Bertengkar Dengan Menggunakan Al Qur’an

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-8/p720x720/12473637_924027574359688_3254009537533168118_o.jpg
Satu hal yang saya sudah malas membicarakannya adalah "Al Qur'an". Bila-pun benar Al Qur'an adalah wahyu dari Sang Pencipta semesta manusia bertengkar karena Al Qur'an itu.
Sepintas lalu Al Qur'an membawa pada ajakan moral. Akan tetapi bila semakin diikuti akan semakin membawa dampak beban berat bagi kehidupan, hingga semua terasa ditutup peluang agar manusia bisa berkarya dengan wajar di dunia ini.
Apakah ini ajakan untuk menjadi murtad atau kafir dari saya ?. Tidak !. Saya menghormati pilihan hidup orang. Saya hanya mengajak orang berpikir ulang tentang Al Qur'an dengan kejujuran. Mungkin banyak orang yang mengalami hal takaluf karena dampak menjalankan Al Qur'an.
Sebenarnya sama saja, apakah Al Qur'an, apakah Injil, apakah Taurat, semua kitab-kitab yang dianggap dari langit itu memberi beban yang sangat berat bagi manusia hingga perihal yang sangat kecil bagi kehidupan semua harus dibuat formal menurut aturan syariah.
Saya suka bila orang berani berpikir ulang soal kitab-kitab suci itu. Meski ayat-ayat dalam kitab-kitab suci itu tidak semua kontra dengan nilai kemanusiaan, akan tetapi secara umum kejadian yang sudah berjalan selama ribuan tahun justru kitab-kitab suci itulah sebagai pendorong paling besar peperangan. Bahkan Al Qur'an sangat mencela orang-orang yang tidak suka berperang.
Pemahaman seperti ini bias. Apakah ini soal penafsiran belaka, akau memang esensi dari wahyu-wahyu itu memang keras, sebagai beban atau hukuman bagi manusia. Jadi dari sini kita mulai berpikir, apa dan siapakah manusia itu, darimana dan akan kemana, kenapa manusia menjadi obyek dari ego yang lain, mulai Tuhan, syaithan, bahkan dirinya sendiri, manusia harus memanggung beban yang begitu berat hingga mustahil dipenuhi semua tuntutan-tuntutan agar manusia secara ideal mencapai kondisi yang harmoni.
Kita juga akan berpikir, bila manusia itu selalu menjadi obyek, sebenarnya apa keutamaan tersembunyi manusia itu sehingga semua tertarik untuk memenderitai manusia dengan keinginan-keinginan mereka dalam tuntutan-tuntutan itu. Bisa jadi sebenarnya manusia itulah yang mengadung esensi Tuhan, atau setidaknya mengenal Tuhan dengan baik. Atau mungkin ada jawaban sebenarnya dimana kita belum tau akan hal itu.
Kembali pada membahas Al Qur'an. Bila-pun Al Qur'an itu kebenaran yang sebenar-benarnya. Akan tetapi kenyataannya manusia bertengkar dengan Al Qur'an. Ataukah ada kesalahan epistemologi dalam jagad keislaman soal hal ini sehingga umat salah menilai akan Al Qur'an ?.
Sebenarnya saya enggan lagi membahas Al Qur'an karena dua alasan. Pertama, sebagai agnostik tentu saya mempertanyakan hakikat Al Qur'an itu sampai pada tahap mistisisme nya, jadi tidak akan puas bila dijawab dengan ayat-ayat yang ada dalam Al Qur'an. Saya harus punya pengalaman mistik dengan Al Qur'an hingga keraguan saya hilang. Dan saya memang masih memiliki kepercayaan bahwa sebenarnya esensi Al Qur'an itu baik. Bisa jadi saya mengambil sikap seperti ini karena terpengaruh geo-politik yang terjadi dalam keberumatan umat Islam dalam perkembangan sejarah dan perpolitikan akhir-akhir ini yang menunjukkan bila produk dari Al Qur'an adalah kekacauan dan pengerusakan (tuntutan-tuntutan khilafah). Kedua, saya menghormati Al Qur'an, tentu saya enggan bila saya harus bertengkar atau berkonflik dengan orang atau kelompok lain karena Al Qur'an. Saya berpendapat, bila Al Qur'an adalah jalan hidup, tentu selayaknya kita melanjutkan perjalanan, bukan berhenti dan mengambil pertengkaran dengan orang lain ditepi jalan. Dan bila Al Qur'an itu adalah penerang, tentu tidak akan membawa orang yang mempercayainya pada kegelapan.
Dari cara pikir saya tadi, saya (mungkin) tidak mengimani Al Qur'an lagi, akan tetapi saya meletakkan Al Qur'an sebagai "Kemungkinan", dan tentu saja kemungkinan adalah sesuatu yang harus dipahami dengan ilmu pengetahuan, tidak terima jadi langsung membenarkan (percaya) begitu saja.
Bagi saya, validitas memang sangat penting, artinya ada yang bisa dipertanggung-jawabkan, dan tanggung-jawab adalah ketersambungan dua pihak yang saling menggenapi dan konsisten. Saya memang sulit mempercayai hal-hal yang tidak konsisten, mengambang tidak jelas. Sebab, dalam pengalaman saya hal seperti itu biasanya adalah bentuk kezaliman yang disengaja agar suatu pihak memperoleh keuntungan dan pihak yang satunya hancur.
Bila cara pikir seperti ini kita bawa dalam ranah agama, kita akan bertanya :"Apa keuntungan Tuhan atas manusia ?". Dalam teologi Tauhid pasti akan dijawab :"Allah tidak butuh apapun dari manusia !", kemudian diteruskan dengan kalimat-kalimat yang berat sebagai belaan dan argumen kemulyaan Allah. Tetapi bila hal itu betul, kenapa syariah begitu memberi banyak beban bagi manusia ?. Dan kalau pertanyaan ini dijawab bahwa semua itu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Maka kita coba melihat, apa produk dari bentuk-bentuk syariah dalam kehidupan. Mungkin ada sisi baik dalam konteks moral, akan tetapi hal-hal yang kebablasan hingga semua dikontrol dengan moral yang sangat mengikat tentu ini akan membuahkan beban berat juga. Jadi, harusnya ada pemisahan yang jelas secara terminologi. Bila semua hal harus di-agama-kan, sebenarnya itu akan menghasilkan ketimpangan kehidupan karena benturan hal-hal yang fundamen pemahaman kenyataan akan terjadi. Misal, kalau kita ingin mengislamkan segala sesuatu, seumpama ilmu kimia, padahal ilmu kimia saat ini sudah sedemikian cukup modern dan itu tidak ada dalam literatur doktrin agama, tentu bila berpikir secara fundamen ilmu kimia itu haram, sebab, tidak ada dalilnya dari Al Qur'an dan hadis (seperti pengharaman ilmu kimia oleh ISIS tahun lalu). Padahal kita telah hidup dengan ilmu kimia itu tadi, mulai pakaian hingga alat-alat yang kita gunakan setiap saat.
Jadi, agama itu harus diberi ruang tersendiri, sains juga punya ruang tersendiri, filsafat, kemanusiaan, seni, dsb, memiliki ruang tersendiri. Umat tidak perlu menjadi galau dengan adanya pemisahan dimensi ini, toh kita tidak berpisah dengan agama, kita tetap tinggal dalam agama dan menjalankan menurut kemampuan masing-masing. Orang tidak perlu takut bila sains diserang agama, toh kita setiap saat menggunakan produk sains yang berupa teknologi modern. Orang tidak perlu takut tidak bisa berfilsafat, sebab, aslinya semua orang selalu berpikir meski dengan tingkat rasio masing-masing. Orang tidak perlu takut bila seni tidak laku, toh hidup ini memang ada sisi keindahan didalamnya. Nah, semua itu memiliki dimensinya masing-masing, dan antar dimenasi berjalan dengan harmoni. Akan tetapi, bila ada upaya pengacauan dari yang tingkat paling dasar (epsitemologi) dengan alasan kepercayaan kosmologi bila dunia ini jelek dan akan hancur maka patut dilaknat dan dihancurkan, yang kemudian membuat generalisasi dimensi-dimensi dengan alasan wahyu agama (yang tidak membutuhkan alasan rasionalitas) maka kemanusiaan akan hancur, setidaknya penuh dengan ketimpangan dan disharmoni.
Kita tau betul bila hidung untuk bernafas dan itu bagian dari tubuh manusia, akan tetapi kita tidak bisa kencing melalui hidung. Kita tau mata adalah bagian dari tubuh kita, akan tetapi kita tidak bisa makan melalui mata. Maka inilah perlunya adanya pemahaman tentang terminologi sehingga dimensi-dimensi itu bisa dikenal dengan baik kemudian aplikasinya bisa berjalan dengan benar.
Lalu bagaimana dengan wahyu semisal Al Qur'an. Apakah tidak ada terminologi dalam Al Qur'an ?. Tentu saja ada !. Al Qur'an sebenarnya bukan hanya membahas benar dan salah, akan tetapi Al Qur'an juga memilah dan mengelompokkan jenis-jenis karakter manusia menjadi banyak kelompok, dan dari kelompok-kelompok itu Al Qur'an menjelaskan penyebab dan tujuan mereka, kadang juga mengajarkan teknik yang harus ditempuh oleh seseorang agar mencapai kondisi tertentu, biasanya akan menggunakan kata "La'alakum" yaitu supaya kamu, misalnya "Tuflihuun" yaitu beruntung, menang, bahagia.
Al Qur'an meski ayat-ayat dalam mushaf itu berserakan tidak urut secara terminologi keilmuan tertentu, akan tetapi bagi seorang yang paham atau ulama' mereka akan mengetahui hal itu, karena ini juga-lah ada khazanah ilmiah Al Qur'an yang beragam, mulai syariah, ruhani (tasawuf), sastra (metafora), inspirasi bagi sains, filsafat-sejarah, dsb.
Pengelompokan keilmuan tadi adalah keniscayaan, dan secara sosial menghasilkan madzab-madzhab tertentu karena mereka adalah kumpulan orang-orang yang sepakat dalam suatu gagasan.
Jadi sangatlah mengherankan bila ada yang mengatakan tidak perlu adanya mazhab-madzab yang berbeda karena mereka yakini hal itu akan menghancurkan Islam. Di sini lain ada yang mengatakan dengan adanya kelompok-kelompok Muslim yang beragam tadi adalah kaum sesat dan pasti masuk neraka dan hanya dia dan kelompoknya yang masuk surga karena sesuai dengan hadis tentang ahlus sunnah wal jama'ah. Dua pernyataan ini adalah hal-hal yang sensitif sehingga orang menggunakan emosi. Tetapi betulkah semua itu. Siapa yang menjamin penilaian dan penghargaannya. Siapa, bagaimana, dan dimana Allah ?. Lagi-lagi ... dan selalu saja orang bertengkar dengan (menggunakan) Al Qur'an.
Mungkin, pertentangan antar umat manusia menggunakan wahyu-wahyu itu sudah nash dari Tuhan, dan itu juga kita temukan dalam Al Qur'an dengan alasan agar Allah tau siapa yang paling baik amalnya. Tetapi maafkan saya ya Allah, saya tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu lagi, sebab, saya percaya pengetahuan-Mu tidak terbatasi oleh waktu dan dimensi



Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي