwahnya Syeikh Mutamakkin. Bukti-bukti sosiologis dan arkeologis dari dampak gerakan dakwah Syeikh Mutamakkin adalah berkembangnya Islam di wilayah pantai Utara Pati dengan pesat. Mayoritas masyarakat diwilayah ini adalah beragama Islam. Banyak berkembang Podok Pesantren-Pondok pesantren dan Madrasah-madrasah dan majlis taklim sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan Islam.
Selain sebagai tokoh Ulama Besar, Syeikh Mutamakkin dalam pandanganmasyarakat setempat diakui sebagai seorang awliya’. Syeikh Mutamakkin mendapatkan penghormatan dan pemulyaan yang begitu tinggi oleh masyarakat Kajen dan sekitarnya. Setiap tahun di gelar tradisi ḥaul beliau setiap tanggal 9-10 Syuro. Acara ḥaul ini berlangsung selama satu bulan penuh. Segala kegiatan baik yang bersifat religius maupun hiburan kesenian rakyat di pentaskan dalam acara ini. Para pengunjung datang dari berbagai daerah, selain meyaksikan perayaan ḥaulnya Syeikh Mutamakkin juga sekaligus melakukan ziarah di makamnya. Sebagai ciri Ulama besar, maka Syeikh Mutamakkin menghasilkan karya ilmiah yang memuat pikiran-pikiran keagamaannya, yaitu Teks Arsy Al-Muwahiddun, dan kidung sufi al-Mutamakkin. Didalam teks tersebut memuat pikiran-pikiran keagamaan Syeikh Mutamakkin, diantaranya adalah mengenai masalah tauhid atau aqidah, masalah fiqih, dan masalah tasawuf. Namun, keberadaan teks ini adalah lebih dominan muatan mengenai masalah Tasawufnya. Keberadaan teks ini masih disimpan oleh generasi sepuh Syeikh Mutamakkin dan tidak setiap orang dapat mengaksesnya, atau bisa dibilang merupakan teks pusaka.
Folklore dan khariqul adah
Kebesaran Syeikh Ahmad Mutamakkin ditunjang oleh beberapa data sejarah yang menunjukkan dia sebagai seorang wali khariqul adah (tidak seperti kebiasaan manusia pada umumnya) yang disegani.
Salah satu contohnya, Syeikh Ahmad Mutamakkin melakukan riyadah (tirakat) selama 40 hari puasa, siang malam, tidak makan dan minum. Pada hari terakhir puasanya, Syeikh Ahmad Mutamakkin menyuruh istrinya membelikan makanan yang paling disukainya di pasar. Setelah makanan itu matang, bahkan baru hangat-hangatnya dan menjelang maghrib, Syeikh Ahmad Mutamakkin justru berkelakuan aneh. Dia menyuruh istrinya mengikatnya di sebuah tiang. Pada saat maghrib tiba, nafsu makannya menggelora dengan dahsyat. Di depannya tersedia makanan yang paling disukainya. Pertarungan nafsu dan qalbun salim (hati yang bersih/selamat) akhirnya dimenangkan oleh qalbun salim. Ajaibnya, dari dalam perutnya keluar dua anjing. Kedua binatang yang melambangkan bentuk nafsu makan itu langsung memakan habis makanan yang tersedia di depannya. Namun, kemudian ingin masuk ke dalam perutnya lagi. Syeikh Ahmad Mutamakkin menolak dan akhirnya kedua anjing tersebut menjadi khadim (pembantu) setia K.H. Ahmad Mutamakkin dalam perjuangannya. Kedua anjing itu kemudian diberi nama Qomaruddin dan Abdul Qohhar (konon katanya kedua nama itu diambil dari nama penguasa zalim dari Tuban). Mitos sejarah ini begitu melekat dalam jiwa masyarakat sekitar dan para santri yang mondok di Kajen. Hingga saat ini setiap hari, dari pagi hingga malam, nonstop selama 24 jam makam K.H. Ahmad Mutamakkin tidak pernah sepi dari pengunjung. Alunan bacaan Al Qu’ran, Tahlil, Tahmid, Takbir, dan Shalawat bergema sepanjang hari, menyemarakkan suasana desa tersebut yang dihuni ribuan santri.
Makam Syeikh Mutamakkin selalu ramai di kunjungi para peziarah. Banyak para santri yang melakukan muthala’ah teks di sana, sebagian lagi menghafal al-Qur’an di lokasi makam sehingga para penjual makanan dan minuman selalu ramai dikunjungi para santri dan para peziarah. Lebih-lebih pada waktu peringatan ḥaul Syeikh Mutamakkin, para pedagang muncul disetiap jalan dan sudut Desa Kajen, Desa Ngemplak, Desa Bulumanis, Desa Sekarjalak,hingga Desa Waturoyo. Keadaan yang demikian ini membawa keuntungan dan keberkahan tersendiri bagi para pedagang karena acara ḥaul Syeikh Mutamakkin ini berlangsung selama sebulan dan dihadiri puluhan ribu pengunjung. Prosesi ini acara ḥaul ini kemudian di lanjutkan dengan acara ḥaul Raden KH. Ronggokusumo yang terletak di desa Kajen dan sekaligus merupakan murid dan kemenakan Syeikh Ahmad Mutamakkin.
Pesan Religius Dan Dampak Positif Sosial
Keberadaan Syeikh Ahmad Mutamakkin di Kajen membawa perubahan terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat Kajen, perkembangan ekonomi ini akibat dari adanya perkembangan lembaga pendidikan di Kajen. Keberadaan Syeikh Mutamakkin di Kajen ibarat matahari ditengah-tengah Desa Kajen yang menyinari masyarakat Kajen dan sekitarnya dengan cahayanya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya adalah adanya pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam di Kajen, baik lembaga pendidikan formal maupun non formal. Lembaga pendidikan non formal berupa munculnya Pesantren dimana-mana di setiap sudut Desa Kajen, majlis ta’lim yang menyebar di setiap gang dan perkampungan desa Kajen, dan berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam formal mulai dari PAUD, TPQ,TK Islam, MI, MTs, MA, SMK, dan Perguruan tinggi Islam. Disamping itu, juga dapat di lihat dari keadaan dan kondisi sosial masyarakat Kajen yang sangat religius, munculnya ulama-ulama dan para santri di Desa ini yang kemudian melanjutkan dakwah Islam di masyarakat Kajen dan sekitarnya, bahkan alumni dari Pesantren Kajen sekarang telah menyebar dari berbagai daerah di tanah air.
Dari perkembangan Pesantren dan madrasah, dan majlis taʽlim di Kajen telah membawa perubahan bentuk masyarakat Kajen yang lebih pas disebut suatu komunitas masyarakat muslim. Hal ini membawa dampak perubahan terhadap ekonomi masyarakat, dari banyaknya siswa dan santri yang menuntut ilmu di Kajen maka membawa lapangan kerja baru bagi masyarakat Kajen, banyak masyarakat Kajen, oleh karena itu sebagian masyarakat Kajen menggantungkan hidupnya dengan berprofesi sebagai pedagang, sebagian lagi menjadi guru Madrasah, guru sekolah dan menjadi ustad yang memberikan ceramah kemana-mana atau menjadi seorang Kyai yang memberikan pengajaran di Pesantren-pesantren. Dan sebagian lagi masyarakatnya membuka toko-toko pakian muslim, toko teks, toko buku, toko minyak wangi, warung makanan dan minuman, dan toko-toko yang menyediakan segala kebutuhan dan pernak-pernik para santri dan santriwati. Di sepanjang jalan masuk makam Syeikh Mutamakkin di Desa Kajen adalah berderet toko-toko yang menjual perlengkapan para santri dan keperluan para peziarah yang datang, warung-warung makanan dan minuman buka sampai 24 jam. Hal ini memudahkan bagi para peziarah dan santri yang ingin menikmati suasana Desa Kajen setelah melakukan ziarah di makam Syeikh Mutamakkin. Pertanyaannya, apakah hanya sebatas itu ibrah yang dapat kita ambil pada saat Islam terkena musibah besar sebagai agama yang identik dengan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme?
Tidak, sebenarnya banyak sekali yang bisa kita ambil. Namun, yang paling penting adalah belajar dari kecerdasan dan kepiawaian K.H. Ahmad Mutamakkin dalam menerapkan strategi perjuangan di tengah – tengah umat yang terkenal dengan pendekatan kultural – kontekstual. Pendekatan yang digunakan bukan institusi versus institusi. Dia lebih memilih membangun institusi sendiri yang berada di luar pemerintahan, yaitu tasawuf. Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak melawan pemerintah. Di sini kita dapat melihat, bagaimana K.H. Ahmad Mutamakkin sangat matang dalam mengatur strategi perjuangannya. Dia tidak anti dan pro terhadap pemerintah, tetapi berada di tengah kedua arus tersebut. Melalui strategi kultural ini K.H. Ahmad Mutamakkin menanamkan kesadaran dan pencerahan kepada umat lewat forum pengajian, majelis taklim yang sesuai dengan urat nadi persoalan rakyat. Dia berbicara sesuai dengan napas umat, sehingga mampu memberikan solusi sederhana yang aplikatif terhadap persoalan yang terjadi. Strategi inilah yang dipakai oleh para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga. Ada integrasi dan akulturasi Islam dengan budaya dan tradisi masyarakat setempat secara simbiosis – mutualisme. Saling mempengaruhi satu sama lain, menjadi satu kekuatan perubahan besar melawan kultur feodalisme – patriarki yang dilakukan oleh para raja secara gradual, step by step. Artinya, asimilasi kedua unsur tersebut dijadikan jembatan untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan. Dalam pandangan Ketua LIPI Dr. Taufiq Abdullah, model strategi semacam ini sama dengan model relasi agama dengan kekuasaan, yang antara Islam dan negara dapat berhubungan sebuah tradisi NGO (Non Governance Organization) atau sebuah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Ada kemandirian, solidaritas dan kohesivitas serta mobilitas sosial kolektif dalam memperjuangkan hak-haknya. Untuk saat ini, pendekatan perjuangan model K.H. Ahmad Mutamakkin sangat efektif dan sudah teruji roda sejarah. Terbukti, apabila yang dipilih adalah pendekatan politis, legal formal, struktural dengan target dan ambisi, bukan hasil memuaskan yang dicapai, justru kehancuran, resistensi dan tidak mempunyai kontinuitas. Mudah hanyut ditelan waktu, cepat lapuk oleh putaran masa. K.H. Ahmad Mutamakkin mempunyai perhatian dan kepedulian yang total dalam melakukan pemberdayaan dan pencerahan kalangan grassroot (akar rumput). Agama dalam genggaman Syeikh Ahmad Mutamakkin tidak sekedar slogan utopis atau sekedar khotbah di podium, tapi benar – benar merupakan sebuah gerak aktif – dinamis, bersenyawa dengan problem kemanusiaan, mampu menjadi lokomotif transformasi dan evolusi bagi persoalan masyarakat secara luas, baik sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Agama bukan berada di menara gading, asyik dengan dunianya, tidak mampu menginjakkan kakinya di bumi, bukan ini realitas yang sebenarnya. Hal yang menjadi kecenderungan kaum agamawan dan akademisi saat ini. Mereka enjoy dengan dunianya, sedangkan persoalan rakyat secara empiris tidak pernah tersentuh. K.H. Ahmad Mutamakkin dalam pandangan Ali Syariati, intelektual terkemuka Iran, termasuk salah satu tokoh intelektual yang tercerahkan, seorang intelektual yang betul-betul mengabdikan ilmu dan jiwanya demi penyadaran, kemajuan dan pengembangan masyarakat. Atas jerih payah dan prestasinya inilah, sangat pantas kalau Syeikh Ahmad Mutamakkin saat ini menjadi legenda masyarakat Kajen dan seluruh penjuru negeri ini. Sudah sepantasnya kita sebagai kader penerus perjuangan beliau, tidak hanya menjadikannya mitos sejarah yang menyebabkan muncul romantisme historis – pasif. Namun, seharusnya kita benar – benar menjadikannya sebagai kekuatan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
Adat Peringatan Suronan atau 10 Syuro
Tradisi 10 Syura ini merupakan sebuah bentuk tradisi yang hidup dan berkembang di desa Kajen Kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati yang diwariskan secara turun temurun dan dirayakan setiap tahun dimana penyampaiannya secara lisan dan merupakan milik bersama pendukungnya. Awal mula dilaksanakannya tradisi 10 Syura, Syekh Ahmad Al- Mutamakkin ini adalah untuk mengenang akan jasa – jasa beliau sebagai tokoh agama Islam dan menghargai jasa ilmu yang beliau turunkan.
Fungsi dari tradisi 10 Syura ini adalah sebagai penghormatan terhadap leluhur, sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. sebagai gotong royong dan kebersamaan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah s.w.t. Tempat perayaan dan ritual ini berlangsung di makam Syekh Kyai H. Ahmad Mutamakkin yang berada di tengah-tengah desa Kajen dan sekitarnya. Pelaksanaan 10 Syura ini dimulai dari pembentukan panitia. Panitia ini ada dua yaitu panitia makam dan panitia desa. Panitia makam sendiri yang terdiri dari keluarga besar dari keturunan Syekh Ahmad Mutamakin dan orang – orang pengelola makam. Panitia makam ini bersifat tetap dan ditunjuk secara turun temurun. Tugas dari panitia makam ini mengadakan ritual yang berada di pesarean. Sedangkan panitia desa dibentuk dari instansi pemerintah desa dan disahkan oleh Kepala desa. Tugas dari panitia desa mengadakan acara diluar makam yang bersifat pemeriahan, misalnya diadakannya karnaval, perlombaan bola voli, bulu tangkis dan tempat – tempat para pedagang yang datang dan ikut memeriahkan tradisi ini. Panitia desa dalam mempersiapkan acara ini mendapatkan dana dari instansi pemerintah, swasta dan iuran masyarakat.
Persiapan untuk acara inti yang berada di makam atau waktu pelaksanaan acara Khaul Syekh Ahmad Al-Mutamakkin oleh warga masyarakat desa Kajen dan sekitarnya adalah dengan mempersiapkan besek dan ambengan. Setiap keluarga dengan sukarela membuat 3 besek dan ambengan yang kemudian diserahkan kepada panitia makam sebagai bancakan atau makanan bagi para peziarah nantinya. Agar makanan dalam besek tersebut mendapat barokah bagi siapa saja yang mendapatkannya, maka sebelum dibagikan kepada peziarah, sebelumnya makanan tersebut didoakan. Seluruh warga masyarakat yang berasal dari desa Kajen dan sekitarnya yang sengaja berkunjung pada acara ritual berlangsung akan mendapatkan besek tersebut.
Tradisi ritual 10 Syura Syekh Ahmad Al-Mutamakkin ini didalamnya terdapat bebarapa kegiatan yang dilaksanakan selama empat hari berturut-turut, yaitu mulai tanggal 6 Syura sampai pada penutupan yang dilaksanakan pada tanggal 10 Syura.
Semuanya merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Adapun rangkaian ritual keagamaan yang dilaksanakan antara lain; Tahtiman Al-Quran Bilghoib dan Binnadhor, buka selambu dan pelelangan, serta tahlil khoul. Serangkaian ritual ini dimulai dengan manaqiban pembukaan di pesareyan pada tanggal 6 suro.
Acara yang kedua yaitu Tahtiman Al-Quran Bil-ghoib Acara ini dilaksanakan pada tanggal 7 Syura. Acara yang ke tiga Tahtiman Al-Quran Binnadhor pada tanggal 8 Syura. Tahtiman dilakukan oleh khalayak umum dan dihadiri oleh para Kyai yang diundang dan juga masyarakat pendukung yang berasal dari desa Kajen dan sekitarnya. Tahtiman Al-Quran ini dilakukan oleh laki – laki dan perempuan, yang laki-laki bertempat di pesareyan sedangkan yang perempuan bertempat disekitar pesarean. Biasanya para warga desa Kajen dan sekitarnya diminta bantuannya secara sukarela untuk menyediakan nasi besekan 3 besek untuk diberikan kepada para tamu yang datang.
Pada tanggal 9 Syura Acara buka selambu (kain luwur) makam dan dilanjutkan acara pelelangan selambu makam Syekh Ahmad Al-Mutamakkin ini merupakan acara puncak. Tradisi ini dihadiri oleh semua orang dari berbagai kalangan. Sebelum acara buka selambu dimulai didahului dengan tahlilan terlebih dahulu. Setelah pelelangan biasanya para orang-orang yang mendatangi acara tersebut dan para zairin – zairot berebut nasi ambeng yang telah didoakan terlebih dahulu. Diantara nasi ambeng itu terdapat piring panjang bekas tempat makan dari mbah mutamakin. Piring panjang tersebut juga diisi makanan yang dimasak dari kyai desa kajen dari salah satu keturunan mbah mutamakin yang menyimpan piring tersebut. Piring ini berbentuk bulat namun lebar. Selain pembagian makanan ada juga ritual meminum air oleh para tamu dengan menggunakan tempat minum yang dahulunya dipakai mbah mutamakin untuk minum yang terbuat dari kuningan. Pada siang harinya acara pemeriahan suronan ini di adakannya karnaval dan pentas seni dari berbagai daerah sekitar pati, kudus, jepara dan sekitarnya.
Selanjutnya pada tanggal 10 Syura merupakan acara penutupan dengan ritual manaqiban penutup dilanjutkan dengan tahlil. Selain acara inti dari suronan tersebut biasanya perguruan – perguruan turut memeriahkan tradisi ini. Di Perguruan Matholiul Falah diadakannya Batsul Masail yang dihadiri para kyai – kyai, di Kampus STAI Mathaliul Falah sendiri juga mengadakan ExPo yang dikunjungi oleh berbagai kalangan, di stand “Wes go mampir...” dari prodi PMI terdapat aneka makanan dan minuman, di stand – stand lain juga ada bazar buku, batik, makanan – makanan ringan, grosir pakaian, serta pagelaran pertas seni dan budaya lainnya, sedangkan di perguruan Salafiyah mengadakan pagelaran pentas seni dan budaya. Selain tradisi suronan ini ada juga yang namanya megengan. Tradisi ini merupakan tanda syukur yang diberikan oleh Allah kepada masyarakat. Megengan ini dilakukan pada bulan ruwah / sya’ban pada tanggal 20 keatas. Tradisi lainnya pada akhir bulan puasa atau Ramadhan para warga berziarah kepada makam – makam orang tua atau sanak saudaranya. Kemudian pada tanggal 1 Syawal para warga desa Kajen dan luar desa Kajen melakukan silaturrahmi ke rumah-rumah para sesepuh atau kyai-kyai desa kajen setelah berma’afan dengan oaring tua dan sanak saudaranya. “Kajen merupakan desa kecil, tapi ia tak pernah mati”
Perekat Jaringan Sejarah Ulama
Sebagaimana diketahui bahwa ulama utama yang terdapat pada jaringan ulama abad-17 dan ke-18 adalah Syekh Ibrahim al Qurani (1614-1690 M) yang merupakan murid dari Syekh al Qusyayi. Kenyataan bahwa Syeikh al-Qurani memiliki posisi sangat penting dalam perkembangan jaringan ulama lebih lanjut, terlihat tidak hanya melalui jumlah murid-muridnya tetapi juga melalui karya-karya yang cukup banyak. Dia merupakan titik bersama bagi terbentuknya garis-garis hubungan ulama-ulama pada abad ke-17 dan ke-18, bahkan beliau dipilih sebagai Mujaddid abad-17.
Diantara murid-murid Syeikh al-Qurani terdapat beberapa orang yang memainkan peranan penting dalam melanjutkan jaringan ulama setelahnya. Di tangan Syekh Ahmad al Nakili, Tarikat Naqsabandiyyah lebih diterima masyarakat Arab. Syekh al Nakili berperan besar juga dalam memperkuat hubungan masyarakat Muhaddist dengan kaum sufi. Dia juga memiliki sisilsilah Tarikat Naqsabandiyyah dan Tarikat Sattariyyah dari Sayyid Mirr Kalal bin Mahmud al Balki.
Dalam perjalanan intelektualnya yang tercatat dalam karyanya Bughyat al-Thalibin, Syekh al Nakili menyebut beberapa ilmu yang diperolehnya dan tarikat-tarikat yang diinisiasikan padanya yaitu Tarikat Shadhiliyyah, Tarikat Nawawiyyah, Tarikat Qadiriyyah, Tarikat Naqsabandiyyah, Tarikat Sattariyyah dan Tarikat Khalwatiyyah. Jadi, sebagaimana di katakan oleh Murtadho al Zabidi, Syekh al Nakili menghubungkan banyak ulama melalui studi Haditsnya.
Ulama lain yang berpengaruh pada pergantian abad ke-17 dan ke-18 adalah Syekh Hasan bin Ali bin Muhammad bin Umar al Ajami (w di Thaif pada 1702). Keterlibatan sepenuhnya dalam jaringan Syekh Hasan al Ajami mempunyai pengetahuan menyeluruh dalam ilmu-ilmu keislaman. Dia termasyhur sebagai faqih, muhadits, sufi dan sejarawan. Dia menjadi titik temu berbagai studi hadits Syiria, Mesir, Magrib, Hijaz, Yaman dan anak benua India.
Tidak mengherankan, seperti pendapat al-Katani, bahwa murid-murid di Haramain tidak sempurna dalam studi Hadits sebelum belajar dan menerima Hadits darinya. Mereka memadati halaqahnya di dekat bab al-Wada’ dan bab Umm Hani, masjidil haram Mekah. Hasilnya isnad dan periwayatan hadits dari Syekh Hasan al Ajami luar biasa luas.
Alim selanjutnya yang pantas disebutkan di sini adalah Syekh Barzanji Syekh Muhammad bin Abdul al Rasul al Barjan. Setelah belajar di Mesir, Syekh Barzanji kembali ke Haramain dan kemudian menetap di Madinah di mana dia wafat pada 1692 M. Dia juga terkenal sebagai muhaddits, faqih, dan Syekh Tarikat Qadiriyyah yang mengabdikan diri pada penulisan dan pengajaran.
