Penyebab Radikalisme Agama Dan Upaya Penanggulangannya

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/12362873_907260902703022_3086276840871968801_o.jpg
Agama sebagai sumber konflik ataukah sumber harmoni merupakan permasalahan yang sejak lama diperdebatkan, bukan hanya antara kalangan theist dan atheist tetapi juga pada intern kelompok theist itu sendiri. Jawaban terhadap permasalahan di atas, sudah barang tentu akan sangat tergantung pada dua hal. Pertama, bagaimana hasil penafsiran keagamaan itu disikapi dan kedua menyangkut cara bagaimana agama itu ditafsirkan. Ketika hasil penafsiran keagamaan yang sebenarnya tidak terlepas dari aspek subjektivitas disikapi sebagai suatu ajaran yang absolut, maka orang akan bersikap eksklusif terhadap orang lain karena dianggapnya berada dalam kesalahan. Begitu juga ketika agama ditafsirkan dengan cara sempit, maka beragama menjadi seperti berada dalam ruangan sempit, tidak memberikan ruang gerak sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Akibatnya, akan terjadi penyempitan cara pandang dalam memandang yang lain, baik terhadap orang yang ada di luar keyakinan keagamaanya maupun terhadap orang yang ada di luar kelompoknya dalam satu keyakinan keagamaan.
Dua hal tersebut (absolutisasi hasil penafsiran dan cara menafsirkan agama) dalam prakteknya terkadang bisa menimbulkan suatu gerakan radikalisme keagamaan, suatu semangat untuk melakukan perubahan pemahaman keagamaan secara mendasar sampai ke akar-akarnya. Dalam konteks ini, sebagaimana yang sudah menjadi opini publik, radikalisme keagamaan sering memiliki konotasi negatif. Ia sering dikaitkan dengan gerakan kekerasan yang berlabelkan atau melibatkan agama sebagai alat justifikasinya. Bahkan lebih jauh lagi, radikalisme keagamaan sering dianggap sebagai cikal bakal tindakan teror yang menggunakan pembenaran agama. Kalau kita sepakat dengan pengertian ini, maka betapa bahayanya jika radikalisme dibiarkan menjadi model perilaku bangsa Indonesia dalam upaya melakukan perubahan sosial maupun politik. Karena keduanya bisa merusak ketahanan dan keutuhan bangsa Indonesia, tentunya harus dicari formulasi yang tepat agar, pertama tidak terjadi absolutisasi (pemutlakan) hasil penafsiran serta, kedua, terciptanya suatu kenyamanan beragama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan Negara Islam.
Hal terakhir yang perlu dikemukakan di sini, meski topik di atas berbicara mengenai peran agama secara umum, kita akan lebih banyak menyoroti permasalahan yang terjadi dalam agama Islam.
Menghindari Pemutlakan Pemahaman Keagamaan
Kenyataan bahwa bahasa agama (teks suci keagamaan) banyak yang equivocal, allegoric dan symbolic, sebenarnya telah menjadi indikasi yang jelas bahwa kebenaran agama pasti dipahami dengan cara yang berbeda. Kalau saja Tuhan menghendaki suatu keseragaman pemahaman manusia mengenai aturan-aturan yang diwahyukan dan tentang diri-Nya, mungkin Tuhan telah menurunkan agama dengan menggunakan bahasa atau jargon yang tidak memberikan perbedaan penafsiran. Al-Qur’an sendiri telah mengajak umat Islam untuk menyadari akan kenyataan perbedaan dalam memahami jalan hidup serta aturan yang harus dilakukan menuju kebenaran.
وَأَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ مُصَدِّقً۬ا لِّمَا بَيۡنَ يَدَيۡهِ مِنَ ٱلۡڪِتَـٰبِ وَمُهَيۡمِنًا عَلَيۡهِ‌ۖ فَٱحۡڪُم بَيۡنَهُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ‌ۖ وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَهُمۡ عَمَّا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡحَقِّ‌ۚ لِكُلٍّ۬ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةً۬ وَمِنۡهَاجً۬ا‌ۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَڪُمۡ أُمَّةً۬ وَٲحِدَةً۬ وَلَـٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِى مَآ ءَاتَٮٰكُمۡ‌ۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٲتِ‌ۚ إِلَى ٱللَّهِ مَرۡجِعُڪُمۡ جَمِيعً۬ا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ فِيهِ تَخۡتَلِفُونَ
“ Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab [yang diturunkan sebelumnya] dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat [saja], tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu ” - Qs : Al Maidah : 48
فَٱخۡتَلَفَ ٱلۡأَحۡزَابُ مِنۢ بَيۡنِہِمۡ‌ۖ فَوَيۡلٌ۬ لِّلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن مَّشۡہَدِ يَوۡمٍ عَظِيمٍ
“ Maka berselisihlah golongan-golongan [yang ada] di antara mereka. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar ” - Qs : Maryam 37
Begitu pentingnya deabsolutisasi pemahaman keagamaan bagi terciptanya hubungan harmonis baik intern maupun ekstern umat beragama sehingga ia menjadi prakondisi bagi hilangnya radikalisme keagamaan. Dengan kata lain, radikalisme keagamaan (radikalisme yang melibatkan pemahaman keagamaan) akan tetap terjadi manakala masing-masing umat beragama atau masing-masing kelompok di dalam suatu agama masih menganggap hasil penafsirannya mutlak benar sementara penafsiran yang lain mutlak salah. Imam al-Syafi’i, seorang tokoh pendiri madzhab Syafi’i memberikan contoh mengenai deabsolutisasi penafsiran dengan kata-katanya yang terkenal “pendapatku benar tetapi mengandung kemungkinan salah, sedangkan pendapat orang lain salah tetapi mengandung kemungkinan benar”
Agama berpotensi besar menjadi gerakan sosial yang konstruktif dan juga destruktif. Setiap gerakan keagamaan memiliki potensi untuk menjadi gerakan radikal karena yang disentuh adalah ranah terdalam dari emosi manusia. Agama merupakan kekuatan yang paling dahsyat, bahkan jauh lebih dahsyat dari kekuatan bom atom yang pernah dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki. Banyak kaum beriman yang rela meninggalkan kepentingan keluarga dan dirinya sendiri demi mempertahankan agama. Pengorbanan diri kepada agama selama ini telah menjadi ukuran tingkat kesalehan seseorang. Lihat misalnya kasus runtuhnya gedung WTC pada tanggal 11 September 2001 yang dilakukan oleh sekelompok Muslim dari jaringan al-Qaida, kasus bom bunuh diri di Palestina, Irak dan bahkan di Indonesia sendiri dengan kasus bom Marriot dan Bali. Dan akhir-akhir ini kasus ISIS dimana sebagian muslim menganggap itu sebagai gerakan jihad yang sebenarnya.
Selain yang tergambarkan di atas, begitu banyak tindakan-tindakan destruktif, konflik berkepanjangan, eksploitasi manusia, kekerasan dan diskrimanasi gender dilakukan atas nama agama. Gerakan restorasi keagamaan Ten Commandments di Rwanda yang mengakibatkan pembunuhan massal, bunuh diri massal yang dilakukan oleh sekte Davidian di Weco Texas, USA, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok Aum Sinri Kyo di Jepang, konflik antara Yahudi, Muslim Arab dan Kristen Arab di Palestina, Suriah, dan Irak, juga konflik laten antara Muslim dan non Muslim di Indonesia, ketidaksetaraan antara pria dan wanita pada kehidupan publik dan rumah tangga merupakan contoh yang jelas dari bentuk-bentuk eksploitasi agama melalui metode penafsiran agama.
Jika agama mengajarkan pada pemeluknya bagaimana menghormati orang lain, hidup damai dan harmonis yang sejalan dengan semangat humanisme, kekerasan yang mengatasnamakan agama kemungkinan besar diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara semangat hidup beragama dengan kemampuan memahami ajaran agama secara utuh. Semangat keberagamaan yang tinggi yang tidak dibarengi pemahaman yang dalam dari dimensi esoterik agama bisa menimbulkan sikap fanatik yang sempit. Karena itu, pemahaman keagamaan yang benar dan komprehensif, tidak atomistik dan parsial disertai dengan sikap toleran (tasamuh) dalam menyikapi perbedaan pemahaman menjadi prasyarat untuk menciptakan kondisi masyarakat yang stabil dan harmonis.
Munculnya semangat kembali kepada agama, khususnya di Indonesia, salah satu penyebabnya karena gagalnya ideologi-ideologi sekuler dalam mengatasi persoalan hidup dan kehidupan manusia. Meski pada awalnya ideologi-ideologi sekuler tersebut diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia, kenyataannya mereka gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Karena watak totalitarianismenya, komunisme telah gagal dalam mewujudkan keadilan sosial yang menjadi impiannya. Kapitalisme dikritik banyak pakar karena telah menempatkan manusia tidak lebih dari sekedar alat produksi (means of production). Modernisme dengan paradigma “developmentalisme”nya telah gagal dalam mewujudkan pemerataan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ia telah menyebabkan negara berkembang menjadi sangat tergantung pada negara maju. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa “agama-agama semu” tersebut telah mengakibatkan berbagai eksploitasi nilai-nilai kemanusian dan ketidakadilan. Hal ini menandakan bahwa pada masa sekarang sedang terjadi krisis kemanusiaan.
Kritik di atas telah memberikan harapan kepada agama untuk menyelamatkan umat manusia dari degenerasi, dehumanisasi dan keterpurukan pada bidang-bidang lainnya. Sebenarnya harapan tersebut wajar mengingat agama itu sendiri merupakan respon Ilahi terhadap problem-problem yang dihadapi oleh umat manusia. Setiap agama tentu saja oleh penganutnya diklaim sebagai pedoman umat manusia untuk hidup damai dan menghindari eksploitasi manusia. Tetapi misi agama yang mulia dan suci tersebut tidak selalu sesuai dengan kenyataan kehidupan beragama. Mengapa? Karena agama seringkali ditafsirkan sejalan dengan keinginan para penafsir, bahkan banyak teks-teks keagamaan ditafsirkan untuk tujuan kepentingan politik. Keadaan ini akan semakin parah lagi ketika terjadi pembenaran mutlak atas hasil penafsiran dengan menganggap penafsiran yang lain salah.
Dalam Islam, perbedaan pemahaman merupakan hal sangat wajar dan pasti terjadi. Selama pintu ijtihad masih terbuka luas bagi perorangan (ijtihad fardi) maupun kelompok (ijtihad jama’i), perbedaan pendapat tidak akan dapat dihindari. Hal ini mengingat dua sumber utama ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah, berwatak multi-interpretable. Penafsiran atas kedua sumber tersebut selamanya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor subjektivitas di samping faktor-faktor sosial politik, budaya serta geografis dimana seorang penafsir hidup.
Sejak zaman Rasulullah s.a.w. pluralisme pemahaman mengenai persoalan-persoalan keagamaan sebenarnya sudah terjadi. Hanya saja dampak negatif yang biasanya timbul akibat faktor-faktor subjektivitas masih bisa diatasi karena Nabi, sebagai tempat pengaduan final dari semua permasalahan masih hidup. Setelah Nabi wafat, ditambah lagi dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan, Islam lalu berhadapan dengan berbagai permasalahan baru yang lahir sebagai akibat dari proses asimilasi dengan budaya dari daerah-daerah taklukan baru. Oleh karena itu kebutuhan akan ijtihad semakin meningkat guna mencari kepastian hukum terhadap permasalahan-permasalahan baru, dan hal ini sudah pasti akan berakibat meluasnya permasalahan khilafiyah di kalangan umat Islam.
Perbedaan pendapat dalam berijtihad sebenarnya merupakan hal yang wajar. Bahkan Nabi masih menjamin satu pahala bagi mereka yang keliru dalam melakukan ijtihadnya. Yang tidak wajar justru jika hasil ijtihad itu dianggap mutlak benar semutlak kebenaran wahyu itu sendiri. Sikap ketertutupan seperti ini hanya akan membawa pada kemandekan proses perkembangan budaya sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam. Itulah karenanya, selama ijtihad yang dilakukan pihak-pihak tertentu (tentunya yang telah memenuhi kualifikasi) itu didasari oleh rasa keterpanggilan yang dalam terhadap agama, maka kita harus menghormatinya.
Imam Bukhari dalam Sahih Bukhari meriwayatkan suatu hadits dari Ibn Umar berkenaan dengan kampanye militer yang dilaksanakan kaum muslimin pada saat perang ahzab, yakni perang yang dilakukan setelah perang khandaq untuk menaklukkan kelompok Yahudi penduduk perkampungan Bani Quraidah. Seperti biasanya, sebelum para prajurit berangkat ke medan perang, Nabi terlebih dahulu memberikan pengarahan dan motivasi agar para prajurit benar-benar mempunyai semangat juang tinggi. Pada akhir pengarahannya, Nabi kemudian mengatakan “jangan sekali-kali kalian melakukan shalat ‘ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidah”. Namun sebelum para prajurit sampai ke Bani Quraidah, ternyata matahari sudah hampir tenggelam, dan ini menunjukkan bahwa waktu shalat ‘ashar sudah akan habis. Di antara para prajurit, kemudian terjadi pemahaman yang berbeda mengenai perintah Nabi di atas. Sebagian dari mereka melakukan shalat ‘ashar meskipun Nabi jelas-jelas melarangnya sebelum sampai di perkampungan Bani Quraidah. Sedangkan sebagian lainnya tidak melakukan shalat karena mengikuti perintah Nabi agar tidak shalat ‘ashar kecuali jika telah sampai di perkampungan Bani Quraidah.
Seusai perang, para sahabat pun kembali ke Madinah untuk melaporkan hasil yang telah dicapai kepada Nabi. Ketika mereka sampai pada laporan tentang kasus shalat, Nabi hanya berdiam diri, tidak memberikan komentar apapun. Ini menunjukkan bahwa Nabi membenarkan, atau tidak menyalahkan tindakan yang diambil oleh kedua kelompok sahabat yang melakukan shalat ashar dalam waktu yang berbeda.
Dari kasus di atas dapat diambil kesimpulan bahwa; pertama pada masa Nabi pola pemahaman dan pendekatan keagamaan yang bersifat tekstual dan kontekstual itu sudah ada. Para sahabat atau para prajurit yang melakukan shalat ‘ashar sebelum masuk perkampungan Bani Quraidah berarti mereka memahami ucapan Nabi dari segi konteksnya. Mereka berkeyakinan bahwa ucapan Nabi itu tidak dimaksudkan untuk melarang shalat ‘ashar di luar perkampungan Bani Quraidah, tapi Nabi mengharapkan agar para sahabat berjalan dengan cepat sehingga ketika waktu ‘ashar tiba mereka sudah berada di Bani Quraidah. Namun sahabat-sahabat lainnya memahami ucapan Nabi itu terlalu kaku dan hanya terpaku pada bunyi tekstualnya.
Yang menarik untuk dipelajari dari kasus di atas adalah sikap Nabi yang tidak menyalahkan baik kepada kelompok yang memahaminya secara tekstual maupun kontekstual. Ini merupakan contoh langsung dari Nabi yang patut kita teladani di kala kita dihadapkan pada persoalan yang sama. Nabi tidak mempersoalkan perbedaan pemahaman di antara mereka. Bagi Nabi, yang penting adalah motivasi dan semangat mereka, yakni “kesetiaan” dan “semangat” untuk melaksanakan perintah. Itulah karenanya Nabi hanya berdiam diri, tidak menyalahkan salah satu pihak.
Kedua, cerita di atas memberikan gambaran yang jelas bahwa Nabi tidak menghendaki model berpikir monism, suatu sikap yang menghendaki penyeragaman dalam berpikir dengan mereduksi seluruh fenomena menjadi satu prinsip. Ali Harb (2007: 107) mengatakan monism merupakan suatu kesombongan berpikir yang telah menginjak-injak derajat manusia yang diberi kebebasan untuk berpikir. Jargon yang berkembang biasanya “siapa tidak bersamaku adalah lawanku”. Inilah karenanya monism jelas-jelas merupakan lawan dari pluralisme pemahaman keagamaan yang sebenarnya dijamin oleh Nabi.
