Toleransi Adalah Keniscayaan
Resiko akan selalu ada dalam hidup ini, dalam hal apapun. Resiko ada karena adanya sistem. Sistem adalah kumpulan elemen berbeda yang membentuk satu kinerja yang membentuk satu realita yang berjalan (hidup). Aktivitas dalam satu sistem terkadang ada kelemahan pada suatu hal sehingga butuh solusi untuk penuntasan. Upaya penuntasan itu terkadang akan mengganggu sistem. Akan tetapi sistem yang baik memiliki toleransi sehingga ketika ada upaya jalan keluar bagi permasalahan tidak menghentikan sistem.
Misal. Tubuh anda terkena virus influenza, maka penuntasannya adalah minum obat flue dan antibiotika yang sesuai. Ketika anda minum obat flue + antibotika sistem tubuh anda akan merespon sehingga anda menerima resiko seperti mengantuk, jantung berdebar, dsb. Akan tetapi tubuh anda memiliki toleransi sehingga obat flue + antibiotika tadi tidak akan membunuh anda, tetapi obal flue akan melonggarkan saluran pernafasan dan mengatasi dahak dan ingus, sedangkan antibiotik akan mengatasi virus flue yang bersarang di tubuh anda.
Sekarang coba bayangkan bila tubuh anda tidak memiliki toleransi. Semua main mutlak-mutlakan. Jadi obat flue akan menghentikan semua sekeresi dari kelenjar-kelenjar yang ada dalam tubuh anda, dan antibiotika tadi membunuh seluruh mikroorganisme dalam tubuh. Anda akan mati dalam beberapa saat.
Toleransi sangat penting agar sistem tetap berjalan.
Coba bayangkan bila analogi ini dibawa dalam cara kita menjalani hidup terlebih soal agama ketika tidak ada toleransi, tentu akan sangat mengerikan. Mutlak-mutlakan memang terasa gagah, padahal aslinya itu hal yang sangat rapuh.
Seandainya-pun sistem syariah khilafah itu benar-benar berhasil didirikan dan berjalan tentu akan sangat rapuh. Sebab, suatu kelemahan atau kerusakan pada elemen tertentu akan sangat fatal artinya bagi sistem. Ini sudah mulai terlihat betapa para pegiat khilafah saling menyalahkan bahkan saling membunuh, bahkan yang satu kelompok-pun akan diperlakukan demikian. Mungkin bila sistem khilafah itu benar-benar ada, justru yang hadir adalah rasa tidak aman. Antar orang saling mencurigai dan mencari kesalahan orang lain dengan alasan hukum wahyu Tuhan yang murni. Yang lemah akan langsung dibunuh dengan alasan efisiensi. Bukankan semua orang memiliki kekurangan dan kelemahan tertentu, sedangkan konsep akan selalu tanpa ampun karena konsep tidak mengenal realita, dia hanya ada dalam gagasan atau dua dimensi panjang kali lebar dalam tulisan pada kertas.
Toleransi meski terlihat tidak gagah sebagaimana kemutlakan akan tetapi toleransi sebenarnya adalah kenyataan. Coba bila pencernaan anda tidak memiliki toleransi, setiap bahan kimia yang masuk tubuh akan meracuni organ dalam anda. Dengan toleransi sistem akan tetap bekerja, bahkan sistem yang baik memiliki toleransi yang sangat bagus.
Toleransi memang memiliki batas-batasnya tersendiri sehingga membawa harmoni dalam realita (kehidupan)
Gagasan ego kedirian yang tamak akan selalu menolak toleransi, sebab, menurutnya semua harus bagi dirinya sendiri tak boleh orang lain memiliki kenyataan dan keperluan dari realita yang akan tetap terlibat dengan sebab-akhibat. Ketika seseorang masih hidup bersama orang lain (bermasyarakat) di dunia ini dia akan selalu dalam kebutuhan akan toleransi, dengan kenyataan seseorang tidak bisa membuat makan dan pakaian secara sendirian dari menanam hingga mengolah menjadi bahan yang dia gunakan, dan orang yang mengerjakan semua itu juga memiliki hajat hidup sebagaimana dia juga memiliki hajat hidup.
Ketika seseorang mencela toleransi dengan aneka macam sebenarnya dia telah teracuni oleh konsep. Bahasan kebenaran selamanya akan-lah hanya seputar konsep, tidak akan menjadi kenyataan meski konsep kebenaran itu maujud menjadi benda sekalipun dia tetap akan bisa diupayakan untuk dimusnahkan dengan berbagai macam teknik, sebab, sisi buruk kebenaran adalah dendam. Dan dendam akan muncul karena persepsi, dan persepsi muncul karena adanya multidimensi. Sedangkan intoleransi adalah upaya membuat generalisasi secara konsep akan kenyataan multidimensi, dan itu didakwakan sebagai final dari segala konsep (kebenaran).
Memang, konsep adalah hasil ekstraksi kenyataan menjadi kalimat-kalimat tertentu hasil formulasi seseorang. Akan tetapi bagaimana bisa konsep hasil formulasi seseorang tadi akan mewakili semua realita yang berjalan karena adanya waktu, terlebih ada multidimensi juga ?. Nah, ketimpangan pada pemahaman hingga tingkat yang paling mendasar inilah yang sering memunculkan distorsi dalam kenyataan kita menjalani hidup.
Gagasan yang paling mendasar dalam hidup ini memang ada seperti lapar butuh makan, dst, dan itu hal yang tidak usah dirumuskan secara muluk-muluk terlebih memprofokasi orang lain sebab semua orang tau akan hal itu. Dan bila dia bicara sok Tuhan padahal esensi dan wujudnya juga tidak bisa dipahami secara mudah dan gamblang, maka bagaimana seseorang mengajak pada spekulasi teori padahal dia sendiri juga tidak tau hakikat-Nya, atau-pun ada dinisbatkan pada seseorang yang tau, toh dia sendiri tidak tau, sehingga pemahaman seperti ini menjadi bias, dan tentu saja tidak akan selaras dengan pemahaman orang yang benar-benar tau tadi.
Ketika fitrah itu sendiri sudah dianggap salah, maka ini adalah hal yang patut dipertanyakan ulang. Ketahuilah, fitrah dan moral dua hal berbeda. Banyak orang terjebak anggapan bila fitrah bertentangan dengan moral. Maka hal itu perlu pendalaman.
Kita boleh membuat perumpamaan, dalam hal ini kasus-kasus yang sering terjadi dalam masyarakat dan ada kaitannya dengan psikologi. Ini soal seks. Seks adalah hal yang unik, dimana seks bagai hukum energi seperti fusi dan fisi dalam ilmu fisika. Seks kadang bernilai penyatuan, yaitu laki-perempuan harus bersatu (dalam pernikahan) sebagai kenyataan penciptaan dalam kosmik kemanusiaan. Akan tetapi seks juga harus bernilai pemisahan sehingga tidak terjadi kekacauan. Nah, dalam kehidupan laki-perempuan saling berbaur, akan tetapi dimensi psikologi kadang memiliki karakter lain. Kalau tadi kita pahami seks seperti hukum fisika, akan tetapi seks kadang dalam jagad psikologi adalah hal darurat, sehingga seks bernilai harus segera diperturutkan meski itu menyimpang sekalipun, sehingga dari hal ini muncul ada kasus pemerkosaan, seorang juragan meniduri pembantunya, seorang ayah menyetubuhi anak perawannya, dsb, yang sering kita baca berita seperti itu. Contoh seperti ini tentu benar bila dikatakan bahwa naluri atau fitrah bertentangan dengan moral. Akan tetapi jangan terjebak pemahaman seperti ini. Ada juga kita ketahui gejala dalam masyarakat orang-orang yang sangat membantu melindungi pelecehan seksual terhadap orang lain, baik itu pria maupun wanita, dan tidak peduli apakah yang dilindungi itu lawan jenis kelamin atau bukan, akan tetapi dia berusaha menjaga nila moral secara spontan tanpa perlu dalil agama. Ini muncul karena fitrah menjadi harmoni dalam lingkungan sosial.
Jadi, gagasan pikir fatalis itu sebenarnya salah. Orang tidak bisa antem kromo menggunakan anggapan nya kemudian dia paksakan hal itu kepada orang lain. Seandainya dia berbuat begitu dengan alasan menjaga kemungkinan buruk, kenapa dia tidak berpikir juga kemungkinan baik. Bukankah kemungkinan bisa buruk dan bisa juga baik. Bila kemudian dia berdalih, bahwa, ilmu pengetahuan itu memiliki daya estimasi sehingga kejadian dapat di prediksi. Mungkin jawaban ini boleh jadi. Akan tetapi kecenderungan mengukur dari standar yang paling buruk akan membuahkan kenyataan yang buruk. Seperti kebiasaan berprasangka buruk akhirnya semua orang akan terlihat jahat dalam pikirannya. Nah, bukankah hal ini akan menimbulkan bahaya juga dan ketimpangan yang nyata dalam hidup.
Dari sini juga kita menjadi tau bila toleransi itu sangat penting. Toleransi bila dalam bahasa teologi adalah Ampunan Tuhan. Tuhan memberi toleransi atas kelemahan dan dosa-dosa manusia sehingga Tuhan tetap memberikan rahmat-Nya, dan manusia bersyukur kepada-Nya. Coba anda bayangkan bila Tuhan tidak memiliki toleransi, hanya dengan satu kesalahan kecil yang bukan hal principal sama sekali saja kita dilempar kedalam neraka yang keras siksa-Nya saat itu juga.
Komentar
Posting Komentar