Seks dan Agama
Seks, sebagaimana Tuhan, adalah sesuatu yang sangat misterius dan unik. Kita tentu patut bertanya-tanya mengapa seks dan seksualitas menempati maqam sangat istimewa di benak manusia sehingga diselubungi, ditutupi, diintip, dikomodifikasi, diharamkan, ditabukan dan bahkan ada yang dikutuk, namun oleh sebagian orang seks juga dianggap sebagai “barang” yang berharga sehingga perlu “dirayakan” dengan sejumlah ritus sebelum aktivitas seks berlangsung. Prosesi perayaan ritual seks itu sudah dilakukan oleh manusia sejak zaman kerajaan tempo dulu di belahan dunia manapun.
Fenomena “Jakarta Undercover” yang menampilkan hidangan seks begitu eksklusif, lux, berharga tetapi indah dan menawan dengan latar ritual tertentu khas “orang modern” hanyalah modifikasi atau sekedar melanjutkan tradisi purba itu. Persis seperti orang berpakaian serba mini atau bahkan telanjang bulat sebetulnya bukanlah tradisi atau bagian dari kebudayaan modern melainkan warisan dari kebudayaan purba para leluhur kita. Tetapi justru karena istimewanya itu, kehadiran seks selalu memicu kontroversi dari waktu ke waktu. Pada waktu dan ruang tertentu, seks pernah dipuja karena dipandang sebagai sesuatu yang suci tetapi pada saat yang lain seks dimaki dan dikutuk lantaran dianggap sebagai aktivitas kotor, tabu, menjijikkan dan haram.
Seks sebagai sesuatu yang sakral, suci dan menyimpan sejuta magis, misalnya tampak pada tradisi masyarakat India, China atau Jawa kuno (sebagian diwarisi oleh masyarakat keraton). Sebagaimana dalam tradisi India yang memiliki Kamasutra, di Jawa juga mengenal Asmaragama atau katakanlah “seni persenggamaan” (sering disebut “Kamasutra Jawa”). Dalam tradisi ini, seks bukan dipandang sebagai aktivitas yang semata-mata hubungan badaniah, kotor, rendah, dan murahan yang hanya untuk melampiaskan nafsu birahi semata (sebagaimana trend dewasa ini) melainkan sebuah aktivitas yang sakral—“aktivitas batin” yang penuh kearifan dan simbol-simbol filosofis-spiritual. Karena memandang seks sebagai aktivitas ritual yang suci dan sakral, maka melakukannyapun harus melalui cara-cara yang sakral, penuh sopan-santun dan dengan adab dan tata-krama tertentu: dengan mantra (doa), wewangian, air bertabur bunga dan seterusnya.
Mereka memandang seks sebagai aktivitas ritual yang sakral karena seks adalah “awal mula kehidupan”. Dunia dan kehidupan ini ada setelah melalui proses senggama! Dalam tradisi Jawa, laki-laki disimbolkan dengan lingga (penis) sedangkan perempuan yoni (vagina). Dalam kosmogoni Jawa, manusia berasal dari tirta sinduretna yang keluar saat lingga dan yoni bertemu (baca, bersenggama), yang kemudian berkembang menjadi janin. Maka, dalam aliran Sastra Jendra, hubungan seks sejati adalah mencari rahasia alam atau dalam istilah Jawa kuno disebut “wewadining jagat”. Hariwijaya telah menguraikan dengan cukup baik fenomena ini dalam buku Seks Jawa Klasik.
Meskipun konsep Jawa kuno memandang seks sebagai aktivitas sakral tetapi—dan ini yang unik—mereka melukiskannya secara vulgar dan terbuka. Seolah mereka ingin mengatakan bahwa eksistensi seks tidak perlu ditabukan dan dirahasiakan. Di candi-candi peninggalan Hindu di Jawa (bahkan Nusantara) sering dijumpai lukisan lingga dan yoni yang merupakan representasi penis dan vagina. Di lereng Gunung Lawu ditemukan “candi lanang” dan “candi wadon”. Dalam ornamen candi tersebut ditunjukkan bahwa perilaku seks adalah perilaku yang alamiah, natural, wajar dan perlu dipelajari demi kebahagiaan ontologis manusia. Disana seolah tertulis pesan: seks, jika dilakukan dengan benar, mampu mengantarkan manusia pada keagungan dan penyempurnaan diri. Dalam tradisi mistik Jawa, jalan mencapai kesempurnaan (teks Arab: insan kamil) memang tidak hanya dilakukan lewat jalan rasional (akal), atau jalan spiritual (hati) saja tetapi juga bisa ditempuh melalui jalur seksual (alat kelamin).
Inilah sebuah fase sejarah di mana seks mengalami “vulgarisasi” dan “deprivatisasi”. Konsep seks kemudian mengalami pergeseran radikal dalam tradisi dan kognisi masyarakat Jawa setelah Islam datang di negeri ini. Kehadiran Islam kemudian membalik 180 derajat wacana tentang seks. Seks yang semula merupakan fenomena “publik” kemudian mengalami “privatisasi”. Seks kemudian “direpresi”, ditindas dan dimasukkan ke dalam sel yang bernama tabu dan haram. Dalil fiqih memang mengatakan “al-ashlu fi al-ibda’ al-tahrim”—yakni bahwa hubungan seks pada dasarnya adalah haram sampai ada sebab-sebab yang jelas dan yakin yang menghalalkannya, yakni akad nikah. Islam—atau setidaknya para ulama—memang tidak membolehkan seks diobral secara bebas dan vulgar dalam pengertian tanpa akad nikah itu tadi. Mengobral seks adalah tindakan yang “dikutuk oleh Tuhan”. Masalah seks harus dibungkus rapat seperti orang Arab membungkus rapat badan mereka di balik jubah, gamis dan cadar. Harap dicatat, meskipun seks dan tubuh mereka ditutup rapat bukan berarti Arab merupakan kawasan yang bebas dan aman dari pelecehan seksual. Bahkan sejumlah kawasan Arab justru merupakan tempat yang mengkhawatirkan bagi pemuda-pemudi klimis Asia khususnya.
Persepsi Islam yang begitu ketat dan kaku tentang seks inilah yang kemudian menimbulkan sejumlah perlawanan budaya oleh masyarakat Jawa dulu. Aura perlawanan ajaran seks dalam Islam ini begitu jelas dan gamblang terlihat dalam teks-teks Serat Centhini (dalam tradisi Cirebon disebut Serat Cendini) atau yang lebih vulgar lagi dalam Serat Darmogandul dan Gatoloco di abad ke-18 dan 19. Dalam Serat Centhini misalnya dikisahkan ada dua orang santri yang setelah melakukan hubungan seks oral kemudian mandi junub dan salat subuh bersama. Itu dilakukan dengan penuh ceria dan suka-cita, tanpa rasa bersalah sedikitpun, atau perasaan dosa terhadap ajaran normatif Islam tentang zina. Dalam Serat Darmogandul atau Gatoloco lebih vulgar lagi. Syari’at atau dalam dialek Jawa “sarengat” diplesetkan: kalau sare njengat (kalau muslim/santri sedang tidur penisnya berdiri); Mekah diplesetkan: kalau dimek-mek mekakah [“kalau (vaginanya) dipegang-pegang, perempuan jadi membuka pahanya karena keenakan] dan sejenisnya. Terlepas setuju atau tidak setuju terhadap materi/isi teks-teks jawa itu, saya memandang, teks-teks itu sebagai “perlawanan budaya” orang Jawa terhadap agama baru Islam karena memandang agama impor dari Timur Tengah ini telah banyak mengatur dan mencampuri wilayah privat dan hak-hak asasi mereka termasuk dalam hal ini adalah masalah seks.
Apa yang dilakukan oleh para penggubah Serat Centhini, Darmogandul atau Gatoloco di atas dalam melakukan protes atau perlawanan budaya (teologis?) terhadap ajaran normatif Islam tentang seks, persis seperti apa yang dilakukan oleh Friedrich Nietzsche atau Michel Foucault dalam sejarah Eropa modern. Kedua tokoh ini sama-sama geram melihat ajaran-ajaran Kristen yang penuh sesak dengan moralitas (bedanya, kritik Nietzsche lebih vulgar ketimbang Foucault yang masih terkesan “hati-hati” dan “sopan” seperti tampak dalam bukunya, The History of Sexuality). Sementara moralitas Kristen, menurut Nietzsche, adalah “herdenmoral”—moral massal atau komunal yang sudah ditetapkan secara semena-mena oleh “Tuhan” dalam “Kitab Suci” (sengaja saya pakai tanda kutip). Dengan begitu, orang Kristen—masih menurut Nietzsche—adalah seperti budak-budak yang hidupnya terbelenggu. Mereka hakikatnya adalah “setengah manusia” (das man) bukan “manusia sejati” (der ubermensch) karena belum bisa membebaskan diri dari pengaruh teks dan ajaran-ajaran normatif Kristen.
Ajaran Kristen—sebagaimana Islam—memang sangat “represif” dan “restriktif” terhadap praktek-praktek seksual. Ini tentu berbeda dengan di China atau India atau Jawa seperti yang saya sebutkan diatas di mana seks justru dianggap sebagai “seni erotis” (ars erotica): seks tidak dievaluasi dengan kategori benar-salah, halal-haram, melainkan dieksplorasi secara mendalam sebagai kenikmatan lahir-batin, sebagai seni yang indah yang penuh simbol-simbol spiritual-filosofis.
Sebagai pemuja sekularisme, Nietzsche tentu saja menolak mentah-mentah apa yang disebut sebagai “moralitas seks” yang dirumuskan Kristen. Penolakan ini menyebabkan ia disebut sebagai anti-Christ. Bahkan lebih jauh, dalam Genealogie der Moral (1887), Nietzsche bukan hanya menolak moral Kristen tetapi juga paham moral secara keseluruhan, yakni norma universal yang dikenakan pada setiap orang secara sama. Selanjutnya, ia menginginkan agar mutu kehidupan tidak diukur dengan kategori “moral” melainkan dengan “seni”. Hidup yang sejati adalah yang sesuai dengan dan mengikuti dorongan naluri kehidupan yang asli bukan mengikuti kode-kode etik yang ditetapkan dari luar. Dan naluri kehidupan yang asli itu adalah seni. Gaya hidup semacam itu akan mampu mengatasi “kebaikan” dan “keburukan” (norma) moral. Pandangan Nietzsche ini telah menjungkirbalikkan nilai-nilai lama Kristen sehingga oleh para musuhnya ia diledek sebagai “seorang moralis yang tidak bermoral”. Persepsi atas seks yang diidealkan Nietzsche adalah seperti yang terjadi pada zaman Yunani kuno, di mana seks tidak dipandang dari kacamata moralitas yang sempit melainkan dari perspektif seni yang indah. Ini juga sama seperti para penggubah Serat Centhini, Darmogandul atau Gatoloco dalam tradisi Jawa yang mengidealkan konsep seks sebagaimana dalam tradisi Jawa kuno bukan seperti yang dirumuskan Islam yang penuh dengan petuah moral.
Fakta-fakta tentang persepsi masyarakat terhadap seks di atas menunjukkan bahwa realitas seksualitas merupakan, meminjam istilah Herbert Marcuse, polymorphous perverse—“sebuah penyimpangan yang beraneka ragam”. Maksudnya bahwa konsep seks (atau tepatnya persepsi masyarakat tentang seks) akan selalu berubah dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan masyarakat itu sendiri. Dalam The History of Sexuality, Foucault telah menunjukkan dengan baik bagaimana konsep seks ini terus mengalami revolusi pemaknaan dari waktu ke waktu. Konsep seks pada zaman Yunani kuno tentu berbeda dengan zaman imperial ketika demokrasi Athena runtuh dan digantikan oleh kekaisaran Alexandria 300 SM. Karakter zaman Yunani ini pun berbeda lagi dari zaman Romawi yang penuh dengan aturan hukum legal-formal, kemudian era Kristianisme yang bertaburan “firman Tuhan”, era Eropa Abad Pencerahan yang mendewakan akal dan rasio dan seterusnya. Ini belum lagi jika dibandingkan dengan tradisi-tradisi besar di luar Eropa seperti Timur Tengah (terutama Persia, Mesir dan Mesopotamia dll), China, India atau Jawa tentu akan lebih kaya dan variatif lagi wawasan tentang seks.
Di Indonesia yang konon menjunjung tinggi “budaya adiluhung” dan “konservatif” terhadap seks saja dikejutkan dengan fenomena “Jakarta undercover” dimana seks tidak lagi menjadi masalah privat dan personal melainkan sudah menjadi fenomena publik dan mengalami “vulgarisasi”. Ini adalah sebuah episode revolusi seks yang luar biasa dalam tradisi masyarakat kita sekaligus guna menunjukkan fakta keberagaman persepsi mengenai seks itu tadi.
Apa yang diwartakan oleh agama (Islam, Kristen dan lainnya) hanyalah satu sisi saja dari sekian banyak persepsi tentang seks itu atau katakanlah sex among others. Bahkan jika kita kaji lebih jauh, ajaran Kristen atau Islam yang begitu “konservatif” terhadap tafsir seks sebetulnya hanyalah reaksi saja atas peradaban Yunani (Hellenisme) yang memandang seks secara wajar dan natural. Kita tahu peradaban Yunani telah merasuk ke wilayah Eropa (lewat Romawi) dan juga Timur Tengah di Abad Pertengahan yang kemudian menimbulkan sejumlah ketegangan kebudayaan. Oleh karena itu tidak selayaknya jika persepsi agama ini kemudian dijadikan sebagai parameter untuk menilai, mengevaluasi dan bahkan menghakimi pandangan diluar agama tentang seks.
Apa yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah pemandangan keangkuhan oleh kaum beragama (dan lembaga agama) terhadap fenomena seksualitas yang vulgar sebagai haram, maksiat, tidak bermoral dan seterusnya. Padahal moralitas atau halal-haram bukanlah sesuatu yang given dari Tuhan melainkan hasil kesepakatan atau konsensus dari “tangan-tangan ghaib” (invisible hand, istilah Adam Smith) kekuasaan baik kekuasaan politik maupun otoritas agama. Teks-teks keagamaan dalam banyak hal juga merupakan hasil “perselingkuhan” antara ulama/pendeta dengan pemimpin politik dalam rangka menciptakan stabilitas.
Saya rasa Tuhan tidak mempunyai urusan dengan seksualitas. Jangankan masalah seksual, persoalan agama atau keyakinan saja yang sangat fundamental, Tuhan—seperti secara eksplisit tertuang dalam Al Qur’an—telah membebaskan manusia untuk memilih: menjadi mukmin atau kafir. Maka, jika masalah keyakinan saja Tuhan tidak perduli apalagi masalah seks? Jika kita mengandaikan Tuhan akan mengutuk sebuah praktek “seks bebas” atau praktek seks yang tidak mengikuti aturan resmi seperti tercantum dalam diktum keagamaan, maka sesungguhnya kita tanpa sadar telah merendahkan martabat Tuhan itu sendiri. Jika agama masih mengurusi masalah seksualitas dan alat kelamin, itu menunjukkan rendahnya kualitas agama itu.
Demikian juga jika kita masih meributkan soal kelamin—seperti yang dilakukan MUI yang ngotot memperjuangkan UU Pornografi dan Pornoaksi—itu juga sebagai pertanda rendahnya kualitas keimanan kita sekaligus rapuhnya fondasi spiritual kita. Sebaliknya, jika roh dan spiritualitas kita tangguh, maka apalah artinya segumpal daging bernama vagina dan penis itu. Apalah bedanya vagina dan penis itu dengan kuping, ketiak, hidung, tangan dan organ tubuh yang lain. Agama semestinya “mengakomodasi” bukan “mengeksekusi” fakta keberagaman ekspresi seksualitas masyarakat. Ingatlah bahwa dosa bukan karena “daging yang kotor” tetapi lantaran otak dan ruh kita yang penuh noda. Paul Evdokimov dalam The Struggle with God telah menuturkan kata-kata yang indah dan menarik: “Sin never comes from below; from the flesh, but from above, from the spirit. The first fall occurred in the world of angels pure spirit…”
Bahkan lebih jauh, ide tentang dosa sebetulnya adalah hal-hal yang terkait dengan sosial-kemanusiaan bukan ritual-ketuhanan. Dalam konteks ini maka hubungan seks baru dikatakan “berdosa” jika dilakukan dengan pemaksaan dan menyakiti (baik fisik atau non fisik) atas pasangan kita. Seks jenis inilah yang kemudian disebut “pemerkosaan”. Kata ini tidak hanya mengacu pada hubungan seks di luar rumah tangga tetapi juga di dalam rumah tangga itu sendiri. Seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) dikatakan “memperkosa” (baik dalam rumah tangga yang sudah diikat oleh akad-nikah maupun bukan) jika ia ketika melakukan perbuatan seks ada pihak yang tertekan, tertindas (karena mungkin diintimidasi) sehingga menimbulkan perasaan tidak nyaman. Inilah tafsir pemerkosaan. Dalam konteks ini pula saya menolak sejumlah teks keislaman (apapun bentuknya) yang berisi kutukan dan laknat Tuhan kepada perempuan/istri jika tidak mau melayani birahi seks suami. Sungguh teks demikian bukan hanya bias gender tetapi sangat tidak demokratis, dan karena itu berlawanan dengan spirit keislaman dan nilai-nilai universal Islam.
Lalu bagaimana hukum hubungan seks yang dilakukan atas dasar suka sama suka, “demokratis”, tidak ada pihak yang “disubordinasi” dan “diintimidasi”? Atau bagaimana hukum orang yang melakukan hubungan seks dengan pelacur (maaf kalau kata ini kurang sopan), dengan escort lady, call girl dan sejenisnya? Atau hukum seorang perempuan, tante-tante, janda-janda atau wanita-wanita kesepian yang menyewa seorang gigolo untuk melampiaskan nafsu seks? Jika seorang dosen atau penulis boleh “menjual” otaknya untuk mendapatkan honor, atau seorang dai atau pengkhotbah yang “menjual” mulut untuk mencari nafkah, atau penyanyi dangdut yang “menjual” pantat dan pinggul untuk mendapatkan uang, atau seorang penjahit atau pengrajin yang “menjual” tangan untuk menghidupi keluarga, apakah tidak boleh seorang laki-laki atau perempuan yang “menjual” alat kelaminnya untuk menghidupi anak-istri/suami mereka?
Ada sebuah kisah dalam sejarah keislaman yang layak kita jadikan bahan renungan: ada seorang pelacur kawakan yang sudah letih mencari pengampunan kemudian menyusuri padang pasir yang tandus. Ia hanya berbekal sebotol air dan sepotong roti. Tapi di tengah perjalanan ia melihat seekor anjing yang sedang kelaparan dan kehausan. Karena perasaan iba pada anjing tadi, si pelacur kemudian memberikan air dan roti itu padanya. Berita ini sampai kepada Nabi Muhammad yang mulia. Dengan bijak beliau mengatakan bahwa si pelacur tadi kelak akan masuk surga!
Kisah ini menunjukkan bahwa Islam lebih mementingkan rasa sosial-kemanusiaan ketimbang urusan perkelaminan…
Tetapi memang setidaknya benar yang dikatakan Imam Al Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin bahwa seks bebas akan menimbulkan kekacauan nasab manusia. []
Komentar
Posting Komentar