Alim penting yang perlu di kemukakan adalah Syekh Abdullah bin Salim bin Muhammad Salim bin Isa al Basri al Makki yang wafat di Mekkah pada 1722 M. Seperti terlihat dalam karyanya teks al-Imdad bi Ma’rifah Ulum al-Isnad, pendidikannya sangat lengkap menuntut ilmu dari banyak ulama.
Meski Syekh al Basri ahli dalam hampir ilmu-ilmu keislaman, dia terutama terkenal muhaddits besar bahkan dia dijuluki Amir al-Mu’minin fi al-Hadits. Melalui teks fi al-Imdad, dia memberikan sumbangan yang signifikan dalam studi hadits antara lain memberikan nama ulama yang termasuk dalam isnad superior. Tetapi seperti ulama terkemuka lain Syeikh al Basri juga merupakan sufi terpandang. Dia adalah Syeikh beberapa tarikat seperti Naqsabandiyyah, Shadhiliyyah dan Nawawiyyah. Di antara muridnya adalah Syekh Ala’ Aldin bin Abdul al Baqi al Mizjaji al Zabidi, Syekh Abu Thahir al Qurani, Syekh Muhammmad Hayyat al Sindi dan Syekh Muhammad bin Abdul Wahab yang seluruhya merupakan komponen-komponen utama jaringan ulama abad 18.
Alim terahir adalah Syekh Abu Tahir bin Ibrahim al Qurani (1081-1145H/1670-1733M). Ia lahir dan wafat di Madinah. Guru-guru utamanya adalah ayahnya sendiri Syekh Sulaiman al Magribi, Syekh al Ajami, Syekh al Barjanji, Syekh al Basri dan Syekh al Nakili. Abu Thahir terutama dikenal sebagai Muhaddits, tetapi beliau adalah faqih dan sufi. Dalam berbagai karyanya terlihat upaya menafsirkan kembali doktrin-doktrin Ibnu Arabi dan memiliki keahlian dalam mistisisme filosofis.
Ulama-ulama tersebut selain tokoh sufi juga dikenal sebagai muhaddits yang dapat di percaya, ini menunjukkan bahwa neosufisme telah makin kuat dan menemukan bentuknya pada dekade ini. Nampaknya, para ulama Haramain menyadari semakin pentingnya jalan essoteris (haqiqat) akibat tarikat-tarikat yang dibawa, misalnya oleh ulama-ulama dari India menghasilkan interaksi, rapprocement dan interaksi lebih inten diantara ulama sufi dengan ulama fiqih yang menekankan jalan eksoteris (Syari’ah).
Syekh Abdul Khaliq al Mizjaji putra Syekh Zayn al Mizjaji nampaknya meninggal dunia hampir sezaman dengan Syekh al Mutamakkin yaitu sekitar 1740 M. Ulama-ulama pergantian tersebut bisa jadi kemungkinan karena tak ada data yang mengemukakannya, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran situasi jaringan ulama yang melingkupinya.
Dengan demikian kiprah Syeikh al-Mutamakkin juga termasuk dalam karakteristik neosufisme. Ini diperkuat dengan catatan yang banyak mengutip Hadits-Hadits dalam menjelaskan paham keagamaannya. Sementara dilihat dari gelarnya yaitu al-Mutamakkin tingkat kedudukan seorang yang utama, kokoh dalam pendirian dan kuat memegang kebenaran seolah dia diyakini atau diteguhkan sebagai wali, pemimpin para wali di dunia yang dalam thabaqat wali disebut Wali Quthub.
Syeikh al-Mutamakkin melakukan praktek tasawuf falsafi dan tasawuf sunni dalam satu tindakan tasawuf amaly. Ia juga mendialektikan dengan tradisi lokal. Pekerjaan yang sungguh berat memang, akan tetapi bentuk upaya Syeikh al-Mutamakkin menjernihkan Islam Jawa dengan kebenaran Tauhid. Mereka yang tidak memahami secara langsung pemikiran dan paham keagamaanya tentu akan mudah menuduh yang bukan-bukan. Dan inilah yang termasuk menjadi polemik sebagaimana tergambarkan dalam serat Cebolek.
Kisah Kontroversi
Satu versi menyebutkan, kedua hewan yang keluar dari pribadi Syeikh Mutammakin itu berupa seekor anjing dan singa. Yang lain menyebutkan, kedua-duanya anjing. Kedua hewan itu diberi nama mirip dengan penghulu dan katib di Tuban, Abdul Qahar dan Qamaruddin. Kedua binatang itulah yang selalu mengikutinya ke mana pun Mutamakkin pergi.
Inilah yang membawa Syeikh Mutammakin berkonflik dengan penguasa. Suatu hari, K.H. Mutamakkin kedatangan seorang tamu. Ia menjamu makan dengan lauk ikan kering dari berkat (nasi kenduri) yang dia dapat. Si tamu melahap habis hidangan itu. Durinya pun tak bersisa. Saat itu, Syekh Mutamakkin mengatakan bahwa anjingnya saja tak pernah makan nasi dan ikan hingga ludes sampai duri-durinya. Seketika itu juga, tamunya pergi dan marah-marah.
Nah, sejak saat itulah, isu miring tentang kiai pemelihara anjing ini mulai menyebar ke masyarakat. Penyebarnya tak lain tamunya yang rakus tadi. Syeikh Mutamakkin juga dituduh menyebarkan ajaran sesat, karena senang membolak-balik lakon Dewaruci.
Cerita miring itu akhirnya sampai ke penguasa Keraton Kartosuro, yang ketika itu dipegang Susuhunan Amangkurat IV (1725-1726), yang kemudian diteruskan Pakubuwono II. Syeikh Mutamakkin lalu disidangkan di Mahkamah Keraton Kartosuro di depan para kiai yang sudah mendapat mandat dari raja, seperti Kiai Anom dari Kudus, Kiai Winata dari Surabaya, dan Kiai Busu dari Gresik.
Berbeda dengan yang ditulis dalam Serat Cebolek, dalam Teks Kajen Syekh Mutamakkin dilukiskan sangat pandai beragumentasi tentang konsep akidah dan syariah. Bahkan para kiai yang sulit memaknai cerita Bima Suci ketika menghadap Dewaruci dijelaskan secara gamblang oleh Syekh Mutamakkin. Sebab, lakon itu mirip ajarannya --Bima mencari ilmu sejati, yang tak lain adalah ilmu tasawuf.
Para ulama pun terpecah dua. Ada yang mendukung dan ada pula yang menentangnya. Akhirnya Raden Demang Urawan menjelaskan kontroversi itu kepada raja. Syeikh Mutamakkin pun dipanggil. Semula Mutamakkin enggan memberikan penjelasan. Tapi, setelah raja bersedia dibaiat jadi muridnya, dia menguraikan segalanya.
Raja merasa puas. Mutamakkin pun dibebaskan dari hukuman bakar yang ketika itu sudah dipersiapkan. "Apabila aku tidak belajar pada Mutamakkin, niscaya aku akan mati kafir," kata Pakubuwono II ketika itu.
Teks Kajen jelas sangat bertolak belakang dengan Serat Cebolek, yang menggambarkan Mutamakkin dibantah habis-habisan Ki Anom Kudus saat berdialog tentang hikmah Serat Dewaruci. Mana yang benar? Zainul Milal Bizawie menyebutkan, keduanya punya cacat mendasar yang membuatnya tak bisa diterima sebagai rujukan sejarah. Ia meragukan orisinalitas dan otentitasnya. Saat Serat Cebolek terwujud, Yasadipura sebagai pengarang masih balita sehingga tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Mengacu pada penelitian Prof. Dr. M.C. Ricklefs, guru besar studi Asia University of Melbourne, Australia, menurut Zainul, pengarang yang sebenarnya adalah Ratu Pakubuwono I. Jika Yasadipura I dicatat sebagai pengarang, itu berarti telah terjadi penuturan ulang sehingga terjadi proses selektif dan distorsi.
Atas dasar itulah, Zainul menyimpulkan, penulisan Serat Cebolek merupakan poyek keraton dalam membentuk konstruksi kebudayaan dan keberagaman Islam Jawa. Pemunculan tokoh martir yang dianggap sesat menjadi hal yang mustahak. Dalam akhir Serat Cebolek, pengarang menuturkan cuplikan kematian para tokoh heretik, mulai Sunan Panggung, Syekh Siti Jenar, Amongraga, hingga Ki Bebeluk.
Adapun Teks Kajen, menurut Zainul, validitasnya diragukan karena bersumber dari cerita turun-temurun secara lisan. Fakta dan mitos sudah berbaur. Masa penulisannya juga selang jauh, sekitar tiga abad kemudian, sehingga memungkinkan adanya distorsi. Lainnya, Teks Kajen tak selengkap Serat Cebolek, terutama saat persidangan dan perdebatan mengenai kandungan Serat Dewaruci.
Bisa jadi, Teks Kajen merupakan duplikasi Serat Cebolek yang telah dimodifikasi untuk kepentingan lokal. Teks Kajen diposisikan Zainul sebagai bentuk perlawanan kultural atas sejarah keraton yang mendiskreditkan Mutamakkin. Zainul, yang secara khusus mengkaji paham keagamaan Syekh Mutamakkin lewat Arsy al-Muwahiddin, menyebutkan, tudingan bahwa Syekh Mutamakkin ingkar sunah sangat mengada-ada.
Kitab ini tak tersusun secara sistematis, tapi lebih bersifat catatan harian. Sebab ditulis langsung oleh Syekh Mutamakkin, tentunya lebih sahih sebagai sumber sejarah ketimbang Serat Cebolek atau Teks Kajen.
Naskah Arsy al-Muwahiddin menjelaskan pandangan tasawuf Mutamakkin, yang ternyata masih dalam bingkai syariah. Dengan demikian, ia bukan penganut tasawuf falsafi yang kerap dinilai mengabaikan syariah. Mutamakkin justru penganut tasawuf Suni, yang menggabungkan tasawuf dengan syariah ala Al-Ghazali.
Para pengikutnya sejak dulu sampai sekarang tetap meyakini Mutamakkin sebagai seorang waliyullah. "Kalau Mutamakkin dianggap membawa ajaran sesat, mungkin tidak akan ada yang berziarah ke makamnya," kata K.H. Sahal Mahfudz.
Dalam Serat Cebolek di kisahkan tentang pengadilan Syeikh Ahmad Mutamakkin terjadi pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II. Namun cerita yang dimuat dalam versi ini berbeda dengan apa yang sebenarnya menjadi kenyataan dimasyarakat. Syeikh Ahmad Mutamakkin begitu sangat dihormati oleh masyarakat setempat. Dalam versi serat Cebolek ini Syeikh Mutamakkin di gambarkan sebagai seorang Kyai yang lebih mengedepankan mistik. Bahkan, di tuduh yang bukan-bukan yaitu dianggap seorang yang telah melakukan pembangkangan terhadap syari’at, untuk lebih jelasnya cerita yang dimuat dalam serat Cebolek adalah sebagai berikut:
Tersebutlah pengadilan Syeikh Mutamakkin yang di ceritakan dalam serat Cebolek yang terjadi pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II. Sebuah ajaran yang menuntun pada tindakan terpuji. Cerita ini mengenai Syeikh Mutamakkin dari daerah Tuban. Ia telah membuka ilmu rahasia dan menyiarkan rahasia ilmu haq yang memegang teguh hakikat dan menolak Syari’ah. Karena dia menolak hukum syari’at, pengetahuannya tentang hakikat menjadi tidak bisa diterima, membingungkan dan kacau, ia membuka tabir yang menyembunyikan rahasia-rahasia itu, dilubangi dan digulung dan dengan begitu tersebarlah kerusuhan diseluruh negeri, kelakuan yang tidak terpuji.
Keberaniannya dalam kepercayaan tanpa halangan, orang baik kehilangan martabatnya, kekuatan mempengarui mereka seperti sihir, keangkuhan bertambah. Ketika Ia dengan kasar meninggalkan hidup tapa hatinya tidak ingat dan teburu-buru. Karena kecongkakannya Ia telah di kuasai celaka dan merasa diri utama. Akhirnya Raja campur tangan, mencoba menyelesaikan masalah. Setan-setan telah mengipasi orang terpelajar tanpa tanpa watak mulia ini, yang membawa orang-orang tersesat, yang kata-katanya kosong sama sekali yang hatinya lemah dan takut. Keahliannya dalam mengemukakan ilmu mistik mendapat simpati banyak orang, sungguh keinginannya telah menyihir orang banyak. Pada mulanya hanyalah kata-kata tetapi kemudian telah menimbulkan kejahatan yang nyata. Semakin hari semakin luas pengaruhnya ada sebelas orang yang di anggap sebagai Iblis, yang omongannya ngawur dan mereka ada dalam kemalangan terus menerus. Demikianlah cerita tentang ulama jawa yang hidup dalam zaman yang mulia Sunan Prabu Amangkurat menjadi terkenal, orang-orang membicarakannya karena ia membahayakan seluruh kaum ulama.
Ajarannya tentang ilmu mistik dianggap sesat karena ia menyebut dirinya sama dengan kekuasaan kemauan Tuhan. Yang menjadi perselisihan, dengan kukuh, keras dan kasar, ia menguraikan keyakinannya tanpa bisa dihentikan, yang berakibat adanya tuduh menuduh dan ini menjadi sungguh -sungguh dan luar biasa. Pesisir Timur Jawa ada dalam kekacauan dan didaerah Tuban, Syeikh Ahmad Mutamakkin menjadi musuh orang banyak karena ia memperlakukan aturan Nabi dengan kasar. Dicebolek disatukan masyarakat menjadi rusuh. Dia diserang dan dilawan oleh para ulama dari daerah pesisir yang berkata: “Janganlah merusak hukum karena merupakan pendurhakaan terhadap raja. Sesungguhnya raja berwenang menghukum, karena ia adalah wakil Tuhan di dunia, siapa membahayakan kekuasaannya”.
Tetapi KH. Mutamakkin tidak tergoyahkan, mantap dan berani ia tidak lari dari bahaya tetapi berani menghadapi hukuman. Banyak ulama datang memberi nasehat, tetapi ia malah tetap terus menternakkan anjing. Dari kudus sebanyak 12, yang terbesar diberi nama Abdul Qahar ia mempunyai empat anak anjing pemimpinnya dinamai Qamarudin. H. Mutamakkin sangatlah angkuh. Para ulama setuju bahwa masalah ini harus diteruskan kepada baginda raja, karena H. Mutamakkin tidak mau dinasihati, ia telah memandang rendah negara.
