Sejarah Homoseksual dalam kebudayaan Semit dan Agama Abrahamik
"Sodom" telah menjadi kata yang sinonim dengan laknat dan kehancuran akibat homoseksualitas. Namun barangkali tidak banyak yang tahu bahwa Sodom dan Gomorra bukanlah kasus terisolasi pada masanya. Bahkan, nyaris seluruh Timur Tengah, pada masa berdirinya Sodom, mempraktekkan homoseksualitas sekalipun dengan tingkat berbeda-beda. Pandangan tentang homoseksualitas sebagai sebuah dosa yang dipelopori oleh orang Ibrani justru merupakan pandangan minoritas di masanya.
Kisah tentang Sodom dan Gomorra pertama kali muncul dalam dua kitab, Kejadian dan Imamat, yang termasuk kumpulan lima kitab Taurat. Jika kita anggap Ibrahim (dan Luth) benar ada, dan merupakan saksi mata kehancuran kedua kota ini, maka seharusnya kejadian besar ini terjadi antara tahun 2600 SM - 2350 SM. (Penyelidikan tentang artefak yang ditemukan di Ebla, Syria, menunjukkan kemungkinan Abraham (Ibrahim) hidup di masa Dinasti Awal imperium Mesopotamia, sementara reruntuhan Bab edh-Dhra, yang diperkirakan adalah lokasi di mana Sodom dulu berdiri, berasal dari masa sekitar 2350 SM.)
Sekalipun masih ada banyak kontroversi dan ketidaksesuaian kronologi antara tutur Torah dan hasil penggalian arkeologi, mari kita anggap saja bahwa kurun Milenium Kedua Sebelum Masehi adalah masa yang menjadi konteks historis dari kisah Sodom dan Gomorra.
Dengan konteks historis ini, kita bisa mengetahui bahwa pandangan Ibrani yang anti terhadap homoseksualitas adalah pandangan minoritas. Sebagian besar peradaban yang besar dan jaya di masa hidup Abraham adalah peradaban yang mempraktekkan homoseksualitas atau setidaknya bersikap toleran terhadapnya. UU yang berlaku di Mesopotamia masa itu, dari mulai Hukum Urukagina (2375 SM), the Hukum Ur-Nammu (2100 SM), Hukum Eshnunna (1750 SM), juga Hukum Hammurabi (1726 SM), tidak memberlakukan larangan terhadap homoseksualitas. Hanya tindak homoseksualitas antara ayah dan anak yang dilarang. Agama resmi yang berlaku di Syria masa itu, yang menyembah Dewi Kesuburan, menggunakan praktek seksual baik hetero maupun homoseksual sebagai bagian dari ritualnya. Dan sekalipun Peradaban Mesir Kuno kurang jelas dalam sikap mereka terhadap homoseksualitas, tidak satupun ayat dalam hukum mereka yang menganggap praktek ini sebagai kejahatan.
Dengan demikian, kepercayaan Ibrani yang mengharamkan homoseksualitas adalah sebuah "penyimpangan" di jamannya. Dipandang dari perspektif masa itu, kepercayaan Abrahamik adalah sebuah "sekte". Lazim bagi sebuah sekte untuk menerapkan banyak tabu sebagai pembeda dengan kepercayaan "mayoritas". Dari sistem tabu yang diterapkan oleh kepercayaan Abrahamik, dua yang sangat menonjol dan dengan mudah diperiksa sebagai pembeda dengan sistem kepercayaan lain sejamannya: orang Ibrani tidak makan babi dan tidak melakukan praktek homoseksual.
Ada beberapa hipotesis mengapa orang Ibrani memilih sikap anti-homoseksualitas. Yang pertama adalah kenyataan bahwa kaum Ibrani ini jumlahnya sedikit dan senantiasa ada dalam kepungan peradaban lain yang lebih kuat secara militer. Dalam masa di mana peperangan adalah cara untuk bertahan hidup, orang Ibrani tidak punya ruang untuk praktek homoseksual. Setiap kesempatan untuk menghasilkan keturunan harus dimanfaatkan, prajurit-prajurit baru harus terus dilahirkan untuk menggantikan mereka yang gugur mempertahankan ruang-hidup mereka. Peradaban lain punya alternatif untuk menggantikan prajurit mereka yang gugur--yakni dengan menyewa tentara bayaran dari suku-suku nomaden di sekitar mereka. Orang Ibrani tidak punya sumberdaya finansial semacam itu; sehingga satu-satunya sumberdaya yang mereka punya untuk menggantikan warga mereka yang gugur adalah dari hasil prokreasi (hubungan seks untuk menghasilkan keturunan).
Kemungkinan kedua berkaitan dengan praktek yang diterapkan banyak bala-tentara imperial di masa itu: perkosaan terhadap prajurit yang kalah perang. Bala tentara Kanaan, peradaban induk dari Sodom dan Gomorra, terkenal kejam terhadap komunitas taklukannya. Para prajurit yang dikalahkan seringkali diperkosa secara homoseksual. Perkosaan, baik terhadap perempuan maupun laki-laki, tidak pernah terkait dengan nafsu kelamin; semata-mata merupakan cara penindasan dan penaklukan. Praktek semacam ini, tentu sangat menakutkan bagi bangsa Ibrani, yang saat itu menjadi musuh bebuyutan orang Kanaan. Dengan latar-belakang ini, tidak heran kalau kemudian praktek homoseksual menjadi tabu berat bagi orang Ibrani.
Namun demikian, kesaksian Abraham tidak menapis homoseksualitas sebagai satu-satunya dosa Sodom dan Gomorra. Homoseksualitas hanya salah satu dari serenceng panjang perilaku yang dikutuk oleh kepercayaan Ibrani: tidak ramah pada orang asing, menindas orang miskin, memperkosa dan melacurkan perempuan, serta mengambil riba dari orang susah. Abraham sama sekali tidak menerima perintah untuk memberi hukuman duniawi terhadap pelaku praktek homoseksual.
Hukuman duniawi terhadap pelaku homoseksualitas baru muncul dalam kitab Imamat, yang ditulis sekitar tahun 500 SM, pasca pembuangan orang Ibrani ke Babilonia. Dalam pembuangan, banyak orang Ibrani yang memilih untuk berpindah pada kepercayaan Babilonia, yang membolehkan homoseksualitas. Untuk menjaga kemurnian ajaran Ibrani, kitab Imamat dituliskan. Tentu saja, salah satu pembeda utama yang mencirikan apakah seseorang sudah "murtad" dari agama Ibrani di masa itu adalah perilaku seksualnya. Orang yang mempraktekkan homoseksualitas pastilah orang murtad. Dan orang murtad, sesuai semangat para imam Ibrani masa itu, yang tengah berusaha mencegah orang Ibrani untuk pindah agama, haruslah dihukum mati. Dikaitkannya homoseksualitas dengan pemurtadan inilah yang mendorong para imam Ibrani meresepkan hukuman mati terhadap perilaku homoseksual.
Namun demikian, selain kitab Imamat, nyaris tidak ada lagi dokumen Ibrani yang menyinggung soal homoseksualitas ini. Para imam maupun sastrawan Ibrani jarang membicarakan soal ini. Bahkan beberapa nabi Ibrani yang paling terkenal, seperti Yesaya (Isaiah) dan Yeremia (Jeremiah) lebih mengaitkan Sodom dan Gomorra dengan dusta, keangkuhan, kerakusan, perlakuan buruk terhadap orang miskin dan perzinaan secara umum. Baru pada abad pertama sebelum masehi kita temui satu kitab yang secara rinci membahas tentang homoseksualitas.
Kitab Imamat ditulis oleh seorang imam Ibrani bernama Philo, yang tinggal di Aleksandria sekitar tahun 40 SM. Di masa hidupnya, Philo berusaha membela ajaran Imamat di hadapan budaya Yunani yang mendominasi masyarakatnya di Aleksandria, dan budaya Yunani memperkenankan homoseksualitas. Dia paham betul bahwa alasan-alasan yang dulu dipakai untuk membenarkan pandangan anti homoseksual tidak lagi dapat dibenarkan di hadapan kebudayaan Yunani. Maka, Philo mengambil basis yang sama sekali berbeda: dengan merendahkan martabat perempuan dalam masyarakat.
Philo berargumen bahwa homoseksualitas membuat pria menjadi rendah martabatnya, serendah martabat perempuan. Jika pria sudah jatuh martabatnya, seluruh bangsa akan terancam. Jika dalam budaya Yunani, homoseksualitas dibenarkan karena memfasilitasi pendidikan para pahlawan perang mereka, Philo justru menempuh arah sebaliknya: penegakan dominasi maskulinitas melalui pemberantasan segala sesuatu yang berbau perempuan. Philo pulalah yang pertama kali menggubah ulang kisah Sodom-Gomorra dengan membuatnya secara eksklusif sebagai "penghukuman" terhadap homoseksualitas.
Naasnya, tulisan Philo inilah yang kemudian dipelajari banyak pemuka agama Kristen di masa awal kebangkitan agama ini, ketika sedang membangun identitas baru yang berbeda dari agama Ibrani. Terutama karena Saulus, yang kemudian berganti nama menjadi Paulus, adalah salah satu penganut Philo. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam tradisi Ibrani fanatik, Saulus membawa banyak pengaruh fanatisme Ibrani ke dalam agama Kristen ketika dia "murtad".
Melalui Philo, lalu Saulus, kebencian eksklusif terhadap homoseksualitas menyebar dalam gereja Kristen. Dan, ketika agama Kristen berhasil memperoleh kedudukan dalam Kekaisaran Romawi, pandangan Ibrani fanatik atas homoseksualitas ini turut memperoleh kedudukan dalam hukum. Dan melalui kekuasaan politik Romawi, kebencian terhadap homoseksualitas ini menyebar ke seantero Eropa dan Asia.
Di Eropa, di mana agama Kristen memperoleh kedudukan kuat, kebencian ini seringkali dituangkan dalam hukum pidana yang sangat berat. Terlebih lagi setelah salah satu pujangga besar Gereja Kristen, Agustinus dari Hippo, meletakkan dasar teologis bagi sikap anti homoseksualitas. Menarik dicermati bahwa di masa mudanya, Agustinus adalah seorang homoseksual.
Ketika Islam muncul di semenanjung Arabia, suasana sosial yang anti homoseksualitas ini turut membayangi. Posisi Al Quran sebenarnya lebih mirip dengan posisi kitab Kejadian: mengutuk namun tidak menyebutkan keharusan memberikan hukuman duniawi. Namun, karena hukum dunia sangat dipengaruhi suasana sosial, para ahli hukum syariah berusaha menemukan alasan untuk menjatuhkan hukuman badan pada pelaku homoseksual. Kegagalan mereka menemukan hukuman semacam itu dalam Quran menyebabkan mereka berpaling pada hadits. Walau demikian, patut dicermati bahwa beberapa tradisi hadits cukup berbeda dalam persoalan sikap duniawi ini: hadits riwayat Abu Daud (38:4447) meresepkan hukuman mati, sementara hadits riwayat Bukhari (72:774) hanya merujuk pada "pengusiran dari rumah". Mahzab Hanafi dan Hambali pun berbeda dalam penerapan hukum duniawi terhadap pelaku homoseksualitas.
Sikap anti terhadap homoseksualitas telah berkembang dari sebuah pandangan sektarian, menjadi sebuah pandangan global. Dan sejarah telah membantu kita memahami latar belakang perkembangan ini. Kita sudah lihat bagaimana kondisi sosial dan hukum dunia merupakan dua hal yang saling berkelindan, saling mempengaruhi dan saling menentukan. Akan menjadi apa situasinya di masa depan, biarkan sejarah yang akan menjawabnya. Yang pasti, pesan Abrahamik yang mengutuk perilaku tidak ramah pada orang asing, menindas orang miskin, dan tindak kekerasan seksual (baik pada perempuan maupun laki-laki) tetaplah relevan sampai jaman ini.
Sumber :
http://rictornorton.co.uk/homopho1....
https://www.amazon.com/Homosexualit...
Komentar
Posting Komentar