Tekanan Bagi Manusia Dari Agama
Ini adalah aneh, ketika bukti kebiadaban khilafah sudah begitu nyata membantai umat Muhammad s.a.w tetapi dagangan-dagangan khilafah laku keras dalam umat Islam terutama kaum muda, perempuan, orang-orang yang mudah dibujuk, dan kaum antagonis.
Saya mengenal Islam dari kutub Sunni dan mempelajari kitab-kitab klasik dan betul banyak saya dapati karakter dan gagasan ekstrim dalam beragama yang membawa pada sikap anti-kemanusiaan karena alasan penuhanan Allah.
Saya heran, ketika Tuhan Allah dipahami secara teologi zat penuh kasih dsb tetapi kenyataan yang ada dalam prkatik keagamaan adalah kebalikannya. Allah penuh kemurkaan, keras azab-Nya, memenuhi derita bagi manusia dengan aneka percobaan yang berat seperti fitnah dunia hingga siksa kubur, yang dari itu membentuk tekanan kejiwaan berat bagi manusia yang menganut Islam.
Teologi dan kosmologi seperti itu menjadi keumuman dalam keislaman sehingga nuansa Islam begitu mencekam, penuh ketakutan, serba salah, kebingungan, dan gejala kejiwaan negatif lainnya karena dipicu faktor keyakinan agama yang dianut.
Tuhan Allah serasa tidak ramah bagi manusia, belum lagi manusia ada permusuhan dengan setan. Manusia yang lemah dituntut dari semua sisi kehidupan dan ancaman di masa depan.
Saya percaya hal-hal seperti itu buatan manusia itu sendiri, terbukti bagi umat yang tidak meyakini seperti itu akan lebih minim gejala seperti yang dialami umat Islam.
Seandainya-pun paradoks dalam Islam dianggap sebagai "Peluang" akan tetapi biasanya "Ancaman" adalah jawaban.
Jadi, kenapa manusia dalam Islam begitu menanggung beban yang sangat berat ?. Biasanya akan dijawab :"Akhirat lebih baik dan kekal". Benarkah demikian ?, bukankah Islam juga mengancam manusia dengan keakhiratan dengan menyatakan bila semua harus mencicipi neraka terlebih dahulu dengan segala fitur-fitur penyiksaan yang sangat mengerikan dengan inti pemahaman bila siksa itu diluar batas kemampuan dialami manusia yang bertubuh organik lemah.
Yang saya maksudkan dengan gagasan ini adalah mempertanyakan "Kenapa manusia menjadi tujuan pelimpahan ego dan kemarahan hal-hal yang agamis ?". Bukankah dalam Al Qur'an sendiri dikatakan bila satanisme adalah anti-kemanusiaan seperti ayat Inna syaithana lakum adduwun mubiin.
Bila pertanyaan saya akan dijawab :"Hal itu adalah karena penafsiran agama". Maka saya menjawab :"Jawaban anda adalah modal yang sangat baik untuk tidak mudah percaya begitu saja soal agama, dan tidak mempercayai bila semua hal agama adalah baik dan benar, sebab, (ada kenyataan) agama adalah hasil pikir (tafsir) manusia juga, dan kita terbiasa untuk bertukar pikiran karena dialog adalah keniscayaan dalam kehidupan ini. Bila anda menyetujui bila Allah adalah Maha Biadab, saya tidak menyetujui, sebab, kebiadaban Allah adalah hal-hal yang anda setujui akan tetapi saya tidak wajib mengikuti gagasan anda dikarenakan saya (orang lain) juga memiliki gagasan tentang Tuhan secara bebas karena berpikir adalah proses yang mandiri dalam setiap jiwa manusia.
Bila menyebar pengaruh (dakwah) menjadi kegiatan keagamaan, maka pengaruh boleh diterima atau ditolak. Akan tetapi dakwah itu menjadi (sebenarnya hal buruk) ketika dakwah itu disertai dengan ancaman dan kekerasan fisik hingga penganiayaan. Itu jelas-jelas sebagai manifestasi kekejian politik. Wahai ... bagaimana bisa Tuhan semesta alam diotoritasi oleh kelompok atau orang tertentu. Bila-pun Tuhan mengadakan agen-agen-Nya di dunia ini benarkah harus melalui sarana kekejian politik ?
Saya melihat bahwa persoalan agama juga terpengaruh akar budaya bangsa pembawa agama itu, dalam hal ini Islam berbasik kebudayaan Arab. Kalau kita membaca kitab-kitab keislaman berbahasa Arab terlebih kitab -kitab klasik nuansa takaluf (dibesar-besarkan) begitu nyata. Ini selaras dengan kebiasaan bangsa Arab yang pada umumnya bodoh tetapi lugu dan menyukai puisi (sastra). Anda bisa membayangkan karakter ini seperti para remaja yang belum punya banyak pengalaman dan jatuh cinta sehingga orang yang dicintai itu sebagai sumber kegelisahan (kegalauan) dalam hati dan pikiran. Demikianlah dasar karakter Islam yang Arab itu terbentuk.
Mungkin hal sastrawi ada keutamaan bagi sisi kejiwaan, akan tetapi, ketika persoalan itu disamaratakan dalam segala hal maka yang muncul adalah kekacauan, sebab, setiap dimensi kehidupan memiliki rumusan yang berbeda. Maka jelas itu adalah kesalahan bila seorang siswa mengerjakan soal matematika dengan puisi, karena dua bidang itu memang tidak ada keterkaitan rumusan sama sekali meski dua bidang itu sama sebagai mata pelajaran yang sedang ditekuni.
Agama penuh dengan hal-hal yang memberatkan jiwa dengan alasan agar jiwa bergerak menuju keakhiratan. Akan tetapi saya pikir ketika cambukan-cambukan agama begitu berat jiwa bisa mati yang artinya justru seseorang menolak agama, seperti murtad dsb.
Seseorang murtad tidaklah menjadi masalah, akan tetapi ketika murtad menjadi gejala sosial itu artinya sudah selayaknya ajaran agama diteliti ulang, toh agama hanya buatan (tafsir) manusia juga meski bahan bakunya diyakini berasal dari wahyu Tuhan.
Jadi, mempertanyakan agama adalah hal yang sangat wajar. Ketika pintu pertanyaan ini ditutup oleh otoritas tertentu disitulah keraguan atas agama semakin besar, sebab, secara naluri manusia (umat) akan semakin curiga apa yang sebenarnya disebalik persoalan agama itu sampai tidak boleh dipertanyakan. Hal seperti itu bukan berburuk sangka, akan tetapi, perkara besar yang tidak ada verifikasi akan cenderung memiliki nilai negatif, dan naluri manusia paham hal itu secara otomatis.
Bila demikian, maka ulama adalah kalangan yang menjadi tujuan pertanyaan-pertanyaan umat. Ketika mereka tidak memiliki kapabilitas menjawab pertanyaan akan tetapi malah menikmati posisi dalam hirarki artinya kezaliman telah terjadi. Itu seperti yang di ilustrasikan oleh Rasulullah tentang Suul Ulama' yang akan bermunculan di akhir zaman. Kepalsuan-kepalsuan terjadi hingga skala teologi (dajjal).
Bila elemen-elemen agama memang hal pelik untuk dibuktikan secara riil dan rasionalitas, maka fungsi agama adalah sebagai jembatan pelayanan antar nilai kemanusiaan yang positif.
Saya kira ketika agama sudah dijadikan ajang pembantaian manusia dengan kekaburan persoalan yang sudah sangat pelik, itu sebagai pertanda bila agama itu sudah dalam kondisi berbahaya dan ada kemungkinan untuk sirna baik karena sudah ditinggalkan penganutnya atau peradaban ini hancur karena peperangan yang dipicu oleh agama, dan itu memang hal yang dikehendaki.
Bila kondisi seperti itu, kita tidak usah menyalahkan Tuhan Sang Pencipta semesta, meski kita mengambil jalan sebagai agnostik ataupun atheis, kita tidak usah mengambil permusuhan, kita tetap dalam nilai positif kemanusiaan kita dalam pelayanan dibidang hidup kita masing-masing sebaik mungkin dan ketulusan kalbu. Sebab, yang memusuhi manusia dan Tuhan sudah jelas, yaitu setan.
Komentar
Posting Komentar