Manusia Supra-Modern dan Tuhan di Masa Depan
Kiamat bermakna Hari Kebangkitan, dan sama sekali bukan soal hari kehancuran
Sejak zaman pra-modern Dewa atau Tuhan adalah obyek untuk diprotes keberadaan mereka karena perilaku atau perintah mereka yang tidak mendukung kemanusiaan. Karena inilah muncul tokoh-tokoh perlawanan di segala kebudayaan sehingga konsep teologi terbaharui.
Mulai era animisme dinamisme, kemudian berubah menjadi pagan politheisme, kemudian berubah menjadi montheisme. Saya masih percaya bila gagasan tentang Tuhan akan terbaharui meski dinyatakan dalam dogma agama (Islam) tak akan berubah lagi karena kronologi sudah final sehingga bahasan eskatologi menjadi batasan peradaban monotheisme.
Konsep Tuhan Tunggal saya prediksi akan terbaharui menjadi “Tuhan tak terbilang”. Tentu ini adalah gagasan yang sudah tidak melibatkan antropomorfisme sehingga era teologi masa depan akan mudah terhubung dengan kosmologi sains dimana sains memang bicara kenyataan yang ada, bukan dogma yang berdasar mitos.
Tuhan tak terbilang sebenarnya sudah ada gagasan itu sejak periode abad yang lampau meski tidak populer, dan tidak juga dianggap sesat bertentangan dengan Islam. Gagasan Tuhan tak terbilang biasa dianut kaum mistik tasawuf dan sejenisnya. Mereka lebih bisa menerima konsep Tuhan tak terbilang karena memulai bahasan dari pemahaman filsafat dan pengalaman mistik sehingga Tuhan tidak terwadahi dalam suatu dimensi atau bentuk tertentu.
Jadi, sebenarnya ketika Tuhan masih berupa obsesi dan tujuan Dia akan selalu dalam bentuk antropomorfisme karena adanya kebutuhan pemahaman yang bisa dicerna. Akan tetapi itu hanyalah salah satu bentuk komunikasi dasar dari yang lain. Bisa juga Tuhan bukan tujuan lagi akan tetapi berupa Kebersamaan, atau bahkan Keberdidalaman (peliputan). Karena itu juga digambarkan dalam Al Qur'an bila ada Lii, Bii, dan Fii, dalam arah komunikasi.
Ketika gagasan teologi sudah lebih memihak kekuasan politik yang tiran aneka gejolak kemanusiaan akan muncul yang intinya hendak menyoal teologi itu sendiri. Seperti penuhanan Fir'aun yang kemudian muncul gagasan teologi yang baru dan membela mereka yang tertindas disebabkan oleh konsep dan sistem itu.
Sedangkan zaman ini sungguh berbeda. Sebab, diyakini Islam sebagai batas wahyu dan zaman sehingga gagasan untuk pembaharuan teologi lebih banyak mengalami kendala dibanding era zaman sebelumnya. Tetapi hal ini bisa menjadi lebih ekstrim ketika ternyata Islam sebagai monotheisme terakhir tidak bisa membendung opini kemanusiaan yang muncul sehingga gagasan monotheisme itu sendiri menjadi gagasan yang sepenuhnya ditinggalkan sehingga manusia mencari bentuk gagasan Tuhan yang lain dan sepenuhnya baru.
Bila dengan pemahaman seperti ini bisa membuat kesimpulan bahwa Tuhan hanyalah ciptaan manusia berkenaan dengan obsesi tentang idealisme yang dianggap bisa menampung segala konteks untuk diterima secara umum, lalu, bagaimana dengan eksistensi alam semesta, jiwa, dan aneka bentuk beragam yang ada dalam jagad ciptaan ini ?, apakah manusia yang menciptakan mereka ?. Tentu tidak jawabnya.
Jadi, Tuhan yang diluar semua yang dikonsepkan oleh manusia memang ada, hanya saja teologi yang dikembangkan oleh manusia selalu berkembang menurut peradaban yang ada. Maka teologi adalah upaya untuk membahasakan Tuhan. Tetapi tentu saja upaya ini tidak bisa mewakili keseluruhan dari hakikat ketuhanan itu sendiri.
Sebenarnya ada kaitan antara monotheisme dengan gagasan Tuhan tak berbilang, yaitu mereka memandang dari upaya pembahasaan yang lebih lembut dikarenakan pemahaman filsafat. Tuhan Tunggal atau monotheisme dipandang sebagai upaya penyatuan segala gagasan dimulai dari sudut pandang kosmologi sehingga ada penyeragaman universal gagasan tentang Tuhan. Akan tetapi terkadang gagasan Tuhan Tunggal kadang berbenturan dengan kaidah beberapa keilmuan dan keterbatasan upaya pembahasaan sehingga dari sinilah gagasan Tuhan tak berbilang muncul sebagai Update Teologi monotheisme.
Sebenarnya dalam Islam antropomorfisme masih digunakan seperti ungkapan Wajah Allah, Tangan Allah, bahkan sebagai pemuda Amrad yang ada terdapat dalam hadis-hadis tertentu. Bahkan apa yang di imani sebagai Hari Pengadilan Akhirat juga masih memiliki konotasi antropomorfisme.
Mestinya memang Tuhan universal segala jagad tidak terpisah-pisah menurut gagasan, kebudayaan, sistem moral, atau sekedar politik institusi agama. Tuhannya batu sama dengan Tuhannya virus flu, Tuhannya planet Saturnus sama dengan Tuhan kucing piaraan saya. Tuhan galaksi Andromeda sama dengan Tuhannya Saddam Husein, dst. Akan tetapi pemisahan antar dimensi memang juga merupakan kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri.
Tetapi kenapa bahasan Tuhan ini justru menjadi bahan konflik kemanusiaan sejak zaman. pra-modern. Bisa jadi sesungguhnya mereka yang membahas Tuhan seperti iu belum bisa menghayati makna keyakinan mereka sendiri. Tuhan hanya menjadi obyek dugaan yang dianggap final kebenaran yang harus diterima oleh semua orang melalui konsep yang dia kembangkan. Padahal, tidak usah dikonsepkan Tuhan selalu menjadi eksistensi di segala dimensi.
Jadi, memang ada Tuhan yang memang asli pencipta segala sesuatu, dan tuhan yang sekedar konseptual hasil dugaan karena keterbatasan pembahasaan oleh orang yang berusaha mencernanya dan kebetulan dia seorang yang kuasa atau punya pengaruh dalam kehidupan sosial. Kemudian hasil ijtihadnya itu menjadi doktrin yang percaya banyak orang. Tuhan yang teologi itulah yang sudah selayaknya ditentang seperti yang saya maksudkan diatas tadi. Biasanya Tuhan yang teologi inilah pemicu konflik sejak zaman pra-modern itu.
Tujuan menentang Tuhan hasil teologi itu sendiri sebenarnya untuk semakin menyelaraskan dengan Tuhan Pencipta segala sesuatu. Sebab, hasil suatu konsep dari seseorang atau kebudayaan pasti akan mengalami kadaluarsa. Semakin kadaluarsa suatu teologi akan semakin membuat konflik kemanusiaan melalui agama.
Lalu, bagaimana kita bisa tau Tuhan yang sesungguhnya ?. Ini memang hal sulit, hanya saja rasa nilai keumuman kemanusiaan bisa dipakai. Pluralitas harus dipahami bukan saja diantara manusia, akan tetapi lintas makhluk termasuk binatang dan tumbuhan, karena inilah sains akan memiliki nilai yang mendukung gagasan agama karena wilayah sains sudah memiliki data cukup akurat dalam eksplorasi makhluk hidup.
Sehingga dari sini kita bisa katakan bila Tuhan memang hadir melalui kekuatan jiwa. Dengan jiwa itu juga Tuhan dapat dipahami. Sedangkan Tuhan hasil teologi adalah upaya akal manusia untuk membahasakan konsepsi dengan batasan intelektual, budaya setempat dan tingkat peradaban yang sedang terjadi.
Perlawanan terhadap Tuhan teologi inilah yang sebenarnya merupakan update teologi sehingga tokoh-tokoh tertentu muncul dan menjadi figur utama dalam keyakinan agama baru. Demikianlah para nabi dianggap pembuat bid’ah oleh ajaran agama sebelumnya. Yang demikian terjadi juga pada kebudayaan Yunani dan Hindustan meski memiliki corak yang berbeda akan tetapi pembaharuan keyakinan itu muncul.
Lalu benarkah Islam sebagai batas waktu peradaban modern yang kita kenal saat ini ?. Secara eskatologi Islam hal itu benar. Tetapi saya pribadi memiliki keyakinan bila pasca era monotheisme Islam bumi tidaklah hancur sepenuhnya. Bisa jadi memang terjadi kepunahan, hanya saja itu tidak sampai merusak planet bumi kita ini secara total.
Kiamat itu sendiri sebenarnya artinya adalah Hari Kebangkitan, bukan hari kehancuran. Mungkin kiamat Islam adalah Kiamat Ajaran Islam, sehingga ajaran Islam hilang sepenuhnya termasuk pengaruh-pengaruh yang ada sehingga apa yang sudah dicapai oleh manusia modern musnah. Tetapi bisa jadi masih menyisakan beberapa kekuatan pembangkit peradaban yang sepenuhnya baru, entah era itu ada istilah agama atau tidak, akan tetapi itu adalah era dimana manusia baru yang telah belajar dari kelamnya sejarah kemanusiaan dari era peradaban sebelumnya.
Bila kita merujuk pada Al Qur’an tentang hal ini, maka inilah ayatnya :
قَالَ فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ
“ Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan ”. (QS 7: 25)
Meski dalam ayat ini tidak menggunakan kata “tub’atsuun” tetapi “tukhrajuun” yang memiliki sedikit perbedaan makna akan tetapi dalam hal ini memiliki pemahaman yang sama, yaitu, manusia dibangkitkan dari tanah (bumi). Dalam dogma Islam hal ini adalah kebangkitan pasca kematian secara global sehingga dia harus menghadapi hari-hari akhirat. Dari sini kita pahami bila akhirat itu sebenarnya juga terjadi di bumi yang kita pijak sekarang ini dimana kita hidup dan mati. Artinya, bumi sebenarnya tidaklah rusak, dia tetap ada meski ada keguncangan kosmik entah itu karena bencana alam super dahsyat, atau karena perang yang menggunakan senjata yang sangat merusak, atau karena eksplorasi manusia sudah melampaui ambang batas. Hanya Allah yang tau.
Saya memang tidak membahas hal metafisika agama soal akhirat dan proses-proses yang akan terjadi karena saya memang tidak membahas dogma Islam. Saya memandang dari perspektif peradaban yang mungkin akan muncul pasca peradaban monotheisme dengan kesesuaian gagasan Islam itu sendiri. Jadi, bila kita nilai dari sudut pandang ini bumi masih ada dan muncul peradaban baru.
Dikatakan bila manusia memiliki fitrah religius, lalu bagaimana bentuk religiusitas dan spiritualitas manusia Supra-modern ?. Kita tidak tau. Tetapi bila dikatakan era agama sudah selesai dengan kehancuran dan ada kebangkitan baru apakah tidak mungkin ada wahyu lagi ?, atau wahyu terakhir memang dibawa oleh Muhammad s.a.w. sehingga manusia peradaban Supra-modern menggunakan gagasan dan komunikasi baru dan sama sekali berbeda dari yang sudah kita pahami saat ini. Itu juga mungkin.
Untuk sementara ini bisa kita pahami ada empat pilihan untuk membentuk peradaban (1) Naturalis, (2) Dogmatisme keyakinan, (3) Spiritualitas, (4) Sainstifik. Saat ini kita sudah memiliki hal itu dan mengalaminya juga, sedangkan dogmatisme keyakinan itulah yang kebanyakan menimbulkan cedera kemanusiaan. Lalu apa yang akan dipilih oleh manusia Supra-modern kelak. Saya menduga kalau tidaklah Spiritualitas mungkin Saintifik atau penggabungan keduanya. Alasannya adalah, suatu kehancuran secara besar-besaran tentu lingkungan alam telah mengalami kerusakan parah, artinya poin nomer satu kemungkinannya kecil. Sedangkan bila kehancuran peradaban modern terjadi karena faktor politik dan agama maka generasi transisi saat itu juga tidak akan memilih poin nomer dua karena ada semacam trauma mendalam dalam kemanusiaan soal politik dan agama. Maka poin nomer tiga menjadi kemungkinan kejiwaan karena manusia mengalahi kondisi yang sangat sulit dikarenakan kerusakan planet bumi. Sedangkan poin nomer 4 muncul karena semangat kemanusiaan yang telah tertanam sejak peradaban pra-modern. Maka bisa jadi setelah mengalami proses ribuan tahun yang berbasik Spiritualitas dan Saintifik mereka mampu membangun peradaban yang jauh lebih tinggi dibanding peradaban modern kita saat ini. Dan mungkin itulah Surga dalam istilah agama yang kita kenal saat ini.
Kembali pada soal teologi. Lalu bagaimana dengan Tuhan ?. Saya menjawab kepada anda sebagai orang yang beragama dengan pertanyaan : “Apakah eksistensi Tuhan hanya dalam agama saja” ?. Saya percaya anda akan menjawab : “Tidak”. Nah, itulah saya katakan dari awal bila ada tiga macam bentuk komunikasi soal Tuhan yang sudah kita kenal saat ini, yaitu Lii dimana Tuhan menjadi tujuan, kemudian, Bii dimana Tuhan menjadi kebersamaan, Kemudian, Fii dimana Tuhan yang meliputi. Kata-kata Lii, Bii, Fii ini lazim dalam bahasa Arab dan Al Qur’an, dan bagi penganut ajaran sufi bukanlah hal asing lagi dengan bentuk komunikasi yang menjadi basik pemahaman psikologi mereka.
Jadi, bisa kita katakan bila hampir keseluruhan perspektif agama (secara syariah) adalah Lii. Kita katakan saja bila alam pikir agama dalam waktu peradaban saat ini adalah dalam konteks Lii dimana Tuhan menjadi tujuan orang beragama. Manusia mencari Tuhan dan karunia-Nya. Kita anggap hal itu sebagai perspektif umum tentang agama secara global. Cara kesadaran seperti mungkin akan ditinggalkan, dalam artian, kesadaran yang fokus dengan cara Lii ini terbukti tidak lengkap sehingga seringkali menimpulkan kekeliruan komunikasi dan mengakhibatkan konflik mulai gagasan (pemikiran) hingga fisik karena adanya pertentangan tujuan dan perebutan obyek.
Maka sangat mungkin bila manusia Supra-modern adalah manusia bijak sehingga dari pengalaman peradaban yang begitu pahit sebelumnya mereka mengembangkan bentuk komunikasi yang terbaharui juga. Update bentuk dasar komunikasi ini pasti akan mempengaruhi cara pikir dan respon manusia terhadap lingkungan yang ada, termasuk mempengaruhi kondisi psikologi dan spiritual serta potensi-potensi manusia yang tersembunyi lainnya, sebab, sebenarnya manusia adalah makhluk yang sangat dinamis, karena inilah manusia bisa membangun peradaban meski beberapa kali sudah pernah mengalami kepunahan. Tentu saja bila dalam bahasan peradaban adalah bahasan antar kebudayaan dan dalam cakupan global dalam rentang sejarah yang sangat panjang mulai ribuan hingga jutaan tahun yang lalu, dan bukan bahasan suatu kaum tertentu seperti yang banyak dipikirkan oleh orang beragama yang dangkal pikiran mereka.
Ada juga kemungkinan bila manusia Supra-modern juga menguasai teknologi yang jauh lebih maju. Faktornya adalah, kalau kita melihat laju peradaban ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor penyimpanan data. Kita mungkin takjub dengan perkembangan sains dan teknologi modern saat ini, padahal teknologi yang dikembangkan dari sains saat ini baru berusia beberapa ratus tahun saja, dan itu diperoleh dari penyimpanan data ilmiah yang kurang kuat dan tidak begitu akurat, meski demikian hasilnya sudah cukup menggembirakan. Lalu bagaimana bila manusia Supra-modern kelak membangun sains dan teknologi dari penyimpanan data ilmiah manusia saat ini dimana metode yang digunakan sudah maju dan jauh lebih baik, belum ditambah lagi pengalaman intelektual yang sudah terbentuk, maka untuk kebangkitan lagi sudah memiliki bekal dan tidak memulai dari awal lagi meski upaya sungguh akan sangat berat karena kerusakan yang parah. Tetapi dari sini juga kita bisa melakukan taksiran bila seberapa peradaban dan teknologi yang tersisa pasca bencana global itu akan mempengaruhi kualitas dan kecepatan kabangkitan manusia Supra-modern yang akan datang.
Lalu dimanakah Tuhan ?. Mungkin Tuhan sudah tidak butuh agama lagi untuk disembah, sebab, Tuhan akan bersama manusia dalam kesadaran mereka masing-masing.
Komentar
Posting Komentar