Kedudukan Filsafat Dalam Islam
Ibnu Rusyd atau biasa dikenal dengan Al-Hafid memiliki nama lengkap Abu Al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd. Lahir di Qurthubah pada 520 H / 1126 M. Dalam bidang filsafat Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles. Kekaguman ini selain terlihat dari beberapa karyanya yang banyak berisi penjelasan (syarh) dan ringkasan (talkhish) atas karya-karya Aristoteles, juga dapat dipahami dari beberapa pernyataannya.
Dalam salah satu karyanya, Tahafut Al-Tahafut, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa yang dimaksud dengan orang yang mendapat anugrah dari Allah dalam QS. Al-Ma’idah 54 adalah Aristoteles. Pernyataan itu mungkin berlebihan, tapi demikianlah kenyataan menggambarkan betapa kagumnya Ibnu Rusyd terhadap Aristoteles. Kekaguman ini menjadikan Ibnu Rusyd seakan-akan taqlid buta terhadapnya.
Jamil Saliba dalam bukunya, Min Aflathun ila Ibni Sina, menggambarkan sikap Ibnu Rusyd kepada Aristoteles sebagai orang yang sangat taat dan sangat mempercayai segala ungkapannya. Andai Aristoteles menyampaikan pernyataan yang tidak mungkin terjadi atau jauh dari kebenaran, Ibnu Rusyd akan tetap mengikutinya. Jamil Saliba mengatakan: “Andai Aristoteles mengatakan dalam waktu yang bersamaan seseorang bisa berdiri sekaligus duduk maka Ibnu Rusyd akan mempercayainya.”
Gagasan-gagasan Ibnu Rusyd dalam bidang filsafat mendapatkan tempat yang sangat tinggi, baik di mata ulama maupun penguasa pada masanya. Seiring berjalannya waktu, Ibnu Rusyd pernah mengalami ujian besar yang disebabkan oleh beberapa gagasan dan kritik-kritiknya terhadap sarjana fiqh (fuqaha’) yang saat itu hanya bisa membebek kepada imam-imam madzhab.
Fuqaha ini selain tidak kreatif, konservatif, juga banyak yang sombong dan berebut kekuasaan di hadapan penguasa. Oleh karena itu ketika Ibnu Rusyd menyerukan pembaharuan dalam berpikir baik dalam bidang fiqh, filsafat, maupun yang lainnya dan mengkritik praktik taqlid sarjana-sarjana pada masanya banyak yang tidak terima.
Sarjana-sarjana yang kontra dengan Ibnu Rusyd ini kemudian menuduh Ibnu Rusyd musyrik, keluar dari agama Islam, sebagai penyembah bintang, mengingkari kisah musnahnya kaum ‘Aad, dan tuduhan-tuduhan negatif lainnya. Selain itu karya-karya Ibnu Rusyd juga banyak yang redaksinya dirubah, lalu dibacakan di majelis-majelis pengajian sehingga keterangan dari Ibnu Rusyd terkesan menyimpang dan bertolak belakang dengan syari’at.
Provokasi itu kemudian diterima oleh penguasa, khalifah Abu Ya’qub. Khalifah menganggapnya sebagai kebenaran lantaran banyaknya ulama-ulama yang mengiyakan. Atas dasar itu akhirnya Abu Ya’qub menjatuhkan vonis terhadap Ibnu Rusyd berupa diasingkan ke luar Andalusia dan semua karya-karyanya dibakar.
Konteks Sosio-Historis Wacana Dari Ibnu Rusyd
Sebelum Ibnu Rusyd (520 H-595 H) menyerukan umat Islam berfilsafat, sejarah telah mencatat nama Abu Hamid al-Ghazali (450 H-505 H) sebagai pemikir yang mengharamkan filsafat dan mengkafirkan para filsuf. Salah satu karya Al-Ghazali yang berjudul “Tahafut Al-Falasifah” setidaknya cukup menjadi saksi sejarah “pertikaian” pemikiran dalam khazanah Islam.
Syahdan, tak baik jika membaca sebuah karya tanpa memperhatikan ruang sosial yang melahirkanya, termasuk di dalamnya motivasi pemilik karya dan sasarannya. Demikian juga dengan karya-karya al-Ghazali. Muhammad Abid Al-Jabiri, dalam pendahuluan buku Fashl al-Maqal karya Ibnu Rusyd, mengatakan, Al-Ghazali adalah ideolog kekuasaan as-Saljuqiyah (Dinasti Seljuk).
Dinasti Seljuk saat itu sedang menghadapi pergolakan politik nasional yang disebabkan oleh gerakan kelompok Bathiniyah. Dalam rangka menghadapi gerakan itu, penguasa Seljuk membangun Madrasah An-Nidhamiyah dengan menjadikan madzhab Asy’ari sebagai ideologinya atau bisa disebut dengan “madzhab resmi kekuasannya”. Di tempat ini Al-Ghazali diangkat menjadi guru besar untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang sesuai dengan misi Dinasti; “memperteguh keimanan bangsa dengan madzhab Asy’ari”, kira-kira begitu slogannya.
Di sini lah buah pikir al-Ghazali yang rata-rata berisi tentang penguatan terhadap teologi Asy’ariyah seperti “Al-Iqtishad fî al-I’tiqad” dan kritiknya terhadap paham Bathiniyah seperti “Fadla’ih Al-Bathiniyah” dan kritiknya terhadap filsafat seperti “Tahafut Al-Falasifah” dan “Maqashid al-Falasifah” dapat dipahami dan “dimaklumi”.
Lain ladang lain belalang, lain hati lain perasaan. Menurut al-Jabiri, Andalusia sejak dikuasai Dinasti Al-Murabithin (453 H) lebih didominasi oleh sarjana-sarjana hukum Islam (fuqaha’) yang konservatif dan mengekang kebebasan berpikir.
Fuqaha’ ini berhasil menguasai parlemen, sehingga kebijakan Dinasti kerap melukai para pemikir. Alih-alih dengan tuduhan bertentangan dengan agama, tidak sesuai dengan Al-Quran, dan seterusnya.
Hal ini terus berlangsung hingga lahir sosok yang tak mengenal rasa takut, manusia yang tak pernah bosan menyampaikan kebenaran walaupun pahit, orang yang merindukan kebebasan berpikir demi membangun peradaban ketimbang memenuhi syahwat kekuasaan; Abu al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd, alias Ibnu Rusyd Al-Hafid.
Di sinilah karya-karya Ibnu Rusyd harus didudukkan, “Tahafut At-Tahafut”, “Al-Kasyfu ‘an Manahij Al-Adillah”, “Fashl Al-Maqal fî Taqriri Ma Baina asy-Syari’ati wa al-Hikmati mina al-Ittishal”, dan yang lainnya. Jadi, Ibnu Rusyd menghadirkan kitab “Fashl al-Maqal” sebagai ikhtiyar menyadarkan mutakallimin dan fuqaha’ yang memasung akal demi memenuhi syahwat politik. Agama hadir menyapa manusia untuk mendayagunakan akal pikiran demi meraih kebenaran.
Sebagaimana agama, filsafat juga dapat mengantarkan manusia ke jalan yang benar dengan mengfungsikan akal-pikirnya sebagai anugerah dari Tuhan.
Dalil naqli Al-Quran dari Ibnu Rusyd
Tidak seperti al-Ghazali yang mengharamkan filsafat dan mengkafirkan filsuf, Ibnu Rusyd dalam Fashl al-Maqal justru mewajibkannya. Bagi Ibnu Rusyd, umat Islam wajib berfilsafat, atau minimal dianjurkan (an-nadb).
Perintah agama untuk berfilsafat ini berdasarkan pada dua argumen;
Pertama, aktifitas filsafat adalah memperhatikan (memikirkan) alam semesta. Dengan memikirkan semesta maka akan mengetahui Tuhan yang menciptakannya. Jika pengetahuan tentang ciptaan dapat diraih dengan sempurna, maka pengetahuan akan Tuhan juga akan lebih sempurna.
Kedua, dalam Al-Quran banyak ayat yang menyeru umat Islam supaya mendayagunakan akal pikirnya, seperti dalam QS. Al-Hasyr 2, QS. Al-A’raf 185, QS. Al-Ghasyiyah 17, dan yang lainnya.
Mengfungsikan akal untuk memikirkan ciptaan (al-i’tibar fî al-maujadat) yang diserukan dalam ayat-ayat Al-Quran di atas adalah menggali sesuatu yang belum diketahui (Tuhan) dari sesuatu yang sudah diketahui (semesta). Hal demikian dinamakan dengan analogi (qiyas).
Jika demikian, maka memerankan akal melalui logika analogi (al-qiyas al-‘aqli) adalah hal yang niscaya.
Bagi Ibnu Rusyd, perintah menggunakan al-qiyas al-‘aqli justru terdapat dalam ayat yang digunakan oleh fuqaha sebagai dasar kewajiban menggunakan analogi dalam menggali hukum Islam (al-qiyas al-fiqhi), yaitu QS. Al-Hasyr 2.
Menggunakan al-qiyas al-‘aqli juga bukan bid’ah, karena andai ini bid’ah, maka menggunakan al-qiyas al-fiqhi juga bid’ah. Keduanya pada masa Islam awal sama-sama tidak ada.
Melalui argumentasi di atas, Ibnu Rusyd sedang berusaha mematahkan pendapat yang mengharamkan filsafat dengan menggunakan pijakan ayat dan logika berpikir yang sama. Yaitu, sama-sama mengikuti perintah agama. Dalam bahasa yang sederhana; Bagaimana mungkin berfilsafat dilarang agama, sementara agama sendiri, baik melalui ayat-ayatnya yang terdapat dalam Al-Quran maupun ayat-ayatnya yang terdapat di jagat raya, memerintahkan umat manusia untuk mendayagunakan akal pikirnya (berfilsafat). Jelas tidak mungkin. Yang ada adalah agama mewajibkan manusia perpikir menggunakan akalnya (berfilsafat).
Dalil ‘aqli dari Ibnu Rusyd
Dalam kitab Fashl al-Maqal Ibnu Rusyd mengatakan, agama telah mendorong pemeluknya untuk berfilsafat. Karenanya, pengetahuan tentang macam-macam analogi (qiyas), syarat-syaratnya, dan semua hal yang berkaitan dengan aktivitas berfilsafat harus diketahui terlebih dahulu. Ibarat orang hendak bekerja, maka peralatan pekerjaan harus ia miliki.
Jika dalam pekerjaan mencangkul petani harus punya cangkul, maka dalam pekerjaan akal seseorang harus mengetahui semua hal yang berkaitan dengan aktivitas berpikir, seperti macam-macam qiyas; al-qiyas al-burhani (analogi demonstratif), al-qiyas al-jadali (analogi dialektik), al-qiyas al-khithabi (analogi retorik), al-qiyas al-mughalathi (logical fallacy), tentang al-muqaddimat-nya (premis mayor-premis minor), dan yang lainnya.
Pertanyaannya kemudian, apakah umat Islam harus merumuskannya sendiri dengan memutus mata rantai keilmuan tentang hal ini yang sudah lama diteliti dan dipikirkan para filsuf terdahulu, atau mengambil darinya sebagaimana yang ditegaskan nabi Muhammad dalam salah satu sabdanya: “Hikmah (baca: filsafat) adalah barang hilang milik orang yang beriman, jika ia menemukannya maka ia lebih berhak mengambilnya (al-kalimah al-hikmah dlallatu al-mu’min, haitsu wajadaha fahuwa ahaqqu).” Dalam redaksi lain dikatakan; “Ambillah hikmah meskipun dari orang munafiq (fa khudz al-hikmata walau kânat min ahli an-nifaq).”
Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan tentang logika analogi (al-qiyas al-‘aqli) sebagai metode untuk menggali “pengetahuan yang belum diketahui (al-majhul)” dari “pengetahuan yang sudah diketahui (al-ma’lum)” sudah diteliti dan dirumuskan oleh para filsuf terdahulu (al-qudama’), sehingga mengambil keterangan darinya menjadi keharusan bagi umat Islam.
Logika analogi adalah alat untuk “menggali Tuhan”. Jika fuqaha’ mengharamkannya lantaran ilmu tersebut sebagai buah karya orang-orang terdahulu yang tidak beragama Islam, maka tidak tepat. Karena justru dengan menggunakannya, pengetahuan akan Tuhan lebih terang benderang dan lebih memantapkan keimanan.
Sebagai argumentasi untuk mematahkan alur berpikir fuqaha’, Ibnu Rusyd menganalogikan posisi “al-qiyas al-‘aqli” sebagaimana “pisau” untuk menyembelih binatang. Fuqaha’ memperbolehkan menggunakan pisau milik orang yang tidak seagama untuk menyembelih binatang. Dengan demikian “al-qiyas al-‘aqli” pun yang posisinya tidak lebih sebagai “alat” seharusnya fuqaha’ memperbolehkannya, bahkan wajib.
Di sinilah Ibnu Rusyd hadir sebagai pemikir inklusif yang tidak tebang pilih dalam menerima ilmu. Baginya, selama itu benar maka harus diterima. “Fa in kana kulluhu shawaban qabilnahu minhum, wa in kana fîhi ma laisa bi shawâbin nabbahna ‘alaih (Apabila semua yang disampaikan benar maka kita harus menerimanya, jika yang disampaikannya mengandung kesalahan maka kita harus mengingatkannya).”
Adab berfilsafat dalam Islam menurut Ibnu Rusyd
Memutus mata rantai keilmuan untuk menciptakan pengetahuan sendiri adalah keangkuhan yang tak masuk akal. Jika “ilmu” sudah dipikirkan oleh generasi terdahulu (al-mutaqaddim), maka generasi belakangan (al-muta’akhkhir) harus mengambil dan melanjutkannya. Ilmu masa lalu diterima jika sesuai dengan kebenaran, dan ditolak apabila salah sembari memaafkannya.
Dalam berfilsafat, umat Islam harus mengambil dari para filsuf masa lalu (al-qudama’) dengan mempelajari karya-karyanya. Berkaitan dengan ini, Ibnu Rusyd memberikan fatwa “wajib” kepada orang yang memiliki kapasitas tertentu untuk membaca buku-buku yang ditulis oleh al-qudama’.
Kapasitas dimaksud, yaitu; 1) Memiliki bakat dan kesiapan mengkaji filsafat (dzakâ`u al-fithrah). 2) jujur dan mencari kebijaksanaan/kebenaran (al-‘adâlah asy-syar’iyah wa al-fadlîlah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah).
Menurut Abid al-Jabiri, syarat pertama, yakni “dzakâ`u al-fithrah” merupakan syarat yang sudah dikenal di kalangan filsuf Andalusia. Ibnu Bâjah dan Ibnu Thufail sudah menggunakan istilah ini sebagai persyaratan. Mengkaji filsafat membutuhkan bakat dan kesiapan sebagaimana mempelajari sastra dan musik. Hal ini tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama.
Sedangkan syarat kedua, yaitu “al-‘adalah asy-syar’iyah wa al-fadlilah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah” merupakan syarat yang asing di kalangan filsuf. Menurut al-Jabiri, maksudnya adalah pembaca karya-karya filsafat yang ditulis oleh pendahulu harus memiliki sifat yang dalam bahasa sekarang dikenal dengan istilah “kejujuran ilmiyah (al-amanah al-‘ilmiyah)”. “Al-‘adâlah asy-syar’iyyah (adil menurut agama)” dalam hukum Islam (fikih) menjadi syarat sahnya persaksian (asy-syahadah). Yakni, orang yang bersaksi dapat diterima persaksiannya apabila memiliki sifat ini. Fuqaha’ mendefinisikannya dengan: “menjauhi dosa besar, menjaga diri dari dosa kecil, dan menjaga martabat.”
Maksud Ibnu Rusyd menggunakan istilah ini, yaitu “pembaca” karya filsuf masa lampau menempati posisi sebagai “saksi”, sehingga harus adil (tidak boleh menambah dan mengurangi keterangan), dan tidak boleh melibatkan hawa nafsu yang memunculkan sikap menerima dan menolak hanya berdasarkan kemauannya sendiri. Selain itu, istilah “al-‘adalah asy-syar’iyah” juga bermakna pemilahan dan pemilihan terhadap keterangan yang ditulis para filsuf terdahulu. Artinya, seseorang memposisikan dirinya sebagai “pembaca aktif” yang kritis terhadap keterangan-keterangan yang sebenarnya tidak pantas untuk disebut sebagai ilmu pengetahuan, terlebih terhadap pembahasan yang diharamkan agama, seperti ilmu ramalan, sihir, dan mantera.
Sedangkan maksud dari “al-fadlilah al-‘ilmiyah wa al-khuluqiyah” yaitu pembaca filsafat harus melepas semua kepentingan selain untuk mencari kebaikan, kebijaksanaan, dan kebenaran.
Dalam hal ini Ibnu Rusyd sedang merumuskan hukum belajar filsafat yang berbeda dengan fuqaha’ dan mutakallimin. Bagi Ibnu Rusyd, hukum “haram” belajar filsafat tidak bisa di-gebyah-uyah. Justru sebaliknya, ada di antara umat Islam yang diwajibkan oleh agama untuk mempelajarinya, yaitu orang yang memenuhi 2 persyaratan di atas.
Bantahan Ibnu Rusyd terhadap fuqaha’
Bagi fuqaha’ (pakar hukum Islam), membaca karya filsafat hukumnya haram. Fatwa ini ditanggapi serius oleh Ibnu Rusyd dengan memunculkan fatwa tandingan, yakni membaca filsafat bagi orang yang memiliki kapasitas tertentu hukumnya wajib.
Fuqaha’ melarang umat Islam membaca filsafat lantaran menganggap pembaca filsafat yang menurutnya “sesat” disebabkan oleh bacaannya (buku filsafat).
Bagi Ibnu Rusyd, argumentasi fuqaha’ ini selain tidak berdasar, juga ada kesalahan dalam mengambil konklusi hukum. Kesalahan dimaksud antara lain:
Pertama; Fuqaha’ telah menggeneralisir hukum, yakni siapapun tidak boleh membaca filsafat. Padahal, tidak semua orang yang membaca filsafat menjadi sesat. Justru sebaliknya, melalui filsafat seseorang dapat menemukan Tuhan dan lebih mantap mengimani-Nya.
Kedua; Fuqaha’ menetapkan alasan hukum haram berdasarkan sifat lain (‘aradl), bukan berpijak pada bentuknya (dzat). Artinya, pembaca filsafat yang dalam anggapan fuqaha’ “sesat” penyebabnya bukan karena buku filsafatnya (dzat), melainkan karena ada sebab lain (‘aradl). Sebab lain ini bisa karena pembaca tidak sistematis dalam berpikir (tidak mematuhi aturan logika berpikir), tidak ada guru yang mengajarinya, atau karena mengikuti hawa nafsunya sendiri, atau semuanya terkumpul menjadi satu pada diri seseorang.
Di sini letak kesalahan fuqaha’ dalam merumuskan hukum haram. Seharusnya, menurut Ibnu Rusyd, jika penyebab kesesatan terletak pada ‘aradl, bukan bermuara pada dzat, maka hukum dzat tidak boleh dilarang. Singkatnya, “sesat” itu disebabkan oleh hal lain, bukan disebabkan isi buku filsafatnya.
Dalam membahas ini, Ibnu Rusyd mengutip hadis nabi Muhammad: “Tuhan benar, perut saudaramu tidak benar (Shadaqallah, wa kadzaba bathnu akhika).” Hadis ini nabi sampaikan ketika ada salah satu sahabatnya mengadu penyakit diare yang dialami saudaranya. Sebelumnya, sahabat itu bertanya kepada nabi tentang obat diare. Nabi menjawab, minum madu. Setelah sahabat itu memberi minum madu kepada saudaranya yang sedang diare, bukan kesembuhan yang didapatkan, tapi malah bertambah parah. Setelah menerima aduan, nabi menjawab, yang salah bukan “obatnya”, tapi “perut saudaramu”.
Melalui kutipan hadis ini, Ibnu Rusyd hendak menegaskan, bahwa orang yang menurut fuqaha’ sesat sebab membaca filsafat, kesesatan itu bukan disebabkan oleh “buku bacaannya” tapi “orangnya”, yakni tidak mematuhi aturan yang berlaku.
Sembari menyindir sifat tercela fuqaha’ pada masanya, Ibnu Rusyd menunjukkan kerapuhan argumentasi fuqaha’ dengan mengatakan: “Banyak orang ahli fikih yang dengan fikihnya ia menjadi kurang menjaga diri dari barang yang tidak jelas halal-haramnya/syubhat (qillati tawarru’ihi) dan tersibukkan dalam urusan duniawi (khaudlihi fi ad-dunya), maka; apakah kemudian kita melarang fikih?”
Tentu tidak, orang yang dengan fikihnya menjadi tidak wira’i adalah kasus tertentu, dan itu disebabkan oleh sesuatu lain (‘aradl), bukan karena fikihnya (dzat).
Inilah Ibnu Rusyd, filsufnya para ahli fikih dan ahli fikihnya para filsuf, sangat teliti dalam memberikan hukum. Pembedaan antara “’aradl” dan “dzât” memiliki pengaruh yang sangat berarti bagi hukum yang diputuskannya.
Pendapat Ibnu Rusyd : “Agama dan filsafat saling menguatkan”
“Membaca karya filsuf terdahulu hukumnya wajib,” demikian kata Ibnu Rusyd. Lalu, apa yang harus diperbuat umat Islam apabila menjumpai keterangan tentang semesta dalam karya filsafat yang penjelasannya tidak didapatkan di dalam agama Islam (baca: Al-Quran)?
Ibnu Rusyd menjawab: Apabila keterangan tentang semesta tidak disampaikan oleh agama, maka hal itu harus diterima dan tidak ada persoalan di dalamnya. Status hukumnya sebagaimana status hukum Islam yang tidak dijelaskan Al-Quran, yakni hukum Islam yang dirumuskan melalui metode analogi (al-qiyas). Pun tak ada persoalan apabila keterangan dalam filsafat sesuai dengan makna literal teks agama.
Yang jadi persoalan, ketika pengetahuan tentang semesta yang ada di dalam filsafat berbeda atau bertentangan dengan bunyi ujaran Teks agama. Dalam hal ini, menurut Ibnu Rusyd, teks agama harus diinterpretasikan ke makna lain (ta’wil).
Ta’wil adalah mengeluarkan petunjuk kata; dari petunjuk hakikat ke petunjuk metafora berdasarkan pada kaidah-kaidah bahasa Arab dalam membuat kata-kata metaforis. Dalam istilah lain, ta’wil adalah memberi makna kosa kata dengan “makna lain” yang tidak diujarkan oleh teksnya, namun “makna lain” ini memiliki korelasi (‘alaqah) dengan makna literal teks.
Bagi Ibnu Rusyd, aktivitas demikian bukan bid’ah dan tak perlu ditakuti. Interpretasi demikian sudah lumrah di kalangan sarjana hukum Islam (fuqaha’) ketika menggali hukum Islam dari Teks agama. Teks agama di hadapan fuqaha’ tidak semuanya diartikan secara harfiyah. Bahkan, kata Ibnu Rusyd, semua umat Islam sepakat, bahwa semua teks agama tidak harus diberi makna sesuai dengan bunyi harfiyahnya. Pun demikian, tidak semua teks agama harus dikeluarkan dari makna literalnya. Perbedaan umat Islam hanya terletak pada wilayah; mana ayat yang bisa dita’wil (al-mu’awwal minha) dan mana yang tidak bisa (ghairu al-mu’awwal).
Lebih lanjut, dalam pembahasan tentang hukum ta’wil ini, Ibnu Rusyd mengatakan: “Kita harus memastikan, bahwa semua hasil penalaran logika yang makna literal teks agama berbeda dengannya, teks agama tersebut menerima untuk diinterpretasikan ke makna lain (ta’wil) berdasarkan pada aturan ta’wil bahasa Arab.”
Kendati demikian, bagi Ibnu Rusyd, teks agama tidak ada yang bertentangan dengan hasil penalaran akal. Apabila teks-Teks agama dipahami dengan lebih teliti, maka akan didapati makna lahiriyah teks ada yang menguatkan hasil pentakwilan.
Melalui pembahasan ini, Ibnu Rusyd berhasil mendamaikan agama dan filsafat yang oleh fuqaha’ dipahami sebagai dua hal yang saling berlawanan; agama membawa kebenaran, filsafat mengantarkan kesesatan.
Bagi Ibnu Rusyd, tidak demikian. Keduanya sama-sama dapat mengantarkan kebenaran. Kebenaran yang dibawa agama tidak bertentangan dengan kebenaran yang dilahirkan filsafat, begitu juga sebaliknya, karena kebenaran tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran, yang ada adalah; kebenaran dan kebenaran saling menguatkan (al-haqq la yadladdu al-haqq, bal yuwafiquhu wa yasyhadu lah).
Tinjauan ulang soal Ijma’
Bagi Ibnu Rusyd, ijma’ (konsensus) dalam bidang teologi dan filsafat tidak mungkin terjadi. Klaim “ijma’” dalam kedua wilayah ini hanya bersifat asumtif (dhanniy), bukan pasti (yaqiniy).
Beberapa argumentasi yang disampaikan Ibnu Rusyd dalam meruntuhkan klaim kepastian ijma’ ini antara lain: Ijma’ tidak mungkin terjadi kecuali; (1) Membatasi masa dan mengetahui semua ulama, baik person maupun jumlahnya yang akan dikatagorikan sebagai pihak yang telah sepakat (mujmi’un). (2) Semua ulama yang mengadakan ijma’ sepakat atas ketunggalan makna teks agama, yakni tidak memiliki makna luar (dhahir) dan makna dalam (bathin). (3) Tidak ada pengetahuan yang dirahasiakan. (4) Semua ulama menggunakan satu metode tertentu dalam ilmu agama.
Semua itu tidak mungkin. Sejak masa nabi, umat Islam melihat Teks agama memiliki makna ganda, yakni dhahir dan bathin. Pengetahuan makna bathin hanya menjadi konsumsi orang-orang tertentu yang memiliki kapasitas menyingkap tabir yang menutup bagian dalam makna teks agama. Karenanya, kata Ibnu Rusyd, Ali bin Abi Thalib pernah berpesan kepada sahabat-sahabatnya supaya berbicara sesuai dengan pengetahuan audiennya: “Hadditsu an-nasa bi ma ya’rifun (berbicarah kepada masyarakat sesuai dengan pengetahuannya).”
Jika demikian, maka dapat dipastikan informasi tentang pengetahuan yang dimiliki para sarjana muslim sejak generasi pertama, belum tentu menunjukkan kesepakatannya dalam persoalan tertentu. Bisa saja ada pengetahuan yang disimpan untuk konsumsi pribadi atau kalangan tertentu dan tidak disampaikan ke publik lantaran pemahaman publik tidak dapat mencernanya.
Berbeda dengan klaim ijma’ dalam filsafat dan teologi, dalam bidang hukum Islam yang bersifat praktis (al-‘amaliyat) kemungkinan terjadi ijma’ dapat diterima, karena bersifat kasat mata. Contohnya, pendapat tentang keharusan mengerjakan aktivitas tertentu (shalat, seumpama) yang sejak umat Islam generasi pertama dikerjakan dan tidak ada satu pun ulama yang berbeda dengan pendapat itu, maka klaim ijma’ dalam persoalan praktis ini dapat diterima. Tapi, sekali lagi, dalam wilayah filsafat dan teologi yang bersifat penalaran (al-‘ilmiyat) tidak pernah terjadi.
Dengan berdasarkan argumentasi ini, Ibnu Rusyd hendak menyampaikan bahwa seseorang boleh dan sah tidak sepakat atau berpendapat lain tentang persoalan keyakinan (baca: teologi dan filsafat) yang oleh sebagian pemikir telah diklaim sebagai “wilayah yang telah disepakati umat Islam (mujma’)” sehingga seorang pun tidak boleh melanggarnya.
Dalam pembahasan “La Ijma’a fî al-Masa’il an-Nadhariyah (Tidak Ada Konsensus dalam Persoalan Teoritis)” ini, Ibnu Rusyd mengutip pendapat Abu Hamid al-Ghazali dan Abu al-Ma’ali yang tidak mengkafirkan orang yang memberikan interpretasi lain dalam wilayah yang diklaim telah terjadi ijma.
Ibnu Rusyd membangun argumentasi ini untuk membela para filsuf muslim yang dituduh kafir lantaran mengeluarkan pendapat dan pemikiran yang tidak sama dengan pendapat mayoritas umat Islam. Melalui Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Abu al-Ma’ali, dan sarjana-sarjana muslim lainnya yang membidangi ilmu-ilmu teoritis, umat Islam dapat mengambil pelajaran tentang perlunya toleransi dalam menghadapi keberagaman pemikiran dan keyakinan, serta tidak mudah menyesatkan atau mengkafirkan.
Pendapat Al Ghazali yang sebenarnya
Abu Hamid Al-Ghazali dalam bukunya yang berjudul “Tahafut Al-Falasifah” menyatakan kafir terhadap Abu Nashr al-Farabi dan Ibnu Sina lantaran keduanya berbicara 3 persoalan yang tidak disetujui Al-Ghazali, yaitu; (1) keabadian alam semesta (qadm al-‘alam), (2) Tuhan tidak mengetahui hal-hal partikular (la ya’lamu al-juz’iyat), dan (3) kebangkitan jasad (hasyr al-ajsad).
Menurut Ibnu Rusyd, sejatinya Al-Ghazali tidak mengkafirkan keduanya. Pemahaman demikian dapat dibuktikan dalam karyanya yang lain, yakni “Faishal At-Tafriqah”, Al-Ghazali tidak menetapkan kafir terhadap orang yang menolak ijma’ (baca: konsensus ulama) dalam persoalan yang memiliki spekulasi makna.
Dalam hal ini, Ibnu Rusyd mendudukkan 3 persoalan metafisika itu ke dalam wilayah multi tafsir, sehingga pendapat Al-Farabi dan Ibnu Sina yang dianggap bertentangan dengan pendapat mayoritas umat Islam masuk dalam katagori pemaknaan lain (ta’wîl) yang tidak dapat mengantarkannya kepada kekafiran.
Ta’wîl, mengalihkan makna yang “tampak” ke makna yang lain, di tangan Ibnu Rusyd menjadi metodologi penting yang dapat menghalau sikap intoleransi dan konservatisme dalam beragama.
Bagi Ibnu Rusyd, pengetahuan tentang ta’wîl ini menjadikan pemiliknya mendapatkan kedudukan istimewa dalam tingkatan keimanan. Imannya pemilik ilmu ta’wil dihasilkan dari jeripayahnya dalam mendayagunakan akal pikiran, sementara imannya orang awam hanya berlandaskan pada hasilnya. Karenanya, meskipun kedua golongan itu (orang yang mengerti ta’wil dan orang yang hanya membebek) sama-sama disebut Allah dalam Al-Quran sebagai “orang-orang yang beriman (mu’minun)”, namun keduanya dibedakan dalam taraf keimanannya.
Melalui telaah 2 karya Al-Ghazali, “Tahafut Al-Falasifah” dan “Faishal At-Tafriqah”, dalam bab “Takfir Al-Ghazali al-Falasifata Mas’alah fî ha Nadhar (Pengkafiran Al-Ghazali Terhadap Filsuf adalah Persoalan Yang Perlu Ditinjau Kembali)” Ibnu Rusyd hendak menyatakan bahwa Al-Ghazali pada dasarnya tidak mengkafirkan Al-Farabi dan Ibnu Sina, karena pendapat kedua filsuf muslim kenamaan itu berdasarkan pada pendayagunaan akal pikiran terhadap persoalan yang memiliki kemungkinan-kemungkinan makna.
Belajar dari Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd, seorang muslim tak boleh gampang mengkafirkan saudaranya meskipun memiliki pendapat yang sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran yang menurut mayoritas umat Islam sudah “terkunci”.
Komentar
Posting Komentar