Madinah Lautan Api - Antara Iman Dan Geologi (Kiamat Yang Tertunda)
Bandar udara internasional Pangeran Muhammad bin Abdulaziz adalah pintu gerbang utama kotasuci Madinah al-Munawwarah. Ia juga menjadi satu dari dua pintu masuk utama ke dua kotasuci bagi Umat Islam selain bandar udara internasional King Abdul Aziz di Jeddah. Bandar udara ini terletak di pinggiran utara kotasuci Madinah, tak seberapa jauh dari Gunung Uhud yang bersejarah. Jika kita melayangkan pandangan mata dari sini, Gunung Uhud yang tandus dengan hiasan warna coklat tanah kemerah-merahan nampak memanjakan mata di arah barat daya. Lansekap sewarna juga dijumpai di arah barat, utara dan timur. Namun tidak dengan arah selatan. Sejauh mata memandang hanya nampak bukit-bukit tandus kehitaman, dengan bongkahan bebatuan penyusunnya yang jauh lebih kasar ketimbang bebatuan Gunung Uhud. Sangat sedikit informasi yang tersedia tentang bukit-bukit kehitaman ini. Namun siapa sangka, di balik minimnya informasi, bukit-bukit kehitaman ini sejatinya adalah jejak kasat mata dari salah satu periode paling mencekam sepanjang sejarah kotasuci Madinah. Inilah endapan lava basaltik dari Letusan Madinah, letusan besar yang hampir saja memanggang Madinah.
Kalender menunjukkan hari Senin 1 Jumadil Akhir 654 Hijriyyah kala sebuah getaran mulai mengguncang kotasuci Madinah. Para pedagang, peziarah tanah suci, penduduk dan segenap manusia lainnya yang sedang berada maupun tinggal di kotasuci itu merasakannya. Semuanya berharap getaran tadi hanyalah getaran tanah biasa yang akan berhenti dengan segera secepat kedatangannya. Namun harapan itu sirna laksana uap menghilang di udara. Betapa tidak, dalam empat hari kemudian secara beruntun getaran demi getaran tanah justru terus saja terjadi berulang-ulang. Kekerapannya kian mengencang dan sering. Di Jumat pagi, sedikitnya 18 getaran keras mengguncang hanya dalam waktu singkat. Dan siang harinya, kala orang-orang sedang berkumpul di Masjid Nabawi menanti waktu shalat Jumat, sebuah getaran keras, terkeras di antara semua getaran sebelumnya, mengagetkan semuanya. Tak pelak semua itu mengundang tanya di hati setiap orang. Rasa cemas pun mulai membersit. Apalagi getaran demi getaran terus saja terjadi selepas shalat Jumat, meski tak sekeras sebelumnya.
Drama mencapai klimaksnya pada Sabtu pagi usai shalat Shubuh, bertepatan dengan 1 Juli 1256. Secara mendadak ketenangan dan keheningan pagi dibuyarkan suara bergemuruh susul-menyusul yang datang dari arah al-Hijaz di tenggara. Bersamanya muncul pancuran bola-bola api merah kebiruan ke langit dalam jumlah besar. Demikian banyaknya bola-bola api yang mirip kembang api ini sehingga cahayanya benderang menyinari cakrawala laksana tersorot Matahari. Selama berhari-hari kemudian pancuran api terus berlangsung tanpa henti dan bahkan kian bertambah banyak saja. Kini malam-malam di kotasuci Madinah pun berubah dramatis menjadi seterang siang hari. Demikian terangnya malam-malam itu sehingga bagian Raudhah dan makam Nabi SAW yang ada di dalam kompleks Masjid Nabawi bagaikan tersorot cahaya Matahari secara terus-menerus. Cahaya terang itu bahkan bisa disaksikan dengan jelas dari Tayma’ dan kotasuci Makkah al-Mukarramah, padahal keduanya berjarak 300 kilometer dari sumber bola-bola api ini.
Sejarawan al-Qastalani menulis, orang-orang Badui pemberani yang mencoba mendekati titik sumber lontaran api tercengang menyaksikan pemandangan menggidikkan. Cairan panas kental mirip bubur yang sangat encer berwarna merah-kebiruan dengan beberapa bagiannya telah menghitam nampak menggelegak. Di latar belakangnya terlihat enam titik pancuran bola-bola api membara yang terus-menerus muncrat ke langit. Seluruh cairan tersebut bergerak mengalir perlahan laksana sungai sembari menyeret batu, pohon, tanah dan apa saja yang dilaluinya. Suara bergemuruh mirip petir yang sambung-menyambung terus saja terdengar. Asap pekat beraroma belerang terus mengepul, memedihkan mata dan menyesakkan dada. Demikian pekat asapnya sehingga udara laksana berkabut terus-menerus. Akibatnya Matahari pun hanya terlihat sebagai bundaran kemerah-merahan saja, hatta telah berkedudukan cukup tinggi di langit. Udara di dekat cairan kental nan aneh ini demikian panasnya, sehingga tak seorang pun berani mendekatinya lebih dekat dari dua lontaran anak panah (+/- 200 m).
Di masa kini kita mengetahui apa yang dihadapi orang-orang Madinah saat itu adalah lava panas produk letusan gunung berapi. Dengan teknologi terkini, relatif lebih mudah mengetahui apa yang sedang terjadi dengan menerbangkan radas (instrumen) dalam kedudukan cukup tinggi di atas lava panas membara itu, baik di dalam pesawat udara nir-awak maupun via satelit penginderaan jauh. Layaknya letusan Holuhraun, Letusan Madinah bersumber pada sebuah retakan di segmen kerak bumi berbelas kilometer sebelah tenggara kotasuci Madinah. Entah seberapa panjangnya retakan itu, namun darinya magma basaltik membanjir keluar sembari muncrat hingga puluhan meter ke udara. Sejumlah gundukan mengerucut yang membukit pun terbentuk di sepanjang retakan ini, yang disebut kerucut skoria (cinder cone). Magma encer itu lantas mengalir sebagai lava menyusuri kontur rupabumi setempat menuju tempat-tempat yang lebih rendah. Pada puncaknya lava panas ini pun terkumpul demikian rupa hingga laksana sejenis danau lava berkedalaman 3 meter yang membentang sepanjang 23 kilometer.
Teknologi di abad ke-13 memang belum memungkinkan manusia masa itu melihat keseluruhan dinamika Letusan Madinah. Apalagi memprakirakan kemana danau lava itu bakal bergerak mengalir dan menelan apa saja yang ada dihadapannya. Namun orang-orang Badui yang pemberani itu terus mengamati pergerakan cairan kental panas nan aneh (yang adalah tepi danau lava) itu dari hari ke hari. Sehingga mereka pun menyadari bahwa cairan panas menggelegak itu secara perlahan namun pasti sedang beringsut mengarah ke kotasuci Madinah yang memang berketinggian lebih rendah. Jelas sudah. Jika semua terus berlangsung seperti itu, maka segenap isi kotasuci tersebut akan tenggelam dalam lautan bara. Kini rasa cemas yang melanda penduduk Madinah pun bermetamorfosis menjadi ketakutan luar biasa. Juga kebingungan. Belum pernah mereka atau nenek moyang mereka, atau bahkan Bangsa Arab sekalipun, menghadapi peristiwa alam semacam ini. Dapat dipahami jika di tengah ketakutan dan kebingungan ini kisah-kisah akan hari akhir pun menyebar kemana-mana. Apalagi salah satu di antara tanda-tanda besar kedatangan hari akhir adalah munculnya api di tanah Hijaz. Dan kini kotasuci Madinah (yang berada di kawasan Hijaz) benar-benar berhadapan dengan api panas membara dalam ukuran yang sungguh tak pernah terbayangkan pada zaman itu.
Menyadari bahaya yang mengancam kotasuci Madinah seisinya, gubernur sigap bertindak. Seluruh penduduk maupun musafir, baik laki-laki maupun perempuan, baik orang dewasa maupun anak-anak, dimintanya untuk segera berkumpul di Masjid Nabawi khususnya di bagian Raudhah dan sekitarnya yang merupakan kawasan mustajab. Semua pun berdoa dengan sepenuh hati, bertaubat dan memohon ampunan Allah s.w.t. atas segala kesalahan yang telah dilakukan. Mereka juga memohon agar cairan kental panas itu, yang kian mendekat saja ke kotasuci, untuk dihentikan atau dialihkan. Banyak yang mencucurkan air mata di tengah kekhusukan doanya ketika menyadari bahwa jika Allah s.w.t. menghendaki, dengan mudah cairan kental panas itu menelan kotasuci Madinah beserta seluruh isinya dan menghapusnya dari muka bumi tanpa sisa dan tiada sesuatu pun yang dapat menghalanginya.
Dan keajaiban pun terjadilah. Seperti bernyawa, lava panas itu berhenti sebelum tapal batas kotasuci dan lantas lantas berbelok ke utara untuk kemudian melambat, berhenti dan membeku. Letusan Madinah sendiri berakhir dalam 52 hari setelah bermula. Sepanjang 52 hari tersebut 500 juta meter kubik magma dimuntahkan dari dalam perut bumi. Sehingga rata-rata Letusan Madinah memuntahkan lebih dari 100 meter kubik magma dalam setiap detiknya.
Harrat Rahat
Letusan Madinah merupakan wujud nyata eksistensi gunung berapi di semenanjung Arabia. Ya. Meski mayoritas bagiannya beriklim gurun, namun bentang lahan semenanjung terbesar di muka bumi ini tidaklah melulu berisi lautan pasir gersang. Padang pasir semacam itu hanya dijumpai di sisi selatan dan tenggara sebagai padang pasir ar-Rub’ al-Khali, yang adalah lautan pasir lepas terluas di muka bumi. Semenanjung ini juga bukan sekedar tanah tempat agama-agama samawi dilahirkan, tanah tempat para nabi dan rasul diutus serta tanah tempat berdirinya dua kotasuci Umat Islam. Namun lebih dari itu, semenanjung ini juga adalah salah satu keajaiban geologi yang sulit dicari padanannya di tempat lain. Sebagian Semenanjung Arabia khususnya daratan yang sebelah-menyebelah Laut Merah (termasuk kawasan Hijaz) adalah salah satu daratan tertua di muka bumi. Daratan ini dikenal sebagai Tameng Arabia-Nubia (Arabian-Nubian Shield). Dengan umur sedikitnya 600 juta, batuan di Tameng Arabia-Nubia sejatinya telah begitu padat sehingga jauh lebih stabil dibanding daratan lainnya yang lebih muda.
Namun di Tameng Arabia-Nubia pula kita kita bisa menyaksikan momen lahirnya kerak bumi baru dan meluasnya lempeng tektonik. Bentangan panjang Laut Merah yang menghiasi kawasan ini sejatinya adalah lembah besar yang dalam sehingga tergenangi air asin yang mengalir dari Samudera Hindia. Lembah besar ini bukanlah lembah biasa, sebab dibentuk oleh pergerakan tektonik intensif. Ia bersambung dengan lembah-lembah lurus lainnya yang menjulur dari Turki hingga ke Afrika Tengah dalam sebuah ekspresi yang disebut Lembah Retakan Besar (Great Rift Valley) sepanjang sekitar 4.000 kilometer. Di sejumlah bagian lembah inilah magma panas menyeruak dari lapisan selubung, terutama di sepanjang retakan kecil sumbu dasar Laut Merah, khususnya di sisi selatan. Begitu keluar, magma panas mulai mendingin dan membeku menjadi bayi lempeng tektonik oseanik. Jika pola semacam ini berlangsung secara menerus, maka dalam puluhan juta tahun ke depan Laut Merah akan demikian meluas menjadi samudera baru sementara retakan kecil sumbu dasarnya berevolusi menjadi punggungan tengah samudera seperti Islandia saat ini. Maka jangan heran jika saat ini di tengah-tengah Laut Merah dijumpai sejumlah gunung berapi. Ada yang tetap terbenam di bawah permukaan air dan ada pula yang menyembul di atas laut sebagai pulau vulkanis.
Tetapi retakan tidak hanya muncul di dasar Laut Merah. Di kawasan Hijaz, sejumlah retakan yang mirip pun terbentuk dan menjadi panggung bagi vulkanisme titik-panas serupa. Di retakan-retakan inilah magma menyeruak keluar membentuk gunung berapi Hijaz yang khas. Jangan bayangkan gunung berapi Arabia berbentuk kerucut tinggi yang indah seperti halnya gunung-gunung berapi komposit (stratovulcan) di Indonesia. Vulkanisme titik-panas menghasilkan magma basaltik yang lebih encer, sehingga gunung berapi Hijaz sejatinya hanyalah tumpukan lava yang tersebar menutupi area sangat luas dengan sejumlah kerucut skoria berketinggian rendah muncul didalamnya. Dapat dikata gunung berapi Hijaz memiliki panorama yang ‘jelek.’ Namun dibalik ‘kejelekan’-nya, vulkanisme di tanah Hijaz ini sungguh luar biasa. Secara akumulatif dalam 10 juta tahun terakhir ia telah memuntahkan lava basaltik yang menutupi area seluas 180 ribu kilometer persegi, setara sepersepuluh luas Indonesia.
Salah satu retakan di sini adalah yang berpangkal dari sekitar kotasuci Makkah al-Mukarramah dan menerus ke utara-timur laut melintas di dekat kotasuci Madinah hingga kemudian berujung di Nafud. Karenanya retakan sepanjang sekitar 600 kilometer ini lebih dikenal sebagai retakan Makkah-Madinah-Nafud atau Makkah-Madinah-Nafud volcanic line. Lewat retakan inilah magma melimpah ke permukaan tanah dan membentuk sedikitnya empat gunung berapi Hijaz. Dari selatan ke utara, masing-masing adalah Harrat Rahat, Harrat Kurama, Harrat Khaybar dan Harrat Ithnayn. Harrat Rahat menjadi gunung berapi terbesar di jalur retakan ini, bahkan di seantero Semenanjung Arabia. Ia membentang sepanjang 310 kilometer dari Jeddah ke Madinah dengan lebar rata-rata sekitar 75 kilometer. Harrat Rahat pada dasarnya adalah tumpukan lava basaltik yang telah membeku dengan total volume sebesar 2.000 kilometer kubik. Lava sebanyak itu diletuskan secara bertahap lewat 400 saluran magma serta lebih dari 2.000 kerucut skoria sepanjang 10 juta tahun terakhir. Praktis kotasuci Makkah dan Madinah sebenarnya berdiri tepat di tubir gunung berapi raksasa menggetarkan yang memiliki nama lain Harrat Bani Abdullah, atau Harrat Madinah, atau Harrat Rashid, atau Harrat Turrah, atau Harrat el-Medina, atau Harrat er-Raha, atau Jabal Ma’tan, atau Jabal Umm Ruqubah, atau Jabal al-Hurus, atau Jibal Diba’ Al Hurus ini. Dan di ujung utara gunung berapi raksasa inilah Letusan Madinah terjadi dalam 7,5 abad silam.
Letusan Madinah bukanlah akhir dari aktivitas gunung berapi Hijaz. Gunung-gunung berapi unik ini terus aktif bahkan hingga kini. Pada 2009 lalu terjadi lonjakan jumlah gempa vulkanik secara mendadak di Harrat Lunayyir, sebuah gunung berapi Hijaz berukuran kecil yang terletak di barat laut kotasuci Madinah. Selama bulan April hingga Juni 2009 terjadi 40.000 guncangan gempa vulkanik dengan magnitudo antara 2 hingga 5,4 skala Richter. Inilah pertanda sangat jelas bahwa magma basaltik di perutbumi kawasan Hijaz masih tetap berupaya mencari jalan keluar ke permukaan. Pertanda tersebut kian jelas lewat terbentuknya retakan sepanjang 8 kilometer selebar 45 sentimeter. Belajar dari pengalaman Letusan Madinah 7,5 abad silam, otoritas Saudi Arabia tak menyia-nyiakan waktu untuk mengevakuasi sekitar 30.000 orang di kota al-Ays yang ada dalam kompleks gunung berapi ini. Namun tak seperti Harrat Rahat, Harrat Lunayyir ternyata tak kunjung memuntahkan magmanya. Ia urung meletus. Mungkin masih menunggu kesempatan lain di masa depan.
--------------------------
Sumber :
Sudibyo. 2012. Ensiklopedia Fenomena Alam dalam al-Qur’an, Menguak Rahasia Ayat-Ayat Kauniyah. Surakarta: Tinta Medina, cetakan pertama.
Rei. 2014. Bardarbunga: Sorry, Ireland (Update 2x). DailyKos.com, 5 September 2014.
Frimann. 2014. Bardarbunga Daily Update. Iceland Geology, Volcano and Earthquake Activity in Iceland.
al-Zahrani dkk. 2013. Aftershock Sequence Analysis of 19 May, 2009 Earthquake of Lunayyir Lava Flow, Northwest Saudi Arabia. International Journal of the Physical Sciences Vol. 8(7), 23 February 2013, pp. 277-285.
Komentar
Posting Komentar