Waria Dalam Literatur Klasik Islam

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-0/p180x540/10286871_943149615780817_919109775868278240_o.jpg
Dalam nomenklatur kitab kuning waria disebut dengan al-mukhannats, yakni orang yang berjenis kelamin lelaki namun memiliki kecenderungan seperti perempuan, lemah lembut, gemulai, gaya bicaranya dan cara berjalannya mirip dengan perempuan.[1] Sedangkan orang yang memiliki jenis kelamin ganda disebut dengan al-khuntsa.
Sarjana hukum Islam klasik (fuqaha’) banyak yang membahas hukum Islam bagi al-khuntsa, tapi untuk yang pertama, yakni waria (al-mukhannats), seakan tak terlihat dari pandangannya, tidak ada pembahasan khusus bagaimana shalat waria, dalam berjamaah mengikut barisan (shaf) lelaki atau perempuan, wajib shalat Jum’at sebagaimana lelaki atau tidak, dan hukum Islam lainnya. Atau mungkin saja fuqaha’ sengaja tidak membahasnya karena waria dianggap lelaki sebagaimana jenis kelamin yang dimilikinya, tidak menghiraukan soal naluri keperempuanannya.
Jika kemungkinan ini benar tentu bermasalah karena dapat memberikan konsekuensi seperangkat hukum lain yang bertolak dengan naluri keperempuanan yang ada pada waria, seperti harus bergaul dengan lelaki padahal kecenderungannya perempuan, harus menikah dengan lelaki sementara dengan naluri keperempuanannya waria hanya ingin berbagi rasa cinta dengan lelaki, dan lain sebagainya. Dengan demikian pertanyaan yang segera muncul adalah apakah status lelaki dan perempuan harus diukur dengan jenis kelamin yang tampak atau kecenderungan (fitrah-naluri)? Jawaban atas pertanyaan ini sangat penting dan dapat berpengaruh pada konsekuensi hukum Islam lainnya bagi waria, seperti hukum perkawinannya dengan lelaki, tata cara ibadahnya, dan seterusnya.
Tulisan singkat ini bukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Terlalu panjang jika harus membahas jawabannya. Coretan ini hanya ingin mendudukkan waria sebagai “manusia biasa” sebagaimana manusia-manusia lainnya yang berjenis kelamin laki-laki dan punya naluri jantan, atau manusia berjenis kelamin perempuan dan bernaluri betina. Dengan demikian prinsip egalitarianisme yang dimiliki Islam juga dapat dirasakan oleh mereka yang menyandang sebutan waria.
Waria dalam Al-Quran dan Hadis
Waria dalam al-Quran disebut dalam QS. An-Nur 31 dengan menggunakan kata ghairi ulil irbah minar rijal (lelaki yang tidak punya nafsu syahwati terhadap perempuan). Para mufassir berbeda pendapat tentang maksud dari makna ini, yakni siapa yang berhak mendapat label istilah itu. Sebagian mufassir memaknainya sebagai lelaki tua yang tidak punya gairah lagi terhadap perempuan. Sedangkan menurut Mujahid sebagai orang bodoh atau pandir (al-ablah), menurut ‘Ikrimah bermakna waria (al-mukhannats).[2]
Penafsiran terakhir ini biasanya dikaitkan dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah. Kata Aisyah, pada suatu hari seorang “waria” masuk ke dalam ruangan istri-istri nabi. Istri nabi menganggapnya sebagai orang yang tidak punya hajat terhadap perempuan. Pada hari berikutnya nabi mendapati waria itu sedang berada di sisi istri-istri nabi berbicara tentang lekukan-lekukan tubuh perempuan. Menyaksikan hal itu, nabi melarang para istrinya mempersilahkan waria masuk keruangannya.
Hadis ini meniscayakan sebuah makna bahwa nabi dan istri-istrinya mempersilahkan waria masuk ke dalam rumahnya berbincang-bincang dengan istri-istri nabi karena waria dianggap sebagaimana perempuan, tidak memiliki keinginan birahi dengannya, sehingga nabi memperbolehkan waria berkumpul dengan istri-istrinya. Tapi pertanyaannya kemudian, kenapa setelah nabi mendengar waria bercerita soal tubuh perempuan nabi mengusirnya. Jawaban singkatnya sebagaimana yang terlihat nanti, karena nabi mengetahui bahwa waria yang dipersilahkan bergaul dengan istri-istri nabi itu bukan waria sungguhan, tapi lelaki yang berpura-pura menjadi waria. Saat itu banyak orang yang berpura-pura menjadi waria, tujuannya supaya dapat berkumpul dan mengetahui rahasia-rahasia perempuan. Setelah itu “rahasia perempuan” diceritakan ke banyak orang.
Kendati maksud ghairi ulil irbah minar rijal diperdebatkan, tapi melalui hadis di atas dapat dipahami bahwa kata tersebut juga dimaksudkan untuk waria, yakni lelaki yang tidak memiliki hasrat seksual terhadap perempuan. Dalam hal ini status waria walaupun berjenis kelamin laki-laki namun dalam persoalan hukumnya disamakan dengan perempuan, yakni boleh berkumpul dan melihat perempuan. Bagi penulis, data sejarah berupa nabi pernah mempersilahkan waria berkumpul dengan istri-istri nabi itu dapat dijadikan salah satu dasar hukum bahwa waria dalam beragama disamakan dengan perempuan. Walaupun waria memiliki kelamin jantan, tapi dengan berpijak pada ayat dan hadis tersebut, waria masuk dalam kategori perempuan yang tentu ingin berpasangan dengan lawan kecenderungan naluriyahnya, laki-laki.
Beberapa hadis nabi lain banyak yang secara tekstual mengandung arti kebencian terhadap waria. Hadis-hadis ini dengan beragam teksnya namun makna yang hendak dicapai hanya dua; Pertama, sebagai larangan bagi seorang lelaki menyerupai perempuan dalam gerakan tubuhnya, ucapannya, dan cara berpakaiannya atau dalam istilah hadis disebut dengan al-mukhannatsin mina al-rijal. Begitu juga bagi perempuan dilarang menyerupai lelaki atau al-mutarajjilat mina al-nisa’. Kedua, perintah mengusir orang yang berpura-pura menjadi waria (al-mukhannats).
Hadis-hadis tersebut antara lain:
Artinya: Telah bercerita kepadaku Mu’adz bin Fadlalah, telah bercerita kepadaku Hisyam, dari Yahya, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbas. Ibnu ‘Abbas berkata: Nabi Muhammad s.a.w. melaknat lelaki yang menyerupai perempuan (al-mukhannatsin), dan perempuan yang menyerupai lelaki (al-mutarajjilat). Nabi bersabda: “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian”. Ibnu ‘Abbas berkata: Lalu nabi mengeluarkan “seseorang (fulan)”, dan ‘Umar juga mengusir seseorang.[3]
Menurut beberapa komentator hadis, seseorang yang diusir nabi bernama Anjisyah, waria budak hitam yang berprofesi sebagai penyanyi dalam menemani perjalanan perempuan yang menggunakan unta. Sedangkan nama waria yang diusir oleh Umar (dalam sebagian riwayat, Abu Bakar) namanya belum diketahui.[4]
Artinya: Telah bercerita kepadaku Malik bin Isma’il, telah bercerita kepadaku Zuhair, telah bercerita kepadaku Hisyam bin ‘Urwah. ‘Urwah memberi khabar kepada Hisyam bahwa Zainab binti Abi Salamah telah bercerita kepada Hisyam, Ummu Salamah memberi khabar kepada Zainab bahwa pada suatu hari nabi Muhammad masuk ke rumah Ummu Salamah, sementara di dalam rumah ada waria. Waria berkata kepada Abdullah, adik lelaki Ummu Salamah: Wahai Abdullah, apabila Allah menaklukkan daerah Tha’if untuk kalian maka putri Ghailan akan saya tunjukkan kepadamu. Putri Ghailan menghadap dengan empat dan membelakangi dengan delapan (baca; cantik dan seksi). Lalu nabi Muhammad bersabda: “Waria tidak boleh masuk (ke ruangan) perempuan”.[5]
Dua hadis di atas secara literal menunjukkan bahwa nabi Muhammad s.a.w. mengecam waria. Sesungguhnya tidak demikian, ada sebab-sebab tertentu yang melatar belakangi nabi bersabda demikian. Dalam hadis pertama, yang diusir bukan waria, tapi lelaki normal yang menyerupai waria. Lelaki yang menurut komentator hadis bernama Anjisyah itu pura-pura menjadi waria sehingga dapat berkumpul dengan perempuan, dan bekerja sebagai penghibur. Sedangkan hadis kedua, larangan nabi terhadap waria untuk tidak masuk ke dalam ruangan perempuan lebih disebabkan oleh perilaku waria yang dijumpai nabi saat itu, yakni membuka rahasia kecantikan putri Ghailan.
Jadi, jika dikembalikan kepada hukum asal dengan kondisi normal sesungguhnya al-Quran maupun al-Hadis tidak memiliki pandangan negatif terhadap waria. Pandangan miring terhadap waria bersifat parsial dan temporal yang disebabkan oleh beberapa faktor tertentu seperti membuka rahasia perempuan (‘aurat al-nisa’) dan penipuan. Faktor-faktor ini dapat juga terjadi pada selain waria.
Al-Thabari, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Bathal dalam Syarh Shahih al-Bukhari, mengatakan, alasan nabi Muhammad mengecam “waria” bukan karena bentuknya yang sudah menjadi bawaan, melainkan karena ada usaha meniru perempuan (wajhu la’nin nabiy iyyahu innama huwa li ghairi shuratihil lati la yaqdiru ‘ala taghyiriha, wa innama la’nuhu li ta’nitsihi wa tasyabbuhihi fi dzalika bi khalqin nisa’).[6] Ungkapan al-Thabari ini hendak menyimpulkan bahwa waria ada dua, waria alami (fitrah), dan waria palsu, yakni lelaki normal yang meniru perempuan (tasyabbuh bin nisa’).
Waria alami merupakan pemberian Tuhan sebagaimana warna kulit ada yang hitam, putih, dan yang lainnya, sehingga waria jenis ini harus diterima dan tidak boleh dicerca. Mengingkarinya sama dengan mengingkari titah Tuhan, dan mencercanya sama dengan mencerca Tuhan. Sedangkan waria palsu, yakni lelaki “normal” yang membentuk dirinya seperti perempuan bagian dari orang yang mengingkari pemberian Tuhan (taghyirul hai’atil lati khalaqahullahu ‘alaiha min khalqi al-rijali ila khalqin nisa’).[7]
Nabi Muhammad s.a.w. tidak mengingkari waria, tapi mengingkari lelaki yang “meniru” perempuan. Ketika nabi Muhammad didatangi lelaki yang mengecat kedua tangan dan kakinya dengan pacar, nabi bertanya: “Apa ini maksudnya (mengecat kaki dan tangan)? Para sahabat yang hadir menjawab: orang ini berusaha menyerupai perempuan (yatasyabbahu bin nisa’). Lalu nabi memerintahkan sahabatnya untuk mengasingkan lelaki itu. Para sahabat memberi saran kepada nabi: Kenapa orang ini tidak dibunuh? Nabi menjawab: Aku dilarang membunuh orang-orang yang mengerjakan shalat (inni nuhitu an aqtulal mushallin).[8]
Waria Pada Masa Nabi
Uraian singkat dalam pembahasan di atas sedikit memberikan gambaran kehidupan waria pada masa nabi Muhammad s.a.w. Waria bukan bentuk manusia produk modern, tapi jauh sebelum Islam lahir waria sudah ada. Waria adalah fitrah, alami, pemberian Tuhan kepada manusia yang siapapun tak bisa mengelak dan merubahnya.
Jawad Ali dalam karya agungnya, al-Mufashal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, dengan baik menyajikan gambaran utuh waria pada masa Arab pra Islam yang juga masih berlanjut pada masa nabi.[9] Menurut Jawad Ali, waria pada masa pra Islam bagian dari pengisi waktu luang, yakni penghibur masyarakat. Ketika ada satu keluarga berduka karena ada yang meninggal dunia maka untuk menghilangkan kesedihan yang berlarut-larut seseorang akan mendatangkan waria untuk menghibur, waria akan bernyanyi atau melawak. Waria Arab pra Islam senang berkumpul dengan perempuan, mereka memposisikan dirinya sebagaimana perempuan, baik dalam pergaulan, berdandan, maupun berjalan.
Beberapa nama waria yang populer pada masa pra Islam dan nabi Muhammad antara lain Hit, Haram, dan Mati’. Sedangkan nama waria yang lahir setelah Islam datang dan sukses menjadi penyanyi adalah Thuwais. Sebelum memperlihatkan diri sebagai waria bernama Thawus. Thuwais tercatat sebagai orang yang pertama kali menyanyi di Madinah setelah Islam datang, lagu-lagunya dapat menghipnotis penonton. Thuwais membuat lagu-lagu sendiri dengan mengelaborasi beberapa lirik lagu dari tawanan Persi.
Selain beberapa nama waria di atas, masih banyak sederet nama-nama waria pra Islam dan masa nabi Muhammad yang diabadikan dalam buku-buku sejarah. Waria-waria ini selain menyanyi, juga melawak dan membuat puisi.
Dengan melihat profesi waria pada masa pra Islam dan masa nabi, yakni masa di mana al-Quran turun, dan hadis mulai diucapkan tentu bukan sesuatu yang muhal jika kemudian al-Quran dan hadis-hadis tentang waria didudukkan sebagai refleksi nabi dalam menyikapi persoalan di masyarakatnya. Saat itu waria dielu-elukan masyarakatnya lantaran bisa menghibur, waria diundang di berbagai tempat untuk bernyanyi dan membaca puisi, tentu dapat mendatangkan materi yang banyak. Di sinilah kemudian banyak lelaki yang tertarik untuk menjadi waria palsu, yakni meniru gaya perempuan. Lelaki yang berpura-pura menjadi waria inilah yang dikecam oleh Nabi s.a.w.
Penutup  
Perbincangan waria dalam tulisan ini terlalu sederhana, tentu belum mencerminkan semua perbincangan waria dalam literatur Islam (kitab kuning). Tapi setidaknya dapat memberi gambaran secara umum bahwa waria dalam Islam memiliki tempat tersendiri sebagaimana manusia-manusia lainnya, waria tidak boleh dicerca dan tidak boleh dizalimi karena menjadi waria bagian dari pilihan Tuhan, bukan manusia, sebagaimana orang berkulit hitam atau putih bukan atas rencana manusia, akan tetapi ketentuan Tuhan.
Perbincangan waria dalam tulisan ini lebih menekankan pada pembahasan fikih, sangat menarik jika waria dibahas dalam kajian-kajian keislaman lainnya yang tidak tertekan oleh hukum halal-haram dan wajib-makruh, yakni kajian dalam khazanah tasawuf atau sastra.
--------------------------
[1] Az-Zabidi, Tajul ‘Arus min Jawahir al-Qamus, tt. Dar al-Hidayah, vol. V, 240-241.
[2] Baca Abu Ja’far al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Mu’assasah al-Risalah, cet. I, 2000, vol. XIX, hal. 161-163.
[3] Abu ‘Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422, vol. VII, hal. 159.
[4] Mushthafa al-Bigha’ dalam Abu ‘Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422, vol. VII, hal. 159.
[5] Abu ‘Abdillah al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Dar Thuq al-Najah, cet. I, 1422, vol. VII, hal. 159.
[6] Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, cet. II, 2003, Maktabah al-Rusyd: Riyadl-Saudi, vol. IX, hal. 141.
[7] Ibnu Bathal, Syarh Shahih al-Bukhari, cet. II, 2003, Maktabah al-Rusyd: Riyadl-Saudi, vol. IX, hal. 141-143. Lihat juga dalam Muhammad bin Ali as-Syaukani, Nailul Authar, cet. I, 1993, Dar al-Hadits: Mesir, vol. VI, hal. 139. As-Syaukani mengutip pernyataan ulama bahwa sebab waria diusir dari ruangan perempuan karena ada tiga faktor; Pertama, seseorang disangka waria ternyata bukan. Kedua, menceritakan rahasia kecantikan wanita di hadapan orang banyak. Ketiga, melihat bagian intim perempuan yang tidak pernah dilihat oleh perempuan lainnya.
[8] Muhammad bin Ali as-Syaukani, Nailul Authar, cet. I, 1993, Dar al-Hadits: Mesir, vol. VI, hal. 230.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي