Dehumanisasi Islam
Tidak hanya di Indonesia, juga tidak hanya pada masa sekarang. Di manapun, dalam bentangan sejarah yang cukup panjang umat Islam terkerangkeng dalam jeratan hukum Islam (fikih) yang sarat dengan nilai-nilai dehumanisasi (al-la insaniyyah) dan penghambaan terhadap “Teks” (al-isti’bad ila an-nash).
Lihat misalnya, seseorang tidak bebas mengkonsumsi makanan sebelum mendapatkan legalitas dari pakar -atau minimal orang/lembaga yang memposisikan diri sebagai pakar- fikih. Orang yang merasa patuh terhadap peraturan fikih maka akan dengan mudah mengukur orang lain dengan peraturan yang ia pegang. Fikih sebagai karya sarjana muslim masa lalu yang dimulai sejak abad ke-II H sangat mengakar urat dalam kehidupan masyarakat muslim. Hal ini menjadikan umat Islam dalam beragama terlihat hanya mengikuti karya-karya yang ditulis sarjana hukum Islam yang hidup di Arab pada masa lampau, atau dalam kata lain umat Islam lebih mengikuti karya sarjana daripada karya nabi Muhammad dan Tuhan.
Abdul Razzaq al-Jubran, pemikir asal Iraq yang kini sedang digandrungi anak-anak muda di Iraq yang bosan dengan kekangan Islam-fikih, menulis: Allahu yashubbu al-anbiya’, wa an-nasu tasyrabu al-fuqaha’ (Tuhan mengisi kepada para nabi, sementara manusia menyerap dari ahli fikih). (Al-Jubran, Jumhuriyah An-Nabiyy, hal. 12).
Bagi al-Jubran alasan utama yang menjadikan umat Islam merasa tidak memiliki dirinya sendiri dengan seutuhnya adalah dominasi fikih dalam semua aspek kehidupan. Dalam pengamatan al-Jubran, Islam dalam perjalanan sejarah sesungguhnya bukan Islam-agama, tapi Islam-fikih (Inna al-Islama at-tarikhi dinu al-fiqh wa laisa dina al-Islam).
Islam-fikih adalah produk ulama yang dengan kadar lebih banyak mengandung kepentingan politik penguasa atau golongan. Nilai-nilai kemanusiaan yang antara lain berupa pembebasan dan emansipasi –untuk tidak mengatakan tidak ada sama sekali- tidak menjadi prioritas sarjana fikih masa lalu. Contoh kecil yang bisa diajukan di sini antara lain perbudakan. Tidak ada satupun ulama yang mengharamkan jual beli budak, semuanya sepakat bahwa manusia boleh diperjualbelikan. Wacana demikian bertentangan dengan Islam-agama yang diajarkan nabi Muhammad. Islam dalam paham kenabian adalah agama yang memerdekakan manusia, bukan sebaliknya, sehingga tindakan pertama yang nabi lakukan setelah menerima wahyu adalah membela budak bernama Bilal sebagai upaya memerdekakannya.
Di sinilah fuqaha atau umat Islam yang melalui ijtihadnya mengeluarkan produk fikih yang sarat dengan penindasan dan pengekangan terhadap manusia walaupun dengan dalih menerapkan hukum Tuhan, atau dalam istilah al-Jubran “menolong Tuhan”, sejatinya bertentangan dengan “cita-cita Tuhan” sendiri. Al-Jubran menulis: Allahu la yuridu ma’badan yu’badu bih, wa innama yuridu insanan yuharraru bih… hammullahi ‘ibaduhu wa laisa ‘ibadatahu… anna an-nabiyya ursila li nushrati bilal wa laisa li nushratillahi (Allah tidak menginginkan tempat ibadah yang menjadikan-Nya disembah, tapi Allah ingin supaya manusia dimerdekakan… Keinginan Allah adalah hamba-Nya, bukan menyembah-Nya… Nabi diutus untuk menolong Bilal, bukan untuk menolong Allah). (Al-Jubran, hal. 13).
Beragama Dengan Nurani
Apabila Islam yang diwariskan dari masa ke masa tidak lebih dari Islam madzhab ulama yang sudah tidak mengandung mashlahah bagi masyarakat muslim kekinian dan kedisinian maka cara beragama harus dikembalikan kepada spirit keberagamaan nabi yang membawa kebebasan, yaitu beragama dengan mengikuti kehendak hati.
Dalam hadis diinformasikan, ketika salah seorang sahabat bernama Wabishah bertanya kepada nabi Muhammad tentang standar menentukan kebaikan dan keburukan, nabi Muhammad menjawab: Istafti qalbak wa in aftauka, wa aftauka, wa aftauka (mintalah fatwa kepada nuranimu walaupun orang banyak sudah memberikan fatwa kepadamu, walaupun orang banyak sudah memberikan fatwa kepadamu, walaupun orang banyak sudah memberikan fatwa kepadamu).
Hadis ini oleh sebagian pakar hadis dinilai lemah (dla’if) karena memiliki mata rantai sanad yang bermasalah. Abu Hamid al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin, banyak menggunakan hadis ini. Bagi al-Ghazali, nilai keabsahan atau kebatilan hadis bukan terletak pada sanad, tapi pada isi. Apakah isi hadis itu sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan atau tidak. Hadis ini mengandung nilai kebebasan dan kemerdekaan manusia, seseorang dapat menentukan pilihannya dengan mengikuti nuraninya, suara hati terdalam yang tidak dapat diintervensi siapapun.
Al-Ghazali menulis: Fa al-muftî yufti bi adh-dhan, wa ‘ala al-mustafti an yastaftiya qalbah. Fa in haka fi shadrihi syai’un fahuwa al-itsmu bainahu wa bainallahi. Fa la yunjihi fî al-akhirati fatwa al-mufti, fa innahu yuftî bi adh-dhahir wallahu yatawalla as-sara’ir (Pemberi fatwa [mufti] memberikan fatwa berdasarkan pada asumsi [adh-dhann], peminta fatwa [mustafti] harus meminta fatwa kepada hatinya. Apabila dalam menjalankan fatwa dari mufti, hati nurani belum merasa tenang maka tindakan itu adalah dosa, fatwa mufti tidak dapat menyelamatkan seseorang di akhirat karena mufti memberikan fatwa berdasarkan apa yang tampak oleh mata, sedangkan Tuhan menguasai segala rahasia). (Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, vol. II, hal. 133).
Meminta fatwa kepada nurani bertujuan supaya seseorang melakukan kehendaknya dengan penuh kemerdekaan, beragama dengan jernih sesuai dengan kehendak nurani, bukan diintervensi oleh sarjana fikih yang berlaku seperti Tuhan, menentukan halal-haram, benar-salah, surga-neraka, dan seterusnya.
Islam-agama adalah Islam yang diusung oleh para nabi. Nabi Muhammad dengan mengikuti suara hatinya dapat jernih melihat realitasnya, mana penindasan dan mana kemerdekaan. Orang yang beragama dengan nurani tidak akan membenarkan praktik-praktik diskriminasi walaupun dalam masyarakatnya hal itu diyakini sebagai kebenaran. Memanjangkan jenggot, berbusana khas orang Arab seperti jubah, celana cingkrang, hijab dan tradisi-tradisi Arab lainnya, bagi orang yang beragama dengan hati tidak akan pernah menjadikannya sebagai ajaran Islam. Ajaran Islam adalah memerdekakan diri dan orang lain. Al-Jubran mengatakan: “Lam takun ghayatu an-nabiyyi tarbiyata al-lahyi wa al-hijabi wa al-masajidi li tusyira ilallahi, wa innama tarbiyatu qulubin tusyiru ila al-insani, li annahu laisa allahu huwa musykilata al-wujudi, al-insanu huwa musykilatuhu (tujuan nabi bukan mendidik seseorang memanjangkan jenggot, berhijab, dan membangun masjid supaya dapat sampai kepada Tuhan, tapi mendidik hati yang berorientasi kepada manusia. Problem kehidupan bukan terletak pada Tuhan, tapi manusia).” (Al-Jubran, hal. 13).
Beragama bukan seperti menjadi budak yang harus patuh terhadap majikan. Beragama adalah memasuki ruang kemerdekaan dimana seseorang benar-benar memiliki dirinya sendiri, menjalani kehidupan sesuai dengan kehendak nuraninya yang suci.
Komentar
Posting Komentar