Ketika Kemanusiaan Mengalahkan Para Dewa
Ketika sebuah kebudayaan masih membutuhkan kultus, itu akan sulit berkembang bila tidak ada kultus baru. Tetapi bagaimana bila kultus sengaja telah dihentikan dengan karakter masyarakat dan budaya yang masih belum bisa meninggalkan kultus ?. Tentu saja menyebabkan Kejumudan. Itulah yang terjadi dalam Islam saat ini.
Masyarakat yang masih membutuhkan kultus biasanya diiringi dengan SDM yang buruk dan jauh dari kemandirian. Ini disebabkan karena pikiran dan opini dalam masyarakat masih tergantung pada harapan-harapan yang abstrak, tidak begitu berani melihat kenyataan yang ada dan tergerak untuk melakukan karya sebagai respon akan kondisi yang ada.
Sampai kapan akan berlangsung ?. Hal ini tidak bisa berubah selama alam pikir masyarakat dalam sebuah kebudayaan terbaharui, pergantian generasi-pun mungkin tidak akan menjamin adanya perubahan selama alam pikir mereka tetap sama.
Tetapi dengan kecepatan informasi sekarang ini peluang menjadi lebih terbuka, sebab, orang-orang yang peduli dan kritis dengan gagasan dan kondisional akan muncul dalam opini-opini, ini akan semakin subur meski kaum konservatif juga tidak kalah responsif terhadap orang-orang yang berpemikiran progresif. Saya percaya bila dalam kondisi pertarungan pemikiran seperti ini kaum progresif lebih jujur dibanding kaum konservatif, sebab, mereka menyuarakan hati nurani banyak orang yang tertindas aturan-aturan baku lahiriah dimana sebenarnya aturan baku (syariah) seperti itu tidak bisa menjangkau motif yang ada dalam banyak persoalan sehingga seringkali kebijaksanaan malah dianggap kemunafikan dan penjungkirbalikan nilai-nilai sosial. Sedangkan orang konservatif akan mempertahankan status mereka dalam hirarki dimana banyak mendapat suplai energi dari bawah. Jadi sebenarnya memang terjadi kondisi pengerucutan dalam model kapitalisme. Ya, memang demikianlah kebiasaan yang terjadi dalam kebudayaan yang masih menggunakan kultus.
Terakumulasinya opini kaum progresif akan mendapat dukungan dari mereka yang tertindas dan mereka yang memiliki gagasan yang sejenis. Mungkin perjuangan gagasan seperti ini akan berat. Tetapi bila akumulasi opini dan gagasan semakin kuat bisa mengikis rivalnya. Bila dikatakan bahwa sistem terbentuk dari opini maka terakumulasinya suatu opini adalah potensi bagus untuk melakukan perubahan yang lebih baik dan adil.
Inilah kenapa silaturahmi sangat penting, sebab, itu bisa mempertemukan banyak gagasan yang memiliki spektrum kesadaran serupa meski dari kalangan yang berbeda. Mungkin kaum progresif bisa kalah jumlah, tetapi biasanya mereka akan terjalin suatu relasi yang kokoh dan lebih intelektual dikarenakan kemampuan mereka bertahan dalam kondisi yang sulit. Tetapi sebaliknya, kamu konservatif biasanya akan saling menyalahkan diantara mereka sendiri karena rebutan hirarki yang lebih diatasnya lagi, bahkan ada bukti dalam sejarah-sejarah bila mereka saling menyingkirkan antara satu dengan yang lain karena sebenarnya mereka tidak akan pernah peduli dengan apapun selain lobang-lobang kehidupan mereka sendiri. Itu adalah kelemahan fatal mereka yang mungkin kadang mereka menyadari tetapi selalu enggan untuk memperbaiknya karena sebenarnya mereka telah disedot oleh lobang-lobang kehidupan dalam tubuh mereka sendiri dikarenakan mereka mengabaikan harmoni dalam kehidupan.
Mereka meyakini kultus, dan mereka akan menjadi kultus juga, tetapi sepertinya kultus yang tidak baik, karena inilah kenapa dewa-dewa dalam sejarah umumnya bercitra negatif dan sebagian mereka hancur atau tidak dipercaya oleh manusia lagi dikarenakan manusia sudah bisa memiliki gagasan yang lebih maju.
Tetapi bila ditanyakan : “Bagaimana bila kaum konservatif itu menggunakan kekuatan dan kekerasan melindungi posisi dalam hirarki bahkan semakin eksploratif dengan penindasan terhadap kemanusiaan seperti yang akhir-akhir ini semakin terlihat nyata di Timur Tengah ?”. Saya menjawab : “Kita memang tidak memiliki kecanggihan untuk melakukan eksplorasi terhadap kemanusiaan karena kita dipihak kemanusiaan itu sendiri sehingga seolah kita terasa lemah. Tetapi ada suatu penghiburan yang nyata seperti saya katakan tadi bila mereka sebenarnya akan saling bertengkar diantara mereka sendiri hingga hancur dan berlalu. Akan tetapi hal seperti itu membutuhkan waktu yang sangat panjang mungkin hingga ribuan tahun, tentu kita tidak bisa bersabar atas yang demikian. Maka, sebaiknya kita tidak terobsesi dengan hal yang sama dengan mereka yaitu ‘Ingin Memiliki’, tetapi kita mesti membuat karya dalam hidup ini setidaknya pada lingkup internal kita sendiri. Bila kita memang sampai emosional kita mestinya mengarahkan emosi itu sebagai dialektika berjalan sehingga wacana sedikit demi sedikit akan tersebar dan mulai dikenal oleh kalangan luar dan kita juga tidak arogan seperti mereka untuk memaksakan suatu gagasan, tetapi kalau kita memang memiliki gagasan yang menarik, faktual, dan harmoni dengan alam pasti ada selalu ada orang yang kesadarannya menjadi terbuka setelah mengenal dialektika berjalan kita”. Demikianlah jawaban saya.
Pernahkan anda melihat bila gagasan-gagasan tentang kebenaran, Tuhan ataupun dewa-dewa, dan juga agama mereka sepakat diantara kelompok-kelompok itu ?. jawabnya ‘Tidak’, sebab, aslinya memang dewa-dewa itu hasil pemikiran kaum yang ingin melakukan eksplorasi terhadap kemanusiaan. Padahal ketika mereka sebenarnya hanyalah produk pemikiran juga kenapa kita tidak berani melakukan Update Teologi agar Tuhan semakin sinkron dengan nilai kemanusiaan. Akan tetapi siapa yang tau soal Tuhan semesta alam sebenarnya ?, tidak ada yang tau. Lalu, apabila Tuhan semesta alam memang berkarakter biadab apakah kita harus ikut-ikutan kebiadaban-Nya ?. Seandainya pun kita diancam akan dimasukkan kedalam neraka kita tidak akan pernah menyesal dengan kebaikan yang pernah kita lakukan dengan mendukung kemanusiaan, karena kita memang manusia dan mau untuk mandiri dengan karakter kita meski dicela disana-sini toh mereka tidak memiliki solusi atas apa yang ada dihadapan kita malah hanya bisa menuntut ini dan itu.
Demikianlah keberanian kita meninggalkan kultus dewa atau Tuhan, sebab kita percaya Tuhan bukan tujuan lagi, Dia ada di dalam diri kita dan segala sesuatu. Dari sinilah kita menjadi memiliki hati yang tenang, pikiran yang terbuka, dan harmoni dengan lingkungan (semesta). InsyaAllah, perubahan cara pikir akan diiringi dengan perbaikan SDM dan respon kita terhadap jagad keyakinan, dengan begitu lebih bisa mewujudkan peradaban selanjutnya yang lebih bersih dan lebih baik.
Kita memang manusia, sudah selayaknya menerima kemanusiaan kita. Kita tidak perlu takut dualitas karena alasan penuhanan, sebab, dualitas memang kenyataan makhluk. Sedangkan ketunggalan Tuhan sebenarnya adalah upaya pembahasaan dari “Teori bagi segala sesuatu” dalam versi kosmologi agama.
Komentar
Posting Komentar