Para ulama daerah pesisir mengirimkan surat edaran kepada semua ulama dari Pajang, Mataram, Kedu, Pagelen, dan Mancanegara bersama salinan suratnya. Menurut mereka kepercayaan yang dipegang teguh Cabolek terletak pada tuntutannya menjadi yang sejati yaitu Muhammad, dan ia berani menghadapi hukuman. Pada waktu para ulama berangkat menuju ibu kota seluruh daerah pesisir ada dalam kebingungan. Semua ulama mengambil bagian, dari bagian Timur Jawa datang Kyai Busur, Ki Watana dari Suralaya bersama Mas Sidas Rema. Pemimpin para ulama Ketip Anom dari daerah pesisir tiba di Kertasura. Sebelum pembicaraan mulai sekonyong-konyong Raja tertimpa penyakit Prabu Mangkurat kemudian wafat, dan digantikan oleh putranya Raden Mas Prabayaksa yang bergelar Pangeran Dipati dan menempati kedudukan ayahnya setelah susuhunan dimakamkan di Lawiyan, segera setelah penobatan dilak ukan pengajuan perkara kepada raja.
Para ulama dari daerah pesisir berkumpul kembali tak ada yang ketinggalan. Dan sebagaimana yang dari Pajang, Mataram, Pagelen, Kedu dan Mancanegara tak seorangpun yang dapat membaca Qur’an. Mereka diijinkan berangkat dan berkumpul bersama dikediaman Maha Mantri Danurejo mereka membuat persiapan yang akan disampaikan kepada raja dengan persetujuan para wadana.
Seluruh Wadana dari daerah pesisir dan mancanegara serta Wadana Kertasura sepenuhnya sepakat berkata bahwa ia (Syeikh Mutamakkin) layak dihukum. Para ulama telah tiba, kayu bakar telah ditimbun dekat alun-alun utara, bersama dengan persembahan yang sangat melimpah minyak kelapa dalam gentong. Pada saat H. Mutamakkin akan dibakar, ada wadana jero yang mengetuai pengadilan namanya Raden Demang Urawan ia sepupu pertama Sri Baginda Raja, kakak perempuannya telah diambil sebagai Prameswari oleh Sri Baginda Raja, namanya Ratu Kencana. Demang Urawan sangat dihormati oleh Sri Baginda Raja, pada kesempatan ini diundang kekeraton menghadap Sri Baginda Raja.
Raja berkata lirih “Wahai Bapang, apakah yang telah dikatakan pamanku, perdana menteri? Apakah para ulama Jawa sedang berkumpul.” Raden Demang Urawan segera menundukan kepala dan berkata, “Benar mereka semua telah datang dan malahan telah diberitahu dengan baik tentang bagian-bagian pembahasan yang betul mengenai ilmu mistik. Para ulama Jawa yang telah berkumpul jumlahnya 142, semuanya telah dinilai dan dibagi menjadi kelompok-kelompok sekelompok golongan rendah sekelompok golongan unggul terdiri dari 44 orang.
Pilihan lanjut telah dibuat 40 ditinggalkan dari padanya 22 telah dipilih yang terbaik darinya lalu dipilih dan sekarang hanya tinggal 7, hanya lima dari daerah pesisir 4 ulama datang dari Pajang satu dari Mancanegara satu dari Pagelen yang akan menyampaikan pesan duka.” Demang Urawan berkata, “Diantara abdi-abdimu dari pajang tuanku, salah satu telah dipengaruhi yaitu ulama dari Kedung Gede, ia telah ikut dengan Mutamakkin dan mengajukan dirinya untuk dibakar menerima hukumanmu. Ia menjadi pengikut Cabolek, dan keduanya sekarang satu tujuan. Mutamakkin menyatakan menjadi yang sejati, karena itulah pamanku perdana menteri mengajukan masalahnya kehadapan Tuanku.”
Sang raja berkata, “Bapang darimanakah guru haji Cabolek ini yang berani menghadapi maut?” Raden Demang berkata hormat, “Tuanku, waktu utusan-utusanmu kembali, mereka yang mengundang dan mengawani dia berjalan tergesa-gesa, mereka adalah gentong umos bersama Ragapita, baginda. Benarkah Haji waktu dalam perjalanan telah dilarang, bahwa ia akan menghadapi bencana dari paduka Maharaja, tapi ia tidak mau mundur sedikitpun, ia menerimanya dengan sepenuh hati.” Raja berkata, “Lalu bagaimana waktu ia diperjalanan?” kata-katanya kepada para utusan. Raden Demang berkata, “Tuanku Ia berkata begini : saya ucapkan terima ksih kalau Sri Baginda Raja menghukumku. Anakku Ragapita, aku akan dikerubut para ulama dan pasti akan di bakar. Dan mungkin bau asapku akan sampai di tanah Arab, tempat aku belajar, di bawah Syeikh Zayn dari Yaman.”
Waktu dia bermalam disebuah pondokan tuanku, setelah melaksanakan sembahyang Isya, ia tidak tidur, ia terus membaca kusumawicitra danding dari serat Bima suci, sebuah danding yang ber-pada dua belas setiap barisnya. Seperti Madu Retno yang dapat dimasukkan ke dalam Bramarawilasita, untuk dibuat merdu dan serasi. Keduanya mempunyai sebelas pada barisnya. Dan dapat diubah menjadi lebda jiwa Ia lalu membacanya dengan menunduk dan membengkokkan badannya.” Raja berkata lirih, “Wahai Bapang, bagaimana ini, yang kau bicarakan tentang ilmu rahasia, sepertinya mengikuti cara seorang Budha. Bapang apakah gunanya itu merupakan penghinaan kepada Tuhan bila seorang menjadi sesat.”
Raden Demang berkata, “Tuanku, ini bukanlah suatu keburukan, menurut ajaran Haq, karena itu hanya di buat lambang dan bukan sebagai kepercayaan. Lambang ini telah dipergunakan oleh banyak wali, dan melalui lambang ini kesejatian telah dibukakan. Ia mulai langsung dengan episode Bima mencebur ke dalam lautan. Tanpa memperdulikan rasa sakit Ia mencari guru di tengah samudra, siap untuk mati. Kalau Ia tidak menemukannya, Ia bermaksud mati di lautan, kalau Ia tidak memperoleh kesempurnaan. Waktu tiba di tengah lautan besar, Ia di temui seorang Dewa kecil, sekecil seekor burung pipit, lalu Dewa kecil Dewa Ruci memerintahkan untuk memasuki kupingnya, dan Bima merasa heran sekali. Cerita inilah yang menjadi petunjuk untuk perbuatan Syeikh Mutamakkin dalam perjalanan.”
Tersenyum Sri Baginda Raja berkata, “Wahai Bapang, apa pendapatmu bahwa perdana mentri dan para wadana, semua setuju bahwa Mutamakkin langsung dihukum di alun-alunku? Kebenaran mengatakan padaku, jangan mau menuruti nasihat pamanku perdana mentri. Semua para ulama, dan para wadana dalam pandanganku, Bapang Mutamakkin memaksudkan hanya untuk dirinya. Ilmu semacam ini kalau Ia tidak mengajak orang lain membuat perubahan disana sini orang-orang dari mancapat dan mancalima, dari mancanem dan mancapitu dan semua telah berhasil dengan diajak untuk menolak hukuman. Dia tidak dapat di hukum mati kalau Dia hanya berkata, “Tirulah ilmu mistikku. Dan banyak yang telah menjadi muridnya dan kalaupun Ia tidak bertindak dengan cara ini tetap lebih berbuat buruk lagi, saya harus tetap memaafkannya”.
Raden Demang berkata, “Betul sekali Tuanku,” Raja berkata, “Bapang pergilah segera, sampaikan ketidak senanganku kepada uwakku perdana mentri, juga kepada para ulama, bersama semua para wedana supaya semua berkumpul di kepatihan. Umumkan kepada mereka ketidak senanganku”. Lalu Ia mengundurkan diri dengan taat dan hormat, Ia meninggalkan istana dan memanggil dua pesuruh yang taat, di perintahnya untuk menyampaikan pesan kepatihan untuk mengumumkan bahwa: “Besok, aku akan ke tempat Danu Rejo, akan datang pukul delapan. Untuk menyampaikan perintah Sri Baginda Raja. Para Adipati supaya berkumpul didalam kepatihan bersama semua ulama.”
Dengan segera para pesuruh menyampaikan seruan tadi ke kepatihan, tak di ceritakan tentang malam itu, tetapi besok paginya patih Danu Rejo berkumpul dengan para Dipati. Semua menghadap ke Barat, Adipati Danu Rejo menghadap ke Selatan, tapi sedikit miring ke Barat menghormati ulama terhormat yang telah duduk disebelah Barat. Pada jam delapan, semua yang sudah duduk berdiri waktu Raden Demang telah mengambil tempatnya. Semuanya kembali duduk, Ki Dipati perdana Mentri juga duduk dengan lainnya.
Sedangkan Raden Demang segera mulai menyampaikan perintah Sri Baginda Raja. Matanya begitu nyalang sehingga semua adipati menjadi takut dan juga para ulama. Waktu perintah disampaikan, ketidak-senangannya menggelisahkan. Setelah ketidak-sengannya Sri Baginda Raja selesai disampaikan, Adipati Danu Rejo hanya dapat berkata dua patah, dan setelah itu seraya berdiam diri, para wadana semua menundukkan kepala. Dan bagi para ulama semua merinding di bawah pengaruh muka Sri Baginda Raja. Mata Cabolek berkedip-kedip seperti orang sedang sekarat. Kini seorang yang sedang berbicara adalah Ketib Anom dari Kudus, yang menjadi marah laksana menjangan luka. Marahnya memuncak, wataknya yang seperti singa muncul, belikatnya naik turun laksana burung garuda mengepak sayap di medan laga, seperti Pragalba si pahlawan, menuruti hatinya yang penuh emosi.
Ia melihat ke kanan dan ke kiri, semua telah menundukkan kepalanya, semua rekan para ulamanya bersama para Dipati kepalanya semua menunduk, wajahnya pucat. Ketib Anom dari Kudus mulai menunjukkan marahnya. Ketetapannya mulai bertambah kuat, ditimpali keberaniannya, Ia mengetatkan serbannya, menggulung lengan Baju dan bergerak maju dua nampak angkuh tetapi kata-katanya lemah lembut seperti Raden Bali Putra ketika dia diutus oleh Raja Ramawijaya untuk menyampaikan peringatan keras kepada Dasamuka. Ia menimbulkan ketakjuban orang yang melihatnya. Ia memang kelihatan tampan dan belia.
Ketib Anom: “Anakku, aku minta maaf karena berani menyela pembicaraan mengenai ketidak-senangan Sri Baginda Raja, yang ditujukan kepada Perdana Menteri. Semua penyampian rasa kemarahan Sri Baginda Raja itu salah alamat.” Raden Demang Urawan merasa kaget, dan segera balik memandang ke wajah Ketib Anom yang sedang berbicara. Ia melihat muka dengan lengan berkecak pinggang, rambutnya berdiri lurus sangat tebal dan berombak. Ia nampak seperti putra raja Langka Indrajid sang Perwira seperti orang yang ditikam dan bertarung dengan seorang duta yang bernama Bali Putra, yang waktu itu datang berprilaku angkuh. Raden Demang dan Ketib Anom bersilang kata-kata untuk sejenak, seperti mereka saling bergumul untuk menekan, menguji kekuatannya bertarung dengan gigih untuk suatu kemenangan terhormat, mereka menjadi marah menyala, memukul satu lainnya dan balik berputar seperti didalam perang pembalasan mereka sangat keras dan tajam.Akibatnya para ulama kembali mengangkat kepalanya begitu juga para dipati mengangkat kepalanya tercengang waktu mendengar Ketib Anom Kudus yang tidak sepaham dengan Raden Demang Urawan, dengan marah berkata, “Apakah yang panjenengan anggap tidak tepat ? Ketidak-senangan baginda Raja disampaikan kepada si Uwa, Perdana Mentri ?”
Ketib Anom berkata, “Benar anakku. Dasar dan pokok dari perkara tidaklah cukup, alasan perdana Mentri telah melaporkan diri karena ulama, semua dari mereka telah melaporkan itu kepada Sri perdana Mentri yang mulia. Alasan bahwa si Uwa, Perdana Mentri yang mulia, berani melaporkan ini dikarenakan para ulama berpendirian teguh dalam masalah itu. Seharusnya adalah sumber dari laporan yang mesti di jewer oleh Sri Baginda Raja. Dengan kata lain sayalah dan semua para ulama mesti menerima kemarahan Sri Baginda Raja.
Raden Demang Urawan tertawa terbahak-bahak mengayun kakinya dan berkata, “Betapa senangnya hatiku, melihat seorang ulama yang melawan dengan gigih, yang berani sungguh-sungguh menghadapi kematian, tangkas dan bisa tegar untuk berunding dan siap tempur. Kalau ia seekor ayam jantan mestilah ia berbulu merah berkaki hitam dengan ekor berbintik putih yang bertanding laksana garuda. Biarlah saya orang yang menjadi atas nama Sri Baginda Raja, menegurmu, mengapa menyebabkan kekacuan pada negara dengan membawa masalah ini pada raja, walaupun perkaranya belum sepenuhnya tuntas, dengan melaporkan kepada perdana mentri? Apakah menjadi maksudmu membawa ketidak-beruntungan kepada para ulama, menimbulkan kebingugan di kerajaan dan membawa aib pada negara?” Setelah ketidak-senangan sang Narendra selesai disampaikan, tapi sebagaimana di ketahui tak satupun dari kami para ulama bermaksud atau merencanakan untuk mengganggu sang Narendra.
Ketib Anom berkata, “Anakku jika panjenengan punya kritik padaku karena tidak menegur haji Mutamakkin, silahkan tanya dia, Ia ada di depanku. Saya sering mendatanginya, mengingatkan anakku tingkah lakunya yang tidak patut. Saya minta jawabmu hai Mutamakkin, mumpung di depan pejabat, saat nyawamu hampir melayang.”
Ki Cebolek menjawab, matanya berkedik seperti ngantuk, “Betul sekali anakku, panjenengan datang dan menegurnya, hanya walau aku menghadapi maut aku takkan lari. Karena kebodohanku tak berniat berguru terus. Aku menghadapi maut yang bukan waktunya. Aku akan mampu berusaha menambah ilmu hatiku terus memperoleh kenyataan ini.”
Ketib Anom berkata murka, “Lha pikiran macam apa itu, membikin sengsara dan menyakitkan, ada anjing diberi nama, Abdul Kahar?” Semua yang mendengarkan terbelalak, Raden Demang kakinya di ayunkan dan tertawa terbahak-bahak, ketib Anom Kudus berkata lantang, “Kamu ini memang busuk dengan lancang membuat onar negara. Kalau kamu mau terkenal tingkah lakumu dan bermaksud menjadi hebat jangan tangung-tanggung bertingkah. Pindahkan gunung Merapi dan juga Prawata, letakkanlah di atas gunung Lawu dan genggamlah di tangan kiri. Apapun yang kau lakukan jangan tangung-tanggung, jangan mengindahkan jiwa ragamu.”
Ketib Anom berkata dengan keras dihadapan Mutamakkin, “Anjingnya diberi nama seperti penghulu Tuban, Abdul Qahar, anjing yang lain diberi nama khatib Qamaruddin. Tuanku, sesungguhnya Mutamakkin itu bukan seorang manusia. Ia telah menghina Sang Narendra dan melukai karena sesungguhnya prilakunya naudzubillah.
Anakku itulah sebabnya aku merasa wajib melaporkan kepada patih Adipati Danurejo, supaya menjadi perhatiannya dan meneruskan hal itu kepada Sang Narendra. Karena sesungguhnya yang menjadi sang Narendra kalau Ia ingkar dari setiap sunnah Nabi menjadikan saripati Syara’ tak dihargai dan di rusak. Wahai anakku diberitakan dalam teks Akhbaru al-Saltin. Raja digambarkan sebagai pembela iman. Bila seorang menyebarkan ajaran mistik dan menyebabkan gangguan untuk memperoleh pengikut dan kalau ini terjadi karena raja tidak menjaga sunnah Nabi, pancaran wajahnya pasti lenyap.
Wahai anakku, apabila seorang raja kurnia pancaran wajahnya susut, keharuman kerajaaannya pasti lenyap, yang terjadi hanyalah tengik dan kaku dan akibatnya kegelapan akan turun ke bumi dan bau busuk akan menyebar. Kenapa tidak memasang penjaga di kerajaan sang Narpati? Sesungguhnyalah anakku, raja adalah hati jagad, hati adalah raja didalam badan karena itu, anakku merupakan perumpamaan. Sesungguhnya setiap mahluk hidup harus menjaga kebaikan dari hatinya. Karena itu setiap mahluk hidup wajib menjaga raja tentang semua yang diketahuinya di kerajaan. Karya raja seperti hati menggerakkan badan. Kesalahan raja dipikul oleh orang-orang di bumi karena raja adalah hatinya jagad, badan rusak kalau hatinya merana. Dan bila hati merana yang tidak di obati maka raja yang di salahkan.”
Raden Demang Urawan berkata hormat, “Melindungimu, Tuanku, terhadap Haji Mutamakkin.” Lalu ketib Anom Kudus memandang dan dengan gagah mulutnya bergetar, matanya bersinar dan dengan penuh keberanian hamba telah di getarkan oleh penglihatannya. Ia berkata murka, “Panjenengan anakku, telah menghargai kelakuan semacam itu dari haji Mutamakkin dan kalau demikian halnya, panjenengan anakku telah merusak negara. Karena menjadi tugas raja untuk melindungi sunnah Nabi, kalau seorang Raja menolak sunnah Nabi keindahannya akan lenyap dan Ia akan membuat suram negara. Pastilah negara akan runtuh. Kalau wajah sang Narendra hilang jelita, semua tindakannya hanyalah sebuah kepahitan dan penderitaan”.
Sang Raja tertawa terbahak-bahak, dan dalam pikirannya si Kudus ini orang yang berbahaya, yang menceritakan belum menyelesaikan ceritanya tapi sang Narendra menolak dalam tawanya dan berkata, “Kalau demikian, Bapang, marilah kita jalankan ajaran Islam, saya berniat menghadiri sembayang Jum’at, beri tahu si Uwa Patih. Persiapkan untukku terancang di dalam masjid. Jum’at depan aku akan hadir bila disepakati si Uwa Patih. Karena merupakan kebiasaan lama shalat pertama raja haruslah di masjid.”
Sang Prabu berkata lagi, “Tentang H. Mutamakkin rupanya seperti apa?” Raden Demang Urawan berkata humor, “Ia seperti Wisangkata, seorang calon pertapa dan kelakuannya seperti trenggiling yang sedang sekarat. Tak ada yang perlu dikatakan tentang penampilannya yang sangat dungu seperti kelapa. Kalau duduk, ia menggelosor dalam satu pertemuan ia seperti kena kutuk. Tapi Dia itu mantap satu sifat yang hamba tidak sangka juga diantar kelompoknya itu tanpa guna. Hamba merasa heran atas kemauan sang sukma agung orang seperti itu dapat menjadi haji. Ia telah di anugerahi memenuhi rukun yang kelima dan di beri kesempatan mengunjungi makam Nabi, Nabi terbesar jagad ini, kalau Ia tidak pergi naik haji Ia pantas menjadi penjual jerami atau berdagang itik.” Sang Prabu sambil tersenyum berkata, “Itulah bapang, telah menjadi suratan Ia di ciptakan dengan tampang dungu tetapi di beri hati yang suci untuk menjadi petugas sukma, Ia telah di takdirkan memilih hati suci”.
Raden Demang Urawan berkata takdzim, “Karena itulah Tuanku, pada kesempatan ini, manusia kecil dan hina ini telah di tuduh berkali-kali seperti orang yang memiliki beban setengah mati memanjat sebuah tebing”. Ia terlihat kembang kempis. Marahnya ketib Anom seperti marahnya Bala Dewa memarahi Curumis, demikianlah wajah Mutamakkin seperti Curumis. Kalau saja sengketa itu terjadi di luar, Cabolek akan habis terkoyak-koyak oleh Ketib Anom Kudus. Ia sangat marah karena seekor anjing dinamakan Qamaruddin dan yang lainnya Abdul Kahar. Karena Ia di penuhi rasa amarah seperti itu, Ia seperti ingin menikam Haji Mutamakkin.
Sang Raja tersenyum berkata, “Bapang, keinginanku semua yang telah di bicarakan disampikan kepada Si Uwa Patih, aku batalkan perintahku, tak ada pembicaraan lanjutan. Aku telah memaafkan terdakwa. Kalau Haji Ahmad Mutamakkin mengulangi tingkah lakunya yang tidak patut di bumi ini pastilah akan akan aku hukum Haji Mutamakkin ini. Aku jadikan Dia sasaran kemarahan di alun-alunku ini. Tetapi inilah pengampunanku yang ku minta panjenengan melaksanakannya. Perintahku untuk selanjutnya di teruskan kepada si Uwa Patih, kepada semua saudaraku, perintahku untuk diumumkan secara luas. Tak seorangpun boleh belajar ilmu haq di dalam masjid tetapi mengajarkan di luar negara aku berikan izinku. Kalau ada yang berani menghianati perintahku, tak ada tempat mempertanyakan dosa, akan aku laksanakan hukuman mati yang telah aku tetapkan di alun-alun sehingga boleh disaksikan orang-orang Kertasura Adiningrat.”
------------------------
Referensi :
Buku Keraton Surakarta, 2008 - Purwadi dan Joko Dwiyanto
Penulis buku Kisah Perjuangan - H.M. Imam Sanusi
Azzumardi Azra - Dalam Jaringan Ulama
Dan sember lain
Foto Cover : Manuskrip Serat Cebolek
Komentar
Posting Komentar