Kosmologi Universal dan Gejala Sosiologi

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-0/p600x600/12671993_970410216388090_2951373883837379273_o.jpg

Tujuan mistisisme adalah mempersepsi jagad non-sadar. Karena inilah kenapa elemen-elemen penting agama sebagian besar adalah hal abstrak. Dari sini kita memahami Tuhan, malaikat, surga, dsb, dengan segala keabstrakan obyek bahasan seperti itu sebenarnya ada dalam diri manusia itu sendiri.
Segala eksistensi semesta adalah laju gelombang frekwensi tertentu, sedangkan kesadaran adalah reader nya. Dalam hal ini tidak ada pemisahan dualitas positif - negatif, seperti hidup dan non-hidup (mati), laki-laki dan perempuan, organik dan atomik, dsb. Akan tetapi meski demikian reader kesadaran memang memiliki keterbatasan, yaitu, tidak mampu membaca segala eksistensi, melainkan pada citra tertentu saja, sehingga dari sini muncul “Persepsi”. Dari sini juga kita bisa memahami adanya “Sadar” dan “Non-sadar”. Misal, anda bisa membedakan mana orang dan patung orang.
Namun, dalam titik temu pemahaman tentang reader ini adalah kesatuan segala yang eksis. Karena ini juga-lah muncul teologi monotheisme sehingga Tuhan dipahami sebagai core segala eksistensi dan kenyataan yang totalitas, sehingga dimensi kemakhlukan muncul sebagai pendaran dari khalik yang tunggal, meski makhluk kemudian memiliki karakter beraneka ragam dalam dimensi-dimensi yang berlainan.
Jadi dari sini bisa kita pahami bahwa multidimensi kemakhlukan sebenarnya saling berkelindan. Bahkan antara khalik dan makhluk saling terhubung. Adapun tentang suatu nilai atau makna sebenarnya bukanlah “Pencarian”, akan tetapi merupakan sensasi yang muncul karena proses karya dalam realita sebagai emanasi dari khalik menjadi makhluk.
Di satu sisi pemahaman demikian ini bahwa emanasi adalah reader kesadaran itu sendiri yang terhubung dengan suatu citra eksisteni-eksitensi yang ada. Dari sini kita pahami juga bila sebenarnya reader tadi “hanya ada satu” sebagai kemutlakan, meski para ciptaan juga merasakan sensasi sebagai suatu reader. Inilah yang sering di persepsikan sebagai “Fitrah” dalam agama :
فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡہَا‌ۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِ‌ۚ
“ [tetaplah atas] fithrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah ”. - Qs : Ar Ruum : 30
Dari konsepsi ini juga muncul pemahaman esoteris seperti ma’rifat, hulul, wushul, wihdatul wujud, wihdatus syuhud, bahkan panteisme dan juga deisme. Dimana inti dari ajaran atau pemahaman seperti itu adalah ketidakterpisahan antara khalik dan makhluk, atau setidaknya dua kutub khalik dan makhluk saling terhubung, seperti di ilustrasikan dalam Al Qur’an :
وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ
“ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu ” - Qs : As Shaffat : 96
Ayat diatas menunjukkan karya Sang Khalik sebagai sensasi kemakhlukan.
Pemahaman seperti diatas tadi menafikan eksistensi Tuhan sebagai obyek pencarian. Sebab semua yang eksis sebenarnya adalah tanda (ayat) akan keberadaan-Nya.
إِنَّ فِى خَلۡقِ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَـٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلۡفُلۡكِ ٱلَّتِى تَجۡرِى فِى ٱلۡبَحۡرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍ۬ فَأَحۡيَا بِهِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِہَا وَبَثَّ فِيہَا مِن ڪُلِّ دَآبَّةٍ۬ وَتَصۡرِيفِ ٱلرِّيَـٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ لَأَيَـٰتٍ۬ لِّقَوۡمٍ۬ يَعۡقِلُونَ
“ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati [kering]-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh [terdapat] tanda-tanda [keesaan dan kebesaran Allah] bagi kaum yang memikirkan ” - Qs : Al Baqarah : 164
Bahasan demikian ini tidak bisa dibatasi dengan syariah dan moral, bukan dalam artian menentang syariah dan moral, akan tetapi tentang cakupan yang berlainan, meski sebenarnya bisa saja bahasan kosmologi dijadikan argumen bagi harmoni dalam kehidupan secara aplikatif, akan tetapi dalam hal ini ita sedang membicarakan terminologi keilmuan, jadi harus ada pemisahan pemahaman untuk membantu mudah dalam pemahaman. Syariah dan moral ada pada lingkup sosiologi sedangkan bahasan kita ini ada pada lingkup kosmologi yang universal.
Bila “Sadar” dipahami sebagai suatu daya yang mampu mengatur eksistensi diri sendiri, maka definisi ini memiliki keterbatasan meski benar. Dari definisi ini orang bisa membedakan sesosok manusia yang makan dan minum dengan patung yang tetap diam tak bergerak sejak dia dipahat. Intinya adalah “Tentang adanya gerakan yang memiliki makna bagi kehidupan”. Dan ini memiliki padanan dalam konteks biologi. Akan tetapi ada kenyataan (kita memahami) adanya kesadaran yang memiliki padanan dengan konteks lain seumpama astronomi atau geografi dan geologi seperti yang diungkapkan dalam surah Al Baqarah ayat 164 diatas betapa ada suatu kesadaran yang memiliki makna dalam kehidupan yang begitu agung melampaui batas-batas tubuh organik - fisik manusia, maka, kesadaran siapakah itu ?. Jadi, sadar atau hidup dalam atmosfer tubuh organik memang benar meski ada kehidupan dan kesadaran yang selain itu.
Manusia hanyalah salah satu dari kesadaran yang ada dalam semesta. Adalah keliru bila kita menganggap bahwa “Manusia adalah spesial” bila dalam lingkup kosmologi universal. Mungkin benar manusia makhluk spesial dalam lingkupnya, yaitu jagad kemanusiaan, tetapi belum tentu spesial di lingkup yang lain. Karena ini pula singa dan ikan hiu akan menjadikan manusia manusia sebagai target mangsa dalam dimensi kesadaran mereka.
Mungkin kita akan bertanya-tanya, “Bagaimana ada banyak macam kesadaran bila semua hal muncul dari satu sumber yang sama ?”. Setidaknya model jawaban filsafat elementer bisa mewakili jawaban untuk itu dengan mudah. Kita tidak bisa membantah bila dalam semesta ada elemen-elemen, yaitu, tanah, air, angin, api, dan cahaya. Meski jawaban seperti ini bisa saja ditertawakan para saintis dimana unsur dalam jagad raya tidak bisa dibatasi dengan 5 elemen tadi karena temuan sains kimia telah demikian maju dan membuat peta unsur sebagai tabel periodik yang akan selalu update. Akan setapi setidaknya filsafat 5 elemen tadi juga merupakan kenyataan yang kita alami secara nyata dimana kita terlibat dengan 5 elemen tadi dalam keseharian kita menjalani hidup. Memang, tidaklah setiap konsep atau teori yang lama akan bisa dibuang begitu saja meski sudah ada teori dan konsep yang update. Akan tetapi suatu teori dan konsep akan menyesuaikan dengan bahasan yang sedang dibicarakan. Meski Einstein dan Stephen Hawking telah mampu merumuskan teori fisika yang jauh lebih maju dari Isaac Newton, tetapi bukan berarti teori gravitasi yang dirumuskan Newton bisa dibuang dalam sejarah dan dianggap salah, sebab, lingkup teori gravitasi Newton memang dalam planet bumi, tidak di luar angkasa sebagai fisika kuantum dan astrofisika. Toh buah apel akan tetap jatuh ke tanah bila kita melempar ke atas, dan itu kenyataan yang ada di bumi.
Kebiasaan menggunakan filsafat elementer sudah digunakan sejak ribuan tahun yang lalu di berbagai kebudayaan, bahkan dalam Al Qur’an juga masih digunakan untuk menjelaskan fenomena tertentu
وَلَقَدۡ عَلِمۡتُمُ ٱلنَّشۡأَةَ ٱلۡأُولَىٰ فَلَوۡلَا تَذَكَّرُونَ (٦٢) أَفَرَءَيۡتُم مَّا تَحۡرُثُونَ (٦٣) ءَأَنتُمۡ تَزۡرَعُونَهُ ۥۤ أَمۡ نَحۡنُ ٱلزَّٲرِعُونَ (٦٤) لَوۡ نَشَآءُ لَجَعَلۡنَـٰهُ حُطَـٰمً۬ا فَظَلۡتُمۡ تَفَكَّهُونَ (٦٥) إِنَّا لَمُغۡرَمُونَ (٦٦) بَلۡ نَحۡنُ مَحۡرُومُونَ (٦٧) أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلۡمَآءَ ٱلَّذِى تَشۡرَبُونَ (٦٨) ءَأَنتُمۡ أَنزَلۡتُمُوهُ مِنَ ٱلۡمُزۡنِ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنزِلُونَ (٦٩) لَوۡ نَشَآءُ جَعَلۡنَـٰهُ أُجَاجً۬ا فَلَوۡلَا تَشۡكُرُونَ (٧٠) أَفَرَءَيۡتُمُ ٱلنَّارَ ٱلَّتِى تُورُونَ (٧١) ءَأَنتُمۡ أَنشَأۡتُمۡ شَجَرَتَہَآ أَمۡ نَحۡنُ ٱلۡمُنشِـُٔونَ (٧٢) نَحۡنُ جَعَلۡنَـٰهَا تَذۡكِرَةً۬ وَمَتَـٰعً۬ا لِّلۡمُقۡوِينَ (٧٣)
“ Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama, maka mengapakah kamu tidak mengambil pelajaran [untuk penciptaan yang kedua]? (62) Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam? (63) Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya? (64) Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur; maka jadilah kamu heran tercengang. (65) [Sambil berkata]: "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian, (66) bahkan kami menjadi orang yang tidak mendapat hasil apa-apa." (67) Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. (68) Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? (69) Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur? (70) Maka terangkanlah kepadaku tentang api yang kamu nyalakan [dari gosokan-gosokan kayu]. (71) Kamukah yang menjadikan kayu itu atau Kami-kah yang menjadikannya? (72) Kami menjadikan api itu untuk peringatan dan bahan yang berguna bagi musafir di padang pasir. (73) ” - Qs : Al Waaqi’ah : 62 - 73
Kita tidak usah membicarakan tafsir ayat-ayat diatas karena memang kita sedang tidak membahas tafisr ayat Al Qur’an yang hasilnya bisa sangat berragam, kita hanya perlu mencermati bila dalam ayat-ayat itu Allah juga menggunaan gaya bahasa elemen alam untuk menjelaskan suatu fenomena. Jadi jawaban bagi pertanyaan diatas tentang kenapa ada banyak aneka kesadaran padahal berasal dari satu sumber yang sama ?. Jawabnya adalah “Itu sebagai kenyataan yang tak bisa diingkari. Atau dalam bahasa agama sebagai sesuatu yang telah di tetapkan oleh Tuhan !”
Dengan demikian kita bisa mengambil kesimpulan bahwa melakukan penyeragaman (dalam hal ini khususnya soal kesadaran) adalah hal yang mustahil dan berlawanan dengan realita alam.
Mungkin ada banyak dogma dan doktrin agama yang memiliki tujuan penyeragaman kesadaran. Meski itu dianggap bisa terjadi dalam konteks sosial (masyarakat) akan tetapi tetap ada deviasi, dari sinilah kenapa tetap ada yang dianggap sebagai penyimpangan, bid’ah, sesat, dsb, yang disebabkan para obyek tuduhan memiliki kesadaran yang tidak standart menurut parameter yang ditetapkan oleh otoritas agama dan nilai mainstream. Dan sebaliknya juga, dari pemahaman yang seperti itu tadi memunculan gerakan pluralitas keagamaan dimana para umat beragama yang berbeda atribut memiliki kesamaan sensasi dalam menjalani agama masing-masing. Justru dari sinilah kadang orang menilai yang demikian sebagai esensi dari agama-agama.
Bawah Sadar
Lalu bagaimana dengan apa yang biasa orang sebut sebagai “Bawah sadar”, apakah itu sama seperti “Non-sadar” ?. Saya jawab : “Bawah sadar (dalam hal bahasan ini) adalah sadar juga. Hanya saja letak frekwensi yang tidak dalam jangkauan sadar yang biasa digunakan”.
Non-sadar yang saya maksudkan dalam bahasan ini adalah eksistensi yang dianggap tidak memiliki kesadaran seumpama sebongkah batu, dimana sebongkah batu tidak memiliki kehendak yang dapat mengatur dirinya sendiri seperti kita manusia atau binatang yang terikat dengan tubuh organik. Jadi, Non-sadar yang saya maksudkan adalah lebih cenderung seperti pemahaman sebagai “Benda mati”, dan benda mati itu sama sekali bukanlah makhluk hidup. Dan ini adalah suatu terminologi.
Akan tetapi dalam bahasan yang lebih mendalam terkadang akan kita temui bila benda mati juga memiliki kekehendakan, dan yang seperti itu ada banyak dalam literatur-literatur di berbagai agama. Maka yang demikian ada pada wilayah mistisisme atau kadang dianggap sebagai tahayul bagi orang yang tidak percaya akan hal itu.
Maka memanglah benar, terkadang yang kita anggap Non-sadar juga bagian dari Sadar karena adanya pemahaman tertentu sebagaimana yang di istilahkan dengan “Bawah-sadar”. 
Kalau soal ini kita rasakan sebagai hal yang membingungkan sebenarnya adalah wajar, sebab, pada titik tertentu kita tidak tau “Siapakah yang menjadi User kesadaran yang sebenarnya” bila reader kesadaran dimilik oleh makhluk, padahal makhluk hanyalah pancaran dari eksistensi realita ketunggalan segala yang ‘Ada’.
Jadi, apakah Tuhan, malaikat, surga, dsb adalah bagian Non-sadar bila dikembalikan pada awal bahasan ?. Jawabnya adalah ‘Iya’, ketika elemen-elemen agama itu menggunakan bentuk komunikasi searah saja, dan itu adalah jagad literal dimana kemudian maujud menjadi teologi dan agama. Dan jawabnya adalah ‘Tidak’, ketika suatu kesadaran bisa mendapati makna dan komunikasi imbal balik antara khalik dan makhluk. Maka secara ringkas bisa dikatakan bila core kehidupan adalah Maha Sadar, dan dari pancaran ini juga makhluk menjadi sadar. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي