Tuhan atau Allah itu sebenarnya Ruang, karena inilah Allah masuk kategori ketidakdiketahuian meski nama-Nya ada. Inilah sebab Tuhan akan selalu berbeda baik secara gagasan teologi maupun pikir individual.
Kebudayaan akan memanifestasikan keyakinan masyarakat menjadi gejala virtual dalam kesadaran menjadi fenomena mistik dan metafisika sehingga lahirlah mitos-mitos. Yang demikian juga terjadi pada skala pikir individual sehingga Keyakinan maujud menjadi sensasi dalam kesadaran.
Demikianlah yang menyebabkan bentuk teologi dalam suatu masyarakat memiliki citra karakter masyarakat itu sendiri. Karena ini juga suatu gagasan tentang Tuhan seringkali menjadi pertentangan karena masuknya suatu paham keagamaan tidak cocok dengan karakter budaya masyarakat yang didatangi.
Mungkin dari pemahaman yang demikian orang bisa menjadi bertanya :
"Jadi, apakah Tuhan itu ciptaan manusia sendiri ?". Bila saya menjawab dengan konteks budaya tentu saja jawaban saya adalah
"Iya. Meski orang religius akan menjadi takut atau marah dengan pemahaman seperti ini, akan tetapi saya masih bisa memberi peluang kegembiraan bagi mereka penggemar Tuhan secara doktrinal maupun dogmatis, Bila kita menggunakan pertanyaan mundur siapakah penyebab dari segala sebab ?, tentu tidak ada yang tau, maka silahkan itu diyakini sebagai Core dari segala realitas yang disebut sebagai Tuhan atau Allah !".
Dengan demikian saya katakan bila sebenarnya dalam konteks budaya bahwasanya Tuhan adalah bentuk dialog antara manusia dengan obsesi dirinya sendiri, karena ini jugalah Tuhan menjadi nilai idealisme bagi aneka macam gagasan yang bisa dipikirkan oleh manusia ketika manusia berhadapan dengan ketidakdiketahuian dan masih punya harapan yang baik dalam pikiranya.
Ketika obsesi dipahami sebagai Manfaat, maka Tuhan bernilai positif sehingga manusia sebenarnya menuhankan manfaat tidak ada yang lain bila manusia berani jujur, karena inilah ada keyakinan tentang pahala dan surga sehingga manusia berharap kebaikan atau surga bagi kehidupan selanjutnya bila diyakini itu memang ada.
Ada juga gagasan yang menyatakan bila Tuhan tidak harus bermanfaat dengan alasan menata kejiwaannya agar lebih baik (tulus), maka sebenarnya yang demikian tidak jauh berbeda, sebab, tulus dan kalbu yang baik juga merupakan manfaat entah bagi diri sendiri terlebih orang lain.
Jadi apakah Tuhan adalah buatan manusia itu sendiri?, saya menjawab :
"Tuhan bukan sekedar tujuan, jadi, belumkah anda berpikir bila Tuhan bekerja melalui anda ?". Lalu bila ditanyakan lagi bila Tuhan bekerja melalui manusia, kenapa manusia saling bertentangan ?. Saya menjawab :
"Apakah anda ingin membuat analogi keesaan Tuhan dengan kedirian anda sebagai seseorang ?, maka bila begitu benarlah Tuhan telah menciptakan anda, tetapi anda bukanlah saya, dia, atau bahkan mereka, bukankah anda melihat mereka juga ada dan memiliki kehendak masing-masing yang berlainan ?. Jadi benaralah bila dikatakan bila Tuhan Semesta Alam sebagai pengenalan kosmologi universal bagi segala sesuatu sebagai ketunggalan dalam realita hidup. Jadi, bila anda heran dengan adanya pertentangan maka jawabnya kita mesti kembali meneliti obsesi diri kita masing-masing"
Saya katakan bila dengan pemahaman Tuhan berkarya melalui makhluk-Nya apakah ini bukan suatu pemahaman yang bisa membahayakan karena bisa jadi semua orang mengaku menjadi Tuhan atau agen Tuhan kemudian berbuat zalim ?. Maka jawabannya adalah itu hal yang sama saja dalam pemahaman bila Tuhan sebagai tujuan, kita juga melihat sesama manusia membunuh manusia lain dengan alasan mencari ridha atau surga Tuhan dengan ketaatan model pembunuhan seperti itu. Jadi letak persoalannya bukan ada pada model teologi yang dianut akan tetapi pada obsesi yang orang yang mempercayai Tuhan itu sendiri.
Demikian adalah jawaban saya secara religiusitas atau mungkin juga spiriualitas.
Adapun jawaban secara filsafat dan fenomena sosial saya katakan bila Tuhan memang suatu ruang kosong dimana para penganut mengisi ruang kosong itu dengan aneka karakter yang muncul dari gerak sosial menurut kebudayaan yang tumbuh dalam suatu kawasan tertentu. Dengan demikian Tuhan tidak lepas dari dualitas baik-buruk meski akan selalu ditentang pemahaman ini karena alasan keesaan dan pemulyaan dan pengagungan gagasan itu sendiri.
Akan tetapi setidaknya secara ringkas bisa kita katakan bila Tuhan sebenarnya masalah kosmologi. Bila seseorang (individual) memilih Tuhan dalam bentuk kosmologi universal dan dalam penghayatan kesadaran kosmologikal dalam hidup tentu orang seperti itu memiliki cakrawala kesadaran yang lebih baik dibanding orang yang memilih fokus pada kosmologi kesadarannya kepada buku-buku doktrin karangan orang-orang tertentu. Sebab, bila sudah ditulis dalam buku artinya tulisan itu memiliki muatan tujuan yang tidak personal lagi, yaitu masalah politik, atau serendah-rendahnya persoalan bisnis.
Komentar
Posting Komentar