Orang bodoh menjadi tolok ukur?


https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/v/t1.0-9/14955880_1131486610280449_388797715022703205_n.jpg?oh=df75a7e37e21953a1806f6097bb8b629&oe=58892FD2

Seringkali di sosial media maupun ruang publik lain bahwasanya yang menjadi tolok ukur adalah orang bodoh. Ini adalah gejala masyarakat dengan SDM buruk. Bila ingin maju kita harus merubah kenyataan ini pada titik keseimbangan sehingga aktivitas opini, dan pemikiran bisa bergerak menjadi lebih baik. Merasa kasihan itu baik, tetapi kita mesti bisa membedakan mana "Awam" dan mana "Bodoh". Orang awam adalah orang yang jujur dengan ketidaktahuannya sehingga dia mau belajar atau tidak terlibat karena kapasitas berpikirnya memang tidak sampai, Sedangkan orang bodoh adalah orang yang tidak tau tapi merasa tau atau paling tau, paling benar, kemudian harus menjadi batasan bagi orang lain dan kenyataan dan memperjuangkan agar ketidaktahuannya tadi diikuti orang lain bahkan kalau perlu dengan melancarkan ancaman bila orang menolaknya. Mungkin orang akan bertanya :"Apa manfaat hal seperti itu ?". Saya tidak akan menjawab secara spesifik tetapi dengan contoh. Misal, Anda sedang mengemudikan mobil dan harus mendahului mobil di depan anda karena mobil di depan akan belok ke kiri. Kebetulan anda sedang bersama anak anda yang masih kecil dan dia duduk di bangku sebelah kiri anda sendirian. Dia ketakutan dan berkata :"Kenapa ayah ngebut, adik kan takut. Nanti kalau dari depan ada bis bagaimana yah ?". Padahal anda sudah mengemudikan mobil sejak muda dan lintas provinsi secara mandiri. Kalau anda mengikuti kemauan anak anda saat demikian itu ada kemungkinan malah berbahaya karena pengguna jalan yang ada di belakang anda bingung memahami haluan mobil anda. Yang tepat bagi anda untuk sementara tidak mempedulikan kata-kata anak anda dan di lain waktu menjelaskan kepadanya bagaimana mengemudi atau kalau umurnya sudah mencukupi anda memasukkannya dalam kursus mengemudi. Tentu kalau dia sudah bisa mengemudi sendiri akan tau bahwa ayah dulu tidak melakukan hal yang berbahaya. Jadi sebenarnya dalam hal seperti ini menyangkut hal psikologi atau mental. Suatu ilmu pengetahuan dibutuhkan mental tertentu agar siap menerima pamahaman baru. Lalu bagaimana dengan wacana di sosial media atau ruang publik lain. Bukankah orang bodoh itu sangat banyak. Iya betul, seperti yang saya katakan tadi. Akan tetapi kita juga tidak boleh tunduk dalam ketidaktahuan orang lain terlebih kita paham atau tau suatu persoalan baik yang kita peroleh dari aktivitas akademik maupun pengalaman langsung dalam hidup. Meski demikian kita tentunya punya bekal dalam memahami gejala sosial yang ada. Setidaknya seperti pembedaan antara awam dan bodoh di awal paragraf tadi. Orang awam masih memiliki potensi bagus untuk memahami hal-hal baru tergantung kesiapan mental dan seberapa baik daya intelektualnya. Sedangkan orang bodoh malah berpotensi menghadirkan konflik. Di ruang publik umum dan media sosial bila kita vulgar dalam menyampaikan gagasan meski itu baik sebenarnya memiliki resiko memperparah konflik. Akan tetapi bagi kaum awam juga bisa ada peluang menjadi paham akan hal yang belum dia mengerti. Atau setidaknya dia memilih untuk meninggalkan keterlibatan wacana dan fokus dalam kehidupan pribadinya. Saya sendiri berpendapat bahwa untuk meperluas suatu pemahaman atau sekedar opini "Tidak perlu takut". Ini dengan alasan bahwa orang bodoh bila di lingkup masyarakat yang ber SDM buruk akan semakin terakumulasi menjadi kekuatan kebodohan tertentu yang sangat merusak. Secara dialektika saya katakan "Bagaimana kita sedia orang bodoh menjadi tolok ukur ?". Kalau ada yang bertanya :"Bodoh dan cerdas (atau apapun istilahnya) hanya perspektif. Bagaimana menurut pendapat anda ?". Saya jawab :"Seringkali saya temui bahwa argumen menggunakan perspektif banyak termotif karena soal keberpihakan. Asal berpihak kepadanya tentu saja 'Tidak Bodoh atau cerdas'. Sedangkan parameter pandai, cerdas, intelektual atau apapun istilahnya adalah membawa kemaslahatan bersama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي