Yakinkah Anda?

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-0/p180x540/12496206_929485127147266_6026188916303590064_o.jpg
Tahap penting dalam pendalaman soal keyakinan adalah "Tidak mengumbar bicarakan pada semua orang". Terlebih menambahkan kata "ku", seperti akidahku, imanku, keyakinanku, dst, dihadapan orang lain. Berbicara keyakinan memang bias, dan butuh pengertian hal semantik. Orang-orang beragama mengatakan bahwa keyakinan adalah kenyataan (meski kenyataan itu tidak terkoneksi dengan kesadaran yang berlaku saat ini). Bagi para pembahas filsafat dan sains, keyakinan bukanlah hal faktual dan masih seputar spekulasi. Secara sosialisasi, mengubar kata-kata keyakinan (baik soal akidah ataupun hal metafisika) akan menghadirkan ketimpangan. Sebab, sebenarnya antar individu atau kelompok tidak ada ketidaksepakatan soal keyakinan. Mengatakan hal-hal keyakinan pada orang lain sering menimbulkan pertentangan, sebab, keyakinan adalah suatu pilihan, akan tetapi tak jarang gagasan soal pilihan tadi berupa nilai-nilai yang sering dirasakan bisa merugikan orang lain dikarenakan keyakinan memang tidak memiliki landasan yang nyata (abstrak). Ketidak-jelasan inilah kadang akan dirasakan orang lain sebagain ancaman. Sebab, bagaimanapun juga manusia akan membutuhkan landasan faktual untuk suatu realitas yang disadari. Inilah sebabnya kenapa keyakinan seringkali menimbulkan kecurigaan atas orang lain dan keragu-raguan dalam diri sendiri. Meski seseorang mengatakan "Aku yakin hal ini begini dan begitu", tetapi dalam hatinya dia sering mempertanyakan tingkat ke-valid-an apa yang di yakini dengan realita. Sebab, semua orang tidak mau untuk tertipu. Demikian diatas adalah hal agama dan metafisika. Akan tetapi dalam filsafat dan sains soal keyakinan tidaklah sama. Seorang filsuf mungkin akan berkata :"Aku melihat langit berwarna biru di siang hari, dan hitam di malam hari...". Ini adalah ungkapan yang benar selaras pengelihatan, akan tetapi sebenarnya dia mempertanyakan bagaimana bisa terjadi perubahan seperti itu. Lalu para saintis modern memberi jawaban yang valid di dukung teknologi modern dari bidang biologi, geologi, dan astronomi, serta perbandingan dengan planet Mars. Sehingga pertanyaan soal pengelihatan yang yakin soal langit bisa terjawab dengan tuntas. Akan tetapi setidaknya dalam tasawuf keyakinan dibedakan menjadi Tiga bentuk yang berbeda. Pertama, Ilmu Yaqiin, yaitu keyakinan yang informatif. Kedua, Ainul Yaqiin, yaitu keyakinan faktual. Ketiga, Haqqul Yaqiin, yaitu keyakinan dimana dia terlibat dalam (sistem) keyakinan itu sendiri. Ilmu Yaqiin adalah keyakinan yang bercorak dalil. Ini adalah keyakinan orang awam. Orang awam akan merasa cukup dengan dalil dimana itu dia dapatkan dari orang-orang yang sedia mereka terima sebagai sumber informasi. Orang awam tidak akan mempertanyakan lebih lanjut dari mana asal-usul informasi itu dan cara penyusunannya. Informasi itu akan dia cerna sebagai kenyataan dalam kesadarannya. Ainul Yaqiin adalah keyakinan tingkat lanjut dari dalil. Ketika dalil-dalil itu dia dapati secara langsung dalam hidupnya, terbukti secara faktual. Jadi antara dalil (argumen atau teori) terjadi ketersambungan yang nyata, semacam ada perpindahan dimensi dari kertas pada dunia nyata, sedangkan dia sendiri mengalami akan hal itu. Haqqul Yaqiin adalah keyakinan dimana dia terlibat dalam sistem keyakinan itu sendiri sehingga dia menjadi obyek keyakinan bagi orang lain. Orang dalam tingkat ini (dalam sudut pandang subyektif) menjabarkan keyakinan pada orang lain. Jadi dia tidak lagi dalam pencarian, justru dia malah memberi penjelasa suatu keyakinan. Ini seperti kondisi kejiwaan para utusan Tuhan atau para filosof yang dengan begitu dari mereka muncul keyakinan yang di anut oleh orang lain, dan itu adalah sistem yang diterima oleh banyak orang hingga lintas zaman, dan sistem yang itu terbukti membawa pada suatu pencapaian tertentu (yang benar). Bila kita kembali pada awal wacana ini tentang kebiasaan mengumbar kata-kata keyakinan, kita akan mendapati ketersambungan betapa ungkapan-ungkapan seperti itu justru malah menunjukkan keragu-raguan. Keyakinan yang mantap tidak diteorikan lagi akan tetapi dia bekerja dalam keyakinan-keyakinan itu. Seperti penambahan kata "Ku" yang menujukkan hal egosentris dimana seolah keyakinannya terganggu oleh keberadaan (keyakinan) orang lain. Seperti kata :"Perkataanmu telah mengganggu akidahku !". "Ku" disini dimaksudkan sebagai tanda akan keberadaan dirinya yang menanggung suatu sistem (keyakinan) tertentu. Jadi, dia sebenarnya susah menanggung sistem yang yang ditanggungnya itu, dan dalam hati dia berusaha tahqiq (melakukan verifikasi) maka dia semakin terkuras energi karena merasa terganggu dan juga karena beban yang di embannya. Kondisi diatas cenderung dialami oleh mereka yang memiliki keyakinan tipe Ilmu Yaqiin dimana keyakinan informatif itu belum bisa dia cerna dengan baik, dan masih pada tahap pemahaman yang mendasar. Kemudian orang yang sudah bisa masuk dalam tahap Ainul Yaqiin dia sudah bisa menjalankan sistem keyakinan yang diemban oleh jiwanya. Dia tidaklagi sibuk dengan hal yang luaran. Ini seumpama orang yang baru membeli mobil dan dia tidak hanya membaca dengan lengkap buku manual saja akan tetapi dia bisa mengemudikan mobil dengan baik. Dan dirinya tidak lagi sibuk mencari pengakuan bila dia punya mobil. Kadang, bagi orang yang buruk jiwa (pengetahuannya) akan berusaha melakukan verifikasi apakah orang itu punya mobil atau tidak, karena dia melihat sedang di warung hanya naik motor. Maka orang yang Ainul Yaqiin tadi tentu tidak tertarik dengan membicarakan mobil yang dimiliknya, toh juga tidak membawa kemanfaatan apapun, atau malah menimbulkan kecemburuan seperti iri dengki karena si penanya belum memiliki mobil. Kadang level ini masih ada sedikit gangguan dari (orang) level Ilmu Yakin. Orang Pada level Haqqul Yakin tidak sibuk dengan pencarian, karena dirinya dalam sistem itu sendiri dan sebagai percabangan dari sistem itu sehingga bisa menjabarkan dan memberi kontribusi dalam keyakinan secara tepat kepada orang lain. Bila kita lanjutkan perumpamaan sebelumnya, orang itu tidak saja punya mobil, akan tetapi dia sebagai pegawai produsen mobil itu, semisal sales atau teknisi sehingga dia bisa menjabarkan hal-hal berkenaan dengan mobil itu. Kalau dia ditanya tentang harga, spesifikasi, atau bagaimana teknologi mobil itu dia bisa menjelaskan dengan baik dan rinci sehingga orang yang bertanya menjadi puas dengan jawaban yang diberikan. Nah, sekarang coba bandingkan dengan orang-orang yang mengaplikasikan keyakinannya pada hal-hal emosional. Tentu saja dia akan menjelaskan keyakinannya dengan emosi dan tidak pada karya pada apa yang diyakininya. Lebih berbahaya lagi bila naskah dalil-dalil keyakinan tadi (dia cari-cari) sebagai pembenaran akan nilai-nilai emosi yang dia keluarkan. Dengan cara seperti ini juga suatu keyakinan yang sebenarnya baik malah (tercitra) menjadi stigma buruk yang terjadi dalam kehidupan bersosialisasi. Mungkin, pemahaman seperti ini akan dianggap sebagai bertentangan dengan dakwah. Dakwah adalah upaya agar orang mengikuti gagasan keyakinan yang dianutnya. Ini bisa berbahaya. Bagaimana dia menyeru seseorang padahal dia sendiri sebenarnya masih sangat belum memahami secara mendalam. Mungkin sah-sah saja bila itu suatu keyakinan pada khalayak umum tingkat awam agar simbul-simbul keyakinan menjadi hadir. Akan tetapi ketika gejala keawaman malah menjadi nilai mainstrem justru ini sangat berbahaya bagi ajaran agama itu sendiri, sebab, umat akan dipenuhi dengan kemunafikan dan kebodohan. Memang, tidak semua orang harus memiliki pemahaman yang mendalam karena medan hidup setiap orang berlainan. Akan tetapi kebodohan yang diperjuangkan dengan niat mati-matian yang dikatakan sebagai keyakinan yang final dan sebenar-benarnya, maka itu adalah tanda kerusakan keberumatan itu sendiri. Mungkin masih ada peluang mereka yang awam bisa membuka diri dengan cara berpikir yang lebih maju dan tingkat lanjut. Akan tetapi nilai mainstream akan tetap mengambil alih tentang penilaian suatu ajaran keyakinan. Terlebih kekuatan mainstream tadi berusaha memberangus gagasan yang lain. Ini bisa menjadi pintu awal sirnanya suatu ajaran keyakinan (agama). Adapun soal sains, bila dikatakan "Keyakinan (diyakini)" bukanlah suatu hal yang pasti. Keyakinan dalam sains cenderung bernilai "Kemungkinan yang positif". Misal, "Di planet Mars diyakini terdapat air". Artinya belum tentu di planet Mars ada air seperti di bumi dengan adanya laut dan sungai. Sebab, dalam sains kata "Air" bisa saja itu adalah cairan yang bukan seperti yang biasa kita gunakan untuk minum, dsb. Sebab, dalam sains kita mengenal ada logam cair, hidrogen cair dsb, sedangkan bisa saja yang terdektsi oleh para ilmuan air di planet Mars tidak bisa diminum manusia karena terbentuk dari rumusan kimia yang berlainan dari air yang ada di bumi. Jadi intinya, semua ini bermuara pada bentuk komunkasi, dimana memang ada beragam bentuk komunikasi. Maka menyelaraskan bentuk (cara) komunikasi adalah langkah awal agar bisa tercapai suatu pemahaman yang tersambung dengan baik. Dan ini memang harus menggali pada tingkat yang sangat mendasar dari bahasan ilmu pengetahuan. Apa yang saya tulis ini memang tidak menggunakan terminologi agama secara mendetail dikarenakan saya memang tidak bermaksud membawa pada bahasan dogma atau doktrin agama. Ini hanyalah coretan ringkas agar kita berusaha memahami hingga tingkat dasar berpikir dan membedakan aneka terminologi yang sering kita temui soal bahasan antara agama - filsafat - sains, dimana memang memiliki dasar-dasar bentuk komunikasi yang berbeda meski kadang dinilai (terlihat) sama. Agama (keyakinan) selalu berorbit tentang kebenaran, sedangkan sains berorbit soal kemanfaatan. Kebenaran entah ada atau tidak hal itu selalu seputar konseptual, dan kita tidak tau konsep mana yang diterima Tuhan atau selaras dengan kenyataan semesta. Saya kira sibuk memperdebatkan kebenaran akan sia-sia, sebab sejak permulaan hingga akhir (taksiran eskatologi) kemanusiaan tidak akan pernah berhenti bertengkar soal kebenaran hingga Tuhan sendiri yang menentukan. Akan tetapi manusia yang memiliki karakter jujur akan membenci kezaliman. Dari sinilah kejujuran kita pahami hal itu lebih baik dibanding (membahas konsep-konsep) kebenaran hingga pertengkaran berlarut-larut bahkan hingga terjadi peperangan. Saya yang memiliki pengalaman dalam spiritualitas selama 25 tahun hingga kini menyimpulkan bahwa membeberkan soal keyakinan dan produk-produknya pada sembarang orang malah berakhibat tidak baik bagi diri sendiri dan juga orang lain, terlebih itu hal yang tidak diminta atau berusaha melakukan verifikasi dengan orang lain (guru). Biasanya akan muncul kesombongan atau malah kebohongan tertentu karena hal yang abstrak tidak bisa dilisankan semuanya. Seperti mimpi, anda tidak bisa menceritakan mimpi anda secara mendetail secara lisan. Demikian juga kita dapati secara literatur keagamaan bahwa menceritakan mimpi meski boleh akan tetapi kurang disenangi karena biasanya malah menjadi fitnah dalam kejiwaan baik bagi yang mendengar maupun yang menceritakan. Seperti nabi Yusuf yang dilarang oleh ayahnya untuk menceritakan mimpi nya pada saudara-saudaranya. Demikian juga ada kita dapati hadis- hadis dimana mimpi kadang kurang baik untuk diceritakan pada orang lain. Terlebih soal metafisika (ghaib) bila anda melihat sosok ghaib disuatu tempat dan anda ceritakan pada orang lain yang (biasanya) orang itu tidak melihat sosok ghaib itu, tentu ada akan dianggap macam-macam, mulai dari tuduhan bohong, orang sakit, atau terganggu kejiwaan anda. Jadi, bila anda meyakini sesuatu biarkanlah hal itu maujud menjadi kebaikan dalam hidup anda. Pesan para guru sufi biasanya juga demikian. Mereka melarang para murid untuk menceritakan pengalaman-pengalaman spiritual pada orang lain secara obral, akan tetapi harus ada forum khusus tentang hal itu sehingga berbagi pengalaman dengan orang-orang yang memiliki medan kesadaran yang sama atau mirip. Keyakinan yang diobral biasanya terjadi pada orang awam, karena inilah mereka cenderung keras karena hidupnya yang tekstual dan mandeg sampai disitu kemudian memaksa orang lain menjadi seperti dirinya juga. Dan mereka kurang memiliki pengalaman yang sampai menyentuh jiwanya, sehingga keyakinan hanya seputar retorika saja tidak menyentuh hakikat keyakinan itu terlebih mengalami realitanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي