Marketing Agama dan Kapitalisme

https://scontent-sit4-1.xx.fbcdn.net/t31.0-0/p235x350/12646843_930432413719204_5728133721292329510_o.jpg
Gejala keagamaan seringkali semakin nyata ditemukan dalam dunia yang sekularistik. Praktek yang dilakukan seringkali justru mengimitasi pola perilaku kehidupan umat beragama. Dari pola pengorganisasian, ideologisasi, institusionalisasi bahkan sampai praktek propagandanya institusi agama banyak memberi inspirasi pada praktek bisnis. Metode-metode MLM (multi level marketing) dalam memasarkan produk barangkali meniru model penyebaran agama yang menekankan pada hubungan face-to-face dan pembentukan kelompok-kelompok basis dengan kecenderungan merekrut elit-elit untuk mempercepat perluasan jaringan pemasarannya.
Predestinasi yang semula semangatnya sangat relijius ternyata dengan mudah dapat ditransformasi (diplintir) menjadi ethos yang ampuh untuk tumbuh suburnya kapitalisme. Ketakutan orang untuk tidak masuk dalam kelompok (terpilih/selamat/masuk surga) dan bukan kelompok (terbuang/celaka/masuk neraka), ternyata mendorong orang untuk berlomba-lomba menjadi lebih produktif. Logika internal yang meresapi predestinasi membuat orang berkompetisi menjadi yang paling produktif.
Ritual yang menjadi penjaga lembaga-lembaga agama ternyata sekarang banyak juga diadopsi (oleh biro-biro) iklan untuk menjaga kesetiaan konsumen pada produk-produk tertentu. Biro iklan bekerja sangat keras untuk mempertahankan dan menjaring konsumen baru dengan mengulang-ulang pesan produsen agar masyarakat mengkonsumsi produknya dengan setia. Celakalah kalian yang tidak mengkonsumsi produk perusahaan kami.
Konsep-Konsep Kunci Eliade
Menurut Eliade bagi manusia religius ada dua tipe waktu, waktu kudus dan waktu profane, waktu kudus diperoleh melalui festival-festival relijius sedangkan waktu profane dialami dalam pengalaman hidup sehari-hari yang biasa (ordinary daily life). Festival-festival religius mereaktualisasi kejadian-kejadian kudus dari pengalaman asali yang mistis, dengan demikian keterlibatan dalam ritual-ritual religius merupakan upaya keluar dari waktu biasa masuk ke dalam waktu kudus, waktu asali. Festival-festival relijius dilakukan secara periodik, sehingga waktu kudus juga selalu berulang.
Eliade melanjutkan konsep waktu kudus dengan apa yang sebut dengan Illud Tempus, mengacu pada waktu asali waktu dimana dunia untuk pertamakali diciptakan. Manusia relijius mengakses illud tempus ketika secara ritual menghubungkan dengan mitos kosmogonik nya dengan jalan itu dapat mereaktualisasi penciptaan dunia. Dalam berbagai kebudayaan ritual ini dapat digunakan untuk menyembuhkan orang yang sakit dengan menggunakan ritual si sakit dihubungkan dengan yang kudus, si sakit dilahirkan kembali tanpa rasa sakit.
Secara umum manusia relijius membutuhkan saat dimana ia masuk ke dalam waktu kudus secara periodik. Dalam waktu profane manusia akan merasa gamang dan resah menghadapi ketidakpastian dan kesunyian luar biasa. Waktu kudus selalu menjadi kerinduan yang selalu didambakan. Ketenangan hanya akan dirasakan ketika pertemuan dengan yang kudus diakstualisasikan lagi dalam ritual-ritual yang selalu diulang. Manusia selalu ada dalam ketegangan antara kenyamanan dan ketidaknyamanan.
Dalam setiap agama ada sedemikian banyak ritual yang dibuat untuk menjadi mediator agar manusia dapat bertemu dengan yang kudus. Secara garis besar ada dua kelompok ritus menurut para antropolog, yaitu ritus krisis dan ritus siklis. Pertama, ritus krisis adalah ritus yang dibuat agar manusia keluar dari situasi buruk yang dialami oleh komunitas. Misalnya: bencana alam, kekeringan, gagal panen, dsb. Kedua, ritus siklis berkaitan dengan perjalanan hidup setiap orang yang melewati fase-fase tertentu dalam hidupnya. Misalnya: lahir, dewasa, menikah, dan mati. Ketika manusia menghadapi situasi-situasi batas ini perlu menghadirkan yang kudus dalam komunitas atau pribadi-pribadi yang sedang mengalami kekacauan.
Ketika waktu semakin tercabik-cabik oleh berbagai macam aktivitas dan pilihan yang beraneka ragam kerinduan akan yang kudus semakin tak terelakkan. Orang bisa menjadi lalai ketika terlalu lama dalam dunia profane dan jauh dari Axis Mundi. Harmoni hanya akan dirasakan kembali ketika kenangan akan yang kudus itu kembali lagi.
Selain menekankan waktu kudus Eliade juga mengusung idenya tentang tempat kudus. Tempat kudus adalah tempat dimana manusia berjumpa dengan yang kudus. Ada tempat-tempat tertentu yang dapat menjadi Axis Mundi, untuk mempertemukan manusia dengan yang kudus. Tempat ini disakralkan sehingga tidak setiap orang bisa berlaku seenaknya di tempat-tempat yang dianggap memiliki kekuatan ilahi. Tempat-tempat ini mempesona sekaligus menakutkan. Untuk menancapkan ‘kesan’ kudus ada proses mitologisasi pada tempat-tempat tertentu.
Gejala-Gejala Keagamaan dalam Kapitalisme
Pengetahuan menjadi alat yang efektif untuk mengontrol manusia. Michel Foucault mencatat bahwa hasrat untuk mengetahui saja sudah merupakan cerminan hasrat untuk berkuasa. Keunggulan pengetahuan menjadi modal sosial untuk memenangkan War Of Position dalam pemikiran Antonio Gramsci. Kemampuan untuk menguasai pikiran orang adalah alat yang paling ampuh untuk melakukan Hegemony By Consent. Bukti sudah cukup banyak mengatakan dominasi selalu muncul dari Lag Of Information. Dengan adanya kesenjangan informasi akan melahirkan model komunikasi yang asimetris. Kompetensi komunikasi yang timpang merupakan lahan subur penindasan atas manusia yang lain.
Pengetahuan juga menjadi alat yang ampuh untuk melakukan mekanisme kontrol. Panoptisme sangat ampuh dilakukan oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan. Industri farmasi dan alat-alat kecantikan telah sangat berhasil menentukan apa yang mesti dilakukan agar tetap dianggap sebagai “manusia yang wajar”. Sebagai “agama baru”, kapitalisme mewartakan kabar gembira: “Cintailah produkku seperti dirimu sendiri melebihi segala sesuatu, celakalah kalian yang tidak mau mengkonsumsi produkku, karena di sanalahakan ada tangisan dan kertak gigi”. Kapitalisme mewartakan “kabar gembira” itu melalui para nabi-nabinya (model, artis, penyanyi, pengusaha) yang setiap hari membawa pesan lewat “kotbah-kotbah” di berbagai media massa. Setiap hari imam (iklan) mengkuduskan produk-produk apa yang wajib dibeli dan dikonsumsi. Ketakutan adalah perasaan yang selalu diaduk-aduk. Ada perasaan yang melebihi dosa di benak konsumen ketika tidak mengkonsumsi produk tertentu.
Peran media massa, khususnya televisi cukup besar dalam merebut posisi di hati konsumennya (war of position). Perang posisi ini menggunakan alat yang sangat halus (menyerang gaya berpikir) dan canggih sehingga korban tidak merasakan sakitnya ditindas. Konsep hubungan dekat menjadi kunci untuk mendidik konsumen patuh pada kehendak produsen. Teknik kekuasaan digunakan untuk membuat konsumen patuh dan mengamini setiap kehendak produsen. Pendisiplinan tubuh konsumen dan panoptisme yang dibangun dari disposisi manusia yang mau disebut sebagai modern merupakan jalan raya yang dibangun dari kaum kapitalis untuk melancarkan proses kolonisasi. Hidden transcript yang terpendam dalam hati konsumen digali dengan berbagai macam penelitian kemudian direpresentasikan dalam bentuk produk-produk yang mewakili imajinasi konsumennya.
Setiap hari umat (konsumen) selalu setia mendengarkan kotbah, melakukan ritual di depan televisi, mendengarkan kotbah di radio, membaca tulisan-tulisan dan memelototi gambar-gambar di koran-koran dan majalah. Ada perasaan bersalah ketika satu episode sinetron dilewatkan. Ia akan ditertawakan “jemaat sinetron” yang lain yang mengikuti ritual setiap hari. Untuk menjaga kesetiaan “umatnya” produsen tidak segan-segan mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk membiayai promosi. Kemampuan bercerita (membangun narasi) menjadi kunci untuk mempengaruhi pilihan-pilihan konsumen.
Agama baru ini sudah terlalu sering “mengikuti pelatihan-pelatihan ala LSM”, sehingga ia berwawasan lingkungan, berperspektif jender, partisipatif, dsb. Produk tidak lagi diskriminatif. Laki-laki dan perempuan diperlakukan sama sebagai “korban yang berbahagia”. Sebagai korban ia sangat dimanjakan dan dijanjikan “surga” yang dapat dinikmati segera (tidak usah menunggu setelah mati), sehingga mereka rela setiap hari antri untuk ditindas dan dikibuli. Produksi yang sifatnya massal sangat penting dalam proses pelipatan keuntungan yang cepat (multiplier effect). Produk sebisa mungkin diganti secara cepat sebelum konsumen jenuh dengan produk yang beredar. Sebagai contoh produk jeans mengalami perubahan mode yang begitu cepat dari waktu ke waktu, hanya dengan mengubah sedikit saja dari performance jeans (aksentuasi warna, potongan, aksesoris sudah cukup memberi “cap baru”). Industri sebagai “agama baru” telah begitu berhasil mendisiplinkan warga jemaatnya dengan penguasaan atas media komunikasi dan sumber-sumber pengetahuan.
Modal sosial yang dibutuhkan pada jaman yang ambivalen ini adalah kemampuan untuk membangun ideologi untuk memperoleh kekuasaan dan akses atau kemampuan untuk membongkar ideologi (kesadaran palsu) untuk membebaskan suatu kelompok sosial dari kesadaran palsu yang menindas mereka. Modal sosial lainnya yang dibutuhkan adalah kemampuan menjelaskan dan retorika. Kemampuan menjelaskan (promosi) menjadi satu hal yang penting dalam perdagangan. Kesan dan ingatan menjadi ruang yang diperebutkan. Kesadaran akan selalu diperebutkan dan menjadi medan pertempuran. Apa pun yang menjadi ingatan kolektif akan menjadi sasaran yang empuk tumbuh-suburnya loyalitas terhadap produk tertentu. Iklan tidak tabu untuk meminjam bahasa-bahasa agama, kesenian adiluhung, kerakyatan, kesucian, keindahan, kemegahan sebagai pintu masuk ke dalam kesadaran orang. Iklan menjadi ujung tombak pemasaran yang paling canggih. Isi kepala oranglah yang dieksploitir sebagai bahan mentah iklan maupun sebagai chip yang memformat pilihan, selera, dan pencipta object of desire. Siapa yang dapat menjelaskan dengan baik dialah yang akan menguasai manusia (era logosentrisme).
Iklan menjadi ritus sentral masyarakat kapitalis. Waktu kudus didapatkan ketika orang hanyut dalam buaian iklan-iklan, sinetron-sinetron yang mengharu biru, tampilan-tampilan kekerasan yang menjanjikan kesenangan. Ketenangan hadir ketika seseorang menjadi jemaat yang rajin mengikuti “ibadah” yang disampaikan berbagai media. Secara periodik media juga memanfaat momen-momen keagamaan untuk membaptis dirinya seakan-akan beragama. Fenomena bulan ramadhan di televisi bisa kita ambil sebagai contohnya. Setiap televisi berlomba-lomba memberi kesan sebagai televisi yang konsern pada persoalan kegamaan.
Masyarakat konsumen juga didisiplinkan untuk menziarahi tempat-tempat kudus yang disakralkan oleh agama kapitalis seperti mall, supermarket, McDonald, KFC, dsb. Hadir dalam tempat-tempat tersebut juga dengan pakaian-pakaian dan atribut tertentu yang tentu saja ada semacam patokannya, layaknya dalam ritus keagamaan. Ruang penjualan juga didesain dengan interior yang khas yang menandai tempat tersebut adalah “kudus”. Aroma tertentu menjadi penanda yang diakrabi hidung para pengunjung yang membuat mereka semakin khusuk menikmati produk jualan yang dipajang.
Penutup
Modus operandi yang dilakukan kaum kapitalis ternyata sangat dekat dengan dilakukan oleh lembaga agama. Kapitalisme memiliki “sistem ajaran” yang cukup jelas dengan didukung oleh lembaga-lembaga propaganda yang cukup komplit (sekolah, universitas, media massa, agama-agama), ritual-ritual yang selalu menarik, serta kumpulan-kumpulan komunitas yang mengatasi bangsa dan negara. Radikalisasi pemasaran juga menghadirkan kelompok-kelompok yang dengan sukarela membentuk group-group pencinta produk tertentu.
Kekuatan kapitalis selalu dapat memperbaharui diri dengan memanfaatkan apa saja yang ada, termasuk kerinduan-kerinduan terdalam yang ada di hati setiap manusia yang tidak dapat dipenuhi oleh ajaran-ajaran apapun termasuk ajaran agama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JANGAN BELAJAR AGAMA DARI AL-QUR'AN DAN TERJEMAHNYA

حب النبي : حديث الثقلين (دراسة فقهية حديثية)

نص حزب البحر للشيخ أبي الحسن الشاذلي