Penafsiran Yang Memberikan Kenyamanan Beragama Beragama itu harus merasa nyaman dan aman, kalau beragama selalu disertai perasaan berdosa, mungkin bisa menimbulkan sikap paranoid. Pernyataan seperti ini sangat bermanfaat untuk dijadikan sebagai peringatan bagi setiap pemeluk agama untuk bersikap realistis dalam menghadapi kenyataan hidup. Umat beragama tidak dikehendaki bersikap tatharruf (ekstrim) dan juga utopis dalam menjalankan ajaran agamanya.
Suatu hal yang dapat merusak sikap realistik dalam beragama biasanya muncul saat para pemeluknya mulai gandrung merindukan zaman ideal, lalu bertekad mewujudkannya ke dalam zaman sekarang. Sikap romantis semacam inilah yang sering membuat pemeluk suatu agama menjadi utopis, suatu sikap yang melompat dari realitas karena ketidakmampuan untuk mengatasi terlebih lagi menciptakan realitas (Harb, 2007: 108). Visi keagamaan semacam ini, selama bisa diimbangi dengan kekuatan sikap toleran tidak menimbulkan bahaya. Tetapi jika semangat menjadikan masyarakat, bangsa atau negara agar berada pada prototipe tertinggi atau berada pada realitas surgawi tidak bisa diimbangi sikap toleran, maka radikalisme keagamaan kemungkinan besar akan terjadi.
Dalam konteks politik, sikap utopis dapat mendorong para pemeluk suatu agama untuk mendirikan negara agama, atau negara teokratis, meskipun beberapa percobaan kontemporer tidak pernah membuktikan keberhasilannya. Rezim Taliban di Afghanistan misalnya, melakukan kekejaman atas nama syari’at Islam. Ide pendirian negara agama Yahudi yang dicetuskan oleh Rabi Mei Kahane telah berujung pada tindakan teror dan kekerasan atas nama agama terhadap warga Arab Palestina di daerah Judea dan Samaria. Di Amerika juga ada kelompok The Moral Majority yang dipimpin oleh Pendeta Jerry Falwell dan Christian Coalition yang didirikan oleh Pat Roberston yang menginginkan ajaran agama Kristen menjadi sumber hukum bagi negara (Kimball, 2003: 169-196). Dan kita sudah menyaksikan betapa ngerinya apa yang telah dilakukan ISIS, Boko Haram, dan kelompok sejenis akhir-akhir ini.
Khusus bagi kaum Muslimin di Indonesia, sikap utopis ini seringkali dimunculkan dalam gagasan yang beragam, dari mulai penerapan syari’at Islam untuk menggantikan sistem hukum yang ada hingga pendirian negara Islam. NKRI tidak lagi dianggap sebagai bentuk final sebagaimana hasil ijtihad atau penafsiran kelompok-kelompok Islam established (Misalnya NU dan Muhammadiyah). Kalau penafsiran mengenai bentuk negara yang ideal adalah teokratis, dan ini dianggap hasil ijtihad politik yang final, maka umat Islam pasti akan merasa tidak nyaman dalam beragama. Selama hidupnya mereka yang percaya dengan penafsiran tersebut, akan dihantui perasaan berdosa karena tidak berusaha merubah NKRI menjadi negara Islam.
Secara psikologis orang yang pikirannya diliputi perasaan bersalah akan mudah tersinggung. Apalagi jika perasaan bersalah itu disertai dengan sikap putus asa, ditambah dengan tersedianya kesempatan untuk bertindak, yang terjadi bukan hanya tindakan radikalisme keagamaan akan tetapi bisa meningkat menjadi tindakan teror atas nama agama yang kemudian diklaim sebagai bentuk jihad.
Memang penafsiran tidak secara langsung memberikan kontribusi terhadap munculnya kekerasan atas nama agama. Meski demikian penafsiran keagamaan telah memberi andil besar dalam membuat orang mengalami keterpecahan jiwa (split personality). Dengan kata lain penafsiran keagamaan bisa saja menciptakan konflik nilai pada diri seseorang. Selama perbedaan nilai itu tidak menyangkut hal-hal bersifat prinsip menurut ukuran pribadi, masing-masing orang sebenarnya memiliki kecenderungan untuk bersikap konformis terhadap nilai yang dipegangi oleh mayoritas. Akan tetapi jika konformitas terhadap mayoritas itu dianggap menyalahi prinsip, konflik nilai pasti akan terjadi (Atikson, 1983: 734). Misalnya, jika kita meyakinkan mendirikan negara Islam merupakan bagian dari keimanan, sedangkan mayoritas Muslim tidak menganggapnya demikian, maka akan terjadi konflik nilai pada diri kita.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa radikalisme merupakan produk dari ketertutupan sikap. Akibat ketiadaan sikap apresiatif terhadap nilai di luar diri seseorang, maka pemahaman keagamaan bisa melahirkan sikap kaku, eksklusif, takut, cemas dan frustasi. Frustasi yang berkepanjangan mungkin berubah menjadi bentuk radikalisme atau bahkan terorisme jika seseorang terus menerus berada dalam tekanan jiwa. Jadi radikalisme dan terorisme itu bukan akibat langsung dari pemahaman keagamaan. Pemahaman keagamaan melahirkan konflik nilai, kemudian konflik nilai melahirkan rasa kaku, eksklusif, takut, cemas dan frustasi. Sikap-sikap inilah yang kemudian melahirkan radikalisme keagamaan dan bahkan terorisme ketika terbuka kesempatan.
Dari paparan di atas jelas bahwa penafsiran keagamaan yang mengakibatkan umat menjadi utopis, terlebih lagi jika penafsiran itu diklaim sebagai satu-satunya kebenaran agama, dapat menimbulkan konflik nilai yang dahsyat dalam diri seseorang. Keadaan ini sudah pasti akan sangat membahayakan keutuhan kita sebagai bangsa ketika yang menjadi sasaran frustasinya adalah NKRI. Atas dasar alasan inilah beragama itu harus disertai rasa aman dan nyaman. Ini hanya mungkin bisa dilakukan manakala penafsiran keagamaan tidak menimbulkan konflilk nilai.
Penutup  
Dari paparan di atas jelas bahwa agama akan menjadi faktor yang destruktif atau konstruktif akan sangat bergantung dari dua hal, yakni cara menyikapi hasil penafsiran dan cara penafsiran itu sendiri. Hasil penafsiran keagamaan bisa memiliki potensi destruktif jika dianggap sakral dan absolut. Sakralisasi dan absolutisasi akan berujung pada pengultusan dan ketaatan yang membuta. Sementara itu hasil penafsiran yang utopis hanya akan menjauhkan umat dari realitas kehidupan di samping menimbulkan konflik nilai. Baik langsung maupun tidak, kedua hal di atas dapat menimbulkan radikalisme keagamaan yang dapat mengancam ketahanan maupun keutuhan kita sebagai bangsa Indonesia.
Sebagai jalan keluarnya mungkin bisa dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, untuk mengatasi kekakuan dalam bentuk absolutisasi pemahaman keagamaan perlu diupayakan gerakan penyadaran terhadap masyarakat dalam bentuk pendidikan agama yang berwawasan multikulturalisme. Secara informal, gerakan penyadaran ini bisa dilakukan melaui majelis-majelis ta’lim dan forum-forum pengajian. Secara formal, gerakan penyadaran ini harus menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional dan karenanya harus menjadi bagian kurikulum pelajaran agama dari tingkat SD hingga ke perguruan tinggi.
Kedua, untuk menghindari utopia dalam bernegara, maka harus diupayakan formulasi baru (tidak harus seperti pola penataran P4 zaman Orba) untuk memasyarakatkan kembali Pancasila sebagai dasar maupun ideologi negara. Satu hal yang harus mendapatkan perhatian serius dalam proses sosialisasi ialah bahwa bingkai agama dalam Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) harus dipahami sebagai jargon politik dan karenanya harus dipahami dari logika politik pula, bukan logika agama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي